Agak lama saya berbincang dengan bapak ini. Karena
belakangan, Beliau mulai menaruh perhatian serius pada anak-anak muda
Muhammadiyah, terutama yang berafiliasi di IMM. Ini bukan pertemuan pertama,
kalau tak salah sudah ketiga kalinya. Salah satu statement yang masih saya
ingat waktu pertama kali berbincang dengan beliau adalah “Seharusnya IMM itu
tidak perlu ada, cukup IPM. Mahasiswa kan juga pelajar.”
Sebagai tokoh sepuh, tentu bapak ini tidak asbun
(asal bunyi), melainkan sudah melalui perenungan yang panjang. Meskipun, beliau
juga bercerita soal latar belakang organisasinya terdahulu, mulai dari PII
(Pelajar Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan kemudian menjadi
pengurus Muhammadiyah. Menurutnya, PII dan HMI pada zamannya tidak memiliki
perbedaan signifikan dengan Muhammadiyah, kecuali dalam gerakan politik.
Gerakan politik pun, dinilai wajar bagi organisasi semacam HMI yang memiliki
jejaring alumni bernama KAHMI tersebut.
Sebagai alumni PII dan HMI, tentu bapak ini tidak
punya cukup waktu untuk mengamati IMM secara lebih dekat. Bahkan, waktunya
sudah habis untuk memenuhi undangan kajian dan perkaderan dua organisasi itu.
IMM sendiri jarang mengundang beliau secara personal. Kalaupun hadir, biasanya
karena tanggung jawab struktural, sebagai Ayahanda. Karena bagaimana pun juga,
IMM adalah organisasi otonom dibawah Muhammadiyah.
Dalam pandangannya, termasuk pengalamannya
menghadiri acara IPM dan IMM, bapak itu berujar : Kalau ke acara IPM, disana
juga banyak yang mahasiswa, apalagi kalau IPM Wilayah, pengurusnya rata-rata
Mahasiswa semua. Di IPM Pusat juga demikian. Jadi, seharusnya cukup IPM saja,
tidak perlu ada IMM. Hadirnya IMM, dinilai latah, atau karena waktu itu para
pendirinya tidak sepakat dengan sepak terjang HMI, lalu mendirikan IMM. sama
seperti anak-anak muda NU yang kemudian mendirikan PMII. Akhirnya PMII tidak
begitu betah sebagai ortom NU dan membuat manifest independensi.
Terlepas dari pro kontra soal sejarah berdirinya
IMM, saya fikir tidak mungkin juga PP Muhammadiyah kala itu mengesahkan Ortom
baru tanpa melalui kajian mendalam. Apalagi, IMM lahir empat tahun setelah
lahirnya IPM. Secara praksis, IPM memang wadah untuk pelajar, SD hingga SMA.
Dan IMM untuk mahasiswa. Meski tidak bisa dipungkiri, pengurus IPM apalagi
level wilayah dan pusat, harus dijabat oleh kader senior yang rata-rata memang
sudah mahasiswa. Hal yang serupa dengan IMM, dimana pengurus DPP-nya sendiri
rata-rata sudah lulus s1, tengah menjalani s2, bahkan ada yang sudah menikah.
Tapi yang membedakan, kader IMM bisa menjadi kader
IPM secara bersamaan, namun tidak sebaliknya. Karena kader IMM harus Mahasiswa.
Barangkali itulah yang membedakan. Akhirnya, di IMM sendiri, secara umum timbul
dua tipe kader. Pertama, kader hirarkis, yang sebelumnya sudah pernah ikut di
IPM kemudian bergabung dengan IMM. Kedua, kader non-hirarkis, tentu saja yang
belum berafiliasi dengan Muhammadiyah ataupun ortomnya. Termasuk saya, yang
mulai menjadi kader Muhammadiyah ketika bergabung dengan IMM.
Yang membedakan lagi, IPM tumbuh di
Sekolah-sekolah milik Muhammadiyah atau sebagian di Universitas Muhammadiyah.
Sementara IMM ada di hampir semua kampus, entah itu PTM, PTN, dan PTS. Sangat
jarang sekali IPM muncul di Sekolah Negeri, bahkan saya belum pernah mendapati
IPM yang secara definitif berdiri di Sekolah non Muhammadiyah. Adapun di level
desa atau kecamatan, yang dulunya masih bernama IRM.
PII dan HMI pun, jika kita menelisik sejarah,
sebenarnya adalah dua organisasi sayap yang mendukung Masyumi. Masyumi dalam
arti sebagai Organisasi dan Partai Politik. Jadi, andaikata Masyumi tidak
dibubarkan Presiden Soekarno, barangkali kita akan melihat secara jelas
hirarkis Organisasi ini. Sementara kedekatan PII mapupun HMI kepada
Muhammadiyah, bukanlah kedekatan secara struktural, melainkan kedekatan dalam
aspek ideologi dan historis. Ideologi pun, lebih pada aspek fiqiyah, bukan
harakah. Masyumi berpolitik praktis, sementara Muhammadiyah tidak. disinilah
titik perbedaan yang mendasar.
Setelah Masyumi dibubarkan, PII dan HMI masih
terus eksis hingga sekarang, dan jadilah dua organisasi ini kehilangan
orientasi politik tunggal. Akhirnya, kader-kader HMI melakukan diaspora ke
berbagai Ormas hingga Partai Politik. Salah satu Organisasi yang dirasa nyaman bagi
kader HMI kala itu adalah Muhammadiyah, yang terkenal sebagai Gerakan Islam
Modernis. Meskipun tidak sedikit juga yang ke NU. Sementara untuk afiliasi
parpol, sangat susah mengidentifikasi mana parpol yang sekiranya sejalan dengan
idealisme mereka sebagai kader HMI. Apalagi, banyak juga kader HMI yang
kemudian bergabung dengan Partai Nasionalis, yang bercorak kiri.
Kembali ke diskusi dengan bapak tersebut, sebagai
kader yang lebih muda, tentu kita bisa memahami perbedaan generasi. Dalam
generasi beliau, HMI barangkali adalah Muhammadiyah. Namun dalam generasi
sekarang, tentu sudah berbeda konteks dan orientasi. Mungkin benar bahwa kalau
sudah ada IPM, tidak perlu ada IMM. Sebagai gantinya, bisa bergabung dengan
HMI. Namun harus di pahami, tidak semua Mahasiswa bisa mengakses IPM, dan tidak
semua kader HMI (hari ini) juga berafiliasi dengan Muhammadiyah. Lebih banyak
yang ke Parpol. Sementara IMM, secara administratif adalah sah ortom
Muhammadiyah, yang salah satu materi perkaderannya adalah ke-Muhammadiyahan.
Dalam perbincangan ketiga tersebut, beliau juga bercerita
soal salah satu tokoh potensial HMI yang dia prediksi akan menjadi tokoh besar,
bahkan ia yakin kader HMI ini akan melampaui Mahfud MD yang populer tersebut.
Namun keyakinan itu sirna setelah KPK menetapkannya menjadi tersangka. Saya
tidak perlu menyebut siapa kader HMI yang dimaksud bapak ini, anda pasti sudah
bisa menebaknya.
Ditengah rundungan duka karena kader idolanya
tertangkap KPK, beliau juga merasa sedih karena aktivis Mahasiswa, yang
berafiliasi dengan Organisasi Ekstra, tidak lagi memiliki prospek yang baik
sebagai pemimpin masyarakat. “Masak kader yang sudah kita didik mulai dari
komisariat, cabang, daerah hingga pusat, kalah sama Jokowi yang ketika
mahasiswa hanya sibuk di kelas.” ujarnya dengan sedikit bercanda. Beliau juga
prihatin dengan tenggelamnya idealisme para aktivisi mahasiswa yang akhirnya
mendapatkan jabatan, baik di Legislatif maupun Eksekutif. Meskipun beliau masih
memiliki ekspektasi tinggi terhadap salah satu kader HMI, yang kini menjadi
Menteri, yaitu Anies Baswedan.
Di satu sisi, dengan kebijaksanaan beliau,
tercetus sebuah pertanyaan reflektif. “Kapan ya ada politisi yang murni didikan
Muhammadiyah?” tentu pertanyaan ini sangat berat di jawab, karena Muhammadiyah memang
tidak terlibat dalam politik praktis. Menurutnya, banyak tokoh yang mendekati
Muhammadiyah ketika menjelang pemilu, atau bahkan mengaku sebagai kader, tapi
tujuannya untuk menggaet suara. Adapun kader Muhammadiyah yang terjun ke
politik, umumnya mendapatkan pendidikan dan ideologi politik dari Organisasi
lain yang sudah mapan, salah satunya HMI.
Sehingga, seringkali cara fikir politis masuk
dalam struktur Muhammadiyah. Termasuk diantaranya, dalam memandang IMM sebagai
Ortom. Ada yang masih menggunakan pola pikir HMI dalam melihat IMM. Inilah yang
sering menyebabkan salah paham, atau setidaknya, friksi di dalam Muhammadiyah
sendiri. Namun ada juga Ayahanda Muhammadiyah yang menyadari betul bahwa ketika
ber-Muhammadiyah, lepaslah jubah ke-HMI-annya dan memandang IMM dari sudut
pandang sebagai Ortom Muhammadiyah, dan bukan pesaing HMI.
Sebagian kader IMM juga berfikiran bahwa banyaknya
Ayahanda yang dulunya HMI tidak begitu aware dengan mereka. Akhirnya,
kita tidak bisa saling menyalahkan satu sama lain. Kita harus memahami kondisi
setiap generasi. Tapi konklusi dari bapak itu menarik juga : Melihat
fenomena yang ada, agaknya Muhammadiyah memang membutuhkan IMM sebagai jembatan
perkaderan, baik dalam aspek akademik dan politik, yang nantinya akan melahirkan
the origin of Muhammadiyah.
Barangkali, dengan kesadaran demikian, kedepan
akan jarang kita dapati Hirarki PII – HMI – Muhammadiyah. Tapi formatnya
demikian, IPM – IMM – Muhammadiyah. Semoga. (*)
9 April 2015
A Fahrizal Aziz