loading...

Selasa, 08 Desember 2015

IMM dan Muhammadiyah, Pasca Kongres HMI dan Muktamar NU



Terlepas dari benar tidaknya pemberitaan media atas kisruhnya kongres HMI di Riau, sebenarnya ada hal penting yang patut menjadi perhatian publik, terutama Umat Islam, selain daripada baku hantam serta pengrusakan fasilitas umum yang mungkin saja didramatisir agar nampak bombastik. Satu pertanyaan yang substansial untuk Organisasi Mahasiswa Islam sebesar HMI ini adalah, bagaimana pola kaderisasi yang selama ini dijalankan?

Pertanyaan ini barangkali juga relevan untuk Organisasi lain yang senafas dengan HMI, yang lahir dan menjadi bagian penting dari semangat gerakan Mahasiswa era orde lama seperti PMII dan IMM. Tiga Organisasi Mahasiswa Islam ini berusia diatas 50 tahun. Usia yang semestinya sudah cukup matang.

Jika mengingat sejarah, HMI sendiri merupakan bagian dari sayap Ormas/Parpol Masyumi. Artinya, HMI merupakan anak kandung Masyumi, dimana Masyumi sendiri didirikan oleh tokoh-tokoh dari beberapa Ormas Islam yang sudah dahulu ada seperti NU dan Muhammadiyah.

Sederhananya, HMI merupakan wadah perjuangan atau kaderisasi Mahasiswa Islam yang dulu dipersiapkan untuk berjuang ke dalam Masyumi. Masyumi sendiri dibubarkan oleh Soekarno dengan beragam alasan. Sebelum pembubaran Masyumi, di internal pun sudah terjadi pergolakan. NU misalkan, membuat Organisasi sayap Mahasiswa sendiri yang disebut PMII, bahkan mendirikan Partai tersendiri.

Ada yang menarik antara HMI yang lahir 1947 dengan PMII yang lahir 1960. PMII menambahkan istilah “Indonesia” di belakangnya. Sementara HMI tidak. Jika kita ingat, Masyumi termasuk Partai yang kekeh agar Islam menjadi dasar negara, dan bukan Pancasila. Di era Orde Baru pun, sempat muncul istilah HMI MPO dan DIPO, lagi-lagi karena perbedaan asas tersebut.

Setelah Masyumi dibubarkan oleh rezim Orde Lama, HMI pun tidak ikut bubar atau dibubarkan, meski sempat ada isu pembubaran tersebut. Selain HMI, sayap Pelajar Islam Masyumi yaitu PII (Pelajar Islam Indonesia) juga tidak ikut bubar atau dibubarkan.

Maka ibarat anak, HMI sudah lama kehilangan induk. Sementara NU, sudah memiliki PMII bahkan Partai Politik sendiri. Meskipun PMII pun akhirnya lepas juga dalam deklarasi Murnajati tahun 1972.

Pasca dibubarkannya Masyumi, formasi kekuatan Islam memang tercerai berai. Ada spekulasi sejarah bahwa akhirnya Muhammadiyah pun harus mendirikan Organisasi sayap Muhammadiyah sendiri yaitu IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadyah). Di kalangan HMI, lahirnya IMM pun dinilai untuk mewadahi kader-kader Muhammadiyah di HMI jikalau HMI akhirnya dibubarkan Pemerintah sebagaimana Masyumi.

Tapi ternyata HMI tidak dibubarkan, sementara IMM tetap berdiri di tahun 1964. Pendiri awal IMM sendiri sebelumnya juga aktif di HMI. Akhirnya muncul tafsir sejarah begini :

Sebagian mahasiswa Muhammadiyah tidak sepakat dengan pendirian IMM karena toh akhirnya HMI tidak dibubarkan. Ada juga yang berpendapat bahwa adanya HMI sudah tidak memiliki afiliasi yang jelas karena Masyumi telah dibubarkan, artinya pendirian IMM tetap perlu. Mereka yang memiliki pemikiran kedua ini yang mungkin akhirnya mendirikan IMM, seperti Djazman Al Kindi yang dikenal sebagai pendiri dan juga Amien Rais yang kemudian dikenal sebagai tokoh Reformasi.

Pada perkembangannya, kader-kader HMI pun menyebar ke berbagai Ormas dan Parpol. Misalkan, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung yang besar di Golkar. Hamzah Haz di PPP.  Anas Urbaningrum di Demokrat. Dll. Itu baru dalam afiliasi Politik.

Dalam perkembangannya, terutama dalam ruang-ruang intelektualisme, muncul sosok seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menolak formalisasi Islam baik sebagai Partai ataupun dasar negara. Padahal, sosok sentral Masyumi dahulu (yang notabene adalah induk HMI) ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tokoh yang berkebalikan dengan Cak Nur yang juga alumnus HMI adalah Abu Bakar Baasyir yang ingin mendirikan negara Islam.

Meskipun Pemikiran Abu Bakar Baasyir sejalan dengan HMI atau Masyumi masa lampau, namun di internal HMI sendiri pemikiran Cak Nur lebih diterima bahkan menjadi ideologi tersendiri bagi HMI sekarang ini.

Namun setidaknya, sebagai Ormas yang besar, HMI memang bukan sekarang ini terdera konflik internal. Dulu sudah pernah, dan mungkin lebih mengerikan, adalah konflik yang memecah HMI menjadi dua. Tapi konflik tersebut jelas dasar argumentasinya. Perihal asas, dan itu efeknya bisa ke ideologi, gerakan, hingga hasil perkaderan. Yang MPO ingin agar asas HMI adalah Islam, sementara DIPO mengikuti aturan Pemerintah menggunakan asas Pancasila.

Sementara Pancasila sendiri, termasuk Soekarno sebagai penggagasnya, selalu dilekatkan pada gerakan kiri. Kajian-kajian tentang Soekarno sepanjang Orde Baru, lebih mengaitkannya dengan Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, ketimbang dengan Islam. Padahal Sorkarno adalah seorang Muslim, bahkan secara simbolik selalu menggunakan Peci.

Akhirnya muncul kekhawatiran jikalau asasnya Pancasila, HMI yang notabene ormas Islam ini akan menjelma menjadi gerakan kiri.

Sekalipun terjadi konflik, konflik tersebut memiliki dasar dan pandangan yang luas tentang masa depan organisasi tersebut berikut dengan proses perkaderan di dalamnya. Lalu apakah kisruh yang terjadi di Riau kemaren juga memiliki semangat yang sama, atau jangan-jangan hanya konflik kepentingan Politik jangka pendek karena massa pendukung calon dalam kongres?

Kita tidak bisa memungkiri bahwa HMI memiliki kekuatan Politik yang besar di Negara ini. kekuatan Politik itu nampak menggiurkan. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa diluar Politik, HMI punya tokoh-tokoh besar seperti Mahfud MD, Azyumardi Azra, Malik Fadjar, Komarudin Hidayat, Anies Baswedan, dll.

Jika konflik tersebut, kisruh tersebut, hanya didasarkan pada konflik kepentingan politik jangka pendek, maka apakah kiranya HMI mampu atau punya energi untuk menciptakan kader-kader sekaliber Mahfud MD atau Azyumardi Azra di masa mendatang? Atau HMI hanya akan melahirkan Politisi rabun ayam (meminjam istilah Buya Syafii Maarif) yang hanya melihat sesuatu dari kepentingan politik jangka pendek?

Pertanyaan tersebut barangkali juga relevan untuk ditanyakan kepada PMII yang kini mulai dekat kembali ke pangkuan NU. Sayangnya, Muktamar NU di Jombang beberapa waktu lalu menyisakan satu cerita tak sedap. Ricuh di Muktamar yang konon karena sistem AHWA. Konflik didasarkan pada hal-hal mekanistik, yang berujung pada misalkan, tidak masuknya Mantan ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi sebagai Anggota Rois Am.

Berita ricuhnya kongres HMI di Riau seolah menyambung pemberitaan negatif pasca Muktamar NU. Padahal keduanya sama-sama Ormas Islam yang besar, bahkan yang terbesar jika dihitung basis massanya.

IMM dan Muhammadiyah
Secara Politik, NU memang lebih jelas dan gamblang dalam menentukan sikapnya. Bahkan ketika terjadi ketegangan antara Pemerintah dan Masyumi, NU dengan cekatan membentuk Parpol dan sayap Organisasi Mahasiswa sendiri. Muhammadiyah, pada era itu, seolah melihat arah angin. Baru kemudian, di tahun-tahun berikutnya, Muhammadiyah secara tegas menyatakan diri tidak berpolitik secara praktis.

Hanya saja, lahirnya PAN di era reformasi, seolah menjadi jawaban tersendiri atas sikap politik warga Muhammadiyah. Dalam pembacaan publik, mau tidak mau, PAN adalah Muhammadiyah. Meskipun secara administratif-struktural, antara PAN dan Muhammadiyah sama sekali tak memiliki hubungan formal.

Itulah barangkali yang membuat Muhammadiyah tetap tenang ketika ada moment seperti Muktamar. Selain karena sistem yang sudah sedemikian tertata, warga Muhammadiyah –sekalipun pernah dan masih menjadi anggota aktif parpol—tidak membawa nuansa politis dalam arena Muktamar. Artinya, “Kemuhammadiyahan” warga Muhammadiyah masih cukup kuat ketimbang “Jiwa Politiknya”.

Salah satunya, ketika Dr. Haedar Nashir, M.Si terpilih sebagai ketua Umum dengan jalan Musyawarah. Pasca itu, tidak ada reaksi keras dari Muktamirin. Semua legowo. Meskipun sempat terdera perdebatan di tahun 2005 tentang isu Liberalisme di tubuh Muhammadiyah, dan media-media online banyak yang membakar emosi publik dengan propaganda-propaganda negatif bahwa di Muhammadiyah tersusupi virus-virus liberal, akan tetapi isu tersebut tidak begitu berkembang di internal Muhammadiyah sendiri.

Yang menarik, ketimbang Ormas Islam lain di Indonesia, Muhammadiyah termasuk yang paling tua, dan jika dihitung dari aset secara institusional, misalkan Jumlah Perguruan Tinggi, Muhammadiyah bisa dikatakan terbesar di Indonesia. Bahkan Jumlah perguruan tingginya lebih banyak dari PTAIN.

Untuk merawat “kekayaan internalnya” itu Muhammadiyah lebih baik memang tidak terlalu dekat dengan Penguasa. Selain itu, penguatan perkaderan juga harus ditata. Muhammadiyah punya IMM yang jelas-jelas secara syah dan legal merupakan Organisasi Otonom Muhammadiyah. Bedanya dengan IPM, Jika IMM semuanya Mahasiswa, jika IPM belum tentu semuanya Mahasiswa. Namun baik IPM dan IMM adalah sayap gerakan yang penting untuk masa depan Muhammadiyah.

Untuk bisa merawat lembaga-lembaga Pendidikan dan juga lembaga amal usaha berbasis profesi lain seperti Rumah Sakit, Muhammadiyah sangat membutuhkan peran kaum akademisi. Untuk jadi Guru mulai tingkat TK hingga SMA saja, butuh Sarjana. Apalagi untuk mengelola Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit.

IMM, oleh karena mereka Mahasiswa, adalah aset penting untuk masa depan Muhammadiyah. Artinya, selain mereka belajar disiplin ilmu yang digeluti di Perguruan Tinggi, disatu sisi mereka dididik untuk menjadi kader Muhammadiyah, Paham Muhammadiyah dan ber-Muhammadiyah.

Karena itulah, ketimbang merawat organisasi lain, alangkah baiknya Muhammadiyah merawat anaknya sendiri, begitupun dengan kader IMM, harus ingat rumah besarnya di Muhammadiyah. Jangan tergoda oleh kepentingan politik jangka pendek berbasis parpol. Ber-politik adalah bagian dari ber-Muhammadiyah, bukan ber-Muhammadiyah untuk ber-Politik.

Pada akhirnya, Muhammadiyah tidak perlu menyebut diri sebagai Ormas toleran, damai, sejuk, mendidik, dakwah, dll. Cukup menunjukkan secara sikap. Jangan sampai berkelakar menyebut diri sebagai Islam damai namun justru di internalnya terjadi konflik.

Untuk itulah, relasi IMM dan Muhammadiyah di masa depan menjadi penting, dan bahkan sangat penting. (*)

Blitar, 8 Desember 2015
A Fahrizal Aziz

Jumat, 04 Desember 2015

Dakwah yang Membumi



Da'wah Yang Membumi

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Ibrahim, ayat 4)

Menurut KBBI (kamus Besar Bahasa Indonesia) Dakwah adalah penyiaran; propaganda  agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Tujuan Dakwah dalam artian sederhana adalah supaya orang yang diajak mau mengikuti sang Dai (pendakwah). Dakwah juga bukan sedekar menyampaikan, akibat salah dalam menyampaikan isi dakwah bisa membuat orang bukannya ikut dengan ajakan dai tetapi malah lari darinya. Terus apa gunanya berdakwah kalau yang di ajak malah lari?

Salah satu fenomena yang berkembang di dunia dakwah yaitu Da’i yang gemar memvonis “sesat”, Bid’ah” dan “kafir” pada orang atau kelompok diluar kelompoknya. Dari fenomena itu akhirnya muncul gerakan gerakan Islam garis keras yang menghalalkan segala cara agar tujuannya bisa terwujud, salah satu contohnya adalah perilaku bom bunuh diri.

Harus di pahami juga bahwa dakwah adalah aktivitas yang selalu berproses, seorang da’i harus berfikir luas dan berani keluar dari jeruji elitisme dan ekslusifme. Tidak mengapa kita belajar dari model dakwah walisongo, Jika pada waktu itu walisongo mampu diterima dan menembus akar rumput masyarakat, kenapa sekarang banyak juru dakwah sangat sulit melakukannya, terutama juru dakwah yang mengusung jargon “kembali ke Al Quran dan as sunnah”.        

Rujukan utama cara Berdakwah kita adalah Rosullulah SAW, Ketika mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari RA  untuk berdakwah ke Yaman, beliau (Muhammad SAW) menyampaikan pesan emas kepada kedua sahabat tersebut: 

Berilah kemudahan dan jangan mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari..” (HR Bukhari dan Muslim).

Meskipun pesan tersebut singkat, namun maknanya sangat luas dan mendalam. Disebutkannya “jangan mempersulit” sebagai antonim setelah “berilah kemudahan”, memberikan faidah penegasan, bahwa perintah tersebut tidak hanya sekali saja, namun dalam segala kondisi. Karena bisa jadi seseorang memberi kemudahan pada orang lain di satu waktu namun di waktu yang lain dia mempersulit. Begitu pula perintah memberi kabar gembira dan larangan membuat lari. Demikian yang dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Dakwah yang kreatif serta mudah dicerna, bisa kita lihat dari kisah KH. Ahmad Dahlan dalam Film ataupun Novel “Sang Pencerah”. Diceritakan, Jazuli (salah seorang murid Kiai Dahlan) bertanya: “Yang disebut agama itu sebenarnya apa kiai?”.

Kiai tidak menjawab secara definitif, akan tetapi beliau malah mengambil biola kemudian memainkan tembang Asmaradana (salah satu tembang macapat tentang api asmara/ cinta), alunan biola yang indah itu membuat mereka terbuai.

“apa yang kalian rasakan setelah mendengar music tadi”Tanya kiai Dahlan pada muridnya.

Aku merasakan keindahan, kiai, kata Daniel. “seperti mimpi” kata sangidu. “tentram, semua persoalan rasanya hilang”, sambung Jazuli. “damai”, tambah Hisyam.

“Itulah agama” kata Kiai Dahlan sambil menatap satu persatu muridnya. “Orang beragama hidupnya merasakan keindahan, rasa tentram dan damai. Agama itu seperti music, mengayomi dan menyelimuti”.

Kiai Dahlan lalu menyerahkan biola kepada Hisyam dan menyuruhnya main. Awalnya Hisyam menolak karena sama sekali tidak bisa main biola, tetapi Kiai Dahlan terus meyuruh sebisanya. Maka terdengarlah suara kacau balau, menyakitkan telinga dan mengganggu orang disekitarnya. “Nah, bagaimana dengan penampilan Hisyam tadi?” Tanya Kiai Dahlan.

“Edan, berantakan”, jawab Hisyam

“Demikian juga dengan agama”, kata kiai Dahlan. “Jika kita tidak mempelajari dengan baik, agama itu hanya akan membuat diri sendiri dan lingkungan resah”

Dari cerita di atas bisa kita lihat bagaimana kreatifnya sosok Ahmad Dahlan dalam berdakwah. Dengan lagu asmaradana beliau memberi kesan yang kuat bahwa di tangan orang memahami agama yang mendalam, maka agama itu akan menjadi sesuatu yang indah, menentramkan, damai dan memberikan solusi. Kiai Dahlan berhasil menjelaskan agama yang secara definitif nampak abstrak jika menggunakan bahasa kalam dan fikih, menjadi lebih kongkret, sederhana dan mudah dimengerti. Dengan cara itu para murid kiai Dahlan bisa faham tanpa harus menghafal.

Seorang Da’i seharusnya tidak hanya cerdas dalam membaca dan memahami teks agama yaitu Al Quran dan Sunnah, tetapi juga cerdas dan arif memilah siapa yang di hadapi (kondisi lahan dakwah), serta mampu membaca fenomena sejarah dan perkembangan budaya yang juga bagian dari ayat Tuhan.

            Wallahu’alam bishowab

           Blitar 03122015

______________

B


Kamis, 03 Desember 2015

Asal Mula Kebiasaan Modern Islam di Indonesia




(Studi Gerakan R. Ng. KH. Ahmad Dahlan)

Oleh: Khabib M ajiwidodo*
                                                                                                                   

Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat, sedangkan Kebiasaan adalah pengulangan sesuatu secara terus-menerus atau dalam sebagian besar waktu dengan cara yang sama dan tanpa hubungan akal, atau sesuatu yang tertanam di dalam jiwa dari hal-hal yang berulang kali terjadi dan diterima tabiat. Mengulangi melakukan sesuatu yang sama berkali-kali dalam rentang waktu yang lama dalam waktu berdekatan. Kebiasaan juga berarti keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatanya tanpa berpikir menimbang.


Awal mula Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah merupakan  sebuah reaksi terhadap kondisi umat Islam di Hindia Belanda terutama di jawa yang dinilai tidak mampu meghadapi tantangan zaman karena lemah dalam berbagai bidang kehidupan. Menurut Buya Hamka, ada tiga faktor yang melemahkan Umat Islam, yang dinilai Ahmad Dahlan agak memprihatinkan, yaitu kebodohan, kemiskinan dan kondisi pendidikan Islam yang sangat kuno, sehingga tidak mampu bersaing dengan sekolah sekolah Missi dan Zending. Karena itu semua kegiatannya di sebut “amal-usaha” yang mengandung arti sebagai ikhtiar (usaha) sehingga semua kegiatan ritual Islam berfungsi langsung bagi perbaikan hidup masyarakat.


Pada era sebelum Muhammadiyah berdiri, lembaga lembaga pendidikan islam tidak lagi memproduksi kader kader yang memenuhi tuntutan zaman. Umat Islam kebanyakan hidup dalam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berfikir secara dogmatis, mereka berada dalam konservativisme, formalisme dan terkurung dalam pengaruh tradisionalisme. Maka dari itu, seorang Kiai Kauman “pengasuh langgar kidul” melakukan ijtihad gerakan, yang gunanya untuk  kemajuan serta menggembirakan ajaran Agama Islam. Kiai Dahlan, melakukan aktivitas yang di anggap “nyeleneh” oleh kebanyakan orang. Di anggap nyeleneh karena waktu itu baru Kiai Dahlan yang melakukan aktivitas agama Islam seperti itu. Aktivitas aktivitas tersebut antara lain:

1. Di masa Kiai Ahmad Dahlan di lakukan kegiatan guru keliling atau guru desa, kalau istilah sekarang di sebut pengajian. Menurut Geertz, kegiatan tersebut menjadi tradisi pemeluk Islam terutama yang tergolong kaum santri.

2. Selain pengajian rutin, di hari besar Islam seperti Isra mi'raj, hijrah, puasa ramadhan, bulan haji di selenggarakan juga pengajian dengan skala besar. Di kemudian hari di kenal dengan Tabligh akbar.

3. KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah menggerakkan seluruh pemeluk Islam (laki laki dan perempuan) untuk melaksanakan sholad hari raya (idul fitri dan idul adha) ke tempat tempat terbuka (tanah lapang). Sholad Dua hari raya Islam dikelola oleh panitia,pengelolaannya juga sama dengan pengelolaan masjid, di tenah terbuka itu juga di beri garis melintang sebagai tanda shaf.

4. KH . Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah membentuk panitia zakat fitrah di kemudian hari disebut lembaga amil zakat infaq shodaqoh (LAZIS). Dimasa sekarang kegiatan serupa di lakukan oleh seluruh Ormas Islam. Saat ini banyak badan amil zakat yang mengembangkan gerakan sosial berbasis zakat, contohnya : menyediakan ambulan bagi orang sakit atau jenazah, mendirikan taman baca, mendirikan team SAR, dls.

5. KH . Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah menggerakkan anak anak muslim laki laki dan perempuan untuk memasuki sekolah yang ada. Kini tidak ada anak perempuan yang dilarang sekolah, Disini letak kepedulian Muhammadiyah terhadap kaum perempuan,  dan tidak ada lagi yang melarang masuk ke sekolah umum yang dulu di haramkan. Lembaga pendidikan Islam modern bahkan menjadi ciri utama kelahiran Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam modern inilah yang sekarang diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan Umat Islam secara umum, langkah ini pada masa lalu merupakan gerakanpembaruan yang suskses, yang mampu melahirkan generasi terpelajar muslim, kalau istilah IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)adalah cendekiawan-cendekiawan berpribadi.

6. KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah mengelola perjalanan Haji secara modern dengan mendirikan kapal haji yang kini dikelola Departemen agama. Pada Era Ahmad Dahlan, Muhammadiyah berniat membeli Kapal Motor khusus untuk kepentingan haji, tapi di tolak oleh pemerintah Belanda.

7. KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah mempelopori pendidikan modern yakni menyatukan pengajaran agama dan pengajaran umum dengan ruang kelas yang memakai bangku dan papan tulis.

8. KH. Ahmad Dahlan melalui  Muhammadiyah menjadi pelopor kegiatan sosial dari rumah sakit hingga panti asuhan yatim piatu, dari pertanian hingga perekonomian dan perbankan, dari mencarikan jodoh sampai penyiapan jenjang perkawinan, rumah korban perang, rumah orang terlantar, rumah jompo dan pondok pelajar yang kesemuanya itu dikenal dengan penolong kesengsaraan umum (PKO/U).

9.  Pada masa itu Kiai Ahmad dahlan adalah tokoh lintas agama, lintas suku dan lintas budaya. Kala itu kiai Ahmad Dahlan menjadi guru di sekolah umum yang didirikan belanda, menjadi anggota jamiat al khair, menjadi anggota SI (sarekat islam) serta menjadi anggota istimewa perkumpulan BU (budi utomo). Hal ini membuktikan bahwa muhammadiyah itu tidak bersifat esklusif, tetapi Inklusif dan terbuka.

10. KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah adalah pelopor pengelolaan Masjid secara modern dengan stuktur kepengurusan yang jelas.

11. KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah menjadi pelopor penyediaan ta'jil di masjid masjid menjelang buka puasa.

12. KH. Ahmad Dahlan melalui Muhamnadiyah menggerakkan penggunaan bahasa lokal dalam setiap khutbah, baik khutbah jumat ataupun khutbah hari raya. Menurut Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, MA (sejarawan dan budayawan Muhammadiyah), seringkali isi khutbah dan pengajian KH. Ahmad Dahlan mengandung kritik atas suatu kebijakan politik atau berita yang yang sekali waktu menggerakkan masyarakat melakukan suatu tindakan serentak.

13. KH. Ahmad Dahlan melalui  Muhammadiyah adalah pelopor kegiatan kepanduan di kalangan umat Islam yang di sebut kepanduan Hizbul Wathan. Sampai saat ini kepanduan Hizbul Wathon masih eksis walaupun pada era orde baru sempat di bekukan. Tokoh yang paling terkenal hasil dari didikan HIzbul Wathon adalah Mbah Gesang (maestro music keroncong) dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Pada masa itu apa yang di lakukan Kiai Ahmad Dahlan melalui muhammadiyah adalah sesuatu yang luar biasa karena sebelumnya masyarakat atau Umat Islam Indonesia belum melakukan kegiatan serupa. Kini kegiatan Muhammadiyah tersebut sudah menjadi aktivitas rutin Umat Islam di Indonesia.


Dari data di atas dapat di katakan bahwa secara kultural pemeluk Islam di Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah walaupun secara formal sebagai anggota Nahdlatul ulama (NU) atau organisasi lain. 

Sangat wajar sekali bila saya mengatakan "MUHAMMADIYAH ADALAH INDUK  AKTI
VITAS UMAT ISLAM DI INDONESIA DAN R. NG . KH. AHMAD DAHLAN SEBAGAI PELOPORNYA”


Blitar, 2 desember 2015

____________________

*Khabib Mulya Ajiwidodo adalah mantan ketua PC. IMM Kediri (Periode 2010-2011), Ketua Bidang kader PD Pemuda Muhammadiyah Kota Blitar (Periode 2015 sampai sekarang) dan Pimpinan Redaksi Srengenge Online. 
bisa dihubungi lewat emai : widodoaji79@yahoo.com , bbm D14E1072 , dan NO HP/ WA 081331418034