loading...

Selasa, 31 Oktober 2017

Peluang Kopimas, di Pilgub Jatim



Jika terealisasi, duet Khofifah-Masfuk atau belakangan disebut Kopimas, akan menjadi semacam duet/koalisi NU-Muhammadiyah. Mungkin bisa menyaingi "duet merah putih" Gus Ipul-Azwar Anas.

Duet ini tentu akan sangat unik, meski kalkulasi politik mungkin agak menyulitkan keduanya untuk berpasangan.

Khofifah sudah didukung partai Golkar, Hanura, Nasdem dan PPP. Mungkin juga akhirnya Demokrat. Tentu partai-partai tersebut juga ingin ada kadernya yang ditempatkan sebagai Cawagub.

Meski Demokrat juga masih mungkin berkoalisi dengan Gerindra, PKS, atau PAN.

Belum lagi jika ada rekomendasi dari para Kyai, yang kecil kemungkinan akan memilih H. Masfuk, karena berbagai alasan, termasuk soal kultur ideologi.

Tapi apakah Khofifah masih sekuat dahulu? Hal ini perlu diperhatikan. Apalagi PKB, Gus Ipul, dan Azwar Anas secara kultur sangat dekat dengan NU. Azwar Anas juga tokoh muda NU Banyuwangi, dan pernah duduk sebagai anggota DPR RI FKB.

Dua periode Khofifah tumbang dalam arena Pilgub, padahal didukung PKB dan para Kyai. Kali ini pecahan suara itu nampak nyata, apalagi setelah PDIP merapat. Meskipun suara kaum nasionalis juga terpecah, karena ada sosok Sukarwo yang berlatar belakang GMNI.

Di kalangan NU, terutama di kalangan Ibu-ibu Muslimat, Khofifah memang masih sangat kuat. Tapi akan banyak isu yang menyerangnya, apalagi ketika akhirnya ia memutuskan mundur sebagai Menteri Sosial.

Gus Ipul yang kali ini maju sebagai Cagub, juga akan lebih kuat. Selain suara dari NU, juga suara lain dari HMI misalnya, sebab Gus Ipul juga tokoh HMI.

Sementara, figur H. Masfuk di kalangan Muhammadiyah sangatlah dikenal. Rekam jejak selama dua periode mejabat Bupati Lamongan, juga akan jadi catatan tersendiri.

Memang tidak ada yang bisa memastikan, sebagaimana NU, suara Muhammadiyah mungkin juga akan terpecah. Tapi sosok H. Masfuk secara kultural sangat kuat di Muhammadiyah.

Mungkin nama-nama lain yang sekedar populis juga lebih banyak. Anang Hermansyah misalnya, tapi tak banyak yang punya daya pikat secara kultural.

Duet Kopi-mas akan jadi sangat unik dan kompetitif, meski untuk mewujudkannya diperlukan keajaiban. []

Blitar, 1 November 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Senin, 30 Oktober 2017

Secarik Obrolan dengan Pak Umam



Perbincangan dengan Pak Choirul Umam secara tak terencana, sabtu (21/10) yang lalu memberikan satu bahasan yang menarik soal diferensiasi, terutama yang berkait dengan pelayanan KPU.

Sore itu saya bertemu dengan Ibnu membahas acara seminar literasi, sampai magrib menjelang kemudian ikut ke rumah Pak Umam.

Satu jam berselang, Mas Hanafi dan Sukma kemudian datang juga, memeriahkan perbincangan.

Pada mulanya perbincangan seputar Penyelenggaraan pemilu, atau hal-hal lain berkait dengan isu kontemporer. Sembari bertanya-tanya soal Sipol dan partai-partai baru yang mengikuti proses verifikasi.

Sipol, atau sistem informasi partai politik merupakan program terbaru yang digagas oleh KPU. Melalui sistem digital, maka bisa terlacak jika ada keanggotaan rangkap, selain fungsi utamanya untuk memberikan keterbukaan informasi terkait parpol peserta pemilu.

KPU tentu memiliki tugas berat, sebagai penyelenggara pemilu di negara demokrasi. Secara teknis-administratif, KPU punya peran sangat penting. Selain juga harus didukung oleh Masyarakat.

Sehingga keterbukaan informasi tentu sangat dibutuhkan, agar masyarakat secara luas bisa mengaksesnya. Namun menurut Pak Umam ada satu lagi yang perlu direalisasikan, yaitu Sistem Penyelenggara Pemilu, atau beliau menyingkatnya Sipalu.

Ide semacam ini tentu sangat menarik, untuk meminimalisir kemungkinan adanya rangkap jabatan jika penyelenggara pemilu sekaligus pengurus parpol, atau mereka yang sudah dua periode. Entah pada lingkup PPK, PPS, KPPS, dsb.

Sebuah lembaga akan terus berkembang, ketika ada inovasi program, yang tentu didukung oleh orang-orang kreatif di dalamnya, yang Pak Umam menyebutnya diferensiasi, atau pembeda dari yang lain.

Sejak lama juga Pak Umam menyampaikan ide-idenya untuk menggaet pemilih pemula, terutama pelajar SMA yang masuk usia 17 tahun, dengan misalkan memunculkan duta pemilih pemula, yang diseleksi dari perwakilan pelajar dan mahasiswa.

Ide-ide lain yang sangat praktis dan spesifik juga disampaikan, dari desain kaos, topi sampai mug. Beliau memang penuh ide. []

Blitar, 30 Oktober 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Ada Dana, Jalan?


Dahulu orang bertanya tentang Paguyuban Srengenge, yang dikiranya sejenis LSM atau NGO bonafit. Kalau sudah begitu saya jawab saja, ah cuma iseng-iseng kok itu Pak.


Iseng-iseng bagaimana? Andai dialog itu terjadi secara langsung, mungkin nampak raut kebingungan. Nah, apalagi saya, ya tambah bingung.


Mulanya Paguyunan Srengenge digunakan untuk memback up IMM Blitar, terutama dalam bidang wacana. Barangkali akan dijadikam semacam laboratorium pemikiran atau wacana.


Teramat sayang, ide besar tersebut urung terealisasi, mungkin apa karena kurang dana? Ah.


Kita bikin website kecil-kecilan di srengenge.id, yang saat ini dikunjungi sekitar 140ribuan dan mungkin diback link ke beberapa situs, soalnya beberapa artikel di srengenge.id juga diambil oleh situs lain.


Soal video Youtube? Jelas beberapa video bukan milik srengenge, meski hanya diupload oleh srengenge. Seperti beberapa seri diskusi Tadarus Pemikiran Islam, itu milik JIMM dan UMM, hanya yang mengapload adalah srengenge.


Namun sering kali orang mengaitkan. Padahal tidak terkait sama sekali, kita hanya "numpang tenar" dari tokoh-tokoh yang sudah tenar seperti Prof. Amin Abdullah, Prof. Muhadjir Effendy, tokoh-tokoh JIMM, atau Dr. Pradana Boy.


Untungnya srengenge ada Kang Khabib yang suka baca dan mengais-ngais bacaan lama, yang bagi orang lain mungkin hendak dikilokan dengan harga murah. Bacaan tersebut sebagian direview dan diposting ke website.


Dan disitulah letak keunikannya, yang sekaligus menjelaskan kalau srengenge itu ada.


Soal kenapa belum bisa jadi wahana diskusi dan pengayaan wacana, jelas bukan soal dana. Dana memang penting, dan mungkin teramat penting, tapi tidak bisa membeli waktu luang.


Yang jelas hanya dibutuhkan waktu luang untuk merealisasikan hal tersebut. Dan siapa mau menghabiskan waktu luangnya untuk mengkaji wacana yang ribet bin njelimet?


Apalagi yang sudah kadung mencebur dalam rutinitas nan pelik.


Dalam beberapa hal, keterampilan itu penting, dan bukan soal dana. Dana jelas sesuatu yang berbeda, dan memang itu dibutuhkan.


Saya juga bukan orang kaya, bahkan saat ini berstatus sebagai "mahluk transisi". Tapi punya sedikit lebih banyak waktu luang. Karena itu bisa ngurus komunitas, bisa diajak ngurus ini ngurus itu.


Agar kelak ketika ditinggalkan, bisa tetep jalan. Dan apalagi, kadang manusia tidak bisa merencanakan kapan ia punya cukup waktu luang.



Blitar, 28 September 2017

Ahmad Fahrizal Aziz


Minggu, 29 Oktober 2017

Satu Dusun Tiga Agama




Srengenge-Pustaka, Diakui oleh semua bahwa Indonesia adalah negara yang mempunya keragamanan yang sangat kaya. Keragaman yang dimiliki Indonesia itu bisa menjadi kekuatan budaya yang luar biasa, akan tetapi dengan keragaman itu, di Indonesia juga sangat berpotensi terjadinya konflik antar suku, agama, ras dan golongan. Sebagai contoh konflik tersebut adalah kasus yang terjadi di Ambon, Poso, Sambas, Papua dls. Pemahaman sikap saling toleransi antar agama sampai saat ini masih perlu terus menerus digalakkan. Di Indonesia pluralisme agama adalah keniscayaan empiris-sosiologis di Indonesia tidak hanya terdapat dalam skala makro
 
Walaupun banyak daerah yang sering terjadi konflik SARA, akan tetapi juga ada daerah yang bisa menjalin suasana damai antar pemeluk Agama. Di Lamongan misalnya, terdapat satu dusun yang penduduknya memeluk tiga  agama. Realitas kehidupan pemeluk tiga agama lahir dari proses sejarah panjang kemudian melahirkan dan mewariskan nilai-nilai yang dipertahankan sampai sekarang. Di tengah konflik keagamaan yang diproduksi dan di reproduksi oleh motif dan kepentingan politik ternyata tidak mempengaruhi kehidupan keagamaan di dusun tersebut. Hal ini didasarkan bahwa setiap tokoh keagamaan ini memahami bahwa berbagai problem kehidupan keagamaan dalam lanskap nasional muncul tidak diakibatkan oleh problem keyakinan teologis, namun akibat faktor politik dan juga ekonomi.

Buku Satu Dusun Tiga Agama: Studi Konstruksi Toleransi Keagamaan di Dusun Balun, Lamongan ini Meneliti tentang kehidupan keagamaan di tingkat desa, apalagi dusun, menggambarkan jangkauan atau horizon pemikiran unik baik secara subyektif maupun obyektif. Sebagai orang yang malang melintang di dunia Sosial kegamaa,  Dr. Sutikno, M.Si Secara obyektif memandang keberadaan tiga tempat ibadah dalam satu lokasi sudah menandakan betapa tingkat toleransi tersebut tidak bisa diragukan. Namun secara subyektif, realitas tersebut justru menjadi tantangan tersendiri bagi penulis untuk memahami bagaimana makna toleransi itu difahami oleh setiap tokoh keagamaan di Balun, Lamongan.
Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan budaya-budaya yang khas, serta budaya asli juga dapat memengaruhi interaksi multi agama yang terjadi. Interaksi sosial yang demikian itu melahirkan interpretasi pada simbol-simbol budaya berbeda dengan daerah lain. Suatu misal pada saat datang kehajatan untuk menyumbang atau membantu para perempuan banyak yang memakai kerudung (bukan jilbab) dan bapak-bapak banyak yang memakai songkok atau kopyah, padahal agama mereka belum tentu Islam sebagaimana pada masyarakat yang lain. Hal ini berarti kerudung dan kopyah lebih berarti sebagai simbol budaya yang diinterpretasikan menghormati pesta hajatan atau acara ngaturi.

Dr. Sutikno, M.Si (Penulis buku "Satu Dusun Tiga Agama)
Selain menjadi penulis dan Pendidik, Ia juga seorang pemerhati sosial keagamaan,
sewaktu kuliyah pernah menjadi ketua PC IMM Lamongan

Balun adalah sebuah desa yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian tengah tepatnya Kecamatan Turi dan hanya mempunyai jarak 4 kilometer dari kota Lamongan. Desa Balun merupakan daerah yang terletak di dataran rendah yang banyak terdapat tambak dan bonorowo sehingga masuk daerah yang rawan banjir seperti umumnya daerah lain di kabupaten Lamongan. Desa Balun juga dibelah oleh sebuah sungai yang bermuara di Bengawan Solo. Desa Balun juga menjadi  salah satu desa tua yang ada di kabupaten Lamongan yang masih memelihara budaya-budaya terdahulunya. Di samping itu keanekaragaman agama semakin memperkaya budaya desa Balun dan yang menjadi ciri khas adalah interaksi sosial di antara warganya yang multi agama (Islam, Kristen, Hindu). Sejak masuknya Hindu dan Kristen tahun 1967 dan Islam sebagai agama asli belum pernah terjadi konflik yang berkaitan agama. Dikarenakan ada 3 (tiga) Agama yang damai itulah, maka dari itu Dusun Balun sering disebut Dusun Pancasila.


terlihat beberapa orang sedang asyik membaca buku "Satu Dusun Tiga Agama"
(Foto Dok. Penerbit Progresif)

Buku terbitan Pustaka Ilalang dan Progresif ini menyajikan data-data yang akurat. Keakuratan data yang disajikan, memungkinkan buku ini menjadi rujukan para penulis di berbagai karya tulisnya. Bagi siapa saja yang mendambakan perdamaian antar agama, bacalah buku ini.  (Red. S)

Sabtu, 28 Oktober 2017

IMM Kediri Menjadi Pemuda Ter HIts



Srengenge-Online. “Saat nya yg muda bangkit.. saatnya yg muda berkarya” begitulah petikan semangat yang dilontarkan oleh puluhan aktivis Pemuda Kediri di acara malam peringatan hari Sumpah pemuda (28/10). Untuk menunjukkan Ghiroh Positif para pemuda kediri, DPD KNPI Kota Kediri mengadakan serangkaian kegiatan khas pemuda.

Salah satu organisasi yang turut mengisi di acara tersebut adalah IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah). Sesuai dengan keterangan Immawati Rizka (kader IMM Kediri), malam itu Kader2 generasi baru IMM kota Kediri memberikan beberapa penampilan dalam acara KNPI Memperingati Hari Sumpah Pemuda  diantaranya mengikuti lomba Pengamen jalanan, teatrikal, orasi dan lain sebagainya.

penampailan music dari IMM Kediri, The Hero Band
(foto doc zain)

Begitu antusias sekali para kader baru mengikuti serangkaian lomba yg di selenggarakan KNPI berlatih kurang lebih hanya 1 minggu untuk mempersiapkan sebuah teatrikal tentang pemuda indonesia zaman sekarang. Teatrikal ini diikuti oleh sekitar 25 org kader baru dari PK Asy-Syifa' , PK persiapan Uniska, PK Salman Al Farisi dan PK At - Tazkiyah.

ketua IMM Kediri mendapat penghargaan "Pemuda Hitz"
(foto doc Zain)

Dari serangkaian acara yg di berlangsung di penghujung acara diumumkan pemenang dari berbagai lomba dan IMM Berhasil meraih juara harapan 1 Pengamen jalanan dan KETUM PC IMM Kediri berhasil mendapat juara no. 6 dengan kategori Pemuda Hits 2017. "Suatu prestasi yg hebat buat immawan dan immawati imm kediri, semoga dengan adanya ajang seperti ini kreatifitas dalam diri mereka terbentuk dan terasah dengan baik", kata Ainun salah satu kader IMM PK Salman.


Bangunlah Pemuda Indonesia
Jayalah IMM..... Jaya !!! (rizka/ Red. S)

Kamis, 26 Oktober 2017

IPM, IMM, dan Kader Berikutnya



Masalah perkaderan sangatlah penting, namun disisi lain paling diabaikan. Itulah kenapa saya nekat untuk bantu-bantu di MPK (Majelis Pendidikan Kader), agar mengetahui realitanya.

Ternyata sangat kompleks. Ya, sebagaimana yang dituturkan bapak-bapak. Selain karena kesibukan pekerjaan yang sudah menguras energi, berbagai rangkap jabatan juga terjadi. Tak jarang satu orang harus merangkap sebagai pengurus ortom, ranting, cabang, sampai daerah.

Belum lagi yang mendapatkan amanah mengelola amal usaha. Tentu tidak bisa dibayangkan betapa sibuknya, dan betapa sulitnya mengatur waktu.

Selain itu, andai kemudian diadakan agenda perkaderan, katakanlah 2-3 hari menginap, itu juga tidak mudah terealisasi. Bahkan untuk sekedar acara di hari libur pun, banyak yang menolak. Hari libur saatnya liburan, berkumpul dengan keluarga, kok masih harus mengurus organisasi?

Kalau melihat fakta ini, tentu betapa besar perjuangan, sekaligus pengorbanan mereka yang secara ikhlas mengurus Muhammadiyah, memikirkan regenerasi atau program-program lain yang tentu saja bertujuan memberdayakan Umat.

Belum lagi jika anaknya harus "diminta" menjadi kader, sebab Orang tuanya juga adalah kader. Saya pribadi belum tentu mau, andai kedua orang tua saya Muhammadiyah, dan saya harus bergabung juga dengan Muhammadiyah karena alasan tersebut.

Andaikan pun akhirnya bergabung, biar karena mereka menemukan sendiri "jati diri" ideologinya.

Meski perkaderan adalah proses panjang dan teramat panjang, dan tidak bisa sekali dua kali tatap muka lalu bisa benar-benar menghayati posisinya sebagai kader. Tidak bisa juga hanya karena memiliki NBM/KTA, yang bisa didapat hanya dari rekomendasi PCM dan PDM, lantas bisa disebut kader.

Utamanya, perkaderan adalah proses penanaman ideologi. Selebihnya bisa dalam hal administrasi, keorganisasian, dll.

Ketika awal mula saya masuk ke Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), ikut menggagas program dan agenda yang berkait dengan informasi dan kepustakaan, yang pertama kali terbersit adalah bagaimana ada proses kaderisasi dalam bidang ini?

Pemikiran semacam ini mungkin ribet, dan saya memahami, sebab bapak-bapak tentu sudah sangat sibuk. Sampai saya diminta "mengambil" beberapa anak di IPM dan IMM untuk ikut mengelola website.

Lho, kan belum kita kader?

Karena itu, sebenarnya ada program upgrading selepas workshop MPI di MBT Garum waktu itu, hanya saja proses tersebut belum bisa terlaksana.

Selain pelatihan mengelola website, juga bagaimana menyajikan konten atau tulisan yang ideologis? Ini tidak gampang. Ini bukan saja tugas MPI, tapi tugas kaderisasi secara menyeluruh.

Termasuk ketika kita mendambakan dai Muhammadiyah yang benar-benar ideologis. Bagaimana ukurannya?

Kita tidak bisa "mengambil" kader lalu diberikan tugas berat, sementara mereka belum mendapatkan pengalaman dan keterampilan soal itu.

Begitu pula, saya menyadari betul, bahwa bagaimana kiranya saya menjalankan program perkaderan di MPK, sementara proses perkaderan saya dibentuk di Kota lain, dalam wadah yang berbeda.

Sementara keadaan tiap daerah pun berbeda.

Meskipun, masih banyak bapak-bapak, bahkan Ketua MPK sendiri, yang merasa gelisah dan perlunya perkaderan yang lebih holistik. Tapi lagi-lagi, terkendala waktu dan kesibukan.

Sementara anak mudanya, seperti saya, belum tentu siap. Karena memang tidak pernah dipersiapkan.

IPM dan IMM

Berkahnya, Muhammadiyah memiliki sekolah, dari TK sampai SMA. Memiliki IPM. Tentu mereka anak-anak muda, sebagian lagi remaja dan anak-anak. Apalagi jika bersekolah di Muhammadiyah, tambah komplit.

Sekolah adalah "lahan subur" perkaderan, sebab mereka memang memfokuskan waktu untuk belajar. Ada mata pelajaran khusus AIK, Ke-Muhammadiyahan, atau sejenisnya.

Atau paling tidak mereka yang bergabung ke IPM dan IMM, yang bukan dari Sekolah/Kampus Muhammadiyah, kesehariannya pastilah bergelut dengan hal-hal akademik.

Bagaimana IPM dan IMM bisa menjadi "Sekolah/kampus kedua" bagi mereka.

Bagaimana IPM dan IMM bisa memberikan ruang lain berupa pengayaan pengetahuan, kemampuan bicara, kepemimpinan, dan sebagainya, yang kurang didapat di sekolah/kampusnya.

Sebab jika sudah tidak di IPM atau IMM, kesempatan seperti itu belum tentu ada. Sudah disibukkan pada urusan praktis sehari-hari.

Artinya, perkaderan secara ideologis, besar kemungkinan terjadi di IPM dan IMM, dalam rentang usia 18 - 25 tahun. Setelah usia tersebut, mereka akan mengelaborasikan sendiri makna ideologi yang mereka dapat pada bidang yang mereka geluti.

Atau yang lebih praktisnya, bagaimana IPM dan IMM nantinya bisa dipersiapkan untuk Muhammadiyah di masa yang akan datang, dari berbagai bidang. 

Dalam suasana semacam ini, IPM dan IMM lah yang menjadi harapan paling besar, untuk regenerasi. Sebab kader-kader ideologis sangat mungkin muncul dari situ.

Mereka pun sebenarnya bisa berkreasi sendiri. Memang sering terjadi satu dua hal yang membuat bapak-bapak geregetan, tapi ya namanya anak muda, dan apalagi yang masih remaja. []

Blitar, 26 Oktober 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Rabu, 25 Oktober 2017

Tiga Kitab Legendaris Karangan Tokoh Legendaris




1. Pustaka Ihsan (terbit 27 Mei 1941), karangan Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah periode tahun 1944 - 1953, Pahlawan Nasional) , kitab ini menerangkan tentang ilmu jiwa, akhlaq, iman, ilmu, amal, tawakal, tasawuf, dll Berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Semuanya itu di uraikan dengan sederhana tapi mempunyai makna yang mendalam. Buku berbahasa jawa ini di tulis masih menggunakan ejaan lama.




Sebenarnya kitab Pustaka Ihsan ini adalah kitab kedua yang di karang oleh Ki Bagus Hadikusumo, kitab pertama yang mendahului kitab ini adalah kitab "Pustaka Islam", menurut beliau Kedua kitab ini saling melengkapi. Perlu juga bahwa pengarang dari kitab ini adalah murid KH. Ahmad Dahlan langsung.

2. Rangkaian Mutu Manikam, kitab ini adalah rangkaian dari tulisan - tulisan / buah fikiran KH. Mas Mansur (ketua Muhammadiyah periode tahun 1937 - 1943, Pahlawan Nasional, anggota 4 serangkai) yang tersebar di berbagai surat kabar dari tahun 1896 sampai 1946 . Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1968, seluruh tulisan KH. Mas Mansur tersebut di himpun dan di terbitkan dalam bentuk buku oleh A.H Wirjosukarto dan di beri sambutan/ iftitah langsung oleh H.M Junus Anis (ketua Muhammadiyah periode 1959 - 1962).




Ada 2 pembahasan utama di dalam kitab ini, pertama adala Bab Agama dan Filsafat, kedua adalah bab Pembinaan umat dan Bangsa. Dari 2 bab pembahasan utama tersebut kemudian di jabarkan menjadi sub bab, antara lain berkaitan dengan ilmu : Agama Islam, Cara menjalankan Rukun Islam, Bisikan Sukma, Kegaiban akal, filsafat ketuhanan, sebab - sebab kemunduran umat Islam, sebab-sebab kemiskinan rakyat Islam Indonesia, menegakkan keadilan, menguatkan persatuan , menjelaskan Demak dan Majapahit, pemuda dan tanah air, dll. Pada kitab mutu Manikam ini, KH. Mas Mansur juga memberikan pedoman  Bermuhammadiyah di sebuah artikel yang berjudul Tafsir Langkah Muhammadiyah.

3. Soal Jawab Yang ringan - ringan. Sama seperti judulnya, kitab ini memang terasa ringan. Penulis kitab ini KH . Abdur Rozak Fahrudin atau lebih akrab dipanggil Pak AR. Beliau memberikan keterangan berkaitan ilmu agama, sosial budaya sejarah dengan bahasa yang mudah di pahami banyak orang bahkan oleh orang Awam sekalipun.

Sebelum di terbitkan ulang pada tanggal 19 Desember 1990, buku ini berjudul "Soal Jawab Enteng-entengan". Sebenarnya buku ini adalah materi Pak AR Fahrudin ketika memberikan pengajaran agama di RRI kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang mempunyai halaman sebanyak 279.



Gaya pulisan kitab ini menggunakan metode interaksi langsung yakni berupa sebuah pertanyaan kemudian jawaban. Gaya seperti ini lebih memudahkan si pembaca untuk memahami isinya. Tema pembahasan dari kitab ini memang beraneka ragam, antara lain tentang Riwayat Nabi Muhammad, Asal Mula Sekaten, Tuntunannya Shalat, Pancasila, Islam benar-benar menjaga, Hidup tenteram, amal dan Ilmu, Ukhuwah Islamiyyah, Rumah tangga sakinah, dll. Di akhir kitab ini, pak AR Fahruddin memberikan bonus ilmu berupa pantun yang berjudul Pantun Muslim Muhammadi.

Pengarang dari kitab ini adalah seorang yang alim, Ia pernah di percaya memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun yaitu sejak 1968 - 1990. Dengan mmbaca kitab ini seakan akan kita ngobrol langsung dengan Pak AR. (Red.S)

Senin, 23 Oktober 2017

Kritik Soekarno terhadap Paham Asy'arisme



SIS- Peradaban Islam pernah mengalami masa kejayaan ketika akal masih menjadi pertimbangan utama dalam setiap aktivitas intelektual dan sistem pendidikannya. Pada masa itu banyak intelektual Islam yang mempunyai jasa luar biasa bagi perkembangan Islam. Mereka antara lain Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Baja, Ibnu Tufail, Ibnu Rusyd, dll. Akan tetapi seribu tahun kemudian peranan akal dikungkung, dipinggirkan fungsinya atau bahkan di kutuk

Tokoh utamanya adalah Abu Hasan al-Asyari, seorang yang menjadi pelopor kehidupan rohaniah. Oleh Soekarno Ia dituduh sebagai pokok pangkal munculnya tradisi taqlidisme di dalam Islam dan pokok pangkal kependetaan dalam Islam.

Akibat dominasi kaum Asy'ari, maka dunia Islam menurut Soekarno dilanda kebekuan. Berkaitan dengan hal di atas, Soekarno menulis :

"Asy'arisme adalah pokok pangkalnya Islam menjadi membeku, sebagaimana air membeku karena hawa dingin di musim winter. Sungai pikiran Islam, yang mengalir dan mengembok di zamannya Islam muda, yang turbulent seakan-akan air sungai di pegunungan yang berlari-larian dan berlompat-lompatan dari sela baru ke sela batu menuju samudera ya kesempurnaan ... Maka, bekunya pikiran Islam itu membawalah bekunya kultur seumumnya, bekunya peradaban Islam seumumnya ... Getarnya dinamika Islam musnahlah, membeku menjadi tenangnya jiwa yang sudah mati". (Red S / SIS)
__
SIS : Soekarno Islamic Studies

posted from Bloggeroid

Kamis, 19 Oktober 2017

Ketika Khofifah ditinggalkan PKB





Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) secara resmi menyatakan dukungan kepada Saifullah Yusuf (Gus Ipul) untuk maju dalam Pilgub Jatim 2018. Meski demikian, PKB memiliki sejarah melodramatik bersama Khofifah yang selama dua kali Pilgub Jatim diusungnya. Sampai akhirnya Khofifah mendaftar ke Partai Demokrat, partai yang selama dua periode menjadi rival Khofifah dan PKB.

Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengatakan bahwa yang terpenting dari Pilgub Jatim adalah persatuan Kyai, sebelum membahas kepentingan politik. Seperti yang kita tahu bahwa Pilgub sebelumnya dukungan Kyai sangat deras kepada figur Khofifah. Tahun ini dukungan para Kyai, sebagian besar, sepertinya akan merapat ke Gus Ipul karena akan maju sebagai Calon Gubernur.

Dukungan PKB kepada Gus Ipul sebenarnya sangat realistis, apalagi mengingat Khofifah saat ini mejabat sebagai Menteri Sosial pada kabinet kerja Jokowi-JK. Idealnya, jabatan Khofifah akan berakhir dua tahun lagi, andai tidak ada resuffle. Peluang Gus Ipul untuk memenangkan Pilgub Jatim pun semakin tak terbendung, karena kemungkinan suara NU akan bulat mendukungnya, termasuk Muslimat diantaranya.

Namun majunya Khofifah bisa memecah suara NU, apalagi dikalangan Ibu-ibu Muslimat yang jumlahnya sangat signifikan. Muslimat NU bergerak pada jalur kultural dalam kegiatan pengajian rutin setiap minggunya, yang itu begitu marak di desa-desa. Namun dukungan untuk Gus Ipul juga semakin deras karena kali ini figurnya maju sebagai Calon Gubernur.

PKB yang notabene adalah Partai terbesar di Jawa Timur, tentu akan berupaya solid menggerakkan kader dan simpatisannya memenangkan calon yang didukung. Sebab sudah dua periode ini, PKB dikalahkan Partai Demokrat. Akankah Khofifah diusung Partai Demokrat, dan mampukah mengalahkan Gus Ipul yang kali ini didukung PKB? (red.s)


Siapakah Gubernur Ideal Jawa Timur?





Nama Suyoto sempat beredar di arena Pilgub DKI Jakarta tahun lalu, sebelum akhirnya PAN merubah haluan dengan mendukung pasangan Agus-Silvy. Namanya kini beredar kembali jelang Pilgub Jatim 2018, meski hiruk pikuk wacana selalu tajam menuju pada dua sosok, yaitu Saifullah Yusuf atau karib disapa Gus Ipul, dan Khofifah Indar Parawangsa.

Jawa Timur disebut-sebut sebagai basis NU terkuat. Bisa dilihat dari beberapa aspek, selain karena tanah kelahiran NU, banyaknya pesantren, sampai pada kekuatan Politik. PKB, salah satu partai yang paling banyak dihuni kader NU, mendapatkan 20 kursi di DPRD Jatim, yang itu berarti bisa mengusung sendiri Cagub dan Cawagubnya tanpa berkoalisi dengan Partai lain.

Maka, ketika PKB menyatakan dukungan kepada Saifullah Yusuf, bisa dipastikan bahwa Gus Ipul yang dua periode mejabat sebagai Wakil Gubernur Jatim tersebut, akan maju sebagai Cagub Jatim 2018. Tinggal menimang-nimang siapa calon wakilnya, sehingga sinyal koalisi masih terbuka lebar.

Sementara Khofifah yang sebelumnya diusung PKB, nampak raut kecewa dan bahkan mempertanyakan sikap PKB yang menurutnya terlalu cepat membuat keputusan dengan mengusung Gus Ipul. Di kalangan internal NU sendiri, berharap tidak ada lagi dua kader yang bertarung. Bahkan banyak yang berharap Khofifah tetap berada di posisi Menteri Sosial, sementara Gus Ipul naik menjadi Gubernur Jatim.

Namun sepertinya Khofifah tidak berfikir demikian, apalagi setelah secara resmi merapat ke Partai Demokrat yang selama dua periode Pilgub Jatim menjadi lawan sengitnya. Besar kemungkinan akan terjadi dua “pertempuran suara” di kalangan NU, antara Khofifah dan Gus Ipul.

Calon Alternatif

Suara NU begitu kuat di Jawa Timur, tapi kekuatan yang besar tersebut senyatanya selalu terpecah. Siapa sangka Pak De Karwo bisa menang selama dua periode melawan Bu Khofifah, dan hanya merelakan tokoh NU lain, Gus Ipul, sebagai Wakil Gubernur. Padahal jelas-jelas ada tokohnya yang berpeluang menjadi Gubenur, dari Partai yang mayoritas digerakkan oleh kader NU, yaitu PKB.

Itu berarti suasana masih sangat cair. Mungkin tidak secair Jakarta yang mana preferensi politik bisa berubah secara drastis, atau mungkin pula Jawa Barat dengan kultur yang jauh lebih beragam. Tapi kemungkinan tersebut mungkin terjadi.

Sangat mungkin ketika Tri Rismaharini menyatakan bersedia maju ke Pilgub Jatim, maka surveynya meroket. Bisa jadi pula terjadi keputusan politik luar biasa sehingga peta perpolitikan Jatim bisa berubah sedemikian rupa. Seperti terbentuknya koalisi yang tak diduga-duga.

Suyoto atau yang akrab disapa Kang Yoto adalah salah satu figur yang disebut sebagai kepala daerah paling moncer. Di Jawa Timur sendiri, ada tiga nama kepala daerah yang sangat disorot dalam lima tahun terakhir, yaitu Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dan Suyoto Bupati Bojonegoro.

Tiga tokoh diatas sangat mungkin bisa mencairkan suasana politik, yang nampaknya terkutub pada dua sosok besar.

Tentu jangan samakan tiga daerah tersebut. Sangat jauh berbeda. Surabaya sebagai Ibukota Jawa Timur, dan Banyuwangi yang terletak di ujung timur pulau Jawa, dengan sebutannya sunrise of Java, yang diberkahi dengan alam yang menakjubkan. Bojonegoro merupakan daerah yang rawan banjir, bahkan di tahun 2000 masih menjadi daerah termiskin di Jawa Timur.

Berbeda pula dengan Banyuwangi yang bersebelahan dengan Bali, Bojonegoro memang bukan daerah yang terkenal. Namun dengan begini rekam jejak kepemimpinan Kang Yoto bisa terlihat jelas. Bagaimana daerah yang dulunya sering terendam banjir, karena mendapat kiriman dari 18 Kota dan Kabupaten di sekitarnya, kini berubah jadi kebun yang subur.

Prestasi yang lain, termasuk diantaranya kebijakan infrastruktur, keterbukaan pemerintah, dan sederet prestasi menakjubkan yang membuat Bojonegoro mendapatkan penghargaan yang sama dalam bidang open goverment bersanding dengan Kota besar seperti Paris dan Madrid, juga prestasi dalam bidang-bidang yang lain.

Keberhasilannya mengelola daerah yang sulit tersebut menjadi satu bekal tersendiri, dan mungkin nilai plus dibandingkan para pejabat yang memimpin daerah mapan, dengan APBD yang tinggi, atau dengan potensi wisata yang baik.

Latar belakang Kang Yoto pun juga beragam, dari anak seorang petani yang kemudian bercita-cita sebagai supir bus, lalu merantau ke Malang dan kemudian menjadi dosen, sampai menjadi rektor Universitas Muhammadiyah di Gresik. Termasuk latar belakangnya sebagai anggota legislatif dan Mantan ketua DPW PAN Jawa Timur.

Meski PAN hanya memiliki 7 kursi di DPRD Jatim, dan tokoh internal PAN yang banyak diperbincangkan adalah H. Masfuk, tentu nama Kang Yoto layak juga diperbincangkan sebagai salah satu kandidat Calon Gubernur, atau Wakil Gubernur Jawa Timur, dan mungkin yang paling ideal. []

Blitar, 17 Oktober 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Rabu, 11 Oktober 2017

Nyai Walidah, Tren Jilbab, dan Hal lain yang Perlu Diingat






Sejak tayang film biopik Nyai Ahmad Dahlan, bermunculan juga jilbab tren Nyai Dahlan. Jilbab yang juga melekat dalam foto resmi atau lukisan Nyai Dahlan. Jilbab yang pada waktu itu nampak berbeda, dibandingkan jilbab kebanyakan. Jilbab tersebut kemudian menjadi ciri khas para anggota Aisyiyah awal-awal berdirinya, termasuk digunakan oleh Siti Maryati ketika berorasi.

Bersama Kyai Ahmad Dahlan, Nyai Walidah mengelola bisnis batik. Jika era sekarang, akan disebut sebagai pengusaha fashion dengan berbagai kreatifitasnya. Bisa jadi jilbab yang dikenakan Nyai Walidah ketika kongres ke-15 Muhammadiyah di Surabaya kala itu, yang kemudian menjadi ikon, memang sengaja didesain khusus, mengingat latar belakangnya sebagai pengusaha dibidang fashion.

Namun “jilbab ikonik” tersebut sepertinya hanya dikenakan ketika acara-acara resmi. Kesehariannya, Nyai Walidah hanya mengenakan jilbab yang semacam kain selempang. Persepsi tentang jilbab, sebagai sebuah pakaian, pada zaman itu sepertinya lebih sederhana dibandingkan saat ini. Apalagi, ketika brand “jilbab syar’i” menjadi trend, yang mana panjang kainnya bisa sampai siku dan lutut.

Tidak saja Nyai Walidah, namun Istri KH. Hasyim Asya’ri dan sederet perempuan Muslim, pejuang dan sebagainya, pada saat itu memang terbiasa mengenakan busana khas daerah masing-masing. Kalau saat ini, nampak juga pada keluarga Alm. Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab dan sederet tokoh Islam terkemuka lainnya.

Bisa jadi karena variasi fashion yang tidak sebanyak saat ini, bisa jadi pula bahwa jilbab dipandang lebih substansial, ketimbang hanya sekedar pakaian. Bahwa ada pandangan yang menyatakan jilbab tidak identik dengan pakaian saja, ini sejalan juga dengan pemahaman fiqiyah yang sekurang-kurangnya bersumber dari empat Imam Mahzab.

Aurat sendiri adalah bagian tubuh yang wajib ditutupi. Sebab jika tidak, ia bisa menimbulkan fitnah atau hal-hal buruk lainnya yang menjurus pada dosa. Perempuan dan Lelaki memiliki batasan aurat yang berbeda. Aurat perempuan lebih ketat, Imam Hanafi, Syafii dan Hambali nampak sependapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan, dan kaki. Sementara Imam Maliki membagi antara aurat berat (Mughaladzah) dan aurat ringan (Mukhaffafah).

Sekujur tangan dan tepian rambut bagi Imam Maliki adalah aurat ringan. Meski begitu, dalam melaksanakan shalat tetap wajib menutupi seluruh aurat. Imam Maliki pun juga mengatakan, meskipun itu aurat ringan, kalau khawatir bisa menimbulkan syahwat, maka sebaiknya ditutupi. Semestinya, dalam konteks ini berlaku juga untuk laki-laki, dimana batasan aurat laki-laki hanya pusar sampai bawah lutut.

Variasi fiqh tersebut juga memunculkan beragam persepsi, terutama dalam menggunakan jilbab. Maka sekilas kita bertanya, kenapa orang terdahulu, sekalipun ia seorang Nyai, nampak begitu sederhana dalam berjilbab, bahkan hanya sekedar kain yang ditudungkan, bagian tepi rambutnya masih terlihat. Termasuk Nyai Walidah, termasuk juga Nyai Kapu (Istri KH. Hasyim Asya’ri).

Sebelum kemudian kita saling menyalahkan, bisa kita pahami barangkali fiqh yang digunakan sejalan dengan Malikiyah, yang didasarkan pada  QS. An-Nuur :31 bahwa perempuan dilarang menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Perbedaan semacam itu wajar saja terjadi, ditengah tafsir dan fiqh yang bervariasi. Termasuk ketika Imam Hanafi menyarankan untuk menutup wajah (bercadar), bukan karena wajah itu aurat, tapi ditakutkan memicu syahwat.

Namun secara bahasa, aurat berarti sesuatu yang terbuka, tidak tertutup, kemaluan, telanjang, aib dan cacat. Itu berarti, secara lebih luas, aurat tidak saja bagian tubuh, namun juga sisi lain, seperti perilaku yang bisa menimbulkan aib dan rasa malu dihadapan Tuhan dan masyarakat. Menutup aurat bisa bermakna juga berperilaku baik.

Namun sebagai sebuah mode fashion, tentu perempuan punya hak untuk mengenakan jilbab model apapun, bahkan jika itu berkaitan dengan pemahaman fiqh yang dianut. Tidak ada siapapun yang berhak melarang. Yang terpenting adalah, bagaimana pesan universal tokoh-tokoh perempuan Muslim zaman itu, termasuk Nyai Walidah diantaranya, tidak direduksi hanya sekedar simbol-simbol.

Jilbab Kehidupan

Bahwa ciri khas Muslimah yang kaffah ialah berjilbab, adalah hal yang tidak bisa dibantah. Namun ketika jilbab hanya dikhususkan sekedar simbol, ini yang perlu dipersoalkan. Sebagaimana respon sebagian warganet yang nampak permisif dengan kasus First Travel (FT), hanya karena salah satu bosnya mengenakan jilbab dengan beragam mode fashion terkini, maka jamaah yang dirugikan diminta mengikhlaskan dan memaafkan saja.

Pemikiran semacam ini jelas menggelisahkan nalar keberagamaan kita. Bahwa secara simbol bos FT memang berpakaian tertutup khas Muslimah, tapi secara substansial ia telah menciptakan aib (auratnya) yang akhirnya terlihat oleh publik. Lantas bagaimana jika itu adalah aurat yang sebenarnya? Bukan sekedar bagian tubuh? Sebab kalau hanya menutup bagian tubuh, siapapun asal memiliki uang, bisa melakukannya, bahkan berganti-ganti mode.

Pada sisi yang lain, jilbab sebenarnya juga memberikan ketenangan. Ini terlihat ketika mereka yang terjerat hukum, yang kesehariannya tidak berjilbab, mendadak berjilbab, meski hanya jilbab selempang sederhana. Ada dahaga spiritual yang ia reguk, meski banyak yang berprasangka, bahwa itu hanya untuk menutup aib. Lalu bagaimana dengan mereka yang berjilbab, namun hanya menjadikannya sebatas fashion?

Sangat menggelisahkan pula ketika sosok Nyai Walidah yang saat ini diperbincangkan, namun yang ditangkap dari sosoknya hanya sebatas trend jilbab saja. Hal lain, sebagai pejuang, pembela hak perempuan, hak anak-anak atas pendidikan, pemimpin gerakan perempuan, dan istri yang setia, harus juga ditangkap. Keluasan ilmunya, sehingga orang berbondong-bondong untuk belajar dengannya, jangan juga dilupakan. Wallohu’alam

Blitar, 25 September 2017
Ahmad Fahrizal Aziz