loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Miss Immawati dan tiga tipikal perempuan




Subuh-subuh sekali saya sudah memanaskan motor beat merah kesayangan. Bapak dan Emak terlihat heran, mau kemana subuh-subuh begini? Tak biasa-biasanya. Saya lirik jam dinding, masih menunjukkan pukul 04.12. Saya teringat jika ini tanggal 5 April 2014, hari sabtu, dan saya harus ke Malang karena pagi ini ada Miss Immawati. Kebetulan saya di telepon suruh menjadi juri. Akhirnya pagi-pagi sekali, sekitar jam 05.00, selepas shalat subuh, saya langsung tancap gas dari Blitar menuju Malang. Dingin masih meranggas, tapi saya tidak ingin datang terlambat, menurut informasi acara di mulai pukul 08.00. saya harus tepat waktu. Karena ini komitment.

Perbincangan singkat dengan KH. Abdullah Hasyim



Saya bertemu beliau ketika acara Instruktur Pelopor Training (IPT) IMM Koms. Pelopor UIN Malang di Padepokan Hizbul Wathan Dau Malang sekitar dua tahun lalu. Kala itu, saya ditunjuk oleh pimpinan komisariat untuk menjadi pemateri yang dijadwalkan mengisi materi ‘keinstrukturan’ setelah shalat Isya’, tapi saya sudah datang sebelum magrib. Saya shalat magrib disana. Setelah itu, sembari menunggu shalat Isya’, saya terlibat perbincangan singkat dengan KH. Abbdullah Hasyim.

IMM antara teks dan realita



Ini pertanyaan yang susah sekali saya jawab ketika harus membujuk satu-dua kader yang merasa ‘kapok’ di IMM. Sebagai instruktur, tentu saya memiliki tanggung jawab moral dalam hal ini. Selain itu, beberapa ‘eksodus’ kader IMM juga banyak yang mengajak saya diskusi tentang IMM yang menurutnya tak sesuai dengan apa yang diceritakan senior-seniornya. Katanya, antara teori (teks) dan realita sangat jauh berbeda.

Haruskah saya bangga menjadi bagian dari JIMM?



Selepas mengikuti acara tadarus pemikiran kaum muda Muhammadiyah yang dihelat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah di UMM (17-19/07/14) yang lalu, ada sebuah pertanyaan hinggap dalam benak saya. Apakah saya harus bangga menjadi bagian dari JIMM? Pasalnya, setelah penutupan acara, Mas Pradana Boy ZTF berujar demikian : setelah acara ini, para peserta diperbolehkan menggunakan nama JIMM. Itu berarti, saya bisa menambahkan nama JIMM dalam gelar, afiliasi, serta curiculum vitae. Apa yang membedakan saya –sebelum dan sesudah—menjadi bagian dari JIMM?

IMM di mata Pak rektor (kala itu)



Sejak posisi rektor dijabat Prof. Imam Suprayogo, saya sudah tiga kali keluar masuk ruangannya yang mewah. Dua kali untuk wawancara, dan satu kali untuk mengantarkan surat permohonan menjadi pembanding bedah buku Prof. Abdul Munir Mulkhan yang dulu digagas Korkom ketika ketuanya Mas Rasikh Adila. Satu acara lagi adalah ketika mengisi stadium general workshop penelitian PC IMM Malang. Dalam kesempatan itu, ada banyak sekali perbincangan seputar kampus dan tentu saja IMM.

IMM dan Prototipe Gerakan Mahasiswa



IMM adalah sebuah organisasi. Tentu ungkapan ini benar dan tak ada satupun yang membantah. Namun apakah sekedar organisasi? Untuk pertanyaan ini tentu kita butuh diskusi yang mendalam. Apalagi mengingat banyaknya organisasi mahasiswa dalam sebuah universitas.

Ikatan dan Kebebasan



Sambil menanti kereta api penataran dari jalur tiga stasiun kota baru Malang, dulu saya pernah berseloroh dengan teman. Apakah organisasi itu bisa menjadi akselerator dalam hidup kita? bukan masalah berapa lamanya, tapi sejauh mana kita bisa memanfaatkan waktu ini sebaik-baiknya dengan berbagi banyak hal kepada orang lain dalam organisasi itu. Dia tak mampu menjawab dengan pasti. Sambil melengak ke atas, saya pandangi sejenak langit yang nampak memutih sore itu.

IMM Kampus kedua



Istilah ini saya dapatkan dari Kakanda Nurdiansyah, senior saya di Komisariat pelopor yang sekarang menjadi Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Saat mengikuti DAD sekitar 4 tahun yang lalu, ia menjelaskan jika IMM seharusnya menjadi kampus kedua bagi kader-kadernya setelah perkuliahan klasikal. Hal itulah yang kemudian saya sampaikan kepada Falaq Fazarudin ketika ngopi bersama di Indomaret point Dinoyo hari senin 5 mei 2014 malam itu.

Musim Hujan, DAD, dan inspirasi malam



Kota Malang sudah mulai diguyur hujan. Sudah tiga hari ini saya numpang di “rumah singgah” klandungan, tujuannya hanya satu ; menghadiri beberapa kegiatan IMM. Seperti kunjungan DAD, Mengisi materi, dan menjadi penggembira dalam workshop kepenulisan PC IMM Malang.

Sabtu Pagi (15/11/14), saya memulai perjalan ke DAD Komisariat Revivalis di Masjid Alfurqon Batu. Sempat merasakan nikmatnya sholat dhuhur di masjid itu, masjid yang bagus, bersih, dan menyuguhkan pemandangan yang indah.

BBM naik, IMM tak perlu demo



Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM Subsidi sebesar Rp2.000,-. Seperti halnya kebijakan kenaikan BBM yang lalu-lalu, respon masyarakat selalu beragam. Ada yang pro, dan tentu lebih banyak yang kontra. Aksi demonstrasi pun tak terelakkan. Seantero nusantara, di berbagai kota, melakukan protes. Salah satunya, melalui aksi demonstrasi.

Suatu sore di rumah Pradana Boy ZTF



Sayup-sayup terdengar suara anak-anak perempuan membaca Alqur’an dari dalam rumah, sementara saya dan Fajrin duduk di beranda, Mas Hasnan masih sibuk dengan laptopnya, mengedit jurnal terbaru yang akan diterbitkan. Mas Boy [Pradana Boy] masih berjalan mondar-mandir ngemong anaknya yang masih kecil. Lalu, Mas Boy mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Mata saya tertumbuk pada 2 rak besar berisi buku-buku.

Satu kursi dengan Wakil Walikota



Pagi itu kami masih menanti kedatangan Pak Sutiaji, Wakil Walikota Malang, di ruang rapat PDM Kota Malang. Jam sudah mendekati pukul 9 pagi. Ada dialog publik tentang transportasi populis, termasuk soal kemacetan. Pak Sutiaji menjadi salah satu narasumber dan saya akan bertindak sebagai moderator. Di dalam ruangan, sudah ada Pak Agus Purwadyo dari Muhammadiyah, Pak Dadang Meru Utomo sebagai panelis, dan juga teman-teman IMM Universitas Brawijaya yang lain. Sayangnya, Rektor UB berhalangan hadir pagi itu.

Mengisi Materi Logika Berfikir (lagi)



Pertama kali menjadi pemateri DAD. Saya membawakan materi ke-IMM-an. Mungkin karena basic saya yang suka sejarah. Sehingga, apresiasi terhadap materi-materi sejarah bisa lebih terakomodir. Selanjutnya, saya pernah juga mengisi materi Gerakan Mahasiwa, yang orientasinya lebih ke sejarah pergerakan mahasiswa. Sekali, pernah mengisi materi ke-Islaman. Namun yang paling sering, adalah mengisi materi logika berfikir.

Kala Mas Boy bicara soal Novel



Kehadiran Mas Boy malam itu di acara Workshop kepenulisan PC IMM Malang menjadi sangat berbeda. Biasanya, Mas Boy berbicara soal Hukum Islam, plus seperangkat teori-teori ilmiah dari para pemikir dunia. Malam itu, Mas Boy banyak menceritakan pengalaman menulisnya, sekaligus bercerita perihal dua buah novel yang ia tulis. Sang penakluk ombak dan kembaran [atau kumbara] kalau saya tak salah dengar.

Catatan LID UIN Malang (3)



Tentang konsep LID IMM UIN Malang
Ada yang mempertanyakan, kenapa LID hanya ada 3 materi saja. Sisanya adalah diskusi, simulasi dan presentasi. Saya akan menjelaskan dengan bahasa yang sederhana.

Pertama, menurut saya LID adalah perkaderan khusus yang melatih calon instruktur. Instruktur adalah kreator, fasilitator sekaligus aplikator dalam sebuah perkaderan. Maka, LID ini adalah pelatihan yang lebih berorientasi kepada learning to do. Agar efisien, maka butuh porsi tepat antara teori, aplikasi dan diskusi.

Catatan LID IMM UIN Malang (2)


Perang dingin dalam tubuh Instruktur
Persiapan yang hanya seminggu, membuat intensitas pertemuan antar instruktur pun tak maksimal. Selain sibuk dengan aktivitas pribadi, juga kurangnya data terkait pelaksanaan LID ini. Saya akan menuliskan beberapa hal agar bisa menjadi bahan refleksi bagi teman-teman komisariat.

Catatan LID IMM UIN Malang (1)



Oktober 2014
Saya dihubungi Danita untuk menjadi salah satu instrukutur LID (Latihan Instruktur Dasar). Rencana, LID akan dilaksanakan tanggal 31 Oktober hingga 2 November. Kemudian, saya croschek ke Ircham yang menjabat ketua Korkom, selain itu saya juga mengirim pesan singkat ke beberapa orang yang diinformasikan Dani sebagai instruktur, untuk memastikan informasi kebenarannya.

Menata bangunan kultural IMM Maliki




Kerap kali saya mendapatkan undangan dari beberapa lembaga, yang secara kultural dikelola oleh kader-kader HMI dan PMII. Lembaga tersebut bisa berbentuk komunitas ataupun LSM. Secara hirarkis memang tidak berada langsung dibawah naungan HMI ataupun PMII, tetapi lembaga tersebut merupakan bagian integral dari bangunan kultural dua OMEK tersebut.

2015, Tahun yang sangat terbuka bagi IMM Maliki




Akhir tahun 2014 ditutup dengan menyeruaknya kembali kasus plagiatisme rektor, musyawarah eksekutif mahasiswa yang minus pratisipasi, dan menurunnya penetrasi ideologis dalam kampus. Kepemimpinan yang represif, membuka ruang mono-culture. Disatu sisi, kepemimpinan Prof. Mudji yang agak otoriter dan kaku itu, menguntungkan kekuatan minoritas, dan mengancam dominasi mayoritas. Terutama dalam kelembagaan. One vision yang dibangun, membuat segala perbedaan seolah cair dengan sendirinya. Tak heran jika ada banyak upaya “menjegal” kepemimpinan sekarang, dengan berbagai upaya, termasuk mengangkat kembali isu plagiatisme yang sudah sangat usang itu.

IMM UIN Malang dalam stigma Politik dan Keilmuan




Awal tahun 2014, saya dihubungi oleh salah seorang kakanda IMM Malang. Sebelumnya, seorang kakanda IMM Malang yang lain, yang kesemuanya dari UMM, juga pernah mengirimkan sms kepada saya yang isinya demikian “..Sekarang IMM UIN lumayan penetratif ya. Sampai-sampai posisi PC 1 dan mayoritas kursi Cabang diduduki kader IMM UIN..” saya hanya membalas singkat. “...Bukankah ini makna dari Fastabiqul Khoirot Pak?”

Kader Penjaga, Pencipta, dan Penyempurna





Setiap menjadi kader, kita mendapatkan amanah untuk menjaga stabilitas ikatan. Menjaganya agar tetap ada. Tetapi menjaga saja tidak cukup, karena itu akan stagnan. Untuk itu, butuh kader pencipta, yang membuat gagasan, ide, atau kebijakan baru agar Ikatan ini semakin progresif. Kader pencipta selalu berfikir kreatif, membuat gebrakan yang inovatif. Sebuah gagasan yang bertumpu pada imajinasi dan mimpi-mimpi. Ia mampu menciptakan sejarah, menginspirasi dan menandai sebuah perubahan dalam generasinya.

Pentingnya pendekatan kultural di Ikatan



Saya termasuk yang “gagal” dalam proses perkaderan kultural. Meski sempat mendapatkan amanah sebagai ketua korps instrusktur PC IMM Malang 2011. Saya menjadi ketua korps instruktur pada semester V. Bertepatan dengan amanah lain sebagai kabid Litbang di HMJ, Kabid Keilmuan di Komisariat, sekum FLP UIN Malang dan Wartawan Majalah Suara Akademika. Energi saya terforsir ke banyak hal. Belum lagi pekerjaan saya sebagai content writer, yang mengharuskan saya standby antara jam 4 hingga 8 pagi di depan laptop atau komputer warnet.

Kita tertinggal dari NU



Dulu, Muhammadiyah selalu identik dengan modernitas, keterbukaan, dan kosmopolit. Basisnya pun di kota. Para pengurusnya adalah orang berpendidikan, sarjana, master, doktor, hingga Profesor. Muhammadiyah adalah Ormas Islam pertama yang memiliki ketua Umum seorang Profesor (Prof. Amin Rais). Berbeda dengan NU yang baru-baru ini memiliki ketua Umum Profesor (Prof. KH. Said Agil Sirajd), sebelumnya NU ‘hanya’ dipimpin seorang Kyai yang tanpa gelar akademik.

Immawati dan warung kopi




Budaya ngopi sangat populer di IMM. Bahkan, dalam kegiatan formal, semisal Musyawarah Cabang, ngopi pun menjadi hal yang tak terelakkan. Belum lagi kalau membahas soal program dan isu-isu kontemporer. Ngopi menjadi sebuah tradisi dan siklus kultural yang kadang bisa merubah kebijakan dan orientasi kerja struktural. Secara faktual pun, forum formal semisal Musycab hanya menjadi ajang adu argument. Forum ‘sesungguhnya’ justru di warung kopi. Namun yang menjadi soal, ngopi selalu identik dengan laki-laki (Immawan), kopi pun juga selalu dikaitkan dengan maskulitas. Terutama kopi hitam. Apalagi, jadwal ngopi biasanya berlangsung malam. Sudah dipastikan, jarang –bahkan tak ada—partisipasi aktif dari Immawati.

Mensyukuri nikmat ber-IMM



Ber-IMM menjadi sebuah segmen yang tak terencana dalam hidup saya. Semacam “trap by accident”. Berawal dari segala hal yang tak menggairahkan. Kampus yang tak menggairahkan hingga jurusan yang tak menggairahkan. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, manusia memang berjalan dalam dua tapak takdir : takdir yang bisa kita jemput, dan takdir yang hanya bisa kita terima. ber-IMM, menjadi kader IMM, adalah pertimbangan yang tak begitu lama, sekalipun tak bisa juga dibilang cepat.

Mempertimbangkan Manhaj al-fikr IMM



Sembari menikmati sepiring nasi plus ikan patin ukuran sedang, saya melanjutkan diskusi kultural dengan lima teman lainnya, kebetulan tiga diantara mereka adalah kader PMII, dua kader HMI dan saya sebagai kader IMM. Saat itu, posisi kami tengah berada di lesehan iwak kali, depan pom bensin bolorejo – Tulung agung. Kami melanjutkan diskusi kami sebelumnya, diskusi tentang mahzab al-fikr masing-masing organisasi.

IMM, kado terindah untuk Mahasiswa



Judul diatas terkesan over-confident. Tapi saya sudah 3 tahun menyimpannya, dan sekarang baru keluar kembali bersama sepaket ekplanasi. Tetapi judul ini bukan sebuah kolektivitas fanatis, bukan pula gejala nativistik. Hanya sejenis aksentuasi atas kebanggaan dalam bentuk informal. Untuk itulah saya memilih kata “kado terindah” yang lebih identik dengan sebuah perayaan. Jadi tulisan ini, hanya sekedar merayakan hal yang disebut “terindah” itu.

Haruskah kader Muhammadiyah masuk kabinet?



Oleh : A Fahrizal Aziz*

Pertanyaan ini semacam resitasi dari pertanyaan yang beberapa hari ini beredar. Kenapa tidak ada kader Muhammadiyah yang masuk kabinet Jokowi-JK? dan para pakar hanya bisa menerka jawabannya. Yang lebih tahu secara spesifik, adalah Jokowi sendiri, dan juga Jusuf Kalla. Tapi kalau pertanyaannya di balik, Haruskah kader Muhammadiyah masuk kabinet Jokowi-JK? maka siapapun bisa menjawab, mulai dari petinggi hingga kader biasa di Muhammadiyah.

IMM bukannya tidak jelas, tapi ...



Ada sebuah pertanyaan yang sebenarnya mudah-mudah susah di jawab. Yaitu, tentang ideologi IMM. Pertanyaan tersebut muncul karena banyak yang merasa “tidak mendapatkan kejelasan” ketika baru menjadi kader IMM. Bahkan ada yang mengatakan jika IMM tak memiliki sebuah konstruksi ideologi yang riil. Itulah kenapa IMM tak memiliki keseragaman gerakan, dari pusat hingga komisariat. Tak adanya konstruksi ideologi itu kemudian memunculkan konflik yang sangat kontraproduktif di beberapa aspek, terutama dalam pemaknaan tri kompetensi dasar.

Falsafah Matahari (Pesan untuk para ketua komisariat)



Di pertengahan tahun 2009, sembari menanti pengumuman SNMPTN, saya memanfaatkan waktu senggang untuk ikut kelas menulis di Villa Hidayatullah Songgoriti-Batu. Tempatnya indah, sejuk, dan sangat meditatif. Ketika malam datang, rasanya tak ingin lekas tidur. Saya ingin terus memandangi kota batu dari atas, menikmati lampu kota yang kerlap-kerlip dan hawa dingin yang menusuk. Berada di Villa ini, serasa ada di Bukit Moko Bandung.

Ketika Yusuf-pun menulis




Saya lihat, beberapa hari ini ketua PC IMM Malang mulai rajin memposting tulisan di facebook, meskipun tak terlalu sering. Aktifitas di blog pribadinya pun juga masih ‘seperti dulu’. Tetapi ada kebahagiaan tersendiri ketika saya membaca tulisan-tulisan teman di facebook, termasuk salah satunya Yusuf Hamdani, ketua PC IMM Malang. Ada sebuah aktifitas yang dinamakan merenung, atau dalam bahasa agamanya, Tahanus.

[Ber-IMM adalah ber-Proses]



Ber-IMM adalah berproses, bukan bekerja. Meski pada satu waktu, kita dihadapkan pada amanah untuk mengurus struktural dan menjalankan program kerja. Berproses, serumpun makna dengan belajar. Dalam belajar, kita berupaya untuk melakukan yang terbaik, semampu dan sekuat kita menjalankannya. Maka, jangan takut salah atau kalah, seandainya :

Ketika IMM diam, dan yang lain berlari



Teman-teman, saya mendapatkan bocoran dari OMEK sebelah bahwa mereka telah menyusun rencana untuk menggaet kader sebanyak-banyaknya. Ada beberapa level penjaringan, mulai dari OPAK, OSFAK, OSJUR, Kelompok Studi, Kelompok Diskusi, hingga ‘penjaringan asmara’. Sementara, saya berusaha mengingat-ingat apa kira-kira upaya IMM dalam menjaring kader –selain hanya—duduk di stand dan menyebarkan brosur.

Ketika IMM non PTM ‘menduduki’ PC IMM Malang


[Catatan Reflektif]

Oleh : A Fahrizal Aziz*

Periode 2013-2014 bisa dikatakan periode penuh sejarah bagi IMM non PTM Malang, terutama IMM UIN Maliki Malang, karena pada periode ini, IMM UIN Malang (selanjutnya di tulis IMM Maliki) berhasil mendelegasikan kadernya, Yusuf Hamdani Abdi (Reformer ’09) sebagai ketua Umum dan menempatkan 4 kader lainnya sebagai Pengurus PC IMM Malang : Ialah saya, Fajrin, Hafidz, Rasikh. Itu berarti, ada lima kader IMM Maliki yang pada periode ini menjadi pengurus PC IMM Malang.