loading...

Sabtu, 27 Oktober 2018

Inilah 4 Tipe Kepribadian Menurut Alfred Adler

hetminani.ir


Manusia dibagi dalam 4 tipe kepribadian, 4 tipe ini menggambarkan pola dan karakteristik yang mengatur gaya hidup. Alfred Adler, pencetus ide psikologi individu mengembangkan skema tipologi seperti berikut :

The Avoidant type (tipe menghindar)

Dalam kelompok masyarakat, komunitas, atau organisasi muncul beberapa tipe yang cenderung menghindar dari masalah yang seharusnya dihadapi atau diselesaikan bersama. Sikap pribadi semacam ini muncul karena rendahnya minat sosial dan problem pribadi lain seperti takut disalahkan, dikalahkan, atau tersaingi.

The getting-leaning type (tipe bergantung)

Mereka yang suka menggantungkan diri pada orang lain, dan meminta orang lain menerima serta menjalankan minatnya, masuk dalam tipe kedua ini.

loading...
Dalam suatu kelompok, muncul orang yang mengharapkan orang lain berbuat lebih, padahal bisa ia lakukan sendiri. Hal ini karena adanya minat sosial yang rendah, bisa juga karena problem kepribadian seperti rasa rendah diri, tidak mampu, dsj.

The Rulling-dominant type (tipe mendominasi)

Berbeda dengan dua kepribadian sebelumnya, tipe kepribadian ini cenderung aktif dan agresif, hanya saja dia sering menerabas kesepakatan dan aturan yang telah disepakati, selain itu tak jarang melakukan segala cara agar tujuannya tercapai.

The society useful type (tipe manfaat pada masyarakat)

Adler menyebut tipe kepribadian ini paling sehat dibadingkan tiga sebelumnya. Tipe kepribadian ini akan senantiasa aktif, namun bersedia melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan. Tipe ini lebih menekankan bagaimana dirinya bisa turut serta memberikan manfaat dalam sebuah komunitas masyarakat, namun tidak mengorbankan orang lain atau masyarakat itu sendiri.

Berbeda dengan tipe pertama yang cenderung menghindar, tipe kedua yang selalu bergantung, atau tipe ketiga yang sering menerabas dan mengabaikan kesepakatan yang tidak sesuai dengan kehendaknya, tipe terakhir ini merupakan tipe kepribadian yang paling ideal dan sehat jika dilihat dari sisi mentalitasnya. (Red.s)

Sumber bacaan :
Buku Introduction to Theories Personality (1985) karya Calvin S. Hall dan Lindzey Gardner.

Jumat, 26 Oktober 2018

Kenapa Kita Mudah Lupa?

theshiftnews.com


SRENGENGE.IDPernahkah anda mudah sekali lupa pada suatu hal? Begitu pun sebaliknya, anda sulit melupakan sesuatu yang sebenarnya ingin dilupakan?

Banyak orang mengalami hal tersebut, pada kondisi tertentu itu sungguh mengganggu, namun ternyata lupa adalah suatu yang alamiah, dan sebenarnya sering terjadi.

Alfred Adler, pendiri Society for Individual Psychology, menempatkan kesadaran (consciousnese) sebagai salah satu dari tujuh prinsip dasar dalam psikologi individual.

Suatu tindakan yang tidak disadari, akan sulit diingat pada waktu yang lain. Begitupun sebaliknya. Hanya saja, kadang tidak bisa dipastikan kapan saat sadar atau tidak.

Kesadaran umumnya melibatkan emosi, hasrat, atau keinginan yang kuat. Misalkan, kenapa anak kecil yang pernah dibully, akan selalu mengingat perlakuan tersebut hingga tua? Mereka yang hidup pada zaman penjajahan misalkan, bisa menceritakan ulang berbagai peristiwa yang terjadi. Karena pada saat hal itu terjadi, emosinya benar-benar terlibat. Perasaan sedih, marah, takut, benci, dan semacamnya.

Dalam kasus lain, misalkan dalam pendidikan, mengapa mereka yang kursus bahasa asing dalam hitungan bulan bisa lebih mahir dari mereka yang sekolah selama belasan tahun? Ini karena ada keinginan atau hasrat yang kuat untuk belajar, dibanding mereka yang hanya melaluinya sebagai formalitas.

loading...
Setiap manusia sebenarnya dibekali kecakapan fisik yang sama, apalagi dalam hal mengingat sesuatu. Hanya masing-masing memiliki kehendak yang berbeda, berupa semangat, keingintahuan, hasrat, dan emosi yang berbeda.

Orang yang mudah lupa, biasanya mengalami suatu disorientasi, semangat dan kehendak yang lemah. Sehingga banyak peristiwa dia lalui tanpa kesadaran yang baik. Memang ada fase bahwa mudah lupa adalah bagian dari gangguan psikologis, selain mungkin karena faktor neurotik.

Secara alamiah orang memang mudah melupakan sesuatu yang hanya didengar, misalkan sering lupa nama orang, jalan, tempat, dan istilah-istilah lain. Orang lebih mudah mengingat apa yang pernah dilihat. Sering kita lupa nama orang yang wajahnya begitu familiar

Sementara, orang akan sulit melupakan hal-hal yang mereka rasakan. Disinilah sebenarnya titik kesadaran itu dibangun. Hal yang dirasakan selalu melibatkan emosi lebih dan selalu membekas diingatan, dibanding apa yang kita lihat dan dengar.

Sesuatu yang kita dengar dan lihat akan mudah kita ingat ketika beberapa kali melakukannya. Seperti, kita bisa mengingat dengan baik nama-nama orang yang hampir setiap hari kita sapa, mengingat jalan yang sering kita lalui, dan sebagainya.

Akan tetapi, ingatan seseorang juga bisa berkurang karena faktor regeneratif, seperti usia-usia pensiun. Sering disebut pikun atau demensia.

Mudah lupa pada usia muda, lebih karena kurangnya semangat, motivasi, hasrat yang kuat, dan kurang melibatkan emosi. Sehingga, seperti disebut Adler, bahwa hal terpenting bagi individu bukanlah pada apa yang telah dilakukannya, melainkan apa yang dikerjakannya dengan kesadaran. (Red.s)

Kamis, 25 Oktober 2018

3 Hal yang Membuat Seseorang Merasa Rendah Diri



SRENGENGE.ID - Manusia sering dihinggapi rasa rendah diri, hal tersebut membuatnya tidak memiliki kepercayaan yang cukup, sering minder, dan sulit mengembangkan kemampuan serta interaksi sosialnya.

Pakar Psikologi asal Austria, Alfred Adler (1870-1937), menyebut ada tiga sumber yang menyebabkan rasa rendah diri muncul. Meski sebenarnya, rendah diri merupakan hal alamiah pada setiap manusia.

Tiga hal tersebut adalah, organ fisik yang kurang sempurna, terlalu dimanja, sering mendapat penolakan.

Adler yang juga penggagas psikologi individu dan psikiatri tersebut sebenarnya memasukkan rendah diri (inferiority) dalam tujuh prinsip dasarnya. Menurutnya, perkembangan manusia justru diawali dari rasa rendah diri tersebut, namun akan menjadi masalah jika itu menjadi pengekang.

Organ fisik yang kurang sempurna

Organ fisik tidak saja berkaitan dengan kelainan, misalkan tunadaksa dan sejenisnya. Melainkan lebih pada pandangan umum tentang kesempurnaan fisik tersebut. Misalkan, seorang perempuan akan merasa rendah diri ketika bertemu perempuan lain yang menurutnya dan menurut orang disekitarnya lebih cantik.

Rasa rendah diri itu semakin kuat jika perempuan tersebut merupakan pesaingnya. Begitupun dalam persaingan lain yang melibatkan fisik, seperti lebih tinggi, badannya lebih bagus, hidungnya lebih mancung, dll.

Anak-anak sebaiknya ditanamkan sejak dini tentang perbedaan fisik tersebut, sebagai sebuah variasi. Penting juga ditanamkan rasa syukur atas apa yang mereka miliki.

loading...
Terlalu di manja

Kenapa anak yang terlalu di manja akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri? Sebab mereka akan kesulitan menyelesaikan banyak hal tanpa bantuan orang tuanya, berbeda dengan teman mereka yang memang dididik untuk menyelesaikan sendiri tugas-tugasnya.

Jika itu terjadi, maka akan timbul rasa rendah diri karena dia tidak bisa mengerjakan suatu hal yang bisa dengan mudah dikerjakan temannya.

Sering mengalami penolakan

Apa penolakan yang dimaksud? Bisa dalam banyak aspek. Anak kecil yang pernah mengalami penolakan oleh sekolah tertentu, akan merasa rendah diri. Terlebih jika dia memiliki teman yang ternyata diterima ke sekolah tersebut.

Begitupun ketika orang tua dan guru sering menyalahkannya, maka secara tidak langsung itu adalah sebuah "penolakan" atas dirinya. Misalkan penolakan atas tugas-tugas yang mereka kerjakan.

Pada usia remaja dan dewasa, penolakan juga bisa dalam hal asmara. Mereka yang sering ditolak cintanya, akan merasa rendah diri. Penolakan dari perguruan tinggi, pekerjaan, dan semacamnya juga bisa berdampak. Bedanya, pada usia dewasa, mereka lebih cepat bangkit dibanding usia anak-anak dan remaja. (Red.s)


Bacaan :

Buku Kepribadian ; teori dan penelitian, karya Daniel Cervone dan Lawrence A. Pervin.

Buku Pemikiran tokoh-tokoh Psikologi dari klasik sampai modern, karya Eka Nova Irawan.

Ngopi Bareng Rani (2)

sumber : travel kompas


| Cerbung | Bagian 2
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Rani bekerja di "kedai burjo" pada malam harinya, antara jam 20.00-00.00 WIB. Kedai burjo itu menyediakan menu utama bubur ayam, bubur kacang hijau, dan mie instan, rebus atau goreng, tanpa atau tambah telur ceplok. Kedai itu letaknya tak jauh dari pintu masuk gang Kertoleksono, di area kos-kosan mahasiswa.

Aku mengunjunginya pada hari yang sama, selepas kami mempresentasikan makalah tentang Alfred Adler tersebut. Kedainya berada di pojok tikungan, dengan atap esbes, dan dinding kayu bercat hijau, serta beberapa kursi plastik dan dua meja memanjang, serta meja yang tertempel di dinding.

"Jadi kamu kuliah sambil kerja?" Tanyaku saat berkunjung ke kedai tempat ia bekerja.

"Enggak, tetapi kerja sambil kuliah," Jawabnya sambil tertawa kecil.

"Warung ini buka 24 jam lo?" Lanjutnya berpromosi.

Tak jauh dari dapur ada ruangan tertutup korden, meski tak begitu jelas, nampak seseorang sedang tertidur di dalamnya. Mungkin itu kamar untuk gantian jaga.

"Kamu jaga warung sampai jam berapa?" Tanyaku.

"Jadwalnya sampai jam 12 malem, tapi kadang kurang dari itu, kadang lebih. Maklum, di atas jam 11 malem warung malah ramai," Jawabnya sambil berjalan menyuguhkan bubur kacang hijau pesananku.

Meski mendapatkan beasiswa, namun Rani masih bekerja untuk menambal kebutuhan hidupnya. Uang beasiswa memang tidak cukup, sebab ada kebutuhan makan dan tempat tinggal yang harus terpenuhi. Sementara Ibunya hidup berdua bersama nenek, di Indramayu sana. Rani tak ingin merepotkan.

"Kenapa kamu dulu pilih kuliah di Malang?" Aku membuka obrolan, ketika pengunjung sedang tak ramai.

"Karena ini," Jawabnya sambil mengalihkan pandangan ke arah meja saji, "yang punya warung ini masih sodara ibu, orang Cianjur yang lama merantau disini. Aku manggilnya mamang. Mamang jugalah yang membantuku saat pertama ke Malang, mencarikan kos dan membantu tugas-tugas ospek," lanjutnya.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil mencicipi bubur kacang hijau yang ia sajikan. Manis nan gurih, santannya terasa, ketan hitam dan cendol merahnya makin melengkapi. Di papan harga, tertera bubur kacang hijau Rp3.000. Murah sekali.

Kulihat juga beberapa buku psikologi menumpuk di dekat kotak kaca mie instan. Barangkali Rani menyempatkan belajar disela bekerjanya, atau sekaligus mengerjakan tugas-tugas dari dosen.

"Oya, kamu mau kopi? Aku punya kopi. Tak perlu bayar, ini dariku," Tawar Rani.

"Kopi apa?"

Dia pergi menuju tasnya dan merogoh sebungkus bubuk kopi tanpa merk.

"Ini kopi murni, kopi mekarwangi asli dari Ciwidey. Sebenarnya aku masih punya kopi malabar di kos. Ibu membawakan bubuk kopi agar bisa kuseduh sendiri, biar lebih hemat. Mau?"

"Boleh."

Rani kemudian menyeduhkan dua gelas, aromanya harum. Satu gelasnya ia sodorkan padaku.

"Hatur nuhun, neng," Ucapku.

Rani tersenyum malu. Kami pun melanjutkan obrolan sambil menyeruput kopi mekarwangi buatan Rani.

"Oya, kamu dulu jurusan apa waktu SMA?" Rani membuka percakapan baru.

"IPA, kamu?"

"Aku IPS. Kenapa kamu ambil psikologi? Kenapa nggak ambil jurusan rumpun IPA saja?"

"Hmm.. pengen aja sih, kamu sendiri kenapa ambil psikologi?"

Rani terdiam, menyeruput kopi, dan matanya memandang ke langit-langit.

"Karena suatu hal," Jawabnya.

"Apa?"

Percakapan tersebut jadi begitu dramatis, setelah Rani menjelaskan alasannya mengambil jurusan psikologi.

"Aku pernah hampir frustasi dengan hidupku sendiri," lanjutnya.

Hening. Akupun hanya bisa menjadi pendengar, sambil terus penasaran dengan penjelasan Rani berikutnya.

B E R S A M B U N G
Baca juga bagian pertamanya DISINI

Rabu, 24 Oktober 2018

Ngopi Bareng Rani (1)

crystalgraphicsimages.com


| Cerbung | SRENGENGE.ID
| Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

"Kamu suka ngopi?" Tanyaku pada Rani sewaktu mengerjakan tugas perdana mata kuliah sejarah Psikologi. Kami duduk di bundaran kampus, Rani datang membawakan dua kopi bergelas kertas yang dia beli di dekat gerbang masuk kampus.

Black coffe original.

"Mungkin ini yang namanya ketagihan, sejak kelas dua SMA aku jadi terbiasa ngopi," Jawabnya sambil menghirup aroma kopi hitam tersebut.

Di bundaran kampus itu kami bisa memanfaatkan wifi dengan cukup memasukkan NIM (Nomor Induk Mahasiswa). Kami mendapat tugas menuliskan sejarah dan pemikiran Alfred Adler.

"Emang kenapa bisa kecanduan kopi?" Tanyaku lagi dengan penasaran.

Rani tersenyum getir. Lalu ia menyeruput kopinya dari balik sedotan hitam berlubang super kecil itu.

"Suatu ketika saat bulan puasa, Ibuku mendapat banyak pesanan kue. Aku membantunya dari selesai tarawih, hingga tengah malam. Pernah tertidur saat mengukus, akhirnya pengukusnya terbakar. Esoknya, biar nggak ngantuk, aku minum kopi. Kopi hitam. Keterusan sampai sekarang," Jelasnya dengan senyum mengembang.

"Masa cuma sekali minum langsung keterusan?"

"Enggak. Itu lebih dari setengah bulan, jadi hampir tiap malam lembur. Pesanan kue di bulan puasa begitu banyak, kan untuk lebaran."

###
Sepoi angin menerpa tubuh kami, di bulan Agustus 2009. Hujan rintik-rintik mulai sering menyapa kala sore dan malam. Untungnya malam ini cerah.

Rani adalah teman sekelasku, di jurusan Psikologi angkatan 2009. Pada mata kuliah sejarah psikologi, dosen memilih dua nama berdasarkan absen terdekat untuk membuat makalah. Namaku tepat berada di bawah nama Rani, akhirnya kami harus kerja kelompok untuk menulis makalah.

Rani pun maju dan mengambil slot yang dipersiapkan dosen, dalam slot itu ada nama-nama psikolog yang harus kami cari biografinya. Dalam slot yang dipilih Rani tertulis nama Alfred Adler.

"Kenapa bukan Sigmund Freud ya?" Gerutu Rani.

###

"Jadi ibu kamu harus bekerja? Atau hanya membantu keluarga?"

Percakapan kami berlanjut.

Rani menunduk, sejurus kemudian dia tersenyum getir, lagi.

"Ibu bekerja, sebagai tulang punggung keluarga," Jelasnya.

"Ayah kamu?"

"Entah!"

"Maaf. Sudah meninggal?"

"Enggak. Tetapi mereka berpisah, meski tanpa perceraian yang resmi."

"Maaf. Aku nggak tau."

Rani tersenyum lagi. Dia menatap ke arahku dengan senyum yang teduh dan sorot mata bersahabat.

"Ayo kita kerjakan!"

Dia mengeluarkan dua buku yang di dalamnya terdapat biografi Adler. Aku tak membawa satu bukupun, kukira bisa mencari di yahoo atau google. Aku hanya membawa laptop.

Itulah awal perkenalanku dengan Rani, tak menyangka jika pertemanan kami berlanjut bahkan selepas kami mempresentasikan makalah tersebut. Aku juga berjanji padanya sewaktu-waktu akan memperkenalkan adikku, yang juga bernama Rani.

B E R S A M B U N G...


Cerbung ini adalah sekuel dari cerbung berjudul "mendung" yang bisa dibaca DISINI :

Selepas Pembakaran Itu



|Rabu, 24 Oktober 2018
|Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Sampah pun sebaiknya tidak dibakar. Dipilah mana yang organik dan non organik. Sampah organik bisa dimanfaatkan menjadi pupuk kompos. Sampah non organik bisa didaur ulang, terutama plastik.

Sayangnya hal tersebut belum banyak dipahami masyarakat. Sampah organik seperti sisa sayuran, dedaunan, buah membusuk dan semacamnya bisa dipendam. Dipendamnya agak jauh dari sumur, agar tidak mencemari. Atau dibuang saja ke tanah, akan hancur sendiri, terurai, dan menyuburkan.

Sementara sampah plastik berbeda. Sulit diurai oleh tanah, bahkan bungkus snack atau shampo yang sekarang sudah tidak diproduksi lagi, masih kita temui utuh saat menggali. Dibakar pun juga akan mencemari lingkungan. Apalagi dibakarnya pagi hari, saat seharusnya kita menikmati udara segar.

Jika sampah saja sebaiknya tidak dibakar, apalagi buku. Banyak buku dibakar, terutama karena buku tersebut dianggap berbahaya. Bayangkan, buku saja bisa dianggap berbahaya. Padahal buku hanyalah sekumpulan kertas yang dijilid, yang lebih sering jadi hiasan di rak, meja, atau jadi peredam suara.

Kenapa juga misalkan membakar kaos dan topi berlogo palu arit. Karena berbahaya? Jelas tidak. Begitupun bendera. Toh hanya benang yang disulam, lalu disablon dengan tulisan atau simbol tertentu. Namun, coba dilihat dari sisi yang berbeda.

Pemberangusan adalah sebuah simbol, sebuah pesan. Buku-buku berbau "kiri" yang dibakar, menyimbolkan bahwa jangan macam-macam dengan ideologi atau pemikiran "kiri" tersebut, atau nanti akan diberangus.

Ada pesan untuk menampakkan kekuatan dan dominasi. Dalam perilaku itu, ada arogansi dan tirani. Maklum nan wajar jika itu dilakukan oleh negara, yang punya kuasa, yang berjalan atas hukum yang ditentukan. Negara memang punya kekuasaan, dan sekaligus hak untuk itu, terlepas kita mau sepakat atau tidak.

Lalu bagaimana jika pelakunya bukan negara? Jelas jadi masalah. Dalam era demokrasi, tidak ada mayoritas minoritas, tidak ada dominasi. Tidak boleh berlaku semena-mena. Maling ayam pun berhak mendapat perlakuan berdasar hukum yang ada, bukan digebukin hingga tewas.

Dalam simbol ada kebanggaan, ada nilai yang diyakini, ada sejarah yang diperjuangkan. Seperti bendera merah putih, yang selalu kita hormati. Sekalipun itu hanya benang yang disulam. Bagi warga negara lain, barangkali perilaku tersebut dianggap berlebihan.

Seperti bendera yang bertuliskan arab, bacaan syahadat, yang mungkin sering dipakai oleh kelompok ekstrem yang merasa paling beriman dari lainnya.

Apakah pembakaran itu sebagai sebuah pesan juga, atau hanya karena enggan untuk menyimpannya? Entahlah. []

Kamis, 18 Oktober 2018

Mendukung Caleg dari Muhammadiyah



Jumat, 19 Oktober 2018
SRENGENGE.ID | Pandangan Redaksi

Sebagai organisasi massa yang menjalankan dakwah dan juga sekaligus amal usaha, Muhammadiyah perlu memiliki wakil-wakil di lembaga legislatif, yang nantinya bisa memperjuangkan aspirasi dalam berbagai kebijakan yang terkait kehidupan berbangsa, dan bernegara.

Muhammadiyah perlu mendorong kader, warga, atau orang yang bersimpati dengan Muhammadiyah, yang punya ketertarikan dan kemampuan dalam berpolitik, untuk terus aktif memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Dukungan tersebut tidak hanya dalam aspek moril, namun juga memberikan suara di TPS, membantu mengawalnya, atau ikut serta memperkenalkan kepada pemilih lain.

Partai politik bisa dari manapun, karena sejatinya parpol ibarat kendaraan, dan Muhammadiyah tetaplah rumah besarnya.

Dari semua daftar calon tetap yang sudah dirilis, bisa dipetakan mana kader Muhammadiyah, dalam arti yang pernah aktif dalam struktur atau yang dititipkan langsung oleh Muhammadiyah lewat partai tertentu.

Bisa juga calon yang dirasa dekat dengan Muhammadiyah, entah latar belakang keluarga dan pendidikannya, atau mereka yang memang punya simpati dengan Muhammadiyah.

Dukungan dari Muhammadiyah, dengan menggerakkan kader, warga, pegawai AUM, dan elemen-elemen lainnya tersebut, tentu akan memberi dampak.

Ketika pada akhirnya mereka terpilih, setidaknya Muhammadiyah akan memiliki partner dakwah di bidang politik, khususnya di lembaga legislatif. Pada intinya, orientasi besarnya tetap pada keberlangsungan dakwah, dalam rangka mambangun kehidupan Islami sesuai tujuan Muhammadiyah.

Kesadaran ini penting sebab dalam banyak hal, dibutuhkan peran-peran politik dalam mengupayakan sesuatu. Muhammadiyah sebagai lembaga harus mulai bersikap.

Sangat penting untuk mulai memetakan, siapakah calon yang tengah berkompetisi, baik dalam level nasional, provinsi, hingga kota/kabupaten. Manakah sekiranya yang berpotensi dirangkul Muhammadiyah dan menjadi partner dakwahnya kelak, maka akan didukung secara penuh.

Begitupun dengan kader dan warga Muhammadiyah yang memiliki hak suara, untuk mulai mencermati calon-calon dari atau yang dekat dengan Muhammadiyah, untuk nantinya akan dipilih.

Paguyuban Srengenge ikut mendorong semangat tersebut. Salam kemajuan.

Nasrun minnallah wa fathun qarib.

Apa Saja Isi Majalah Sekolah?



Kamis, 18 Oktober 2018
SRENGENGE.ID | Seri Catatan Literasi

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Majalah sekolah biasanya diterbitkan setahun sekali. Ada yang setahun dua kali, terbit tiap semester. Karenanya, isi yang ditampilkan juga harus menyesuaikan ; yang bisa dibaca kapanpun.

Berbeda dengan mading yang bisa diganti isinya tiap minggu, maka majalah sekolah upayakan memuat hal-hal yang sifatnya semesteran atau tahunan. Isi umumnya antara lain :

~Cover depan
~Cover dalam (dibaliknya cover depan)
~Sapa redaksi + susunan redaksi
~Tajuk /editorial : ulasan tentang tema majalah.
~Berita kegiatan sekolah
~Program unggulan sekolah
~Profil guru dan siswa berprestasi
~Liputan khusus tentang tema yang diangkat
~Opini siswa (sesuai tema) bisa lebih dari 3
~Galeri foto
~Cerpen
~Puisi
~Komik pendek
~Cover Belakang

Rekomendasi di atas bisa ditambah sesuai dengan ciri khas sekolah masing-masing. Mari kita bahas.

*Cover Majalah*

Ada cover depan dan belakang, juga cover dalam. Cover depan berisi logo majalah, nomor edisi, dan tahun ajaran. Juga berisi foto/ilustrasi sesuai dengan tema yang diangkat. Kadang ditambah juga sedikit informasi rubrik unggulan yang ada di dalam majalah.

Cover dalam banyak yang menggunakannya untuk space sponsorship, namun ada juga yang menggunakannya untuk galeri foto, kutipan, dll. Sesuai selera.

Cover belakang pun juga demikian. Ada yang meletakkan lukisan, sketsa, komik pendek, galeri foto, kata-kata mutiara, atau untuk lokasi iklan. Tinggal redaksi menyetujui yang mana.

Tajuk/Editorial

Apa fungsinya? Sebelum majalah dikerjakan, tim redaksi biasanya rapat untuk menentukan tema majalah. Tema yang disepakati inilah yang akan ditulis dan diolah dalam editorial.

Editorial juga bisa memberikan gambaran secara umum tentang isi majalah.

Karya dari tim redaksi

Tim redaksi punya porsi cukup banyak untuk mengisi majalah. Tim redaksi meliputi :

|-Pimpinan Redaksi
|-Staf redaksi (editor naskah)
|-Reporter (pencari berita)
|-Fotografer
|-Layouter
|-Humas & Sponsorship
|-Distributor

Tim redaksi menentukan tema, menulis editorial, membidik foto-foto, membuat liputan khusus, menulis program unggulan sekolah, menulis berita kegiatan tahunan baik yang diadakan OSIS maupun Ekstrakurikuler yang lain, hingga menulis profil guru dan siswa.

Karya dari siswa dan guru

Selain itu, tim redaksi juga menerima tulisan dari guru dan siswa. Baik berupa tulisan atau yang lain. Misalnya, meminta satu atau du guru untuk menulis tentang tema yang diangkat.

Selain itu membuat pengumuman kalau majalah menerima tulisan dari siswa, baik berupa opini, cerpen, puisi, gambar, karikatur, atau komik.

Staf redaksi lah yang bertanggung jawab dalam pengumpulan naskah tersebut.

Baru setelah itu, naskah dikumpulkan, dilakukan editing dan kemudian diserahkan layouter untuk dipersiapkan menjadi majalah yang siap cetak. []

Selasa, 16 Oktober 2018

Sekolah Maju Harus Punya Majalah



Rabu, 17 Oktober 2018
SRENGENGE.ID | Seri Catatan Literasi

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Saat ini, sepertinya sulit mengidentifikasi kemajuan sebuah sekolah hanya dari megahnya bangunan atau ketercukupan fasilitas, apalagi sekolah negeri. Salah satu yang bisa jadi nilai, adalah kualitas majalah sekolahnya. Kenapa?

Megahnya bangunan sekolah bisa diupayakan lewat kebijakan politik. Di sebuah kota, ada SMA yang baru berdiri, karena dapat prioritas dari pemerintah daerah, maka gedung dan fasilitasnya memadai, guru-guru terbaik dari sekolah lain di rotasi ke sekolah tersebut.

Artinya, gedung megah hanya soal prioritas anggaran. Begitupun dengan kegiatan pramuka yang diwajibkan. Sebelum diwajibkan dalam K13, maju tidaknya sekolah bisa dilihat dari ekstrakurikuler Pramukanya. Kini tidak demikian.

Lantas apa pentingnya majalah sekolah?

Beberapa kali saya berkunjung sekolah-sekolah maju, dari tingkat dasar hingga menengah atas, hampir semua punya majalah sekolah. Jika tidak, biasanya punya website sekolah yang memadahi.

Ada yang terbit dua kali setahun, artinya tiap semester. Ada yang terbit setahun sekali.

Manajemennya memang berbeda-beda. Untuk tingkat dasar biasanya dikelola guru, namun sebagian besar karya dari siswa/i. Untuk tingkat menengah atas, biasanya dikelola langsung oleh OSIS atau Ekstrakurikuler Jurnalistik.

Kenapa majalah jadi simbol kemajuan sekolah? Pertama, soal ketercukupan anggaran. Sekolah yang bisa menerbitkan majalah, biasanya punya manajemen anggaran yang baik. Atau punya kemampuan lebih dalam mengakses dana, entah dari sponsor maupun donatur.

Sekolah-sekolah yang tidak maju biasanya kembang kempis dalam hal keuangan. Jangankan untuk anggaran majalah, lebih baik untuk biaya operasional yang lain, atau untuk biaya pembangunan.

Kedua, yang lebih penting, siswa punya wadah aktualisasi. Mereka yang suka menulis, desain layout, karikatur, fotografi, editing, dan sebagainya, akan memiliki ruang aktualisasi. Siswa bisa mengembangkan kemampuan non akademiknya dalam hal media.

Ketiga, jelas nama sekolah akan lebih terpandang. Saat misalkan ada pejabat negara berkunjung, saat ada rapat bersama pejabat dinas pendidikan, atau sekolah lain studi banding, majalah tersebut bisa jadi "oleh-oleh".

Semua informasi dan kegiatan sekolah terdokumentasi dalam majalah tersebut, plus karya dari guru dan para siswa, baik yang berupa liputan, artikel opini, puisi, cerpen, sketsa, karikatur, dan lain-lain.

Majalah sekolah bisa menjadi media komunikasi yang efektif, baik untuk para siswa sendiri, orang tua mereka, hingga masyarakat secara umum.

Hampir semua sekolah maju memiliki majalah yang bagus dan berkualitas. Untuk itu, sekolah tidak bisa mengklaim lembaganya maju, jika tidak menerbitkan majalah. []

Kita Tidak Sempat Mengakrabi Buku



Selasa, 16 Oktober 2018
SRENGENGE.ID | Seri Catatan Literasi

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Tradisi lisan begitu kuat dan mengakar, sejak zaman dahulu. Orang lebih suka mendengarkan daripada membaca, disebabkan pada beberapa hal, khususnya pendidikan yang belum merata.

Barangkali memang benar, bahwa proses terbentuknya budaya butuh waktu yang lama. Termasuk budaya membaca, dan apalagi menulis. Itu juga keterkaitan dengan ketersediaan bacaan pada setiap zamannya.

Indonesia merdeka tahun 1945. Dalam situasi kemerdekaan itu, tingkat buta huruf masih di atas 90%. Tradisi membaca dan menulis sebelumnya, hanya di kalangan tertentu, kalangan elite dan priyanyi.

Mereka yang bisa mengenyam pendidikan hingga AMS (Setingkat SMA di zaman Belanda) saja yang sepertinya punya tradisi baca dan tulis yang baik, dan itu jumlahnya sangat sedikit.

Kemerdekaan memberikan harapan, dari kalangan apapun, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan. Maka terbit kebijakan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun.

Kini banyak orang mulai menyadari, bahwa lulus SMA saja tidak cukup. Harus kuliah minimal S1, dan pada saatnya juga muncul kesadaran baru bahwa, lulusan S1 sudah biasa. Perlu S2 atau kalau perlu S3.

Itu baru kesadaran dalam aspek pendidikan formal. Meski muncul kritik, apakah tingkat pendidikan kemudian berkorelasi dengan minat baca atau menulis? Apalagi jika yang ditampakkan hanya gelar akademiknya. Bukan karya atau penelitian dalam bidangnya.

Tumbuhnya organisasi, komunitas, atau gerakan literasi itulah yang sebenarnya lebih menjadi barometer. Tanpa skat pendidikan dan stratifikasi sosial.

Membaca buku misalkan, menjadi hal yang digaungkan dan diperjuangkan, lewat lapak-lapak buku, lewat perpustakaan keliling, lewat obrolan-obrolan di warung kopi.

Setelah tujuh dasawarsa kita merdeka, sayangnya persoalan dasar seperti kebutuhan ekonomi belum juga terpenuhi secara merata, meski sudah mulai muncul kelas menengah, tidak saja dalam hal ekonomi, namun juga intelektual. Jika menurut Gramsci, semua orang apapun latar pendidikannya adalah seorang intelektual.

Kaum terdidik bisa tumbuh dari kalangan manapun. Tidak ada lagi pembatas, jika membaca dan menulis sudah menjadi gaya hidup, yang membedakan paling hanya pangkat, jabatan, gelar akademik. Sementara pengetahuan bisa bersaing, wawasan bisa diadu.

Apakah setelah tujuh dasawarsa merdeka, budaya membaca buku itu sudah mengakar di masyarakat? Jelas belum. Tidak perlu dijelaskan dengan teori manapun, kita tahu bahwa budaya membaca masih lemah. Namun ada harapan. Ada geliat kearah sana.

Sayangnya, belum sampai terbentuk dengan baik, sudah diserbu oleh digitalisasi. Sudah dibombardir oleh gawai, ponsel pintar, internet, dan lain sebagainya.

Belum sempat kita akrab dengan buku, membacanya dengan serius, menjadikannya gaya hidup, kita sudah disuguhkan gaya hidup baru ; ruang maya yang terbuka untuk beropini, berekspresi, namun budaya membaca kita belum kuat.

Orang lebih suka membaca postingan pendek di sosial media atau WAG, dibanding novel ratusan lembar. Orang banyak menghabiskan waktu menonton youtube ketimbang menulis. Orang lebih suka membeli kuota atau langganan wifi per bulannya ketimbang membeli buku.

Tidak ada yang keliru dengan teknologi, kemajuan zaman adalah sunnatullah, karena ilmu yang terus berkembang. Hanya mungkin tidak semua siap menerima kemajuan zaman yang cepat.

Bagi bangsa Indonesia, barangkali ini sangat cepat. Jangan bandingkan dengan Jepang, Jerman, atau USA. Mereka mungkin sudah akrab dengan buku-buku sebelumnya. Hal-hal dasar di negara maju nampaknya sudah tuntas.

Di Jepang misalkan, budaya jalan kaki dan bersepeda juga sudah mengakar. Maka, meski produsen motor dan mobil adalah mereka, namun sebagian besar warganya justru tak menggubris.

Negara berkembang seperti kita jadi korbannya, dengan wawasan yang rendah soal kesehatan fisik dan lingkungan, kita menerimanya sebagau simbol kemajuan zaman.

Mirip dengan produk ponsel sekarang ini, tingkat konsumsi kita sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari negara asal produksinya.

Kita terpaksa harus mengikuti, dengan terus berupaya mengejar ketertinggalan, termasuk pada budaya membaca dan menulis. Pada perasaan asing ketika berada di perpustakaan, atau ketidak akraban kita pada buku-buku. []

Sabtu, 13 Oktober 2018

Khabib MA, Ketua Paguyuban Srengenge 2018-2019



Srengenge - Khabib Mulyo Ajiwidodo menjadi ketua presidium Paguyuban Srengenge untuk periode 2018-2019. Secara aklamasi ia menggantikan Ahmad Fahrizal Aziz yang mundur setelah tiga periode menjadi ketua presidium.

Selain ketua presidium, dua anggota presidiumnya adalah Atim Paripurnama dan Karas Candra GK.

Berdiri sejak Oktober 2015, Paguyuban Srengenge telah membuat beberapa agenda, terutama agenda pengayaan intelektual seperti bedah buku, diskusi mingguan dan mengelola website srengenge.id.


Sempat vakum pada awal tahun 2017, Paguyuban Srengenge kembali aktif dengan kegiatan diskusi mingguan bekerjasama dengan Pustakawan Perpustakaan Bung Karno.

Lebih dari 10 kali diskusi dengan tema yang berbeda, mulai dari membedah pemikiran tokoh, diskusi sejarah, dan pagelaran budaya Soekarno Ing Sastro bekerjasama dengan Balelatar dan beberapa komunitas lain.

Setelah mundurnya Ketua Presidium yang lama, digelarlah musyawarah terbatas dan terpilihlah Khabib Mulya Ajiwidodo sebagai Ketua presidium periode 2018-2019.

"Semoga tiap tahun ada pergantian ketua sehingga paguyuban bisa terus eksis," Jelas Khabib.

Ditanya alasan terkait mundurnya ketua presidium yang lama, menurutnya karena faktor kesibukan.

"Fahrizal memang banyak aktif di kegiatan literasi dan sepertinya sudah terlalu padat, namun tetap di Paguyuban sebagai tim penggerak meski tidak sebagai presidium," Lanjut Khabib.

Pada periode ini, Khabib akan lebih menitikberatkan pada dakwah media. Terutama menghidupkan kembali dua media yang menjadi tren awal Paguyuban Srengenge.

"Srengenge Online dan Youtube Paguyuban Srengenge harus dikuatkan kembali karena zaman millenial begini, dua media itulah yang banyak diakses," Ujar pria asal Trenggalek tersebut.

Selain kajian dan diskusi buku yang selama ini menjadi ciri khas Paguyuban Srengenge, penguatan pada sisi sejarah juga akan terus digalakkan. (red.s)

Selasa, 02 Oktober 2018

Menjadi Melankolis Ternyata Berbahaya



Srengenge - Kita sering mendengar kata melankolis. Biasanya orang melankolis cenderung tenang, romantis, namun juga cengeng. Apakah pengertian tersebut tepat?

Sekitar abad ke-10, Ibnu Sina, Ilmuwan Muslim yang juga ahli dalam bidang fisiologi dan psikofisiologi telah menjabarkan pengertian Melankolia (Uzn), dalam sebuah pembahasan fi'l- Uzn.

Salah satunya karena mabuk cinta, sehingga denyut jantung lebih cepat dari biasanya. Inilah yang barangkali kemudian dikaitkan dengan hal-hal romantis.

Padahal melankolia (uzn) adalah keadaan pikiran yang selalu mengenang masa lalu, sementara masa lalu manusia beraneka ragam, ada yang bahagia dan pahit. Keduanya melebur bersama waktu.

loading...
Mereka yang terserang melankolia biasanya senang mengenang masa lalu. Hal tersebut tidak keliru jika hanya sebatas dijadikan cermin untuk menatap masa sekarang.

Hanya saja, seringkali mengenangnya tersebut berlebihan sehingga mempengaruhi suasana psikologi dan mentalnya.

Mengenang kebahagiaan masa lampau yang sekarang sudah tidak ada, bisa menimbulkan kesedihan dan ratapan. Sementara mengenang kepahitan di masa lampau, bisa memicu trauma. Dua hal tersebut sama-sama tidak "menyehatkan" bagi psikologis manusia.

Dalam aspek medis, hal tersebut bisa menyebabkan kelembaban otak, yang kemudian dikenal teori frenologi. Gangguan mental karena terjadi rembesan pada otak. Cara berpikir sangat berpengaruh pada kesehatan fisik.

Sikap melankolis bisa berupa terlalu larut dalam kesedihan, karena penghianatan atau karena kebahagiaan yang hilang.

Pada taraf yang mengkhawatirkan, melankolia bisa memicu tindakan berbahaya, seperti bunuh diri. Tak sedikit yang rela mati, atau lebih baik mati daripada kehilangan cinta dan bahagia.

Karenanya sifat melankolia mendorong pada perilaku yang berlebihan dan tidak masuk akal, dan itu jelas sangat berbahaya. (red.s)

Diolah oleh redaksi
Sumber foto : @artevm

Kenapa Bisa Muncul Perasaan Bersalah?



Srengenge - Tak sedikit orang yang dihinggapi rasa bersalah, karena berbagai alasan. Sigmund Freud menyebutnya sebagai kecemasan moral, yang berbentuk perasaan bersalah (guilty feeling).

Sebelumnya, Sigmund Freud membagi kecemasan dalam tiga hal. Yaitu :

1. Kecemasan Realistik, yang berasal dari lingkungan atau dunia luar.

2. Kecemasan Neurotik, yang berasal dari trauma masa lalu yang membekas.

3. Kecemasan moral, yang berasal dari sikap dan perilakunya sendiri, yang membuatnya merasa gelisah.

Berbeda dengan dua kecemasan sebelumnya yang lebih pada perlakuan dari eksternal ; lingkungan dan orang lain. Kecemasan moral muncul dari diri sendiri.

Sebabnya bermacam-macam, seperti emosi berlebih yang kemudian membuatnya melakukan kesalahan fatal. Perilaku yang menyakiti orang lain, atau bersikap tidak adil terhadap orang lain.

Freud menjelaskan bahwa dalam kondisi psikis tertentu, orang bisa melampiaskan emosi kepada orang lain yang bahkan sama sekali tak berkaitan. Hal itu disebut "pemindahan obyek".

Misalkan, karyawan yang dimarahi atasan di tempat kerja, membuatnya kesal dan emosi, namun dilampiaskannya pada istri yang di rumah.

Padahal istri tak tahu menahu apa yang terjadi, hal inilah yang kemudian memicu perasaan bersalah ketika kondisi psikisnya mulai stabil.

loading...
Freud menjelaskan, fenomena tersebut dalam rangka mempertahankan ego [baca lebih lanjut teori Sigmund Freud tentang Id, Ego, dan Superego].

Perasaan bersalah (guilty feeling) juga bisa berbentuk perilaku khilaf. Misalnya dia melakukan tindakan terlarang, kejahatan, atau dosa.

Meskipun tidak mendapatkan sanksi langsung, atau tidak diketahui banyak orang, namun perasaan bersalah bisa terus hinggap dalam benaknya, sampai waktu yang sangat lama.

Karena itu penting untuk mengontrol diri, yaitu dengan cara represi : menakan ingatan-ingatan tak menyenangkan atau menyakitkan yang bisa meletupkan amarah.

Juga, proyeksi : yaitu menahan sikap dan perilaku buruk, dengan tetap bersikap rasional agar tidak sampai melakukan tindakan-tindakan yang membuatnya menyesal dikemudian hari dan menimbulkan rasa bersalah. (red.s)

diolah oleh tim redaksi
Sumber foto : @devsharma

Senin, 01 Oktober 2018

Dua Cara Mengatasi Depresi



Srengenge - Manusia rawan terserang depresi, yang bisa disebabkan dari rasa sedih mendalam, ketakutan, kekecewaan, merasa gagal dalam hidup dan semacamnya.

Jika sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan, depresi bisa mempengaruhi mental dan kejiwaan seseorang.

Abu Zaid al Balkhi, Psikolog Muslim dan penulis buku "Masalih al-Abdan wa al-Anfus" menjelaskan ada dua cara untuk mengatasi depresi.

Menurutnya, kepahitan dalam hidup adalah hal wajar. Setiap manusia pernah merasa gagal dan takut, namun jika tidak dikontrol dengan baik, bisa menjadi beban serius bagi pikiran yang berdampak pada mental.

Cara pertama, harus mencoba diatasi dari internal, dari diri sendiri, dengan cara mengembangkan pikiran positif. Pikiran positif pada Tuhan yang memberi hidup, pikiran positif pada hidup itu sendiri, juga pikiran positif pada hal yang akan terjadi.

Percaya bahwa suatu kebaikan akan berbalas kebaikan, meskipun tidak langsung. Serta kegagalan sebagai pelajaran hidup, dan percaya bahwa ada banyak hal baru yang bisa diperbuat, daripada larut pada kegagalan yang terjadi.

Jika cara pertama tidak ampuh, cara kedua adalah penyembuhan eksternal. Dalam hal ini bisa mencari teman berbicara, bisa keluarga, teman, atau sahabat.

loading...
Mereka mungkin tidak akan selalu memberikan solusi, namun dengan menceritakan kepada orang yang kita percaya, membuat suasana hati dan pikiran lebih ringan.

Selain itu, bisa juga dengan mengkuti khutbah-khutbah keagamaan yang memberikan nasehat-nasehat hidup. Artinya berkumpul dengan orang, saling bicara dan merenung bisa jadi jalan penyembuhan.

Jika dua hal tersebut tidak mempan, dan sudah masuk dalam fase depresi, maka diperlukan bantuan psikiater. Pergi ke psikiater ibarat pergi ke dokter. Sudah pada taraf sakit.

Fase depresi ini pada akhirnya mempengaruhi stabilitas fisik, seperti sering pusing, insomnia, asam lambung naik dan lain-lain. Maka tak sedikit psikiater merujuk ke dokter untuk memberikan obat medis, misalkan seperti obat tidur.

Dalam konteks ini, mencegah lebih baik. Maka Abu Zaid menyarankan cara pertama harus dibiasakan, jika ada tanda-tanda terserang depresi. Yaitu selalu membangun pikiran positif dalam diri sendiri. (red.s)

diolah oleh Redaksi
Sumber foto : liputan6.com