loading...

Kamis, 14 Desember 2017

Cara Soekarno Mengendalikan Pengusaha China


Meski selama menjadi Presiden Soekarno nampak dekat dengan Tiongkok, bahkan pernah membuat poros politik Jakarta-Peking, namun ternyata Soekarno sangat tegas terhadap pengusaha asing, terutama pedagang China yang kala itu berpotensi menguasahi ekonomi Indonesia.

Tahun 1959 Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 yang ditanda tangai Menteri Perdagangan Rachmat Mujomisero. Peraturan ini melarang orang-orang asing melakukan perdagangan eceran dari tingkat kabupaten sampai desa. Aturan tersebut memang tidak hanya berlaku untuk keturanan China, melainkan untuk semua warga asing. Namun para pedagang China paling terdampak peraturan ini.

Pemerintah memberikan batas sampai 1 Januari 1960, jika toko mereka tidak dialihkan kepada pribumi, maka akan ditutup paksa. Kebijakan ini dalam rangka memberikan peluang bagi warga pribumi untuk mengembangkan ekonominya. Meski aturan ini hanya untuk pedagang eceran, bukan pebisnis kelas grosir.

Banyak warga keturunan China yang memprotes kebijakan tersebut, apalagi bagi mereka yang sudah lama menetap dan hidup dari perdagangan. Keberadaan warga keturunan tersebut tak bisa dilepaskan dari politik Belanda yang menjadikan mereka masyarakat kelas dua, yang mayoritas memang bergelut dalam perdagangan.



Meski begitu Pemerintah pun memberikan pilihan kepada mereka untuk menetap atau kembali ke Tiongkok, jika keberatan dengan aturan tersebut. Bahkan karena kedekatan kedua negara, Tiongkok pun siap menerima kembali mereka.

Dengan diberlakukan aturan tersebut, maka memberikan kesempatan warga lokal untuk mengelola perdagangan skala kecil, sekaligus mengurangi monopoli pasar yang dilakukan warga asing. [red.s]

Sabtu, 02 Desember 2017

Sastra yang Rumit dan Makin ditinggalkan



Perhatian terhadap sastra memang tidak lebih baik jika dibandingkan Matematika dan IPA, dan atau IPS. Misalkan, seringkali muncul kompetisi MIPA, terutama dalam bentuk olimpiade, banyak juga juaranya. Sastra, dalam skala kecil-kecilan paling hanya dalam bentuk lomba menulis puisi, cerpen, atau membaca puisi.

Dalam konteks kehidupan yang riil, sastra (dan kadang juga seni) sering hanya sebagai “keahlian sampingan”. Yang utama tentu IPA dan Matematika. Jurusan IPA menjadi sangat bergengsi di SMA, bahkan diperebutkan. Jurusan IPS masih mending, sementara Bahasa kadang hanya menampung sisa-sisa. Kenapa demikian?

Sastra kurang laku, sebab apa yang dihasilkan tidak begitu kongkret sebagaimana keahlian di bidang Matematika dan IPA atau yang selanjutnya kita sebut sains. Para Matematikawan—dalam berbagai turunan ilmunya—bisa melahirkan berbagai karya kongkrit dan terukur, mulai dari bangunan sampai teknologi mutakhir.

Ahli alam dan turunannya, bisa mencipta berbagai keajaiban ilmu, mulai dari rekayasa genetik sampai eksperimentasi mutakhir yang memberikan informasi berharga tentang hubungan manusia dan alam yang memiliki ketergantungan.

Dalam konteks lain saintis juga sangat berguna dalam perang modern. Jika dahulu perang melibatkan kemampuan memainkan pedang, tombak dan sejenisnya, kini perang sangat bergantung pada kecanggihan senjata seperti senapan, bom atom sampai nuklir. Hasil eksperimentasi seorang saintis bisa menghancurkan dua kota dan membunuh ratusan ribu jiwa dalam hitungan menit saja.

Lantas sastra? bahkan bagi sebagian orang, sastra justru sumber kerumitan. Banyaknya penyair yang sulit dipahami, baik dari kata-kata yang mereka hasilkan, sampai pandangan hidupnya. Njelimet dan tidak kongkrit. Malah—dikalangan penyair sendiri—kalau ada puisi atau cerpen yang dengan mudahnya dipahami, dianggap kadar sastranya rendah.

Namun apakah kita terus-terusnya rela terkotak-kotak dalam suasana demikian? Sebab pada sebagian orang, ilmu ya ilmu, semuanya melebur menjadi satu kesatuan yang melengkapi. Karya seni seperti musik, membutuhkan hitungan yang tepat, harmonisasi, dan ini sangat mirip dengan matematika.

Karya arsitek yang monumental, membutuhkan sentuhan seni untuk inspirasi bentuk, filosofi, dan ornamennya. Tak jarang juga peneliti mikroba justru menemukan keindahan bentuk, estetika dari jaringan-jaringan sel yang bisa menjadi inspirasi para pelukis.

Uniknya, sastra seringkali memotret kerumitan hidup seperti kehilangan, penghianatan, cinta, dan lain sebagainya dalam rangkaian kata yang indah dan mendalam. Yang itu juga terkait dengan ilmu psikologi, dimana orang yang depresi berat lebih memilih menciptakan sebuah puisi, ketimbang mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Sastra memang menyatu dalam kompleksitas hidup manusia, dan tidak ada rumus pasti sebagaimana matematika. Sebab sastra adalah pantulan rasa. Karena sejak lama kita selalu membeda-bedakan semuanya, sampai lupa bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya menyatu.

Sama dengan ketidakmungkinan kita melepaskan diri dari matematika, sebab hidup manusia itu selalu berhitung dengan keadaan, kesempatan dan kenyataan. Pada kondisi tertentu kita tidak bisa melepaskan diri dari sastra, ketika kedalaman jiwa menyeruak dan meminta haknya untuk dimunculkan. []

Blitar, 2 Desember 2017
A Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Senin, 20 November 2017

Pluralis Djohan Effendi Wafat!



Intelektual Muslim Indonesia, yang dikenal sebagai pejuang pluralisme, wafat di Geelong, Victoria Australia pada usia 78 tahun. Sosok yang selama hidupnya getol memperjuangkan Pluralisme ini merupakan salah satu dari beberapa Intelektual garda depan Indonesia disamping Nurcholish Madjid. Djohan meninggal karena penyakit komplikasi yang sejak lama ia derita.

Djohan merupakan sosok yang dekat dengan Gus Dur. Bahkan dipercaya menjadi Menteri Sekretarus Negara ketika Gus Dur mejabat sebagai Presiden. Ketertarikannya dengan dunia Intelektual, nampak sewaktu masih remaja, ketika ia sangat mengagumi sosok A. Hassan. Bahkan sampai ia berniat untuk mendaftar menjadi anggota Persis.

Pemikirannya kemudian berkembang ketika ia hijrah ke Jogja, sampai melanjutkan studi di IAIN Yogyakarta (Sekarang UIN Jogja). Djohan kemudian dikenal sebagai pemikir inklusif. Salah satu pendapatnya yang sempat menuai kontroversi adalah ketika ia membela Ahmadiyah, dan mengatakan bahwa Ahmadiyah memiliki hak yang sama sebagaimana warga negara Indonesia secara umum.

Perjuangannya dalam merajut perdamaian lintas iman diwujudkan dengan ikut serta mendirikan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) bersama beberapa tokoh lain. Djohan pindah ke Australia setelah kepergian sang Istri. Disana ia tinggal bersama ketiga anaknya, sampai pada akhir hayat.

Djohan dimakamkan di Werribe Cametary, sebuah komplek pemakaman yang terletak sekitar 32 Kilometer dari pusat kota Melbourne.. Kepergian Djohan Effendy tentu menjadi kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, mengingat perannya selama ini sebagai aktivis perdamaian. Selamat Jalan Pak Djohan. [red.s]

Jumat, 17 November 2017

Mengenal Sukarni Lebih Dekat


(Rumah Keluarga Sukarni di desa Sumberdiren, Kec. Garum, Kab. Blitar)

Sebagai tokoh bangsa, sosok Sukarni sangat lekat dengan peristiwa Rengasdengklok. Ia termasuk dari tokoh muda kala itu, yang mendesak Soekarno-Hatta untuk lekas memproklamirkan kemerdekaan. Namun Sukarni memiliki rekam jejak dalam bidang pergerakan, politik dan pemerintahan yang patut dibaca lebih mendalam.

Masa Kecil dan Remaja

Lahir dengan nama Sukarni Kartodiwirjo, 14 Juli 1916 di desa sumberdiren kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, dari pasangan Kartodiwirjo dan Supiah. Sukarni adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara.

Ayahnya, Kartodiwirjo adalah pemilik jagal sapi, yang menjual daging di pasar Garum, yang masih keturunan Eyang Onggomerto, salah satu prajurit Pangeran Diponegoro. Sehingga, dibandingkan pribumi lain kala itu, kehidupan Sukarni terbilang berkecukupan.

Menurut Ki Purwanto, Budayawan Blitar, eyang Onggomerto lebih dikenal sebagai tabib, karena selain bagian dari Laskar Diponegoro, Eyang Onggomerto juga memiliki keahlian dalam bidang pengobatan, terutama mengobati prajurit yang terluka karena perang.




Sejak masih SR (Sekolah Rakyat) sampai MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau setingkat Sekolah Menengah, Sukarni memang sering membuat masalah dengan Belanda, termasuk seringnya mengajak bertengkar anak-anak Belanda.

Pernah ia menantang duel anak-anak Belanda di dekat Kebun raya Blitar (sekarang Kebonrojo), dan pihak yang kalah harus diceburkan ke kolam dekat mereka duel tersebut. Karena terus berulah, Sukarni kemudian dikeluarkan dari MULO.

Keluar dari MULO, ia kemudian disekolahkan ke Yogyakarta. Disana Ia dididik oleh seorang guru bernama Moh. Anwar, pendiri Mardisiswo dari Banyumas, yang juga tokoh Pergerakan nasional. Mardisiswo adalah sebuah lembaga Pendidikan semacam Taman Siswa kala itu, yang mengajarkan tentang nasionalisme dan kebangsaan.

Di usia yang masih belasan tahun ia bergabung dalam sebuah Partai Politik bernama Partindo (Partai Indonesia) dan atas rekomendasi Ibu Sukarmini (atau lebih dikenal dengan nama Ibu Wardoyo) dikirim ke Bandung untuk mengikuti kursus Perkaderan Politik. Disinilah ia bertemu dengan Soekarno yang kala itu menjadi mentor.

Di Bandung, selain mengikuti Perkaderan Politik, Sukarni juga sekolah Jurnalistik di Universitas Rakyat. Dari sinilah wawasan Kejurnalistikannya terasah, sehingga pada kemudian hari bekerja di Lembaga berita Antara bersama Adam Malik, dkk.

Di Bandung, Sukarni indekos di rumah Bu Inggit, Istri Soekarno. Menurut Kiswoto, keponakan Sukarni, sebenarnya antara Bung Karno dan Bung Karni tidak memiliki hubungan kekerabatan. Hanya karena kedekatan keluarga Pak Karto dengan Ibu Wardoyo kala itu.

Hubungan Sukarno dan Sukarni pun akhirnya nampak unik, mungkin karena sama-sama putra Blitar dan sekaligus memiliki nama yang hampir serupa.

Dalam kursus perkaderan politik ini pula, Sukarni berkenalan dengan teman sejawat yang kemudian juga dikenal sebagai tokoh pergerakan Indonesia seperti Wikana, Asmara Adi, dan SK Trimurti.

Sekembalinya dari Bandung, ia mendirikan Organisasi Persatuan Pemuda Kita yang masih satu jaringan dengan Indonesia Muda. Indonesia Muda adalah organisasi kepemudaan yang menyebar ke berbagai daerah, termasuk di Blitar waktu itu. Organisasi ini mendidik anak-anak muda tentang pentingnya nasionalisme, yang salah satu gerakannya menentang pemerintahan kolonial Belanda.

Karena namanya sudah dikenal secara luas, Sukarni yang kala itu menjadi Ketua Cabang Indonesia Muda Blitar, pada tahun 1935 berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda (PBIM).

Masa Perjuangan Menghadapi Pemerintahan Kolonial

Karena masifnya gerakan Indonesia Muda, maka Belanda pun menjadi resah dan terus memantau aktivitasnya. Sampai pada tahun 1936, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) bentukan Belanda melakukan penggrebekan di kantor PBIM, karena dianggap membahayakan.

Informasi penggrebekan tersebut sudah diketahui Sukarni sebelumnya, sehingga ia bisa melarikan diri. Sampai pada masa terakhir kekuasaan Belanda, Sukarni hidup dalam pelarian. Mulanya ia lari ke Kediri, lalu ke Banyuwangi dan kemudian menyebrang ke Kalimantan.

Sayang ia tertangkap di Balikpapan dan dipenjara di Samarinda tahun 1941. Pengadilan kemudian memutuskan ia dibuang ke Boven Digul, Papua. Namun dalam masa tunggu ia dipenjara di Garut, Jawa Barat. Belum sampai dieksekusi ke Boven Digul, kekuasaan Belanda jatuh ke tangan Jepang dan Sukarni kemudian dibebaskan.

Meski begitu, keinginan besar Sukarni agar negara Indonesia merdeka tidak pernah surut, apalagi setelah tahu betapa kejamnya Pemerintahan kolonial Jepang. Setelah bebas, ia bekerja di kantor berita antara yang didirikan Adam Malik. Sebelumnya, ia juga sempat bekerja di Sendenbu (departemen propaganda) Pada masa itulah ia berkenalan dengan Tan Malaka, tokoh pergerakan yang sangat mempengaruhi alam berfikirnya.

Aktivitasnya di dunia pergerakan juga terus bergelora. Pada tahun 1943, bersama Chaerul Shaleh ia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Tempat ini kemudian menjadi salah satu basis pergerakan anak muda kala itu, dan melahirkan banyak tokoh penting angkatan 45. Tempat itu sekarang bernama gedung joeang.

Jepang pun memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia, dengan membentuk BPUPKI, yang merupakan hasil dari kongres pemuda seluruh Jawa pada 16 Mei 1945 yang diprakarsai Angkatan Muda Indonesia. Kongres tersebut melahirkan dua resolusi yaitu mempersatukan pemuda di bawah pimpinan nasional dan mempercepat proklamasi kemerdekaan.

Namun kubu Sukarni nampak tidak puas karena masih ada campur tangan pihak Jepang. Hal tersebut didukung oleh dua kawannya, Harsono Tjokroaminoto yang juga putra H.O.S Tjokroaminoto dan Chaerul Shaleh. Mereka pun menyiapkan gerakan muda tandingan melalui pertemuan rahasia 3 dan 15 Juni 1945, yang mana pada pertemuan ini dibentuklah Gerakan Angkatan Baru Indonesia.

Gerakan tersebut berjumlah 80 orang dari berbagai unsur, termasuk dari pihak Jepang, golongan Cina, Arab dan Peranakan Eropa. Tanpa sepengetahuan golongan tua dan BPUPKI, mereka melakukan berbagai kampanye dan propaganda agar kemerdekaan Indonesia sepenuhnya lepas dari campur tangan Jepang.

Sementara itu, Kekuatan Militer Jepang semakin melemah karena perang dunia II. Disatu sisi pihak Indonesia, terutama BPUPKI terus mendesak agar ada perundingan lebih lanjut soal Proklamasi Kemerdekaan. Namun justru Jepang membubarkan BPUPKI dan menggantinya dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai oleh Soekarno, sementara Hatta sebagai wakil dan Ahmad Subarjo sebagai Penasehat.

Golongan muda semakin tak percaya dengan Jepang dan terus melakukan gerakan yang radikal. Apalagi setelah Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto mengatakan bahwa PPKI juga dipilih oleh Jenderal Besar Terauci, sehingga Soekarno-Hatta diundang ke Dalat Vietnam Selatan untuk pengangkatan.

Keinginan kaum muda itu semakin berkobar setelah tahu bahwa Jepang kalah dalam perang dunia II dan menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945. Sementara Soekarno-Hatta baru kembali dari Vietnam dan belum mengetahui kabar tersebut.

Kaum muda pimpinan Sukarni, didukung oleh pergerakan bawah tanah pimpinan Sutan Syahrir, kemudian mendesak agar Proklamasi dipercepat, sebelum Indonesia dikuasai oleh sekutu yaitu Inggris dan Amerika. Hal ini berkaca pada pengalaman ketika Belanda kalah dari Jepang dan dengan cepat Indonesia dikuasai Jepang, meskipun taktik Jepang waktu itu sebagai suadara tua.

Golongan muda pun mengutus Wikana dan Darwis untuk menyampaikan hal tersebut kepada Soekarno-Hatta. Sekitar pukul 22.30 keduanya menemui Soekarno. Disana ada Moh. Hatta, dr. Buntaran, dr. Samsi, Mr. Ahmad Subarjo dan Iwa Kusumaningrat.

Golongan muda mendesak malam itu juga lekas diadakan Proklamasi, namun golongan tua menolak, karena besok harinya baru akan diadakan rapat PPKI. Menurut Ki Purwanto, kala itu terjadi ketegangan antara golongan tua, terutama tim PPKI dengan golongan muda. Bahkan Wikana mengancam akan terjadi pertumpahan darah, namun Soekarno justru menantang dan menyerahkan lehernya jika ingin menghabisinya.

Golongan muda ingin Indonesia lekas merdeka tanpa campur tangan Jepang, sementara golongan tua anggota PPKI yang diketuai Soekarno tetap ingin menghormati hasil perundingan dengan pihak Jepang. Sehingga rapat bersama tanggal 16 Agustus tersebut perlu diadakan.

Karena mengalami kebuntuan, dan khawatir PPKI akan dicurangi Jepang, maka golongan muda melakukan tindakan sangat radikal dengan menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya untuk mengamankan Soekarno-Hatta dan agar terhindar bisikan dari Jepang untuk menunda Proklamasi.

Masih menurut Ki Purwanto, tindakan ini sengaja dilakukan untuk memecah suara PPKI atau agar rapat PPKI tidak bisa berjalan. Shudanco Singgih mendapatkan tugas “penculikan” tersebut dibantu oleh Cudanco Latief Hendraningrat yang kala itu sedang menggantikan Daidanco Kasman Singodimedjo yang juga merupakan anggota PPKI.

Pertemuan PPKI pun tanpa dihadiri oleh Soekarno-Hatta, sehingga membuat anggota lain bertanya-tanya. PPKI kemudian diwakili oleh Ahmad Subarjo dan meminta kaum muda agar memulangkan Soekarno-Hatta, namun golongan muda menolak, sampai Ahmad Subarjo kemudian menegaskan, bahkan mempertaruhkan nyawanya bahwa Proklamasi akan dilaksanakan selambat-lambatnya besok pukul 12.00.

Karena jaminan tersebut Soekarno-Hatta pun dikembalikan ke Jakarta dan hari itu juga Proklamasi dipersiapkan, salah satu yang paling penting adalah naskah proklamasi. Soekarno ingin semua yang terlibat menandatangani naskah tersebut, namun Sukarni memberi usul cukup diwakilkan Soekarno-Hatta saja.

Soekarno sempat menolak sampai akhirnya forum menyepakati hal tersebut. Setelah itu, Soekarno-Hatta pun memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Soekarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia, sebagaimana usul dari Sukarni.

Kiprah Pasca Kemerdekaan

Peran penting Sukarni selepas kemerdekaan antara lain membentuk Comite van aksi sehari setelah kemerdekaan yang bertujuan mengabarkan kemerdekaan ke seluruh pelosok Indonesia. Melalui jaringannya di kalangan pemuda, dibentuklah Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan karena sebagian besar rakyat Indonesia kala itu sebagai buruh, maka dibentuk pula Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang kemudian melahirkan Laskar Buruh dan Laskar Buruh Wanita.

Pada 3 September 1945 ia menginisiasi pengambilalih jawatan Kereta Api, bengkel manggarai, stasiun-stasiun kereta api, angkutan umum, dan stasiun radio yang sebelumnya dikuasahi oleh Jepang, sehingga fasilitas publik tersebut menjadi milik Republik Indonesia.

Ia juga salah satu aktor yang menggelar rapat raksasa di lapangan Ikada yang dihadiri ribuan warga. Rapat ini terjadi 19 September 1945, sebagai bentuk dukungan rakyat terhadap kemerdekaan sekaligus menunjukkan ke dunia International bahwa Indonesia telah sah sebagai negara yang merdeka.

Tahun 1946 Sukarni terpilih menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) dibawah Tan Malaka, yang mana ia sangat keras menentang perundingan antara RI dengan Belanda. Karena sikapnya inilah ia dipenjara, meski tidak berlangsung lama.

Setelah kemerdekaan, Sukarni beberapa kali pulang ke kampung halamannya di Blitar. Menurut Keponakannya, Kiswanto, yang juga putra dari Suparti, adik kandung Sukarni, Sukarni biasanya pulang pada hari raya idul fitri. Kegiatan yang pasti dilakukan ketika pulang adalah berziarah ke makam orang tuanya, yang berjarak sekitar 3,5 kilometer dari rumahnya.

Waktu itu Kiswanto masih kecil dan sering menemani Sukarni berziarah ke makam Orang tua. Yang menarik, Sukarni lebih memilih jalan kaki, sembari membawa sembako atau uang untuk dibagikan kepada warga yang kurang mampu ketika bertemu di jalan.

Pada awal kemerdekaan, setiap kali pulang ke Blitar Sukarni masih sering diincar Belanda yang kala itu berhasrat untuk menguasahi kembali. Karena itu Sukarni tidak pernah tenang, dan harus bersembunyi. Kalau di Blitar, Sukarni sering menepi di lereng gunung kelud untuk menghindari Belanda.

Ketika bersembunyi tersebut, Sukarni sering mendapati penjual minyak tanah yang dipanggul dan lalu menjualkannya, sementara pemiliknya diminta mengikuti dari belakang. Tak hanya penjual tanah, begitu pun dengan penjual klotong. Dahulu banyak yang berjualan dengan cara dipanggul lalu berkeliling jalan kaki.

Selain itu, hal yang selalu dirindukan Sukarni tiap kali pulang ke Blitar adalah pecel. Ia selalu meminta keponakannya untuk membelikan pecel sebagai menu sarapan pagi. Hal-hal unik inilah yang selalu dikenang Kiswanto, tiap kali mengingat sosok Pamannya tersebut.

***
Hubungan dekatnya dengan Tan Malaka kemudian membuahkan sebuah gagasan bersama untuk mendirikan Partai Politik yang disebut Partai Murba (Musyawarah rakyat banyak) tahun 1948. Tokoh lain yang juga terlibat pendirian Partai ini adalah Adam Malik dan Chaerul Shaleh. Namun Tan Malaka menghilang 3 bulan setelah Partai berdiri, yang konon ditembak mati di Kediri.

Sementara Sukarni duduk sebagai ketua Umum. Partai Murba mengikuti dua kali Pemilu di tahun 1955 dan 1971. Partai Murba termasuk salah satu yang menentang PKI waktu itu, dan berselisih paham tentang peristiwa 1926/1927 sejak era Muso. Bahkan Tan Malaka pernah terlibat perdebatan sengit dengan Muso.

Ki Purwanto menjelaskan, meski sama-sama berhaluan Sosialis, namun Partai Murba dan juga Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir lebih bercorak humanis. Sementara PKI sangat ekstrem, sampai hendak mempersenjatai para buruh dan petani.

Karir politiknya berlanjut, setelah pada pemilu 1955 ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante, lalu menjadi diplomat sebagai duta besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia dari tahun 1961-1964. Salah satu keberhasilan Sukarni sebagai dubes adalah meyakinkan Tiongkok untuk mengakui Irian barat sebagai bagian dari NKRI.

Suhu politik memanas ketika Sukarni kembali ke Indonesia. Waktu itu ia melihat betapa kuatnya PKI dan betapa condongnya Soekarno kepada Partai yang dipimpin D.N Aidit tersebut. Sukarni kemudian menemui Soekarno di Istana Bogor dan memperingatkan agar Soekarno jangan terlalu dekat dengan PKI.

Ternyata Soekarno tidak berkenan, Partai Murba bersama Partai lain termasuk diantaranya Masyumi dan PSI, dibekukan dan tokoh-tokohnya dipenjara termasuk Sukarni. Selama sisa kekuasaan Soekarno, Sukarni mendekam di penjara dan baru dibebaskan setelah gejolak 1965 mereda.

Namun menurut Dr. Emalia, yang juga anak bungsu Sukarni, ketika di Bui itulah Sukarni justru selamat dari penculikan yang ditengarai dilakukan oleh PKI. Waktu itu ada dua tentara Tjakrabirawa yang hendak menjemput Sukarni di dalam penjara, namun gagal karena penjagaan dari Polisi militer.

Pada waktu itu sosok Sukarni tentu sangat penting karena ia pernah mejabat sebagai duta besar untuk Tiongkok, yang merupakan salah satu negara komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet. Tentu Sukarni memiliki banyak informasi terkait gerakan Komunis global.

Partai Murba pun direhabilitasi kembali, dan Sukarni diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai penasehat Presiden Soeharto pada 1967. Ki Purwanto menjelaskan, diangkatnya Sukarni menjadi DPA, selain karena kedekatannya dengan Adam Malik yang saat itu mejabat Wakil Presiden, juga karena Sukarni menjadi salah satu deklarator fusi partai politik.

Di tahun tersebut, Sukarni kehilangan istri tercinta, Nursjiar Machmoed. Perempuan minang tersebut meninggalkan Sukarni dan lima orang anak. Sukarni sendiri meninggal di usia 54 tahun pada 7 Mei 1971 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Menurut informasi dari keluarga, Sukarni meninggal karena serangan jantung.

Pada tanggal 7 November 2014, Sukarni mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu nama Sukarni sangat layak mendapatkan gelar ini, mengingat kiprahnya dalam mendidik anak-anak muda, serta sumbangsihnya dalam mengabarkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. []

Blitar, 10 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Sumber tulisan :

Wikipedia
Pahlawancenter.com
Tempo.co
Buku Banjaran Bung Karni Karya Ki Purwanto
Wawancara dengan Ki Purwanto
Wawancara dengan Kiswanto, Keponakan Sukarni


(Foto bersama Pak Suprianto, penjaga rumah keluarga Sukarni)

Minggu, 05 November 2017

Lebih Dekat Mengenal Sukarni



Sebagai tokoh bangsa, sosok Sukarni sangat lekat dengan peristiwa Rengasdengklok. Ia termasuk dari tokoh muda kala itu, yang mendesak Soekarno-Hatta untuk lekas memproklamirkan kemerdekaan. Namun Sukarni memiliki rekam jejak dalam bidang pergerakan, politik dan pemerintahan yang patut dibaca lebih mendalam.

Lahir dengan nama Sukarni Kartodiwirjo, 14 Juli 1916 di desa sumberdiren kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Sukarni kecil dikenal hobi berkelahi dengan anak-anak Belanda. Ia sendiri lahir dari keluarga yang cukup berada, dan mendapat pendidikan yang baik.

Ia dididik oleh seorang guru bernama Moh. Anwar, pendiri Mardisiswo. Mardisiswo adalah sebuah lembaga Pendidikan semacam Taman Siswa kala itu, yang mengajarkan tentang nasionalisme dan kebangsaan. Karena itulah sejak kecil ia paham siapa Belanda, yang saat itu menjajah bumi pertiwi.

Di usia yang masih belasan tahun ia bergabung dalam sebuah Partai Politik bernama Partindo (Partai Indonesia) dan dikirim ke Bandung untuk mengikuti kursus Perkaderan Politik. Disinilah ia bertemu dengan Soekarno yang kala itu menjadi mentor. Soekarno yang sudah bergelar Insinyur memang dikenal sebagai tokoh pergerakan yang ulung, dan dipuja banyak orang.

Dalam kursus perkaderan politik ini, Sukarni berkenalan dengan teman sejawat yang kemudian juga dikenal sebagai tokoh pergerakan Indonesia seperti Wikana, Asmara Adi, dan SK Trimurti.

Sekembalinya dari Bandung, ia mendirikan Organisasi Persatuan Pemuda Kita yang masih satu jaringan dengan Indonesia Muda. Indonesia Muda adalah organisasi kepemudaan yang menyebar ke berbagai daerah, termasuk di Blitar waktu itu. Organisasi ini mendidik anak-anak muda tentang pentingnya nasionalisme, yang salah satu gerakannya menentang pemerintahan kolonial Belanda.

Sukarni kemudian terus melanjutkan Pendidikan ke Yogyakarta, sampai merantau ke Jakarta, dan pada tahun 1934 berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda (PBIM). Karena masifnya gerakan Indonesia Muda, maka Belanda pun menjadi resah dan melakukan penggrebekan di kantor PBIM tahun 1936.

Informasi penggrebekan tersebut sudah diketahui Sukarni sebelumnya, sehingga ia bisa melarikan diri. Sampai pada masa terakhir kekuasaan Belanda, Sukarni hidup dalam pelarian. Mulanya ia lari ke Kediri, lalu ke Banyuwangi dan kemudian menyebrang ke Kalimantan.

Sayang ia tertangkap di Balikpapan dan dipenjara di Samarinda. Pengadilan kemudian memutuskan ia dibuang ke Boven Digul, namun dalam masa tunggu ia dipenjara di Garut, Jawa Barat. Belum sampai dieksekusi ke Boven Digul, kekuasaan Belanda jatuh ke tangan Jepang dan Sukarni kemudian dibebaskan.

Meski begitu, keinginan besar Sukarni agar negara Indonesia merdeka tidak pernah surut, apalagi setelah tahu betapa kejamnya kolonial Jepang. Setelah bebas, ia bekerja di kantor berita antara yang didirikan Adam Malik. Pada masa itulah ia berkenalan dengan Tan Malaka, tokoh pergerakan yang sangat mempengaruhi alam berfikirnya.

Aktivitasnya di dunia pergerakan juga terus bergelora. Pada tahun 1943, bersama Chaerul Shaleh ia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Tempat ini kemudian menjadi salah satu basis pergerakan anak muda kala itu, dan melahirkan banyak tokoh penting angkatan 45.

Setelah menyerahnya Jepang kepada kelompok Sekutu, golongan muda pimpinan Sukarni pun mengadakan rapat, hasil rapat tersebut mendesak segera diProklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini juga didukung pergerakan bawah tanah yang dipimpin Sutan Syahrir.

Sukarni mengusulkan nama Soekarno-Hatta sebagai wakil dari Bangsa Indonesia, yang kemudian tertulis dalam teks proklamasi. Meski awalnya permintaan tersebut ditolak dan terjadilah perdebatan sengit antara golongan tua dan muda, sampai akhirnya Soekarno-Hatta diculik ke Rengasdengklok agar terhindar bisikan dari pihak Jepang untuk menunda Proklamasi.

Setelah itu, Soekarno-Hatta pun memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Soekarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia, sebagaimana usul dari Sukarni.

Kiprah Pasca Kemerdekaan

Peran penting Sukarni selepas kemerdekaan antara lain membentuk Comite van aksi sehari setelah kemerdekaan yang bertujuan mengabarkan kemerdekaan ke seluruh pelosok Indonesia. Melalui jaringannya di kalangan pemuda, dibentuklah Angkatan Pemuda Indonesia (API) dan karena sebagian besar rakyat Indonesia kala itu sebagai buruh, maka dibentuk pula Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang kemudian melahirkan Laskar Buruh dan Laskar Buruh Wanita.

Pada 3 September 1945 ia menginisiasi pengambilalih jawatan Kereta Api, bengkel manggarai, stasiun-stasiun kereta api, angkutan umum, dan stasiun radio yang sebelumnya dikuasahi oleh Jepang, sehingga fasilitas publik tersebut menjadi milik Republik Indonesia.

Ia juga salah satu aktor yang menggelar rapat raksasa di lapangan Ikada yang dihadiri ribuan warga. Rapat ini terjadi 19 September 1945, sebagai bentuk dukungan rakyat terhadap kemerdekaan sekaligus menunjukkan ke dunia Internasional bahwa Indonesia telah sah sebagai negara yang merdeka.

Tahun 1946 Sukarni terpilih menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), yang mana ia sangat keras menentang perundingan antara RI dengan Belanda. Karena sikapnya inilah ia dipenjara, meski tidak berlangsung lama.

Hubungan dekatnya dengan Tan Malaka kemudian membuahkan sebuah gagasan bersama untuk mendirikan Partai Politik yang kemudian disebut Partai Murba (Musyawarah Orang Banyak) tahun 1948. Tokoh lain yang juga terlibat pendirian Partai ini adalah Adam Malik dan Chaerul Shaleh. Namun Tan Malaka menghilang 3 bulan setelah Partai berdiri, yang konon ditembak mati.

Sementara Sukarni duduk sebagai ketua Umum. Partai Murba mengikuti dua kali Pemilu di tahun 1955 dan 1971. Partai Murba termasuk salah satu yang menentang PKI waktu itu, dan berselisih paham dengan peristiwa 1926/1927 era Muso. Bahkan Tan Malaka terlibat perdebatan sengit dengan Muso.

Karir politiknya berlanjut, setelah pada pemilu 1955 ia terpilih menjadi anggota Dewan Konstituante, lalu menjadi diplomat sebagai duta besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia dari tahun 1961-1964. Salah satu keberhasilan Sukarni sebagai dubes adalah menyakinkan Tiongkok untuk mengakui Irian barat sebagai bagian dari NKRI.

Suhu politik memanas ketika Sukarni kembali ke Indonesia. Waktu itu ia melihat betapa kuatnya PKI dan betapa condongnya Soekarno kepada Partai yang dipimpin Aidit tersebut. Sukarni kemudian menemui Soekarno di Istana Bogor dan memperingatkan agar Soekarno jangan terlalu dekat dengan PKI.

Ternyata itu berbuntut panjang. Partai Murba bersama Partai lain termasuk diantaranya Masyumi dan PSI, dibekukan dan tokoh-tokohnya dipenjara termasuk Sukarni. Selama sisa kekuasaan Soekarno, Sukarni mendekam di penjara dan baru dibebaskan pada masa orde baru.

Tidak hanya itu, Partai Murba pun direhabilitasi kembali, dan Sukarni diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sebagai penasehat Presiden Soeharto. Sukarni meninggal di usia 54 tahun pada 7 Mei 1971 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Pada tanggal 7 November 2014, Sukarni mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Tentu nama Sukarni sangat layak mendapatkan gelar ini, mengingat kiprahnya dalam mendidik anak-anak muda, serta sumbangsihnya dalam mengabarkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, meski sering kali harus merasakan kerasnya jeruji besi karena berbeda pendapat dengan penguasa. []

Blitar, 4 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

: dari berbagai sumber

Jumat, 03 November 2017

Berita Buruk yang Membentuk Diri Kita



Doktrin yang paling saya tidak suka dari jurnalisme adalah "bad news is good news". Artinya akan jadi kabar gembira jika terjadi perampokan bank, begal, kecelakaan beruntun, korupsi, manusia dimutilasi, dan kegetiran lain yang menyesakkan dada.

Pada satu sisi hal semacam itu memang dibutuhkan, terutama dalam rangka mendidik masyarakat agar lebih hati-hati.

Tapi dilain hal membuat seorang wartawan jadi sosok anomali ; senang melihat peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Karena bad news sangatlah bombastis.

Lebih menarik memberitakan pelajar tawuran sampai jatuh korban jiwa, ketimbang memberitakan pelajar yang sukses memenangkan olimpiade.

Atau, lebih asyik memberitakan video mesum mahasiswi ketimbang prestasi anak-anak kampus yang mustinya terus diberitakan agar menyebar dan menginspirasi.

Memang pada fungsinya pers sebagai wahana kontrol sosial. Jadi berfungsi memberitakan permasalahan publik, untuk kemudian ditindak lanjuti oleh pihak berwenang.

Seperti jalan bolong, jembatan rapuh, bikin KTP ribet, parkir liar yang meresahkan, pungli di dinas tertentu, dst.

Namun porsi pemberitaan lain, yang positif-inspiratif, sangatlah minim. Itulah kenapa acara semacam Kick Andy menjadi primadona, sebab tayangan seperti itu jumlahnya sangat sedikit.

Sementara berita yang menyajikan informasi pembunuhan, perampokan, korupsi, maling ayam, narkotika, tawuran, peradilan sesat, seks bebas, dsj sangat bejibun. Bahkan hampir setiap berita tak luput dari informasi yang semacam itu.

Jadi tak heran jika fikiran kita kemudian sangat negatif jika memandang realitas. Karena dijejali dan dikonstruk oleh bad news yang sering kita dengar, baca, dan saksikan di media.

Padahal good news is good news. Bad news is bad news. Negara seperti Jepang menjadi sangat dipuja-puja, sebab yang sering kita tahu yang positif saja. Sehingga kerap kali menjadi perbandingan dengan negara kita, dan sedihnya kita merendahkan bangsa sendiri.

Jika pada akhirnya rasa percaya diri seseorang atau suatu bangsa tergantung pada stigma dan bagaimana cara orang lain memandang dirinya, maka media massa berpengaruh sangat besar. Kita perbanyak lagi tayangan yang positif, atau talk show inspiratif lainnya. 

Blitar, 4 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Kamis, 02 November 2017

Gus Dur, diantara Khofifah dan Gus Ipul



Figur Gus Dur sangat melekat pada dua sosok ini. Gus Ipul yang memang keponakan Gus Dur, sementara Khofifah sering disebut "anak ideologis" Gus Dur.

Sewaktu hampir lulus Aliyah, Gus Dur bertanya hendak melanjutkan kemana? Gus Ipul menjawab ingin jadi guru. Gus Dur lalu mengatakan kalau Gus Ipul tidak cocok jadi guru, dan kemudian diajaklah ke Jakarta.

Sampai kemudian Gus Ipul menjadi Politisi besar seperti sekarang ini. Pernah menjadi anggota DPR RI dari FPDIP, Menteri, sampai Sekjend PKB.

Beda halnya dengan Khofifah, sejak remaja ia sudah mengagumi Gus Dur lewat esai-esai di media massa, sampai akhirnya bisa bertemu pada sebuah forum seminar di tahun 1992.

Khofifah juga lah yang menyiapkan berkas-berkas pencalonan Gus Dur sebagai Presiden, yang pada akhirnya Gus Dur menang dalam voting di Parlemen mengalahkan Megawati.

Bagi Gus Dur, keduanya adalah anak emas. Meski selalu berkontestasi dalam arena politik. Tahun ini sepertinya juga demikian, bahkan lebih sengit. Sebab sama-sama Calon Gubernur.

Pada sisi lain, ini juga menunjukkan betapa hebatnya Gus Dur "membesarkan orang". Dibalik nama besarnya, ada nama-nama lain yang juga bermunculan.

Namun figur Gus Dur juga tidak lepas dari kontroversi, dan sepertinya itu konskwensi. Sebagaimana Buya Syafii Maarif di Muhammadiyah.

Buya juga sering pasang badan "melindungi" anak-anak mudanya, terutama yang sedang berdiaspora ke berbagai Universitas di dunia. Tak jarang bermunculan caci maki, bahkan dari kader dan warganya sendiri.

Insyaallah tulisan khusus tentang keduanya akan saya buat tersendiri.

***
Antara Khofifah dan Gus Ipul, keduanya adalah tokoh yang brilian. Sehingga, bagi warga Nahdliyin, entah Khofifah atau Gus Ipul yang nantinya menjadi Gubernur, mungkin itu bukan persoalan.

Meski barangkali tetap ada ketegangan politik, namun tidak akan sekeras di DKI Jakarta.

Jika akhirnya mentok dua pasang saja, sebagai warga Jatim, yang nantinya juga memiliki hak suara, tak ada salahnya untuk berkata, mungkin kini saatnya Bu Khofifah, setelah sekian lamanya. []

Blitar, 3 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com


Rabu, 01 November 2017

Mengoleksi Buku Bacaan



Tiap orang biasanya punya hobi mengoleksi sesuatu, atau hobi-hobi lain yang selalu ia upayakan untuk terlaksana, meskipun berbiaya mahal.

Mengoleksi buku bisa jadi salah satu kegemaran yang unik. Disamping hobi mengoleksi lain, seperti mengoleksi perangko, amplop, koin, sampai barang-barang antik.

Kegemaran tersebut disatu sisi juga bisa menjadi sumber pendapatan. Bahkan bagi mereka yang hobi membaca, atau mengoleksi buku, tak sedikit pula yang terjun dalam jual beli buku, termasuk buku-buku jadul.

Tak sedikit pula teman-teman penulis, atau pegiat literasi, yang kemudian mendirikan penerbitan atau toko buku sendiri. Apalagi jika melihat ketimpangan harga.

Entah karena apa buku-buku yang terpajang dalam etalase toko buku tersebut harganya sungguh melangit. Mungkin karena harga dihitung dari biaya cetak, pajak, royalty penulis, biaya distribusi sampai bagi hasil antara penerbit dan toko buku.

Andai kita tahu harga dasar cetaknya, bahwa harga sangat bergantung dari jumlah eksemplar. Buku baru di toko-toko buku, harga dasarnya bisa setangah atau bahkan seperempat.

Maka buku-buku sisa, yang kemudian diobral dalam bazar buku murah, bisa jadi diambil harga dasarnya. Artinya penerbit ya tetap untung. Atau diobral murah sekali, karena biaya percetakan plus keuntungan sudah ter-cover.

Namun meski begitu, tetap saja ada yang punya hobi mengoleksi buku, sehingga bukunya menumpuk dan tertata rapi pada rak, yang kemudian bisa menjadi penghias ruangan.

Sama halnya dengan kolektor lain, umumnya barang koleksinya juga akan menjadi pajangan, hiasan penambah rasa suasana.

Buku juga begitu. Ada satu kesan, prestise, atau perasaan bangga tersendiri ketika seseorang memiliki koleksi buku, apalagi jumlahnya sampai banyak dan memenuhi ruang tamu, kerja, atau kamar tidur.

Namun buku bukan sekedar benda pajangan, buku punya isi, yang seharusnya tidak sekedar jadi pajangan. Karena buku untuk dibaca.

Namun nyatanya tidak semua kolektor buku itu suka membaca. Aneh, tapi begitu lah faktanya. Mereka hanya tau trend buku yang tengah hits, atau buku-buku antik, kemudian memburunya dan pada waktu-waktu tertentu melelangnya.

Buku-buku lawas, dan apalagi yang punya nilai antik, seperti naskah La Galigo, akan punya nilai tersendiri. Atau koran/majalah lama yang cetakannya masih sederhana.

Buku-buku yang kita koleksi hari ini, pada saatnya nanti sangat mungkin menjadi antik dan langka. Apakah semua buku-buku tersebut sempat kita baca atau tidak, itu soal lain.

Mungkin orang lain yang akan membacanya, kerabat, anak, cucu, cicit dst. Buku-buku tersebut, selain menjadi hiasan di ruang tamu, juga akan menjadi warisan tersendiri.

Buku-buku tersebut, akan terus mengaliri kehidupan, mengikat pengarangnya. Memberikan tambahan wawasan, persepsi, empati. Barangkali yang semacam itu ada gunanya. []

Blitar, 2 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz


Selasa, 31 Oktober 2017

Peluang Kopimas, di Pilgub Jatim



Jika terealisasi, duet Khofifah-Masfuk atau belakangan disebut Kopimas, akan menjadi semacam duet/koalisi NU-Muhammadiyah. Mungkin bisa menyaingi "duet merah putih" Gus Ipul-Azwar Anas.

Duet ini tentu akan sangat unik, meski kalkulasi politik mungkin agak menyulitkan keduanya untuk berpasangan.

Khofifah sudah didukung partai Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP. Mungkin juga akhirnya Demokrat. Tentu partai-partai tersebut juga ingin ada kadernya yang ditempatkan sebagai Cawagub.

Meski Demokrat juga masih mungkin berkoalisi dengan Gerindra, PKS, atau PAN.

Belum lagi jika ada rekomendasi dari para Kyai, yang kecil kemungkinan akan memilih H. Masfuk, karena berbagai alasan, termasuk soal kultur ideologi.

Tapi apakah Khofifah masih sekuat dahulu? Hal ini perlu diperhatikan. Apalagi PKB, Gus Ipul, dan Azwar Anas secara kultur sangat dekat dengan NU. Azwar Anas juga tokoh muda NU Banyuwangi, dan pernah duduk sebagai anggota DPR RI FKB.

Dua periode Khofifah tumbang dalam arena Pilgub, padahal didukung PKB dan para Kyai. Kali ini pecahan suara itu nampak nyata, apalagi setelah PDIP merapat. Meskipun suara kaum nasionalis juga terpecah, karena ada sosok Sukarwo yang berlatar belakang GMNI.

Di kalangan NU, terutama di kalangan Ibu-ibu Muslimat, Khofifah memang masih sangat kuat. Tapi akan banyak isu yang menyerangnya, apalagi ketika akhirnya ia memutuskan mundur sebagai Menteri Sosial.

Gus Ipul yang kali ini maju sebagai Cagub, juga akan lebih kuat. Selain suara dari NU, juga suara lain dari HMI misalnya, sebab Gus Ipul juga tokoh HMI.

Sementara, figur H. Masfuk di kalangan Muhammadiyah sangatlah dikenal. Rekam jejak selama dua periode mejabat Bupati Lamongan, juga akan jadi catatan tersendiri.

Memang tidak ada yang bisa memastikan, sebagaimana NU, suara Muhammadiyah mungkin juga akan terpecah. Tapi sosok H. Masfuk secara kultural sangat kuat di Muhammadiyah.

Mungkin nama-nama lain yang sekedar populis juga lebih banyak. Anang Hermansyah misalnya, tapi tak banyak yang punya daya pikat secara kultural.

Duet Kopi-mas akan jadi sangat unik dan kompetitif, meski untuk mewujudkannya diperlukan keajaiban. []

Blitar, 1 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Senin, 30 Oktober 2017

Secarik Obrolan dengan Pak Umam



Perbincangan dengan Pak Choirul Umam secara tak terencana, sabtu (21/10) yang lalu memberikan satu bahasan yang menarik soal diferensiasi, terutama yang berkait dengan pelayanan KPU.

Sore itu saya bertemu dengan Ibnu membahas acara seminar literasi, sampai magrib menjelang kemudian ikut ke rumah Pak Umam.

Satu jam berselang, Mas Hanafi dan Sukma kemudian datang juga, memeriahkan perbincangan.

Pada mulanya perbincangan seputar Penyelenggaraan pemilu, atau hal-hal lain berkait dengan isu kontemporer. Sembari bertanya-tanya soal Sipol dan partai-partai baru yang mengikuti proses verifikasi.

Sipol, atau sistem informasi partai politik merupakan program terbaru yang digagas oleh KPU. Melalui sistem digital, maka bisa terlacak jika ada keanggotaan rangkap, selain fungsi utamanya untuk memberikan keterbukaan informasi terkait parpol peserta pemilu.

KPU tentu memiliki tugas berat, sebagai penyelenggara pemilu di negara demokrasi. Secara teknis-administratif, KPU punya peran sangat penting. Selain juga harus didukung oleh Masyarakat.

Sehingga keterbukaan informasi tentu sangat dibutuhkan, agar masyarakat secara luas bisa mengaksesnya. Namun menurut Pak Umam ada satu lagi yang perlu direalisasikan, yaitu Sistem Penyelenggara Pemilu, atau beliau menyingkatnya Sipalu.

Ide semacam ini tentu sangat menarik, untuk meminimalisir kemungkinan adanya rangkap jabatan jika penyelenggara pemilu sekaligus pengurus parpol, atau mereka yang sudah dua periode. Entah pada lingkup PPK, PPS, KPPS, dsb.

Sebuah lembaga akan terus berkembang, ketika ada inovasi program, yang tentu didukung oleh orang-orang kreatif di dalamnya, yang Pak Umam menyebutnya diferensiasi, atau pembeda dari yang lain.

Sejak lama juga Pak Umam menyampaikan ide-idenya untuk menggaet pemilih pemula, terutama pelajar SMA yang masuk usia 17 tahun, dengan misalkan memunculkan duta pemilih pemula, yang diseleksi dari perwakilan pelajar dan mahasiswa.

Ide-ide lain yang sangat praktis dan spesifik juga disampaikan, dari desain kaos, topi sampai mug. Beliau memang penuh ide. []

Blitar, 30 Oktober 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Ada Dana, Jalan?


Dahulu orang bertanya tentang Paguyuban Srengenge, yang dikiranya sejenis LSM atau NGO bonafit. Kalau sudah begitu saya jawab saja, ah cuma iseng-iseng kok itu Pak.


Iseng-iseng bagaimana? Andai dialog itu terjadi secara langsung, mungkin nampak raut kebingungan. Nah, apalagi saya, ya tambah bingung.


Mulanya Paguyunan Srengenge digunakan untuk memback up IMM Blitar, terutama dalam bidang wacana. Barangkali akan dijadikam semacam laboratorium pemikiran atau wacana.


Teramat sayang, ide besar tersebut urung terealisasi, mungkin apa karena kurang dana? Ah.


Kita bikin website kecil-kecilan di srengenge.id, yang saat ini dikunjungi sekitar 140ribuan dan mungkin diback link ke beberapa situs, soalnya beberapa artikel di srengenge.id juga diambil oleh situs lain.


Soal video Youtube? Jelas beberapa video bukan milik srengenge, meski hanya diupload oleh srengenge. Seperti beberapa seri diskusi Tadarus Pemikiran Islam, itu milik JIMM dan UMM, hanya yang mengapload adalah srengenge.


Namun sering kali orang mengaitkan. Padahal tidak terkait sama sekali, kita hanya "numpang tenar" dari tokoh-tokoh yang sudah tenar seperti Prof. Amin Abdullah, Prof. Muhadjir Effendy, tokoh-tokoh JIMM, atau Dr. Pradana Boy.


Untungnya srengenge ada Kang Khabib yang suka baca dan mengais-ngais bacaan lama, yang bagi orang lain mungkin hendak dikilokan dengan harga murah. Bacaan tersebut sebagian direview dan diposting ke website.


Dan disitulah letak keunikannya, yang sekaligus menjelaskan kalau srengenge itu ada.


Soal kenapa belum bisa jadi wahana diskusi dan pengayaan wacana, jelas bukan soal dana. Dana memang penting, dan mungkin teramat penting, tapi tidak bisa membeli waktu luang.


Yang jelas hanya dibutuhkan waktu luang untuk merealisasikan hal tersebut. Dan siapa mau menghabiskan waktu luangnya untuk mengkaji wacana yang ribet bin njelimet?


Apalagi yang sudah kadung mencebur dalam rutinitas nan pelik.


Dalam beberapa hal, keterampilan itu penting, dan bukan soal dana. Dana jelas sesuatu yang berbeda, dan memang itu dibutuhkan.


Saya juga bukan orang kaya, bahkan saat ini berstatus sebagai "mahluk transisi". Tapi punya sedikit lebih banyak waktu luang. Karena itu bisa ngurus komunitas, bisa diajak ngurus ini ngurus itu.


Agar kelak ketika ditinggalkan, bisa tetep jalan. Dan apalagi, kadang manusia tidak bisa merencanakan kapan ia punya cukup waktu luang.



Blitar, 28 September 2017

Ahmad Fahrizal Aziz


Minggu, 29 Oktober 2017

Satu Dusun Tiga Agama




Srengenge-Pustaka, Diakui oleh semua bahwa Indonesia adalah negara yang mempunya keragamanan yang sangat kaya. Keragaman yang dimiliki Indonesia itu bisa menjadi kekuatan budaya yang luar biasa, akan tetapi dengan keragaman itu, di Indonesia juga sangat berpotensi terjadinya konflik antar suku, agama, ras dan golongan. Sebagai contoh konflik tersebut adalah kasus yang terjadi di Ambon, Poso, Sambas, Papua dls. Pemahaman sikap saling toleransi antar agama sampai saat ini masih perlu terus menerus digalakkan. Di Indonesia pluralisme agama adalah keniscayaan empiris-sosiologis di Indonesia tidak hanya terdapat dalam skala makro
 
Walaupun banyak daerah yang sering terjadi konflik SARA, akan tetapi juga ada daerah yang bisa menjalin suasana damai antar pemeluk Agama. Di Lamongan misalnya, terdapat satu dusun yang penduduknya memeluk tiga  agama. Realitas kehidupan pemeluk tiga agama lahir dari proses sejarah panjang kemudian melahirkan dan mewariskan nilai-nilai yang dipertahankan sampai sekarang. Di tengah konflik keagamaan yang diproduksi dan di reproduksi oleh motif dan kepentingan politik ternyata tidak mempengaruhi kehidupan keagamaan di dusun tersebut. Hal ini didasarkan bahwa setiap tokoh keagamaan ini memahami bahwa berbagai problem kehidupan keagamaan dalam lanskap nasional muncul tidak diakibatkan oleh problem keyakinan teologis, namun akibat faktor politik dan juga ekonomi.

Buku Satu Dusun Tiga Agama: Studi Konstruksi Toleransi Keagamaan di Dusun Balun, Lamongan ini Meneliti tentang kehidupan keagamaan di tingkat desa, apalagi dusun, menggambarkan jangkauan atau horizon pemikiran unik baik secara subyektif maupun obyektif. Sebagai orang yang malang melintang di dunia Sosial kegamaa,  Dr. Sutikno, M.Si Secara obyektif memandang keberadaan tiga tempat ibadah dalam satu lokasi sudah menandakan betapa tingkat toleransi tersebut tidak bisa diragukan. Namun secara subyektif, realitas tersebut justru menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk memahami bagaimana makna toleransi itu difahami oleh setiap tokoh keagamaan di Balun, Lamongan.
Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan budaya-budaya yang khas, serta budaya asli juga dapat memengaruhi interaksi multi agama yang terjadi. Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan interpretasi pada simbol-simbol budaya berbeda dengan daerah lain. Suatu misal pada saat datang kehajatan untuk menyumbang atau membantu para perempuan banyak yang memakai kerudung (bukan jilbab) dan bapak-bapak banyak yang memakai songkok atau kopyah, padahal agama mereka belum tentu Islam sebagaimana pada masyarakat yang lain. Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih berarti sebagai simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau acara ngaturi.

Dr. Sutikno, M.Si (Penulis buku "Satu Dusun Tiga Agama)
Selain menjadi penulis dan Pendidik, Ia juga seorang pemerhati sosial keagamaan,
sewaktu kuliyah pernah menjadi ketua PC IMM Lamongan

Balun adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian tengah tepatnya Kecamatan Turi dan hanya mempunyai jarak 4 kilometer dari kota Lamongan. Desa Balun merupakan daerah yang terletak di dataran rendah yang banyak terdapat tambak dan bonorowo sehingga masuk daerah yang rawan banjir seperti umumnya daerah lain di kabupaten Lamongan. Desa Balun juga dibelah oleh sebuah sungai yang bermuara di Bengawan Solo. Desa Balun juga menjadi  salah satu desa tua yang ada di kabupaten Lamongan yang masih memelihara budaya-budaya terdahulunya. Di samping itu keanekaragaman agama semakin memperkaya budaya desa Balun dan yang menjadi ciri khas adalah interaksi sosial di antara warganya yang multi agama (Islam, Kristen, Hindu). Sejak masuknya Hindu dan Kristen tahun 1967 dan Islam sebagai agama asli belum pernah terjadi konflik yang berkaitan agama. Dikarenakan ada 3 (tiga) Agama yang damai itulah, maka dari itu Dusun Balun sering disebut Dusun Pancasila.


terlihat beberapa orang sedang asyik membaca buku "Satu Dusun Tiga Agama"
(Foto Dok. Penerbit Progresif)

Buku terbitan Pustaka Ilalang dan Progresif ini menyajikan data-data yang akurat. Keakuratan data yang disajikan, memungkinkan buku ini menjadi rujukan para penulis di berbagai karya tulisnya. Bagi siapa saja yang mendambakan perdamaian antar agama, bacalah buku ini.  (Red. S)

Sabtu, 28 Oktober 2017

IMM Kediri Menjadi Pemuda Ter HIts



Srengenge-Online. “Saat nya yg muda bangkit.. saatnya yg muda berkarya” begitulah petikan semangat yang dilontarkan oleh puluhan aktivis Pemuda Kediri di acara malam peringatan hari Sumpah pemuda (28/10). Untuk menunjukkan Ghiroh Positif para pemuda kediri, DPD KNPI Kota Kediri mengadakan serangkaian kegiatan khas pemuda.

Salah satu organisasi yang turut mengisi di acara tersebut adalah IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Sesuai dengan keterangan Immawati Rizka (kader IMM Kediri), malam itu Kader2 generasi baru IMM kota Kediri memberikan beberapa penampilan dalam acara KNPI Memperingati Hari Sumpah Pemuda  diantaranya mengikuti lomba Pengamen jalanan, teatrikal, orasi dan lain sebagainya.

penampailan music dari IMM Kediri, The Hero Band
(foto doc zain)

Begitu antusias sekali para kader baru mengikuti serangkaian lomba yg di selenggarakan KNPI berlatih kurang lebih hanya 1 minggu untuk mempersiapkan sebuah teatrikal tentang pemuda indonesia zaman sekarang. Teatrikal ini diikuti oleh sekitar 25 org kader baru dari PK Asy-Syifa' , PK persiapan Uniska, PK Salman Al Farisi dan PK At - Tazkiyah.

ketua IMM Kediri mendapat penghargaan "Pemuda Hitz"
(foto doc Zain)

Dari serangkaian acara yg di berlangsung di penghujung acara diumumkan pemenang dari berbagai lomba dan IMM Berhasil meraih juara harapan 1 Pengamen jalanan dan KETUM PC IMM Kediri berhasil mendapat juara no. 6 dengan kategori Pemuda Hits 2017. "Suatu prestasi yg hebat buat immawan dan immawati imm kediri, semoga dengan adanya ajang seperti ini kreatifitas dalam diri mereka terbentuk dan terasah dengan baik", kata Ainun salah satu kader IMM PK Salman.


Bangunlah Pemuda Indonesia
Jayalah IMM..... Jaya !!! (rizka/ Red. S)

Kamis, 26 Oktober 2017

IPM, IMM, dan Kader Berikutnya



Masalah perkaderan sangatlah penting, namun disisi lain paling diabaikan. Itulah kenapa saya nekat untuk bantu-bantu di MPK (Majelis Pendidikan Kader), agar mengetahui realitanya.

Ternyata sangat kompleks. Ya, sebagaimana yang dituturkan bapak-bapak. Selain karena kesibukan pekerjaan yang sudah menguras energi, berbagai rangkap jabatan juga terjadi. Tak jarang satu orang harus merangkap sebagai pengurus ortom, ranting, cabang, sampai daerah.

Belum lagi yang mendapatkan amanah mengelola amal usaha. Tentu tidak bisa dibayangkan betapa sibuknya, dan betapa sulitnya mengatur waktu.

Selain itu, andai kemudian diadakan agenda perkaderan, katakanlah 2-3 hari menginap, itu juga tidak mudah terealisasi. Bahkan untuk sekedar acara di hari libur pun, banyak yang menolak. Hari libur saatnya liburan, berkumpul dengan keluarga, kok masih harus mengurus organisasi?

Kalau melihat fakta ini, tentu betapa besar perjuangan, sekaligus pengorbanan mereka yang secara ikhlas mengurus Muhammadiyah, memikirkan regenerasi atau program-program lain yang tentu saja bertujuan memberdayakan Umat.

Belum lagi jika anaknya harus "diminta" menjadi kader, sebab Orang tuanya juga adalah kader. Saya pribadi belum tentu mau, andai kedua orang tua saya Muhammadiyah, dan saya harus bergabung juga dengan Muhammadiyah karena alasan tersebut.

Andaikan pun akhirnya bergabung, biar karena mereka menemukan sendiri "jati diri" ideologinya.

Meski perkaderan adalah proses panjang dan teramat panjang, dan tidak bisa sekali dua kali tatap muka lalu bisa benar-benar menghayati posisinya sebagai kader. Tidak bisa juga hanya karena memiliki NBM/KTA, yang bisa didapat hanya dari rekomendasi PCM dan PDM, lantas bisa disebut kader.

Utamanya, perkaderan adalah proses penanaman ideologi. Selebihnya bisa dalam hal administrasi, keorganisasian, dll.

Ketika awal mula saya masuk ke Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), ikut menggagas program dan agenda yang berkait dengan informasi dan kepustakaan, yang pertama kali terbersit adalah bagaimana ada proses kaderisasi dalam bidang ini?

Pemikiran semacam ini mungkin ribet, dan saya memahami, sebab bapak-bapak tentu sudah sangat sibuk. Sampai saya diminta "mengambil" beberapa anak di IPM dan IMM untuk ikut mengelola website.

Lho, kan belum kita kader?

Karena itu, sebenarnya ada program upgrading selepas workshop MPI di MBT Garum waktu itu, hanya saja proses tersebut belum bisa terlaksana.

Selain pelatihan mengelola website, juga bagaimana menyajikan konten atau tulisan yang ideologis? Ini tidak gampang. Ini bukan saja tugas MPI, tapi tugas kaderisasi secara menyeluruh.

Termasuk ketika kita mendambakan dai Muhammadiyah yang benar-benar ideologis. Bagaimana ukurannya?

Kita tidak bisa "mengambil" kader lalu diberikan tugas berat, sementara mereka belum mendapatkan pengalaman dan keterampilan soal itu.

Begitu pula, saya menyadari betul, bahwa bagaimana kiranya saya menjalankan program perkaderan di MPK, sementara proses perkaderan saya dibentuk di Kota lain, dalam wadah yang berbeda.

Sementara keadaan tiap daerah pun berbeda.

Meskipun, masih banyak bapak-bapak, bahkan Ketua MPK sendiri, yang merasa gelisah dan perlunya perkaderan yang lebih holistik. Tapi lagi-lagi, terkendala waktu dan kesibukan.

Sementara anak mudanya, seperti saya, belum tentu siap. Karena memang tidak pernah dipersiapkan.

IPM dan IMM

Berkahnya, Muhammadiyah memiliki sekolah, dari TK sampai SMA. Memiliki IPM. Tentu mereka anak-anak muda, sebagian lagi remaja dan anak-anak. Apalagi jika bersekolah di Muhammadiyah, tambah komplit.

Sekolah adalah "lahan subur" perkaderan, sebab mereka memang memfokuskan waktu untuk belajar. Ada mata pelajaran khusus AIK, Ke-Muhammadiyahan, atau sejenisnya.

Atau paling tidak mereka yang bergabung ke IPM dan IMM, yang bukan dari Sekolah/Kampus Muhammadiyah, kesehariannya pastilah bergelut dengan hal-hal akademik.

Bagaimana IPM dan IMM bisa menjadi "Sekolah/kampus kedua" bagi mereka.

Bagaimana IPM dan IMM bisa memberikan ruang lain berupa pengayaan pengetahuan, kemampuan bicara, kepemimpinan, dan sebagainya, yang kurang didapat di sekolah/kampusnya.

Sebab jika sudah tidak di IPM atau IMM, kesempatan seperti itu belum tentu ada. Sudah disibukkan pada urusan praktis sehari-hari.

Artinya, perkaderan secara ideologis, besar kemungkinan terjadi di IPM dan IMM, dalam rentang usia 18 - 25 tahun. Setelah usia tersebut, mereka akan mengelaborasikan sendiri makna ideologi yang mereka dapat pada bidang yang mereka geluti.

Atau yang lebih praktisnya, bagaimana IPM dan IMM nantinya bisa dipersiapkan untuk Muhammadiyah di masa yang akan datang, dari berbagai bidang. 

Dalam suasana semacam ini, IPM dan IMM lah yang menjadi harapan paling besar, untuk regenerasi. Sebab kader-kader ideologis sangat mungkin muncul dari situ.

Mereka pun sebenarnya bisa berkreasi sendiri. Memang sering terjadi satu dua hal yang membuat bapak-bapak geregetan, tapi ya namanya anak muda, dan apalagi yang masih remaja. []

Blitar, 26 Oktober 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Rabu, 25 Oktober 2017

Tiga Kitab Legendaris Karangan Tokoh Legendaris




1. Pustaka Ihsan (terbit 27 Mei 1941), karangan Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah periode tahun 1944 - 1953, Pahlawan Nasional) , kitab ini menerangkan tentang ilmu jiwa, akhlaq, iman, ilmu, amal, tawakal, tasawuf, dll Berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Semuanya itu di uraikan dengan sederhana tapi mempunyai makna yang mendalam. Buku berbahasa jawa ini di tulis masih menggunakan ejaan lama.




Sebenarnya kitab Pustaka Ihsan ini adalah kitab kedua yang di karang oleh Ki Bagus Hadikusumo, kitab pertama yang mendahului kitab ini adalah kitab "Pustaka Islam", menurut beliau Kedua kitab ini saling melengkapi. Perlu juga bahwa pengarang dari kitab ini adalah murid KH. Ahmad Dahlan langsung.

2. Rangkaian Mutu Manikam, kitab ini adalah rangkaian dari tulisan - tulisan / buah fikiran KH. Mas Mansur (ketua Muhammadiyah periode tahun 1937 - 1943, Pahlawan Nasional, anggota 4 serangkai) yang tersebar di berbagai surat kabar dari tahun 1896 sampai 1946 . Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1968, seluruh tulisan KH. Mas Mansur tersebut di himpun dan di terbitkan dalam bentuk buku oleh A.H Wirjosukarto dan di beri sambutan/ iftitah langsung oleh H.M Junus Anis (ketua Muhammadiyah periode 1959 - 1962).




Ada 2 pembahasan utama di dalam kitab ini, pertama adala Bab Agama dan Filsafat, kedua adalah bab Pembinaan umat dan Bangsa. Dari 2 bab pembahasan utama tersebut kemudian di jabarkan menjadi sub bab, antara lain berkaitan dengan ilmu : Agama Islam, Cara menjalankan Rukun Islam, Bisikan Sukma, Kegaiban akal, filsafat ketuhanan, sebab - sebab kemunduran umat Islam, sebab-sebab kemiskinan rakyat Islam Indonesia, menegakkan keadilan, menguatkan persatuan , menjelaskan Demak dan Majapahit, pemuda dan tanah air, dll. Pada kitab mutu Manikam ini, KH. Mas Mansur juga memberikan pedoman  Bermuhammadiyah di sebuah artikel yang berjudul Tafsir Langkah Muhammadiyah.

3. Soal Jawab Yang ringan - ringan. Sama seperti judulnya, kitab ini memang terasa ringan. Penulis kitab ini KH . Abdur Rozak Fahrudin atau lebih akrab dipanggil Pak AR. Beliau memberikan keterangan berkaitan ilmu agama, sosial budaya sejarah dengan bahasa yang mudah di pahami banyak orang bahkan oleh orang Awam sekalipun.

Sebelum di terbitkan ulang pada tanggal 19 Desember 1990, buku ini berjudul "Soal Jawab Enteng-entengan". Sebenarnya buku ini adalah materi Pak AR Fahrudin ketika memberikan pengajaran agama di RRI kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang mempunyai halaman sebanyak 279.



Gaya pulisan kitab ini menggunakan metode interaksi langsung yakni berupa sebuah pertanyaan kemudian jawaban. Gaya seperti ini lebih memudahkan si pembaca untuk memahami isinya. Tema pembahasan dari kitab ini memang beraneka ragam, antara lain tentang Riwayat Nabi Muhammad, Asal Mula Sekaten, Tuntunannya Shalat, Pancasila, Islam benar-benar menjaga, Hidup tenteram, amal dan Ilmu, Ukhuwah Islamiyyah, Rumah tangga sakinah, dll. Di akhir kitab ini, pak AR Fahruddin memberikan bonus ilmu berupa pantun yang berjudul Pantun Muslim Muhammadi.

Pengarang dari kitab ini adalah seorang yang alim, Ia pernah di percaya memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun yaitu sejak 1968 - 1990. Dengan mmbaca kitab ini seakan akan kita ngobrol langsung dengan Pak AR. (Red.S)

Senin, 23 Oktober 2017

Kritik Soekarno terhadap Paham Asy'arisme



SIS- Peradaban Islam pernah mengalami masa kejayaan ketika akal masih menjadi pertimbangan utama dalam setiap aktivitas intelektual dan sistem pendidikannya. Pada masa itu banyak intelektual Islam yang mempunyai jasa luar biasa bagi perkembangan Islam. Mereka antara lain Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Baja, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, dll. Akan tetapi seribu tahun kemudian peranan akal dikungkung, dipinggirkan fungsinya atau bahkan di kutuk

Tokoh utamanya adalah Abu Hasan al-Asyari, seorang yang menjadi pelopor kehidupan rohaniah. Oleh Soekarno Ia dituduh sebagai pokok pangkal munculnya tradisi taqlidisme di dalam Islam dan pokok pangkal kependetaan dalam Islam.

Akibat dominasi kaum Asy'ari, maka dunia Islam menurut Soekarno dilanda kebekuan. Berkaitan dengan hal di atas, Soekarno menulis :

"Asy'arisme adalah pokok pangkalnya Islam menjadi membeku, sebagaimana air membeku karena hawa dingin di musim winter. Sungai pikiran Islam, yang mengalir dan mengembok di zamannya Islam muda, yang turbulent seakan-akan air sungai di pegunungan yang berlari-larian dan berlompat-lompatan dari sela baru ke sela batu menuju samudera ya kesempurnaan ... Maka, bekunya pikiran Islam itu membawalah bekunya kultur seumumnya, bekunya peradaban Islam seumumnya ... Getarnya dinamika Islam musnahlah, membeku menjadi tenangnya jiwa yang sudah mati". (Red S / SIS)
__
SIS : Soekarno Islamic Studies

posted from Bloggeroid

Kamis, 19 Oktober 2017

Ketika Khofifah ditinggalkan PKB





Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara resmi menyatakan dukungan kepada Saifullah Yusuf (Gus Ipul) untuk maju dalam Pilgub Jatim 2018. Meski demikian, PKB memiliki sejarah melodramatik bersama Khofifah yang selama dua kali Pilgub Jatim diusungnya. Sampai akhirnya Khofifah mendaftar ke Partai Demokrat, partai yang selama dua periode menjadi rival Khofifah dan PKB.

Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan bahwa yang terpenting dari Pilgub Jatim adalah persatuan Kyai, sebelum membahas kepentingan politik. Seperti yang kita tahu bahwa Pilgub sebelumnya dukungan Kyai sangat deras kepada figur Khofifah. Tahun ini dukungan para Kyai, sebagian besar, sepertinya akan merapat ke Gus Ipul karena akan maju sebagai Calon Gubernur.

Dukungan PKB kepada Gus Ipul sebenarnya sangat realistis, apalagi mengingat Khofifah saat ini mejabat sebagai Menteri Sosial pada kabinet kerja Jokowi-JK. Idealnya, jabatan Khofifah akan berakhir dua tahun lagi, andai tidak ada resuffle. Peluang Gus Ipul untuk memenangkan Pilgub Jatim pun semakin tak terbendung, karena kemungkinan suara NU akan bulat mendukungnya, termasuk Muslimat diantaranya.

Namun majunya Khofifah bisa memecah suara NU, apalagi dikalangan Ibu-ibu Muslimat yang jumlahnya sangat signifikan. Muslimat NU bergerak pada jalur kultural dalam kegiatan pengajian rutin setiap minggunya, yang itu begitu marak di desa-desa. Namun dukungan untuk Gus Ipul juga semakin deras karena kali ini figurnya maju sebagai Calon Gubernur.

PKB yang notabene adalah Partai terbesar di Jawa Timur, tentu akan berupaya solid menggerakkan kader dan simpatisannya memenangkan calon yang didukung. Sebab sudah dua periode ini, PKB dikalahkan Partai Demokrat. Akankah Khofifah diusung Partai Demokrat, dan mampukah mengalahkan Gus Ipul yang kali ini didukung PKB? (red.s)