loading...

Selasa, 29 Agustus 2017

Kenapa Film Nyai Dahlan Kurang Greget?





Srengenge –Kemunculan Film Nyai Ahmad Dahlan yang diproduksi oleh Iras Film, menimbulkan rasa penasaran dan antusiasme tersendiri di kalangan warga Muhammadiyah. Tak sedikit yang kemudian mengadakan nonton bareng, baik dari organisasi maupun amal usaha seperti Pendidikan. Namun kehadiran Film Nyai Ahmad Dahlan tentu akan mendapatkan tantangan tersendiri, mengingat sebelumnya sudah muncul film Sang Pencerah di tahun 2010.

Selain apresiasi dan pujian, tak sedikit juga yang memberikan kritik terhadap film tersebut, apalagi jika dibandingkan dengan film Sang Pencerah. Ketua PDM Batu, Nurbani Yusuf, bahkan menulis khusus responnya setelah menonton film Nyai Ahmad Dahlan yang menurutnya seperti “kehilangan cerita”. Begitu pun ketika rombongan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PDM Kab. Blitar menggelar nonton bareng, seusai acara muncul beberapa diskusi kritis terkait film itu.

Srengenge Online beberapa hari lalu juga menerbitkan tulisan kemungkinan Film Nyai Ahmad Dahlan melampaui penonton Sang Pencerah, terlepas dari kualitas, baik dari segi “penataan film” sampai akting pemainnya. Berikut beberapa ulasan redaksi, kenapa Film Nyai Ahmad Dahlan nampak kurang greget, jika dibandingkan dengan Sang Pencerah.

Meski Aisyiyah sudah dikenal sejak lama sebagai Organisasi perempuan pendamping Muhammadiyah, namun perlu dipahami bahwa kajian tentang sosok Nyai Walidah begitu jarang. Bahkan nama Nyai Walidah seolah tenggelam oleh kebesaran nama KH. Ahmad Dahlan sendiri, sampai film tentangnya pun menggunakan nama Nyai Ahmad Dahlan, bukan Nyai Walidah.

Hal ini tentu berbeda dengan R.A Kartini atau Cut Nyak Dien yang memang dikenal langsung dari figurnya, tanpa dibayangi kebesaran suami atau pendampingnya masing-masing. Karena minimnya kajian tentang sosok Nyai Walidah ini pula, figurnya kurang begitu muncul ke permukaan. Ketika hendak difilmkan, tentu sedikit lebih susah mengumpulkan data dan informasinya.

Selain itu, jika dilihat dari sisi bisnis, film ini memang sangat menjual setidaknya dikalangan warga Muhammadiyah sendiri, yang selama ini memang jarang atau bahkan tak pernah membaca kisah Nyai Walidah, selain hanya tahu sebagai pendiri Aisyiyah (atau pengajian sopo tresno). Di kalangan non warga Muhammadiyah, film ini mungkin tidak begitu menjual.

Ini berbeda hal dengan film Sang Pencerah, yang diperankan oleh Lukman Sardi, aktor kawakan yang memang spesialis film layar lebar. Nama-nama lain meski tidak begitu lama muncul dalam adegan juga sangat menjual, misalkan seperti Sujiwo Tedjo yang memerankan KH. Fadli, paman Walidah. Nama beken lain seperti Slamet Rahardjo, Agus Kuncoro, Zaskiya A Mecca, Ihsan Tarore, Joshua Suherman sampai Giring Nidji juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi pengisi Soundtracknya, selain Giring Nidji juga Rossa yang menyanyikan ulang Mars Muhammadiyah. Ini yang membuat Sang Pencerah nampak begitu menjual, bahkan dikalangan non warga Muhammadiyah.

Kesamaan paling mencolok antara kedua film tersebut adalah tata musiknya yang sama-sama digarap oleh Tya Subiakto. Dalam Festival Film Bandung, Sang Pencerah meraih tiga penghargaan khusus teknis perfilman yaitu tata musik, tata kamera, dan tata artistik, selain penghargaan lain sebagai Film Terpuji, Pemeran Utama Pria sampai Sutradara Terpuji.

Keunggulan dari segi sinematografi, bisa jadi juga berkaitan dengan anggaran. Tentu tidak bisa serta merta kedua film ini diperbandingkan, mengingat ada banyak faktor yang mempengaruhi. Barangkali yang sudah menonton Sang Pencerah, akan lekas membandingkannya dengan Film Nyai Ahmad Dahlan dan akan terasa letak perbedaannya.

Meski demikian, menurut Ketua Fokal IMM Blitar, Choirul Umam, film ini sangat layak dijadikan referensi visual. Begitu pun yang dulu pernah diungkapkan oleh Ahmad Najib Burhani, peneliti senior LIPI, bahwa film Nyai Ahmad Dahlan ini akan memberikan gambaran sejarah perjuangan Nyai Walidah dengan cara yang lebih ringan.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihan film Nyai Ahmad Dahlan, kita patut merespon positif, karena bisa jadi film ini menjadi pembuka untuk lebih mengkaji, mendiskusikan, dan meneladani sosok Nyai Walidah, sebagai aktivis perempuan Islam di Indonesia, yang selama ini kurang begitu dikenal luas perjuangannya, bahkan di kalangan warga Muhammadiyah sendiri. [red.s]

Ulasan Redaksi Srengenge

2010, Sang Pencerah Menjadi Film Terlaris





Srengenge -Sang Pencerah, film yang mengkisahkan perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah ini menjadi film terlaris di tahun 2010. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo tersebut bahkan memperoleh 13 Penghargaan, meski tidak satu pun penghargaan diraih dalam FFI (Festival Film Indonesia) sehingga menimbulkan polemik di internal juri.

Menurut informasi dari situs filmindonesia.or.id, Sang Pencerah mendapatkan prakiraan penonton diatas 1 juta. Data yang dirilis di websitenya sejumlah 1.108.600 penonton. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di tahun 2010 untuk film Indonesia. Urutan kedua adalah film Dalam Mihrab Cinta yang diadaptasi dari Novel karya Habiburrahman El Shirazy, yang juga penulis Ayat-ayat Cinta. “Dalam Mihrab Cinta” mendapatkan penonton sebesar 623.105.
 
Film terlaris di tahun tersebut
Urutan ketiga adalah film 18+ : True Love Never Dies sebanyak 518.527 penonton. Urutan keempat film Pocong Rumah Angker sebanyak 503.450 penonton, dan urutan kelima adalah film Kabayan Jadi Miliyuner sebanyak 477.076 penonton. Pada tahun itupula dirilis film karya Deddy Mizwar berjudul Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Namun hanya mendapatkan penonton sebanyak 392.625.

Mendapatkan penonton diatas 1 juta, sempat memasukkan Sang Pencerah dalam 10 film Indonesia terlaris sepanjang massa, sebelum kemudian digeser oleh film lain, termasuk film biopik Habibie Ainun yang menceritakan kisah percintaan dan perjuangan Presiden RI ketiga B.J Habibie yang meraih lebih dari 4,5 juta penonton.

Posisi film terlaris sepanjang massa yang sebelumnya diraih oleh Laskar Pelangi pun digeser oleh Warkop DKI Reborn 2016 yang meraih penonton diatas 6 juta. Sampai saat ini, 10 film terlaris di Indonesia dari urutan 7 sampai 10 mendapatkan penonton diatas 2 juta. [red.s]

Minggu, 27 Agustus 2017

Mungkinkah Film Nyai Dahlan Melampaui Sang Pencerah?


Srengenge - Film Nyai Ahmad Dahlan mulai tayang pada 24 Agustus 2017. Warga Muhammadiyah, dan khususnya Aisyiyah begitu antusias menyambut film yang menceritakan kisah hidup pendiri Organisasi Perempuan Aisyiyah ini. Tak kalah dengan antusiasme ketika menyambut film Sang Pencerah. “Bedanya sekarang ini info lebih gencar, terutama melalui WA, berbeda ketika Sang Pencerah dulu,” ujar Fahrizal, Ketua Paguyuban Srengenge.

Warga Muhammadiyah pun berduyun-duyun melaksanakan nonton bareng, bahkan menyewa studio bioskopnya. Melihat begitu besarnya antusiasme, bukan tidak mungkin akan melampaui jumlah penonton Sang Pencerah. “Sang Pencerah menembus angka 1,2 juta penonton menurut situs bookmyshow, itu situs yang sering memberikan informasi seputar film, termasuk memesan tiket online,” lanjut Fahrizal.

Namun menurut Fahrizal, angka 1,2 juta itu masih mungkin terkejar jika melihat jumlah warga Muhammadiyah sampai pada Ortomnya. “Untuk sebuah film biopik pendiri Ormas besar, angka 1,2 juta itu sebenarnya kecil. Kita misalkan saja, warga Muhammadiyah se Indonesia itu ada 20 juta. Jika yang menonton 10% saja, sudah 2 juta penonton,” jelasnya.

Namun perlu diketahui juga, bahwa selain diputar di bioskop, Sang Pencerah dulu juga di putar diluar bioskop, mengingat tidak semua kota berdiri bioskop besar. Belum lagi versi bajakan yang cepat sekali beredar, sehingga minat orang untuk pergi ke bioskop jadi berkurang, karena bisa mendapatkan copyan bajakannya.

“Namun meski begitu, Sang Pencerah masih menjadi salah satu film biografi epik terlaris setelah Ainun Habibie, mungkinkah Film Nyai Ahmad Dahlan akan melampauinya? Kemungkinan itu tentu saja ada, tapi film sangat berkaitan erat dengan siapa pembuatnya dan pemerannya, sulit untuk melampaui Sang Pencerah,” pungkasnya. (SJP/red.s)

Kamis, 24 Agustus 2017

Soekarno Adalah Penghalang Bagi PKI





Banyak analisis yang berkembang bahwa diakhir pemerintahannya, Soekarno justru mendekat dengan PKI. Hal itu semakin menguat ketika dibubarkannya dua Parpol besar, yaitu Masyumi dan PSI pimpinan Sutan Sjahrir. Namun analisis berbeda justru disampaikan Soejatmoko, salah satu Intelektual papan atas Indonesia yang juga dekat dengan Sutan Sjahrir. Menurutnya, justru Soekarno lah penghalang bagi PKI.


Soekarno tidak serta merta menolak PKI sebab masih memiliki hubungan khusus dengan poros negara Komunis seperti China dan Rusia, disatu sisi ideologi PKI dilebur menjadi satu dengan Nasionalis dan Agama. Sehingga gerak PKI tidak bisa leluasa, terlebih ada militer yang juga sangat kuat menjaga idelogi negara.

Sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa PKI—karena begitu dekat dengan Soekarno—justru akan menikung, seperti misalkan melakukan kudeta. Opini inilah yang juga berkembang luas di Masyarakat, sehingga para Perwira mengambil sikap tegas dan konfrontatif. Namun Soedjatmoko juga berpendapat, Soekarno disatu sisi juga rintangan utama bagi ambisi para perwira.

Ia pun menggaris bawahi, bahwa pada suasana politik yang semacam itu, ambisi politik para perwira lebih berbahaya ketimbang PKI. Artinya, secara politik Soekarno memang tengah berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terhimpit diantara dua kepentingan besar. Soekarno tetap ingin berada di tengah, dengan PNI sebagai kekuatan politiknya.

Kekhawatiran juga andaikala Perwira masuk dalam gelanggang politik, maka cita-cita menjadi negara demokrasi akan gagal. Sepertinya Soedjatmoko memang membaca bahwa banyak perwira yang tidak lagi loyal dengan Presiden, sehingga ia berspekulasi bahwa ambisi Politik beberapa oknum perwira lebih berbahaya daripada PKI.


Hal tersebut disampaikan Soedjatmoko kepada sahabatnya George McTurnan Kahim, guru besar Cornell University, USA yang kala itu sedang meneliti tentang Indonesia. Sebagai Intelektual yang terpandang, fikiran-fikiran Soedjatmoko tentu sangat diperhitungkan, sehingga ia pun menjadi informan utama, yang pada akhirnya kemudian mereka bersahabat.

Dialognya dengan Soedjatmoko tersebut diabadikan dalam sebuah buku berjudul Southeast Asia- A Testament, pada halaman 152-156. Soedjatmoko Mangoendiningrat adalah Intelektual Indonesia yang malang melintang di dunia Internasional. Ia menjadi salah satu orang terdekat Sutan Sjahrir, pimpinan PSI yang juga pernah menjadi Perdana Menteri.

Di era Soeharto, ia diangkat selama tiga tahun menjadi Duta Besar RI untuk Amerika Serikat. Tentu bukan tanpa alasan kenapa Soeharto, yang notabene adalah Perwira Tinggi menunjuknya sebagai Dubes salah satu negara yang penting bagi Indonesia, padahal Soedjatmoko memiliki latar belakang politik yang berbeda. Karena kecerdasannya memang sangat dibutuhkan. Begitu pun ketika dulu Soekarno sangat menghargainya, meski disisi lain Soekarno adalah lawan Politik Sjahrir. Soekarno nampak ketus dengan Soedjatmoko namun sebenarnya sangat menghargai Keilmuannya.

Selepas menjadi dubes ia pun mengaku sempat beberapa kali diinterogasi oleh beberapa Perwira, entah karena hal apa. Tak berselang lama iapun diangkat oleh PBB menjadi rektor Universitas PBB selama tujuh tahun, dari tahun 1980-1987 di Tokyo. Menjadi rektor untuk sebuah kampus berskala dunia menjadi puncak karirnya, sebelum meninggal dua tahun kemudian. Namun fikiran-fikiran visionernya untuk Indonesia masih terus dipelajari hingga saat ini. [red.s]

Ditulis oleh Redaksi Srengenge

Rabu, 23 Agustus 2017

Ditunjuk Jadi Dubes Amerika, Soedjatmoko Belajar Shalat





Srengenge – Ada kisah menarik ketika Soedjatmoko Mangoendiningrat ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Amerika Serikat. Soedjatmoko yang dalam riwayat politiknya dikenal sebagai “Sjahrir Boys” atau orang yang dekat dengan Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia, diberikan kepercayaan oleh Presiden Soeharto menjadi Duta Besar.


Posisi duta besar tentu bukan jabatan sembarangan. Presiden biasanya menunjuk duta besar karena sosok tersebut merepresentasikan diri dan pemikirannya. Namun ada hal yang unik, bahwa sebelum keberangkatan ke Amerika dalam rangka menjalankan tugas sebagai duta besar, ia mendatangi kediaman Rosihan Anwar untuk belajar Shalat.

Pada buku “Sejarah Kecil Petitie Histoire Indonesia” Jilid 4 halaman 26-31, Rosihan menceritakan perihal keinginan Soedjatmoko untuk belajar shalat. Meski Soedjatmoko adalah Intelektual didikan barat, dan menjadi Muslim sejak lahir, namun hidupnya tidak pernah lepas dari mistik Jawa. Bahkan dalam posisinya sebagai akademisi, ia masih mempercayai klenik Jawa, termasuk ramalan jatuhnya rezim Soekarno yang dinisbahkan dengan jatuhnya keris Soekarno di lantai pualam.

Menurutnya, sebagai duta besar dari negara mayoritas Muslim yang bertugas di negara minoritas Muslim, ia harus menunjukkan diri sebagai seorang Muslim yang taat. Apalagi, setiap tahunnya di KBRI menggelar dua kali shalat Id berjamaah khusus warga Indonesia yang bermukim di Amerika. Permintaan Soedjatmoko pun dipenuhi oleh Rosihan Anwar, sehingga digelarlah Short Course tata cara Shalat.


Setelah kursus singkat tersebut, Rosihan pun memberikan beberapa kaset tuntunan shalat untuk kemudian dipelajari sendiri. Meski demikian Rosihan tidak yakin apakah Soedjatmoko akan terus menjalankan shalat lima waktu, atau hanya pada saat digelar Shalat Id saja. Baru ia menemukan jawabannya, ketika di tahun 1980 mereka satu rombongan Haji. Disana nampak Soedjatmoko telah menjelma sebagai Muslim yang shaleh.

Bahkan sekembalinya ke Indonesia, ketika ia kemudian menjadi pejabat Bappenas, setiap Jum’at, Soedjatmoko sering mampir ke rumah Rosihan Anwar yang tak jauh dari kantornya untuk mengajak shalat Jum’at bersama. Rosihan pun menyebut bahwa Soedjatmoko telah menjelma menjadi practicing Moeslim yang taat menjalankan ibadah. (red.s)

Ditulis oleh Redaksi Srengenge