loading...

Selasa, 15 Maret 2016

Selamat Ulang Tahun, IMM


Tak susah bagi Pak Abdul Mu’ti untuk mengais kembali ingatan sekitar 20 tahun silam, ketika menjadi kader IMM, sampai posisinya sekarang sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Ketika diundang ke Blitar beberapa pekan lalu, beliau masih fasih menyanyikan Mars IMM, dan lebih fasih lagi menceritakan perjuangannya dulu sebagai kader IMM. Kebetulan saya duduk di dekat beliau, dan menyerap banyak hal dari apa yang beliau sampaikan.

Saya kira 20 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengais kembali ingatan. Ternyata ada yang lebih lama lagi. Lebih dari setengah abad. Jika usia IMM sekarang menginjak angka 52, kurun waktu itulah bapak ini mencoba mengingat, memaknai ulang keberadaannya sebagai –tidak hanya kader IMM—tapi juga deklarator, sekaligus pendiri IMM. Beliau adalah Bapak Sudibyo Markus.

Selain Pak Mu’ti dan Pak Sudibyo, tentu masih banyak lagi tokoh lainnya yang menyisakan ingatan untuk IMM, hanya tidak semua menyampaikan, dan tidak semua punya waktu untuk menyampaikan, selain hanya ucapan selamat ulang tahun, Miladiyah, hari jadi, Dirgahayu, dan seterusnya.

Bagi saya pribadi IMM pun juga punya makna penting dan sangat esensial. Di Penghujung tahun 2009 saya bergabung dengan IMM, mengikuti Darul Arqam Dasar (DAD) di sebuah SD kecil di sudut ‘sempitan’ Kota Malang. Kiri-kanannya kebun, bangunannya hanya dua sisi dibelah oleh taman minimalis. Itu SD Muhammadyah 08. Sekarang mungkin sudah ada pembaharuan.

Peserta perkaderan hanya 7 orang. Saya terpilih sebagai ketua Alumni DAD dari 7 orang tersebut. Enam orang laki-laki, dan satu perempuan. Yang total aktif selanjutnya hanya 3 orang : Saya, Rasikh Adila dan Yusuf Hamdani Abdi. Tapi ini baru perkaderan pertama, dalam satu periode minimal IMM di UIN Malang mengadakan dua kali perkaderan. Perkaderan pertama dilaksanakan komisariat masing-masing. 

Ada tiga komisariat. komisariat Perlopor, Reformer, dan Revivalis. Saya dan Rasikh berada dalam satu Komisariat, Komisariat Pelopor. Yusuf sebenarnya komisariat Reformer, hanya saja dia mengikuti perkaderan di Komisariat pelopor karena berhalangan ikut perkaderan di Komisariatnya sendiri. Perkaderan kedua diadakan tiga komisariat dibawah Korkom (Koordinator Komisariat).

Dari tiga orang itu, Rasikh Adila di hari-hari berikutnya terpilih sebagai ketua Komisariat dan Ketua Korkom IMM UIN Malang. Dengan kapasitas keilmuannya yang memadahi pula, diusianya yang masih muda, Rasikh sudah menjadi anggota Majelis Tarjih PDM Kota Malang. Rasikh Adila memang jenius, wawasannya luas, Keilmuannya tentang agama juga memadahi, selaras dengan tubuhnya yang juga besar. Hehe

Sementara Yusuf Hamdani, di hari-hari berikutnya terpilih menjadi Ketua IMM Cabang Malang. Yusuf adalah ketua IMM Cabang Malang pertama dari UIN Malang. Terutama ketika era reformasi, setelah IMM UIN Malang pun mereformasi diri menjadi tiga komisariat. Ia membuat sejarah baru, sejarah yang akan selalu memotivasi kader-kader selanjutnya.

Itu sekedar cerita, tapi saya harus menjelaskan kenapa IMM begitu esensial bagi saya. Esensial, berarti memang mempengaruhi banyak hal dalam diri saya, meski kurang terlibat pada hal-hal yang administratif dan organisasional. IMM mendekatkan kita pada budaya berfikir, budaya kritis, budaya yang terbuka, atau mengutip istilahnya Paulo Freire, Kesadaran terbuka. Selaras dengan apa yang ditulis Pak Sudibyo melalui akun facebooknya, “IMM banyak membentuk saya”.

Tentu saja, melalui interaksi, dialektika, dan konflik yang hadir. Dialog-dialog segar, dan romantika-romatika malam di warung kopi. Semuanya terasa mewah, mewah dalam kesederhanaan. Anomali ditengah masyarakat yang tengah digempur oleh moderitas dan hedonisme yang akut di sebuah kota. Kota yang semakin sesak dengan bangunan mewah, kemacetan, dan pendatang. Kota yang siap memangsa keluguan, dengan trend dan gaya hidup baru.

IMM adalah ‘tameng’ dari konstruksi neo-kolonialisme yang menggempur begitu masif. Ruang-ruang wacana yang dibangun di dalamnya –meski tak jarang mengundang kritik—Membuka pandangan, mendekonstruksi cara pandang yang usang. Inilah satu hal penting dan esensial dalam hidup saya. Selain tentu saja, kesempatan untuk berbagai dan berinteraksi di forum-forum formal, forum perkaderan, dan sejenisnya.

Semua itu susah untuk dilupakan. Tapi setengah abad lebih IMM tentu hanya akan menjadi fosil tanpa orang-orang yang mengisi di dalamnya. Senior yang telaten dan peduli, kader-kader Militan yang di dalam dirinya, berkobar-kobar api Intelektualisme yang tak pernah padam. Program-program yang dibuat untuk merevitalisasi perilaku, merejuvenasi sikap dan cara pandang.

IMM adalah rumah kecil dari Peradaban kita. Itulah kenapa, saya mengagumi nilai-nilainya, menikmati dan sekaligus mensyukuri. Selamat Ulang Tahun ke 52. (*)

Blitar, 14 Maret 2016
A Fahrizal Aziz