loading...

Kamis, 28 Juni 2018

Mayoritas Petani Mendukung Gus Ipul-Puti

Pilkada 2018 sudah berjalan, berbagai hasil Quick count dan exit poll juga sudah dirilis berbagai lembaga survei, meski harus menanti hasil rekapitulasi dari KPU. Salah satu lembaga yang merilis survei exit poll adalah Indikator politik Indonesia.


Menariknya, di Jawa Timur meski hasil Quick count dan exit poll total memenangkan Khofifah-Emil, namun ternyata mayoritas petani, peternak, dan nelayan di Jawa Timur mendukung Gus Ipul dan Puti.


Hasil tersebut sesuai data yang dirilis Indikator politik, sebagaimana tabel yang kami tampilkan di bawah. Preferensi pemilih berdasar pekerjaan, warna merah adalah kategori petani, peternak, dan nelayan. Sekitar 58% mendukung pasangan nomor 2, Gus Ipul-Puti.


Meskipun suara petani cukup tinggi di Jawa Timur, sayangnya pada kategori pekerjaan lain, Gus Ipul-Puti tidak begitu mendapatkan dukungan yang maksimal, terutama dari pekerja kasar, buruh, dan kaki lima. Bahkan suara Ibu rumah tangga dominan ke Khofifah-Emil.


Kemenangan Gus Ipul-Puti di kalangan petani bisa jadi karena masih kuatnya pengaruh PDIP sebagai partai yang mengusung ide marhaenisme. Hanya saja keterpautannya tidak banyak. hanya unggul 8%. Seharusnya bisa lebih dari ini. (red.s)


Minggu, 17 Juni 2018

Jokowi dan Calon-calon Lainnya

Alhamdulilah bisa ikut merayakan lebaran 2018, atau 1439 H. Tanpa berita kemacetan yang berarti, meski tetap saja ada. Macet akan sulit dihindari, di tengah banyaknya pengguna kendaraan pribadi.


Juga tanpa berita kenaikan harga pangan yang ekstrem. Meski pada lebaran begini, konsumsi masyarakat naik. Pesta makan, juga rumah-rumah yang menyuguhkan kue-kue, yang bahan bakunya bermacam-macam, tepung dan gula terutama.


Akan tetapi nilai tukar rupiah terhadap dollar masih sulit beringsut dari angka yang mengkhawatirkan. Rasanya sulit untuk bergeser, apalagi ketika Donald Trump sedang menerapkan kebijakan konservatifnya, mirip ideologi partainya, yang dikenal dengan America first.


Uang yang ada, termasuk investasi didahulukan untuk kepentingan Amerika. Nampak pada kampanyenya dahulu, yang seolah anti imigran, juga anti muslim. Akan dibangun tembok di perbatasan, terutama dengan Mexico.


Belakangan cara kampanye Trump diikuti oleh kelompok tertentu di Indonesia, yang terus mendengungkan bahayanya pekerja asing, hutang negara, juga pribumi harus berdaulat.


Semua itu memang penting, dan harus diupayakan. Tetapi beda lagi jika dipolitisir demi dapat suara rakyat. Amerika adalah negara dengan hutang terbesar, namun lembaga penghutangnya, bisa mereka kendalikan. Itulah uniknya.


***
Sampai pertengahan Juni, dari berbagai lembaga survey kredibel, elektabilitas Jokowi masih diatas 50%. Menyusul Prabowo, dan calon-calon lain dibawah 10%. Sebenarnya ada banyak kandidat.


Perlu kerja lebih keras, bahkan kalau perlu dengan cara yang tak biasa, untuk menurunkan elektabilitas Jokowi. Perlu menggali lagi hal-hal yang sekiranya bisa menjatuhkan, entah apa, biarlah oposisi "bekerja".


Namun pemerintah, juga tidak tinggal diam. Melalui berbagai instrument kebijakan dan kuasanya, seperti bagi-bagi sertifikat tanah. Diam, tapi menghanyutkan.


Padahal waktu terus bergulir, bulan depan sampai maksimal Agustus, kandidat pilpres 2019 mungkin sudah harus diumumkan. Hanya Jokowi yang secara kalkulasi bisa maju. Mayoritas partai berkumpul mendukungnya.


Prabowo sepertinya masih bimbang. Apakah berduet dengan PAN lagi, atau PKS. Keduanya adalah pilihan sulit. Dari suara parlemen, PAN unggul. Tetapi dari kesetian, PKS paling bisa diharapkan.


PKS pun terus "bekerja" dengan tagar 2019 ganti presiden. Banyak yang ikut gerakan ini, tetapi mungkin tak banyak tahu kalau penggagasnya adalah kader PKS, Mardani Ali Sera. Mardani adalah satu dari sembilan capres/cawapres yang ditawarkan PKS.


Prabowo sepertinya sedang menunggu dan melihat, mana sosok-sosok yang bekerja paling keras, untuk kemudian dipilih sebagai cawapres. Jika melihat sejauh ini, Mardani adalah sosok yang paling sukses menggempur presiden. Sayangnya, Mardani tidak begitu menjual untuk dijadikan cawapres.


Trauma dengan pilpres 2014 silam, yang mana Prabowo bisa menang diatas kertas, apalagi mayoritas parpol mendukungnya. Hanya saja pasangannya, Hatta Rasjasa, elektabilitasnya sangat rendah. Andai kala itu yang jadi pasangannya adalah Mahfud MD, mungkin beda lagi.


Prabowo sudah bertarung sejak 2004. Sudah habis-habisan. Dana sudah banyak yang terkuras. Maka wajar jika penuh pertimbangan. Ia tentu tidak mau mengukir sejarah sebagai capres yang selalu gagal.


Karenanya sempat muncul nama-nama non parpol, seperti Gatot Nurmantyo dan TGB yang lagi moncer-moncernya. Mendengar itu, parpol koalisi, terutama PKS dan mungkin juga PAN, agak gusar.


Pak Amien Rais tiba-tiba menyatakan diri siap Nyapres lagi. Seperti petir di siang bolong, padahal PAN sedang gencar-gencarnya memprofilkan Dzulkifli Hasan.


Belum lagi ketika Habib Rizieq Shihab (HRS) juga menyatakan siap nyapres. Makin banyak alternatif, makin menunjukkan tidak solidnya koalisi Umat atau apalah namanya.


Nampak bahwa kekuasaan, secara alamiah sangat menggiurkan untuk diperebutkan.


Karenanya Jokowi nampak santai, sekalipun ia diserang dari berbagai arah. Serangan bertubi-tubi. Serangan untuk kebijakan-kebijakan yang diambil, sampai serangan personal.


Jokowi masih di atas angin, lawan politiknya sedang dirundung kebimbangan yang akut.


Tetapi sebentar dulu, beberapa tokoh kembali mengajukan judificial review UU Pemilu, yang mana syarat nyapres adalah 0%. Jika MK meloloskan, maka semua partai bisa mengajukan capres dan cawapresnya sendiri, akan terbuka peluang bagi banyak tokoh.


Ini juga bisa berdampak pada parpol yang mendukung Jokowi, yang mungkin juga akan sedikit goyah. Tergoda untuk mengusung sendiri, meski dengan peluang menang yang kecil.


Betapapun hebatnya tokoh, butuh beberapa bulan, atau beberapa tahun, untuk menaikkan elektabilitas. Inilah kenapa petahana selalu kuat, apalagi Jokowi yang selalu show up di media : blusukan, aktif di sosmed, terbuka pada wartawan, dan tentunya, memiliki banyak penghujat. []


Blitar, 17 Juni 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Rabu, 13 Juni 2018

Membaca Sebagai Gerakan

"Kalau tempat ini dibuat diskusi boleh ya Pak?"


Tanya saya suatu ketika, lebih setahun silam, pada Pak Budi Kastowo, "juru kunci" buku-buku koleksi khusus Bung Karno.


Tempat itu lebih sering sepi. Lokasinya ada di lantai II sebelah barat. Sesekali nampak ada interaksi, jika kebetulan ada tamu dari luar kota yang hendak menggali referensi tentang Bung Karno. Atau jika ada diskusi publik.


Kebetulan setiap minggu siang, saya dan beberapa teman dari Forum Lingkar Pena datang ke area perpustakaan, duduk melingkar di selasar untuk berbincang soal kepenulisan. Saya jadi ingat ruang atas, bagaimana kalau pindah ke atas saja?


Kehadiran kami disambut Pak Budi Kastowo, yang kadang ikut dalam diskusi, kadang pula ikut berpraktek menulis, jika dalam materi diskusi mentor mengharuskan kami untuk praktek menulis.


Berikutnya kami makin akrab dengan petugas yang lain, sampai-sampai kami tidak perlu lagi lewat jalan utama menuju lantai II tersebut. Kami nerobos lewat Museum, padahal disana tertulis : selain karyawan dilarang masuk.


Entah siapa yang memulai, kalau tidak salah Rosy Nursita. Sebelum dia jadi ketua Lingkar Pena, saya pernah lihat dia duduk di lantai dua dengan mengenakan jaket hitam dan membawa tas. Loh kok boleh?


Padahal kalau masuk perpustakaan, tas dan jaket harus dititipkan di bawah. Ternyata dia lewat museum, dan setelah itu ditirukan yang lain.


Atau bisa juga, karena ada Adinda Kinasih, yang sempat magang disitu, karena program PPL-nya sebagai mahasiswi jurusan Ilmu Perpustakaan. Banyak orang perpus sudah mengenalnya, yang kemudian juga mengenalnya sebagai anggota Lingkar Pena.


Jadi seperti previlage tersendiri, bisa menggunakan ruangan di lantai II, bercengkrama, berdiskusi, dan saling berbagi. Kadang juga saling tukar-pinjam buku, apalagi yang sudah punya kartu anggota perpustakaan, tinggal bergeser ke ruang sebelah untuk memilih buku-buku yang ingin dipinjam.


Saya yang malas baca pun akhirnya juga tergerak untuk bikin kartu anggota perpustakaan. Sekarang bikin kartu itu mudah sekali, cukup bawa KTP, isi formulir lembaran dan pada komputer yang disediakan, lalu berfoto, dan tinggal menunggu beberapa menit kartu pun jadi.


Inilah fasilitas publik yang harusnya diakses oleh masyarakat. Semua serba gratis.


***
Di tempat yang sama kemudian, saya berbincang dengan Pak Budi soal rendahnya budaya baca. Rasanya sudah cukup untuk terus-terusan mengeluh apalagi mengumpat.


Diskusi soal budaya baca tentu menjadi perhatian serius, terutama bagi pengelola perpustakaan seperti Pak Budi. Salah satu i'tikad Pustakawan, tentu adalah bagaimana masyarakat suka membaca, dan mengakses buku-buku yang sudah disediakan negara.


Tetapi ya berat untuk mengajak orang suka membaca buku, apalagi ditengah gempuran digital, ditengah generasi kini yang dimanjakan teknologi. Ditengah kepraktisan orang mencari informasi yang mereka butuhkan.


Karenanya, lebih baik kita bikin perkumpulan. Tidak harus yang suka baca, justru buat yang malas baca. Biar mendengarkan dulu. Tetapi memang harus ada yang "berkorban" untuk membaca buku, lalu menyampaikannya.


Jadi membaca bukan lagi untuk diri sendiri, tetapi untuk disampaikan ke orang lain. Membaca bukan lagi sebagai ruang privat, tetapi menjadi upaya untuk menggerakkan.


Grup whatsapp pun dibuat untuk memperluas silaturahim dan partisipasi masyarakat. Meski yang hadir dalam pertemuan rutin setiap Jum'at kemudian, antara belasan sampai puluhan.


Bagi saya itu tak masalah, berapapun yang hadir, minimal saya sendiri juga membutuhkan. Sedikit atau banyak, tak terlalu berpengaruh. Meski mungkin ada orang yang menertawakan.


Ketika FLP Blitar vacum selama kurang lebih tiga tahun, yang menghidupkannya kembali toh hanya 5 orang. Sampai nyaris setahun kemudian peserta yang hadir ya tetap antara 5 orang itu.


***
Saya rutin hadir dalam diskusi setiap hari Jum'at, dan berharap akan banyak yang datang, tetapi kalaupun tidak banyak, minimal saya sendiri juga butuh untuk datang ; butuh untuk mendengarkan, butuh untuk tahu hal-hal baru, butuh untuk terus belajar.


Tepat 8 Juni 2018, ada Undangan ke rumah Pak Budi Kastowo yang terletak di utara Kota. Rumah dengan suasana sekitar yang asri. Undangan itu untuk diskusi dan berbuka bersama.


Kira-kira satu minggu ini, di teras depan yang luas, sudah dibuka sebuah cafe. Sudah ada LCD dan sekaligus pengeras suara, beserta free wifi. Tepat disamping perguruan "ilmu sejati".


Saya membuka diskusi, dilanjutkan Pak Budi yang menceritakan bagaimana Bung Karno menggali Pancasila, sampai waktu berbuka tiba. Sebagian kami melaksanakan shalat magrib berjamaah.


Selepas itu, beberapa hidangan sudah tersaji. Ada beberapa jenang merah, sebab malam ini ada satu lagi agenda penting, yaitu peresmian nama untuk kegiatan rutin kami setiap hari Jum'at itu.


Mbah Kakung, Bambang In Mardiono, atau yang biasa disapa Mbah Gudel memimpin hajatan tersebut, dengan bahasa Indonesia bercampur Jawa, beserta filosofinya.


Lalu apa nama yang cocok? Jujur saya pribadi, Kang Khabib, Karas, dan lainnya, tak sempat menemukan nama yang pas. Nama "komunitas malas baca" dirasa cukup, penuh kritik sekaligus dalam rangka menertawakan diri sendiri yang kadang malas untuk membaca.


Atau karena kami dari Muhammadiyah, yang kurang mesakralkan soal nama. Orang Muhammadiyah sendiri ketika menamai Amal Usahanya, kadang hanya mencari nama lain yang sekiranya cocok dengan logo : seperti surya dan mentari.


Tetapi Pak Budi Kastowo dan Mbah Gudel mungkin punya nilai-nilai tersendiri soal nama, dan berharap agenda mingguan ini tetap langgeng sampai waktu yang lama, dan berdampak. Ya, begitulah doa kami semua.


Ternyata pada malam itu, nama "dititipkan" oleh seseorang yang baru hadir hari itu, mahasiswa STIT Al Muslihun bernama Hamid Firdaus. Ia mengusulkan sebuah nama yang kemudian disepakati.


Komunitas Malas Baca pun berubah menjadi Komunitas Muara Baca. Kata "Muara" bermakna dua hal : sebagai tempat pertemuan dan tujuan, juga karena peresmian malam itu berlokasi di jalan muara takus.


Sepertinya hadirin sepakat, dan tanpa waktu lama kemudian diresmikan, lalu ditutup dengan doa oleh Gus Imam, tokoh masyarakat Sentul yang turut hadir malam itu.


Selanjutnya, cukuplah kita menyebut komunitas itu dengan "Muara" saja, atau komunitas muara. Dan semoga mereka yang suka membaca, atau yang masih malas membaca sekalipun, bisa bermuara disini, di komunitas ini.


Jadi ada sharing wawasan, ada atmosfir positif untuk kembali membuka-buka isi buku, yang rasanya sudah seperti barang antik akhir-akhir ini.


Ada sebuah gerakan membaca. Semoga.


Blitar, 10 Juni 2018
Ahmad Fahrizal Aziz


Selepas Walikota Tertangkap KPK


Oleh Ahmad Fahrizal Aziz


Akhir 2009, dalam sebuah percakapan, seseorang menceritakan pengalamannya berkunjung ke Blitar. Dia asal Pekalongan, dan tergerak untuk datang ke Blitar karena ada "Bung Karno" disana.


Katanya, Kota Blitar begitu sepi. Ia mampir ke alun-alun, sama sekali tak ada yang istimewa. Hanya serupa lapangan biasa, dan deretan penjual yang mengitarinya.


Kota-kota lain mungkin menawarkan lebih, apalagi kami yang kala itu sama-sama sedang kuliah di Malang. Blitar kalah segalanya : tata kota, pusat belanja, tempat nongkrong, hiburan, kampus, dan lain-lain.


Blitar hanya menang satu hal saja ; disini ada makam Bung Karno. Tokoh revolusi. Hanya lokasinya ratusan kilometer dari Ibukota Jakarta. Teman sekamar saya di asrama, yang asal Medan, baru tahu kalau Bung Karno dimakamkam di Blitar.


***
Awal 2010, dalam sebuah pidato perpisahannya sebagai Walikota, Djarot mendapat pertanyaan : Blitar ini kok tidak maju-maju pak? Anak-anak muda kalau belanja dan nonton film saja harus ke kota tetangga.


Djarot memang menolak pendirian mal. Sangat tegas menolak. Idealismenya kuat soal ini. Jawabnya : jangan sampai anak-anak Blitar terjangkiti virus hedonisme dan konsumerisme.


Terasa ketika saya aliyah, di malam minggu yang panjang, tak ada fikiran untuk sekedar nongkrong di cafe. Paling hanya warung kopi. Mungkin juga karena coffe culture belum populer seperti sekarang.


Baru setelah berpindah ke kota sebelah, terasa bedanya ; kerlap kerlip lampu kota, kerumunan orang di berbagai sudut, dan suasana malam yang hidup.


Saya baru menyadari jika Blitar memang sangat sepi. Kota pensiun kata orang-orang. Kota yang menghendaki ketenangan. Mula-mula memang menjenuhkan, terapi seperti jadi ciri khas tersendiri.


Setiap Jum'at malam di akhir bulan, ketika kereta api penataran menghantarkan saya pulang, terasa syahdu melihat perempatan kawi yang lengang.


***
Akhir 2011 dan seterusnya, sepertinya ada banyak perbedaan. Gedung Dipayana yang legendaris, yang di waktu saya kecil sering dijadikan tempat pertunjukan ludruk, ketoprak, dan teater, dipagari tinggi. Konon akan dibangun mal.


Cafe-cafe mulai menjamur. Minimarket juga tumbuh bersaing pada jarak yang berdekatan. Sekolah-sekolah mulai diseragamkan, dari tas sampai kaos olahraga. Hal-hal simbolik kembali dimunculkan, seperti busana djadoel.


Sekolah baru, dibangun begitu megah. Guru-guru terbaik dimutasi kesana. Dua kali saya masuk, mengamati dari dekat, dan terasa begitu diprioritaskannya.


Blitar bukan lagi kota pensiun. Sekarang cukup ramai. Ada taman dibangun di depan alun-alun. Taman di depan taman. Saling berhadapan.


Kawasan mastrip yang legendaris itu juga digusur, dipugar, dirapikan. Jalanan dibelah dua dan dilebarkan. Banyak kios dan ruko di sekitarnya. Saya mencari-cari gerobak penjual buku loak, yang sepertinya sudah tak ada.


Kota Blitar telah menjelma dalam wujud baru, yang lebih gemerlap. Ada banyak tempat nongkrong, pusat belanja, taman-taman, dan fasilitas lainnya.


Ada "kemajuan" yang dulu diimpikan. Sebagaimana kota-kota lain yang sedang tumbuh. Di areal wisata makam Bung Karno, ada beberapa titik pedestrian. Paving-paving untuk pejalan kaki.


Lebih indah, kata orang. Seperti khas-nya trotoar sepanjang jalan Braga atau Malioboro yang selalu terkenang dan sayang jika dilewatkan, untuk sekedar berfoto.


Kota ini memang tumbuh, dan terus tumbuh, meski tanpa lagi ingatan. Semua kota akan sama pada akhirnya. Jadi obyek proyek-proyek ambisius.


Sayangnya, seringkali proyek ambisius itu, menelan korban. Kalau hanya walikota yang diciduk KPK, itu biasa. Lebih dari itu, ada pergulatan sosial-budaya. Ada proses penggerusan, dan kita hanya bisa kembali merenung bersama buku-buku sejarah yang jarang lagi disentuh. []


Blitar, 13 Juni 2018
Di Penghujung Ramadan


Sabtu, 09 Juni 2018

Dahlan Iskan Kaget Makmum Sholat Pakai Celana Pendek

Bulan ramadan tahun 1439 H ini dihabiskan Dahlan Iskan di Amerika Serikat. Sembari berkeliling ke bagian-bagian pelosok negeri paman sam itu, ia  singgah di Masjid-masjid terdekat dengan bantuan google map.


Ketika singgah di Masjid San Antonio, Mantan Menteri BUMN itu kaget melihat ada makmum yang sholat dengan celana pendek di atas lutut, padahal itu tidak menutup aurat, yang menjadi syarat sah shalat.


Karena penasaran Dahlan pun bertanya pada sang Imam.


"Bolehkan shalat mengenakan celana pendek seperti itu?" tanya Dahlan.


Sang Imam yang bernama Mohammad Sawad asal Baghdad Irak tersebut mengaku sudah tiga kali menegur makmum yang shalat dengan celana pendek tersebut.


***
Masjid San Antonio terletak di Texas Amerika Serikat. Masjid ini lebih mirip sebuah rumah, yang dialih fungsikan. Tidak seperti di Indonesia yang mana Masjid memiliki arsitektur khusus yang membedakan dengan bangunan lain.


Sebagaimana yang ditulis sendiri oleh Dahlan Iskan melalui disway.id, bahwa Masjid San Antonio merupakan masjid berpaham Syiah. di Masjid tersebut tidak digelar tarawih, shalatnya pun menggunakan turbah : semacam kain berlumur tanah, tanah dari karbala. Kain tersebut diletakkan tepat posisi kening bersujud.


Dahlan juga menjelaskan bahwa adzannya menambahkan nama Ali Bin Abi Thalib, serta selepas Imam membaca Al Fatihan, makmum tidak teriak Amin. (red.s)


Kamis, 07 Juni 2018

Yudi Latif Mundur Sebagai Kepala BPIP

Meski baru setahun mejabat, dan berpotensi mendapatkan gaji tinggi, melalui sebuah tulisan panjang di sosial media, Yudi Latif menyatakan mundur sebagai kepala Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP).


Mundurnya Yudi Latif juga mengagetkan publik, sebab selama ini yang disorot soal besarnya gaji di BPIP adalah ketua dewan pengarah, Megawati Soekarno Putri.


Berikut tulisan lengkapnya :


TERIMA KASIH, MOHON PAMIT


Salam Pancasila!
Saudara-saudaraku yang budiman,
Hari kemarin (Kamis, 07 Juni 2018), tepat satu tahun saya, Yudi Latif, memangku jabatan sebagai Kepala (Pelaksana) Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)--yang sejak Februari 2018 bertransformasi menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).


Selama setahun itu, terlalu sedikit yang telah kami kerjakan untuk persoalan yang teramat besar.


Lembaga penyemai Pancasila ini baru menggunakan anggaran negara untuk program sekitar 7 milyar rupiah. Mengapa? Kami (Pengarah dan Kepala Pelaksana) dilantik pada 7 Juni 2017.  Tak lama kemudian memasuki masa libur lebaran, dan baru memiliki 3 orang Deputi pada bulan Juli. Tahun anggaran telah berjalan, dan sumber pembiayaan harus diajukan lewat APBNP, dengan menginduk pada Sekretaris Kabinet. Anggaran baru turun pada awal November, dan pada 15 Desember penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga harus berakhir. Praktis, kami hanya punya waktu satu bulan untuk menggunakan anggaran negara. Adapun anggaran untuk tahun 2018, sampai saat ini belum turun.


Selain itu, kewenangan UKP-PIP berdasarkan Perpres juga hampir tidak memiliki kewenangan eksekusi secara langsung. Apalagi dengan anggaran yang menginduk pada salah satu kedeputian di Seskab, kinerja UKP-PIP dinilai dari  rekomendasi yang diberikan kepada Presiden.


Kemampuan mengoptimalkan kreasi tenaga pun terbatas. Setelah setahun bekerja, seluruh personil di jajaran Dewan Pengarah dan Pelaksana belum mendapatkan hak keuangan. Mengapa? Karena menunggu Perpres tentang hak keuangan ditandatangani Presiden. Perpres tentang hal ini tak kunjung keluar, barangkali karena adanya pikiran yang berkembang di rapat-rapat Dewan Pengarah, untuk mengubah bentuk kelembagaan dari Unit Kerja Presiden menjadi Badan tersendiri. Mengingat keterbatasan kewenangan lembaga yang telah disebutkan. Dan ternyata, perubahan dari UKP-PIP menjadi BPIP memakan waktu yang lama, karena berbagai prosedur yang harus dilalui.


Dengan mengatakan kendala-kendala tersebut tidaklah berarti tidak ada yang kami kerjakan. Terima kasih besar pada keswadayaan inisiatif masyarakat dan lembaga pemerintahan. Setiap hari ada saja kegiatan kami di seluruh pelosok tanan air; bahkan seringkali kami tak mengenal waktu libur. Kepadatan kegiatan ini dikerjakan dengan menjalin kerjasama dengan inisiatif komunitas masyarakat dan Kementerian/Lembaga. Suasana seperti itulah yang meyakinkan kami bahwa rasa tanggung jawab untuk secara gotong-royong menghidupkan Pancasila merupakan kekuatan positif yang membangkitkan optimisme.


Eksistensi UKP-PIP/BPIP berhasil bukan karena banyaknya klaim kegiatan yang dilakukan dengan bendera UKP-PIP/BPIP. Melainkan, ketika inisiatif program pembudayaan Pancasila oleh lembaga kenegaraan dan masyarakat bermekaran, meski tanpa keterlibatan dan bantuan UKP-PIP/BPIP.


Untuk itu, dari lubuk hati yang terdalam, kami ingin mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya atas partisipasi semua pihak dalam mengarusutamakan kembali Pancasila dalam kehidupan publik.


Selanjutnya, harus dikatakan bahwa transformasi dari UKP-PIP menjadi BPIP membawa perubahan besar pada struktur organisasi, peran dan fungsi lembaga. Juga dalam relasi antara Dewan Pengarah dan Pelaksana. Semuanya itu memerlukan tipe kecakapan, kepribadian serta perhatian dan tanggung jawab yang berbeda.


Saya merasa, perlu ada pemimpin-pemimpin baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Harus ada daun-daun yang gugur demi memberi kesempatan bagi tunas-tunas baru untuk bangkit. Sekarang, manakala proses transisi kelembagaan menuju BPIP hampir tuntas,  adalah momen yang tepat untuk penyegaran kepemimpinan.


Pada titik ini, dari kesadaran penuh harus saya akui bahwa segala kekurangan dan kesalahan lembaga ini selama setahun lamanya merupakan tanggung jawab saya selaku Kepala Pelaksana. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati saya ingin menghaturkan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia.


Pada segenap tim UKP-PIP/BPIP yang dengan gigih, bahu-membahu mengibarkan panji Pancasila, meski dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang ada, apresiasi dan rasa terima kasih sepantasnya saya haturkan.


Saya mohon pamit. "Segala yang lenyap adalah kebutuhan bagi yang lain, (itu sebabnya kita bergiliran lahir dan mati). seperti gelembung-gelembung di laut berasal, mereka muncul, kemudian pecah, dan kepada laut mereka kembali" (Alexander Pope, An Essay on Man).


Salam takzim,
Yudi Latif

Ketua DPC PDIP Kota Blitar Resmi Jadi Tersangka

Jakarta - KPK akhirnya menetapkan Walikota Blitar, yang juga ketua DPC PDIP Kota Blitar, sebagai tersangka kasus suap pembangunan sekolah lanjutan pertama. Ia diduga menerima suap dari seorang kontraktor swasta bernama Susilo Prabowo.


Pada Jum'at malam (8/6), KPK diwakili Saut Situmorang melakukan konferensi pres dan menetapkan salah satunya berinisial SA sebagai tersangka korupsi. SA adalah Walikota Blitar periode 2016-2021.


Ini merupakan periode keduanya mejabat sebagai Walikota Blitar. SA merupakan Walikota dari PDIP, yang sebelumnya dijabat oleh Djarot Saiful Hidayat. Kendati demikian SA sering berseberangan pendapat dengan Djarot, meski dari partai yang sama.


Salah satu program yang mencolok dalam kepemimpinannya adalah APBD pro rakyat, terutama dalam bidang pendidikan. Pelajar Blitar mendapatkan akses berupa bus antar jemput, seragam, tas, kaos olahraga, dan sepeda khusus tingkat lanjutan pertama.


Pada eranya pula dibangunlah SMAN 4 Kota Blitar, Taman Pecut, dan kini sedang proses pembangunan mal yang berlokasi di atas tanah bekas gedung teater. (red.s)


Saat digeledah KPK, Walkot Blitar tak Ada di Rumah Dinas

Blitar - KPK akhirnya menetapkan Walikota Blitar, Samanhudi Anwar, sebagai tersangka kasus suap. Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK, Saut Sitomorang. (8/6) namun keberadaan Samanhudi Anwar belum diketahui hingga saat ini.


"Kami berharap Walikota Blitar dan Bupati Tulung Agung lekas menyerahkan diri," ujar Saut.


Samanhudi tidak ada di rumah dinas ketika KPK menggeledah dalam OTT Rabu malam, sehingga mereka kemudian memeriksa beberapa pejabat terkait sebagai saksi, salah satunya Kepada dinas Pendidikan Kota Blitar, Moh. Sidiq.


Samanhudi diduga menerima suap proyek pembangunan sekolah lanjutan pertama dari seorang kontraktor swasta bernama Susilo Prabowo (SP). SP sendiri sudah diamankan oleh KPK dan dibawa ke Jakarta untuk diperiksa lebih lanjut. (Red.s)


Pasca OTT KPK Semalam, Walikota Blitar Tak Nampak Ngantor

Pasca berita OTT KPK di Blitar dan Tulung Agung, serta kabar digeledahnya rumah dinas, keesokan paginya Walikota Blitar tak masuk kantor. Apel pagi yang biasanya dipimpin oleh Walikota, pagi itu (7/6) dipimpin oleh Wakil Walikota, Santosa.


Santosa sendiri belum menerima kabar resmi terkait ditangkapnya Walikota Blitar. Menurutnya berita yang ada masih simpang siur.


"Masih belum bisa dipertanggung jawabkan," ujarnya.


Beberapa media, salah satunya CNN Indonesia menulis bahwa Walikota Blitar turut serta ditangkap KPK untuk menggali keterangan lebih lanjut, namun sejauh ini KPK belum menentukan siapa tersangka dalam OTT ini.


Sebelumnya, OTT juga terjadi di Tulung Agung. Kadis PU dan beberapa pihak swasta ditangkap untuk menggali keterangan lebih lanjut. (red.s)