loading...

Rabu, 30 September 2015

Kenapa Al Qur’an harus direvisi?




Sejak postingan Tuah, eks. Mahasiswa UIN Sumut yang kontroversial itu, yang ingin agar Al Qur’an direvisi, muncul satu perenungan mendalam tentang bagaimana selama ini Mahasiswa kita, terutama para Muslim, memandang otentitas Al Qur’an. Saya menduga bahwa statement “merevisi Al Qur’an” sebenarnya hanya soal diksi. Tidak bermaksud merevisi dalam arti yang sebenarnya. Tapi kalau memang benar yang hendak direvisi adalah teks Al Qur’an, tentu ini menjadi kegelisahan tersendiri.

Seperti yang kita tahu, tidak semua ayat dalam Al Qur’an itu mengandung penjelasan Eksplisit (jelas/Muhkamat). Ada banyak yang Mutasyabihat atau Multitafsir dan memang membutuhkan penafsiran tersendiri. Namun tiap tafsir, hampir-hampir tidak pernah mendobrak orisinalitas teks itu sendiri. Artinya, Para Mufassir pun tidak pernah punya keinginan untuk merevisi teks Al Qur’an tersebut, justru menjabarkan dan memperkaya pembahasan. Kalaupun ada perbedaan, tentunya perbedaan dalam cara dan hasil penafsiran.

Maka, saya menduga sebenarnya Tuah dan gagasan merevisi Al Qur’an tersebut, sebenarnya bukan teks Al Qur’an-nya itu sendiri yang direvisi. Melainkan adalah tafsirnya. Namun tafsir pun harusnya bukan direvisi, tapi dicarikan tafsir baru. Tafsir yang mungkin tidak terikat dengan teks lain seperti Hadits, ataupun konteks sejarah yang bersinggungan dengan ayat tersebut. Tafsir yang semacam itu, belakangan disebut Hermeneutik.

Tapi jika memang Al Qur’an harus direvisi, siapa yang punya otoritas atau kemampuan untuk merevisi? Al Qur’an adalah Kalamullah. Nabi Muhammad pun hanya pembawa pesan, Malaikat Jibril pun juga hanya perantara. Tentu akan sangat tidak masuk akal jika ada yang ingin merevisi Al Qur’an. Kalau mencari tafsir baru masih mungkin terjadi.

Sebagai kitab suci, Al Qur’an sebenarnya sudah memerankan fungsinya dengan sangat baik. Misal, Al Qur’an adalah teks yang bisa berinteraksi dengan teks-teks yang lain. Entah itu teks Sains, sejarah, budaya, sastra, seni, apalagi Fiqh. Itu menunjukkan, Al Qur’an memang memiliki muatan yang sangat kaya. Perihal ada sekelompok orang yang menyederhanan pesan-pesan Al Qur’an dengan misalkan, sebagai legalitas untuk melakukan kekerasan, itu semuanya murni bagaimana ia menafsir atau mengikuti sebuah tafsir atas ayat itu sendiri.

Misalkan ayat tentang diperbolehkannya memerangi non muslim dalam surat Al Anfal ayat 39. Ada yang kemudian menjadikan teks itu sebagai perintah langsung, ada yang kemudian melihat ayat sebelum/selanjutnya dan mencari tahu kenapa bisa muncul perintah itu. Tentu, setiap perintah dalam Al Qur’an tidak terlepas dari sebab-sebab tertentu. Akankah misalkan, kafir yang dimaksud adalah sekedar non muslim saja? Atau ada sebab lain yang akhirnya memunculkan perintah tersebut? Lalu bagaimanakah bila non muslim tersebut orang yang baik? Akankah tetap di perangi?

Memang ada sebagian yang menjadikan Al Qur’an sebagai teks yang berisi perintah semata, yang dalam literature akademik disebut kaum tekstualis atau skripturalis. Namun banyak juga yang menjadikan Al Qur’an, selain sebagai teks yang memberi perintah, tapi juga memberi petuah dan isyarat-isyarat ilmiah untuk membangun peradaban.

Makanya muncul istilah Integrasi sains dan Al Qur’an, yang mencoba menggali teks dalam beragam perspektif. Ada yang dari teks kemudian dikembangkan menjadi teori, ada yang dari teori kemudian dicarikan legitimasi berdasarkan teks itu sendiri. Misalkan, soal penciptaan langit dan bumi, soal kandungan, hujan, langit, bintang, dll. Al Qur’an memberikan justifikasi kebenaran atas teori-teori yang ditemukan manusia.

Bagi seorang Muslim, justifikasi dari Al Qur’an itu memiliki dimensi transeden. Justifikasi dari Al Qur’an itu menutup keran perdebatan atas relativitas sains. Misalkan, jika teori penciptaan langit dan bumi yang dibenarkan oleh Al Qur’an adalah teori big bang, maka seorang Muslim dengan yakin (berdasarkan keimanan) bahwa itulah teori yang paling benar. Itulah kenapa dalam Al Qur’an, derajat orang yang befikir (tafakkaru) disebut Ulul Albab. Ulul Albab itu adalah ketika disatu sisi orang pandai berfikir, tapi disisi yang lain dia semakin giat berdzikir, sebagaimana yang tertuang dalam QS. Ali Imron : 191.

Ini tentu berkebalikan dengan trens modernisme, bahwa semakin seseorang mempelajari sains, semakin ia meninggalkan agama. Bagaimanapun juga, di era modernisme, sains begitu menguasahi sisi kehidupan kita. Sekarang, setelah masuk era post-modernisme, saat banyak hal dalam hidup ini dipertanyakan ulang, disinilah Agama seharusnya memiliki posisi penting, bahwa banyak pertanyaan yang tak sanggup kita jawab dan hanya bisa kita yakini.

Kita berharap, semakin orang belajar teori ilmu pengetahuan, semakin ia menemukan eksistensinya sebagai mahluk beriman. Namun tak sedikit yang justru tercerabut karena terlalu dalam melakukan reflektifitas atas agama itu sendiri. Kenapa bisa demikian? Saya juga tidak tahu, mungkin semuanya berawal dari niat masing-masing. Wallohu’alam.

Blitar, 30 September 2015
A Fahrizal Aziz
www.jurnal-fahri.blogspot.com

Jumat, 25 September 2015

Memahami pola pikir Tuah Aulia Fuadi




Statement yang dilontarkan Tuah di akun facebooknya yang kemudian di chapture oleh banyak orang, termasuk media massa, sebenarnya bukan hal yang baru. Banyak yang memiliki pola pikir seperti Tuah, bahwa misalkan, Muhammad adalah penafsir tunggal, atau Al Qur’an itu adalah serupa mahluk yang bisa saja salah. Atau juga, dibutuhkan tafsir yang lebih kontekstual agar relevansi dari ajaran-ajaran Islam itu bisa terus mengikuti zaman.

Pemikiran yang semacam itu banyak kita temui, dan pada taraf tertentu, tidak menimbulkan gejolak. Kasus Tuah ini menjadi heboh hanya karena pemilahan diksi, sekaligus perilakunya yang memang terlalu berlebihan seperti melempar Al Qur’an. Dua hal ini sebenarnya bukan substansi, melainkan hanya cara menyampaikan. Inilah yang membuat suasana menjadi riuh.

Sama halnya dengan tema Ospek Fakultas Usludin UIN Surabaya beberapa waktu lalu yang menggunakan diksi “Tuhan membusuk”. Secara substansi, deskripsi atas tema besar itu bukanlah sesuatu yang baru, namun menjadi heboh karena diksinya yang terlalu bombastis, seolah hendak menyamai “Kematian Tuhan”-nya Nietzse.

Dari beberapa foto yang beredar, kita mendapati Tuah tengah memegang sebuah bendera salah satu Organisasi Mahasiswa Islam terbesar di Indonesia. Menurut informasi, Tuah juga masih menginjak semester lima. Semester yang masih menyala-nyala sebagai aktivis mahasiswa, yang terbiasa dengan pergulatan wacana. Apalagi, di Organisasi yang memang memiliki concern atas itu.

Memang ada sedikit perbedaan jika mengkaji Agama dalam perpesktif akademik dengan mengkaji agama dalam perspektif untuk ibadah. Sebagai kerangka ilmu, agama dikaji layaknya sains. Dalam pengkajian sains, kritik menjadi suatu yang lumrah. Misal, ada teori yang mengatakan Bumi adalah pusat tata surya, teori itu bisa terbantahkan setelah ada fakta baru bahwa ternyata pusat tata surya adalah matahari. Selama pengkritiknya memiliki data dan fakta, ia tak bisa disebut “berdosa”.

Berbeda jika mengkaji agama untuk ibadah. Biasanya di pesantren atau di madrasah diniyah, pelajarannya pun berkutat pada hal-hal ubudiyah. Ilmu yang dipelajari adalah untuk diamalkan, bukan dipertanyakan.

Apa yang disampaikan Tuah melalui akun facebooknya itu, semestinya tidak serta merta disebut “Menghina Islam”. Ada hal lain yang bisa diperdebatkan lebih panjang, misalkan kenapa Tuah menulis “Muhammad sebagai penafsir tunggal, dan Al Qur’an perlu di revisi”. Lalu ada tambahan “Minimal kembalikan saja urusan itu ke negara biar negara saja yang merelevansikannya sesuai dengan kebutuhan zaman”.

Tuah mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah “Penafsir”. Artinya, Nabi lah yang memahami makna secara spesifik atas Al Qur’an tersebut. Lalu kenapa yang direvisi Al Qur’an? Seharusnya adalah tafsirnya. Kalau hanya soal tafsir sudah ada mufassir setelah Nabi, sebut saja Ibnu Katsir, At Thabari, Ibnu Atiyah, Fakr Ar-Razi, Rasyid Ridhlo, hingga Husain Az-Zahabi.

Tetapi karena ia menyebut Nabi sebagai “Penafsir tunggal” itu berarti tidak ada yang berhak menafsirkan lagi? tetapi kenapa ia menulis diberikan saja kepada negara (agar di tafsirkan negara). Ini tentu saja sangat kontradikrif dengan kalimat sebelumnya.

Mungkin maksud Tuah bukan Al Qur’an yang direvisi, melainkan tafsir-nya yang butuh pembaharuan (tadjid). Kalau itu, tentu sudah banyak Ulama yang melakukan. Bahkan dalam kultur kontemporer, dikenal istilah tafsir hermeneutik yang juga kontroversial itu, dalam rangka melakukan kontekstualisasi atau dalam bahasa tuah “merelevansikannya”.

Kalau begitu, ini memang pure soal diksi. Hanya soal bagaimana merangkai kata yang tepat agar maksud substansialnya bisa tersampaikan.

Tapi harus kita pahami, Tuah dan mahasiswa yang memiliki pemikiran seperti dirinya itu karena dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, wacana post-modernisme yang populer belakangan ini. Terutama setelah era reformasi. Post-moderisme mencoba menanyakan ulang segala kepastian-kepastian yang dibangun oleh era modernisme, yang dikuasai sepenuhnya oleh Sains dan industrialisasi. Segala hal mulai dipertanyakan, mulai dari Politik, seni, sains, hingga agama. Istilah ini juga kerap disebut dekonstruksi.

Sebagai Mahasiswa hukum, Tuah mungkin mencoba mendekonstruksi tafsir/ajaran/pemahaman yang selama ini diyakini mayoritas masyarakat. Hanya saja, dia tidak menjelaskan secara spesifik bagian mana yang hendak di dekonstruksi. Ia hanya membidik secara umum. Kita tentu harus memahami posisi Tuah yang masih mahasiswa semester lima dan tengah gegap gempitanya dengan wacana-wacana. Sama halnya dengan orang baru pertama kali ke bandara dan takjub melihat mewahnya pesawat. Ia akan berbicara panjang lebar tentang suasana bandara dan pengalaman naik pesawat itu ke orang-orang.

Semestinya, Tuah tidak lekas di D.O, dia masih butuh bimbingan para dosen agar belajar lebih bijak dalam menyampaikan sesuatu. Apalagi, dia baru menginjak semester lima yang itu berarti tengah dalam masa transisi menuju kematangan berfikir. Sebaiknya pula, media tidak lekas membungkus-nya dengan stigma “penghina Islam”. Sekalipun kita geram dengan postingannya.

Setelah heboh karena postingan yang kontroversial itu, saya mencoba mencari akun facebooknya, namun sudah tidak ada. Yang ada adalah akun twitter yang sudah lama tidak aktif dan juga blognya di batubaraf1.blogspot.com. sepertinya Tuah memang rajin membaca, diskusi, dan semacamnya. Harusnya dia memberikan klarifikasi atas kasusnya ini, setidaknya melalui esai. Klarifikasi, ucapan minta maaf, atau penjelasan lebih utuh tentang postingan-postingannya.

Dengan kapasitas yang dia miliki, harusnya dia bisa menjadi mahasiswa yang cermerlang. Tapi entahlah kenapa bisa jadi seperti ini. (*)

Blitar, 25 September 2015
A Fahrizal Aziz

Rabu, 02 September 2015

Muhammadiyah dan kaum Intelektualnya




Ada satu pesan penting yang pernah disampaikan Pak Haedar Nashir kepada anak-anak muda Muhammadiyah, terutama yang tergabung dalam JIMM. Pesan tersebut ialah, jangan hanya bergerak diluar struktur. Kaum Intelektual juga harus berjuang di dalam struktur. Memang tidak semua anak-anak muda tersebut berada dalam struktur, baik Muhammadiyah-nya atau ortomnya, namun rata-rata mereka adalah mantan aktivis IMM, IPM, atau setidak-tidaknya kader kultural.

Kabar baiknya, Koordinator JIMM Nasional, Pradana Boy ZTF, belum lama ini terpilih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Setidaknya, selain bergerak di JIMM yang memang tidak memiliki kaitan secara vertikal dengan Organisasi Muhammadiyah, anak-anak muda tersebut memiliki ruang aktualisasi ke dalam struktural.

Namun kehadiran JIMM, dan beberapa LSM yang secara kultural dekat dengan Muhammadiyah seperti Maarif Institute, juga menjadi wadah yang penting untuk mengikat kader-kader Muhammadiyah yang sedang menempuh studi di luar negeri dan belum masuk ke dalam struktur. Sebagian, seperti Pak Andar Nubowo dahulu, bahkan mengelola Cabang Istimewa Muhammadiyah di Perancis. Begitu pun dengan mantan aktivis IMM Universitas Brawijaya yang mendirikan PCIM di Taiwan yang menjadi negara studi mereka.

Kaum Intelektual, yang secara definitif menamakan diri Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah ini, semestinya menjadi salah satu aset penting untuk menyongsong Muhammadiyah abad kedua. Sebagaimana yang ditulis Politisi senior Muhammadiyah Hajriyanto Y. Tohari di Majalah Gatra edisi 39, 30 Juli-5 Agustus 2015 di halaman 106, bahwa Muhammadiyah tentu tidak relevan lagi disamakan dengan Ikhwanul Muslimin atau Wahabi. “Rival” terberat Muhammadiyah dalam ber-fastabiqul khoirot saat ini adalah The Gulen Movement di Turky.

The Gulen Movement (TGM) sendiri saya ketahui pertama kali dari Prof. Amin Abdullah. TGM telah melebarkan “dakwah Pendidikan”-nya hingga ke 180 Negara di dunia. Padahal usia Gerakan ini belum sampai seperempat abad. Muhammadiyah jauh lebih tua. TGM berhasil membuat progres yang sangat baik dalam Internasionalisasi Gerakan. Itulah yang belakangan diperbincangkan JIMM. Hanya saja, yang diperbincangkan lebih pada Internasionalisasi Pemikiran.

NU sudah berancang-ancang, bahkan sedikit “Berpolitik” dengan menjadikan Islam Nusantara sebagai diskursus kontemporer yang harapannya akan menjadi corak khusus Islam di Indonesia. Bahkan dikuatkan oleh statement Presiden Joko Widodo, dan beberapa Pemikir Islam papan atas seperti Prof. Azyumardi Azra. Hanya saja, kita tidak tahu, apakah gagasan tentang Islam Nusantara ini kedepannya akan “di eksport” dalam bentuk karya Ilmiah ke negara-negara lain atau tidak. Tapi tentu saja, dengan dikukuhkannya istilah “Islam Nusantara” ini, pasti akan banyak Sarjana-sarjana Barat dan Timur yang bergairah untuk menelitinya.

Sementara, Upaya untuk melakukan Internasionalisasi Gerakan itu tentu tidak sebatas mengeksport gagasan, melainkan juga membuat gerakan institusional di negara-negara lain. Inilah yang menjadi capaian gemilang TGM. Untuk itu, perlu sosok-sosok yang memang memiliki reputasi Internasional seperti Mahasiswa yang pernah studi diluar negeri. Kader-kader Muhammadiyah yang pernah studi diluar negeri sekarang ini banyak berhimpun di dalam JIMM. Sebagian sudah kembali ke tanah air, sebagian masih proses studi, sebagian bahkan memilih tinggal disana.

Kaum Intelektual ini tentu menjadi Pilar kekuatan yang besar juga bagi Muhammadiyah disamping tiga pilar yang ditulis Pak Hajriyanto, yaitu MPM, MDMC, dan LAZISMU. Dan terpilihnya Pak Haedar Nashir sebagai ketua Umum PP Muhammadiyah, memberikan Optimisme tersebut. Minimal, ada ruang terbuka bagi kader-kader intelektual ini untuk mem-bumikan gagasan-gagasannya melalui Muhammadiyah.

Misal, berkat gagasan dari Alm. Moeslim Abdurrahman dan Alm. Said Talahuley, Muhammadiyah memiliki MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) yang mencoba menajamkan peran dakwahnya ke sektor pertanian dan sektor-sektor lain yang selama ini jarang tersentuh. Gagasan Alm. Moeslim Abdurrahman tentang Islam Transformatif memang sangat terasa sekali dalam Majelis Pemberdayaan Masyarakat ini.

Selain itu, Buya Syafii Maarif dan Prof. Din Syamsudin pun juga ikut menggagas berdirinya LAZISMU yang mencoba menghimpun dana Ummat untuk didistribusikan ke masyarakat kurang mampu atau kaum mustadafin. Inilah dua sumbangsih praksis yang kemudian secara institusional muncul di dalam Muhammadiyah. Belum lagi kehadiran MDMC yang turut serta membantu masyarakat yang terdampak bencana. Bahkan MDMC memimpin aksi kemanusiaan di Nepal atas nama Negara Indonesia.

Kita tentu menantikan “Jurus-jurus” lain dari kaum Intelektual muda tersebut. Salah satu yang menurut saya juga penting, selain gerakan pemikiran tersebut, ialah gerakan budaya dan sastra. Kita berharap kedepan akan muncul generasi baru Buya Hamka atau Taufiq Ismail.

Selain mewarnai dunia pendidikan dengan banyaknya lembaga pendidikan, aksi sosial melalui LAZISMU, MDMC dan MPM, memenuhi rak-rak buku pemikiran, kedepan juga akan muncul banyak sastrawan, cerpenin, dan novelis Muhammadiyah, yang karyanya bisa diakses di toko-toko buku yang ada.

Ide terakhir ini mungkin kurang populer, tapi berdasarkan statistik yang ada, jumlah pembaca novel memang lebih banyak daripada pembaca buku-buku pemikiran, apalagi jurnal. Dan tentu saja, lebih banyak lagi jumlah penonton film, sinetron, dan FTV yang belakangan ide ceritanya banyak diambil dari novel dan cerpen.

Tapi apapun itu, upaya untuk melebarkan sayap dakwah itu sangat perlu. Apalagi, ketika sosok-sosoknya sudah muncul dan berhimpun. Kaum Intelektual akan sangat mempengaruhi arah Muhammadiyah kedepannya. (.)

Blitar, 2 September 2015
A Fahrizal Aziz
@fahrizalaziz22