loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Berhentilah berfikir tentang Ulil dan JIL



“Jangan sampai ada orang seperti Ulil Abshar Abdalla di Muhammadiyah.” ujar salah seorang penceramah dalam sebuah sesi tausiyah. Ini bukan pertama kalinya kita mendengarkan kegelisahan bahkan kekhawatiran yang berlebih tentang JIL dan termasuk salah satu Big Father-nya, Ulil Abshar Abdalla. Meskipun senyatanya, yang lebih liberal dari Ulil itu banyak, meski tidak menggunakan label “Islam”. Sebut saja Goenawan Muhammad atau Ayu Utami. Tapi orang-orang (masjid) hanya mengenal Ulil Abshar Abdalla. Mereka tidak tahu bahwa salah satu supporting terbesar JIL itu adalah Komunitas Utan Kayu milik Bos besar Tempo Goenawan Muhammad.

Tapi, bukan salah tidaknya JIL, atau haram tidaknya liberalisme yang akan kita bahas. Kemaren, beberapa aktivis yang terkenal memiliki cara fikir yang dekonstruktif tentang doktrin agama terutama doktrin fiqih, menolak beberapa kebijakan presiden yang mencabut hampir semua subsidi. Mulai dari kereta api, listrik, tol, hingga kebijakan subsidi tetap BBM.

Anda tahu, pencabutan subsidi itu adalah upaya liberalisasi ekonomi. Jadi, tak sedikit juga para aktivis yang berfikiran liberal dalam doktrin agama, menolak liberalisasi ekonomi. Begitu pun juga penolakan beberapa mahasiswa, terutama yang beraliran kiri, tentang upaya liberalisasi ekonomi tersebut. Padahal, gerakan kiri, dalam pandangannya terhadap agama, jauh lebih liberal dan jauh lebih out of context dibandingkan JIL. JIL masih menyakini Al Qur’an sebagai sumber dan masih memiliki pemahaman jika kebenaran akan Tuhan itu Absolute.

Ulil, JIL, dan Pemikiran para aktivisnya, hanya sebuah made a man yang jika di lepaskan ke publik bisa di netralisir dengan mudah oleh bantahan argumentatif. Tapi kalau kebijakan ekonomi, misalkan soal liberalisasi ekonomi, sekali diputuskan, tidak ada yang bisa melawan. Membantah bisa, tapi kebijakan akan terus berjalan dan pederitaan itu akan lekas dirasakan.

Disinilah, sebenarnya, Ulil dkk mungkin penting untuk dikomentari, tapi sebenarnya tidak terlalu urgen. Yang urgen, yang bersikap lebih aplikatif, justru jarang terbaca di mimbar-mimbar masjid. Padahal, di moment Ramadhan seperti ini, forum tausiyah banyak dibuat. Selepas shalat subuh, sebelum berbuka puasa, atau sebelum/sesudah shalat tarawih.

Semoga kita tidak salah fokus!

Siapa ahli IMM?



Saya jadi teringat dengan ajakan wawancara salah seorang wartawan UAPM Inovasi yang berinisial “D”, yang kala itu tengah menyorot tentang praktek ideologisasi Ma’had Sunan Ampel Al Aly (Al Jami’ah). Wawancara itu berlangsung tahun 2013. Dia mewawancarai saya sebagai senior IMM UIN Maliki. Yang lucunya, dia mewawancarai saya yang juga sebagai wartawan. Bedanya, genre media yang dia usung adalah Jurnalisme kritis. Sementara saya konsen ke Jurnalisme Inspiratif.

Wawancara yang seharusnya berjalan secara segmental, justru lebih banyak dibumbui dengan diskusi dan sedikit debat. Kenapa? Karena ada polarisasi wacana yang hendak diusung. IMM dalam hal ini seolah hendak digunakan sebagai gerakan yang diharapkan mampu menjadi peluru kritik atas pewajiban beberapa program yang sangat ideologis semisal diba’aan, yasinan, barzanji, dsb yang notabene adalah tradisi NU. Sementara IMM, sebagai Ortom Muhammadiyah, dirasa perlu untuk ‘melawan’ proses ideologisasi tersebut.

Sebagai pewawancara, harusnya si “D” menempatkan narasumber sebagai the real informan. Bukan justru menjadikannya sebagai penguat untuk menjustifikasi isu yang tengah diusung media tersebut. Dalam perspektifnya, anak-anak Muhammadiyah yang kuliah di UIN Malang, merasa tertindas dengan program Ma’had yang mewajibkan mengikuti kultur atau Ideologi tertentu. Dan bahkan, dalam sesi wawancara, dia membuat satu rekomendasi sikap bagimana seharusnya IMM.

Karena wawancara tersebut tidak berjalan baik dan deadline Majalah semakin dekat, maka semua sesi wawancara yang berlangsung hampir dua jam tersebut tidak dimuat sama sekali dan saya pun mewanti-wanti agar tidak menuliskan IMM secara spesifik. Setelah Majalah itu terbit, pihak kampus merasa geram dan memberikan catatan serius untuk satu liputan khusus yang ditulis wartawan berinisial “D” itu. Walhasil. Majalah di stop. Suruh ganti judul. Dan dicetak ulang. Sehingga, cetakan pertama yang berjumlah sekitar 2.000 eksemplar itu mubazir. Anda bisa membayangkan berapa juta uang yang terhambur?

Dengan digantinya judul atas tekanan pihak birokrasi tersebut, justru menjatuhkan martabat independensi LPM Inovasi. Dan apalagi, terlalu memaksakan isu –meskipun dengan embel-embel Jurnalisme Kritis—juga bukan pilihan yang bijak. Saya menjelaskan bahwa IMM, sekalipun ortom Muhammadiyah, harus dibedakan pula cara pandangnya. IMM adalah Ortom yang bergerak di lingkungan kampus yang rata-rata terdidik. Secara kultural, masyarakat kampus adalah masyarakat terbuka. Apalagi, bagi Muhammadiyah dan juga IMM, acara seperti Yasinan, Diba’an, Berjanji, dsj bukan merupakan Ibadah.

Lalu apa masalahnya? Lantas tidak perlu lah sampai menulis judul “Universitas Islam atau NU” yang pada akhirnya mendapatkan resistensi dari pihak kampus. Media semestinya mengusung wacana yang bersifat klarifikatif bukan justru memunculkan isu yang memperkeruh suasana. Kader-kader IMM sesekali harus mengenal tradisi NU sebagai kajian sosial-budaya dalam rangka understanding of Ideologi, tidak selalu sebagai ikhtilafiyah. Apalagi Bid’ah. Karena masyarakat kampus adalah masyarakat terbuka. Sisi Intelektualitas harus diutamakan daripada sisi fanatisme.

Pada beberapa waktu lalu ada seseorang yang juga menghubungi saya, yang juga bukan kader IMM, memberikan semacam role-model gerakan politik untuk IMM UIN Maliki. Dia berargument bahwa IMM tidak boleh pasif atau bahkan apatis dalam isu-isu politik, termasuk Pemira atau penguatan jejaring dilingkup birokrasi. Dia bahkan memaparkan pembacaan atas realitas sosial-politik yang terjadi di kampus, plus pola gerakan OMEK yang menurut saya patut diacungi jempol.

Bahkan, gerakan IMM tidak luput dari perhatiannya. Dia bahkan sampai membaca figur-figur definitif seperti ketua Korkom, ketua komisariat, dan beberapa kader. Dia seolah-olah tahu apa yang terjadi di dalam IMM UIN Maliki, meskipun bukan kader. Dia membaca IMM dari sudut pandang dia sebagai kader OMEK sebelah. Dan IMM, dalam persepektif gerakan juga dia samakan dengan OMEK tempat dia berada. Untuk itulah, dia berani memberikan saran tentang bagaimana seharusnya gerakan politik IMM di kampus UIN Malang.

Apa yang dia jelaskan, sebenarnya sama dengan apa yang ada dalam benak wartawan berinisial “D” tersebut. Sama-sama bukan kader IMM, tidak berproses dengan IMM secara institusional, namun melakukan pembacaan, penilaian, hingga penyimpulan terhadap kondisi dan sikap-sikap IMM.

Saya, sebagai kader IMM, yang telah 5 tahun-an menjadi kader, justru merasa bingung sendiri. Banyak orang yang merasa (dan harus) tahu tentang IMM. Tapi, semestinya mereka membuka diri untuk mendengarkan apa itu IMM dari perspektif kader IMM sendiri. Termasuk dalam sikap dan gerakannya. Agar tidak impulsif. Tapi, siapa yang ahli terhadap IMM itu sendiri? Entahlah.

18 Maret 2015
A Fahrizal Aziz

Pilihan menjadi kader IMM



UIN Malang menjadi salah satu kampus tujuan paling favorit alumus Aliyah tempat dulu saya belajar. Berdasarkan data yang dihimpun secara partikelir, sebagian besar lulusan Aliyah ini melanjutkan ke UIN Malang. Ada yang menjadikan UIN Malang sebagai pilihan pertama, dan jika gagal di kampus lain yang secara great lebih tinggi, larinya sebagian besar juga ke UIN Malang. Jadi bisa dipastikan, sebagian besar mahasiswa baru UIN Malang yang berasal dari Blitar, adalah Alumni Aliyah tempat saya belajar. Akhirnya, pernah muncul pertanyaan begini : anak Blitar banyak, kenapa yang bergabung dengan IMM hanya kamu?

Hal ini berbeda dengan kader lain, terutama yang berasal dari Lamongan dan Gresik, yang setiap tahunnya mampu mengajak adik kelas, tetangga, hingga teman-temannya untuk bergabung dengan IMM. Meskipun trend terbaru, jumlah kader IMM dari dua kota ini semakin menurun. Bahkan ketua komisariat, bisa berotasi dari berbagai wilayah, tidak selalu dari Lamongan dan Gresik. Bahkan juga mulai banyak kader dari luar Jawa.

Tentu, jarangnya Mahasiswa Blitar yang bergabung dengan IMM, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai mahasiswa asal Blitar, saya memang gagal membentuk branding IMM sebagai organisasi yang diminati. Saya pun juga gagal mengajak adik-adik kelas saya untuk bergabung dengan IMM. Bahkan, adik kelas yang masih kerabat, justru bergabung dengan OMEK lain. Sisanya tidak ada yang ikut.

Kedua, jawaban yang umum adalah soal kultur dan afiliasi organisasi. Nama “Muhammadiyah” dirasa terlalu berat. Apalagi, secara kultural, alumnus Aliyah tempat saya belajar dulu memang bukan dari kultur Muhammadiyah. Disinilah terjadi resistensi. Meskipun kader IMM sendiri, tidak semuanya dari kultur dan keluarga Muhammadiyah.

Hal itu nampak berbeda dengan di UMM. Memang banyak yang bukan berasal dari kultur atau keluarga Muhammadiyah, namun keikutsertaan mereka di IMM karena nama kampusnya adalah “Muhammadiyah”. Di dua kampus yang berbeda, sebagaimana yang pernah saya temui, ada yang menggunakan “jebakan batman”. Bahkan ketika mereka mengikuti DAD, ada yang belum ngeh kalau itu perkaderan IMM. Mereka mengaku bergabung dengan komunitas atau majelis ta’lim. Tentu, model “jebakan batman” ini bagus, tapi juga tidak selalu baik untuk perkaderan.

Bagi saya, bergabung dengan IMM harus melalui kesadaran kritis. Kesadaran bahwa setelah bergabung, konskwensi diantaranya, adalah berlabel sebagai “kader IMM” atau “Kader Muhammadiyah”. Saya bergabung dengan IMM, karena sejak SMA sudah tertarik dengan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah, diantaranya Buya Hamka, Buya Syafii Maarif, dan Amien Rais. Meskipun secara geneologis, bukan berasal dari kultur atau keluarga Muhammadiyah.

Karena menurut saya, khusus di kampus UIN Malang, ada tiga jenis alasan kenapa mahasiswa bergabung dengan IMM. Pertama, karena memang dia ikut IPM atau ortom Muhammadiyah lain di daerah. Jadi jiwa idealisme Muhammadiyah-nya ia teruskan di IMM. Kedua, karena berasal dari kultur dan keluarga Muhammadiyah, meskipun tidak pernah ikut ortom Muhammadiyah sebelumnya. Kader kedua ini merasa perlu bergabung dengan IMM sebagai basis kelompok ideologi. Tipe ketiga ini termasuk yang bukan dari ortom dan kultur Muhammadiyah, namun secara ideologi, terutama Mahzab fiqh-nya sejalan dengan Muhammadiyah.

Ketiga, bukan berasal dari kultur Muhammadiyah, tidak juga bergabung dengan ortom Muhammadiyah sebelumnya, tapi merasa tertarik dengan IMM, entah sekedar ingin tahu atau ingin mengeksplorasi kemampuannya.

Saya masuk tipe ketiga. Tipe ketiga ini paling rentan, karena dia bergabung dengan IMM berdasar ekspektasi. Berbeda dengan tipe kesatu dan kedua, yang sudah memiliki ikatan baik dari ortom sebelumnya, dari keluarga, hingga kultur di kampung halamannya. Tipe ketiga ini bisa saja menjadi bosan, malas, dan keluar dari IMM, jika ekspektasi yang ia harapkan tidak terpenuhi. Namun disatu sisi, tipe ketiga ini juga memiliki potensi yang besar.

Dalam beberapa kali acara sharing perkaderan dengan beberapa teman korps instrukstur PC IMM Malang antara tahun 2011-2012, ada satu pertanyaan besar yang sepertinya membutuhkan jawaban seumur hidup, bagaimana cara menggaet banyak kader? Tentunya dari segi kuantitas. Di beberapa komisariat, terutama non PTM, masalah kuantitas kader memang menjadi kegelisahan tersendiri. Karena itu, diterapkanlah perkaderan personal dan kultural. Adik kelas, tetangga, teman dekat, dll diajak untuk bergabung dengan IMM.

Cara-cara konvensional semacam itu baik, namun tidak selamanya manjur juga. Apalagi fokus pada kuantitas. Karena itu akan melelahkan. Percayalah, jika sistem dan budaya organisasi itu sudah terbentuk di dalamnya, maka dengan sedirinya IMM akan menjadi organisasi yang dimintai. Terlepas dari hal-hal pragmatis lainnya. Misalkan, budaya membangun wacana, diskusi, berkarya, dll yang memang tidak tersedia di bangku kuliah namun dibutuhkan dalam pergaulan sosial, terutama masyarakat akademis.

Jika budaya itu sudah matang, maka aura organisasi itu akan muncul dengan sendirinya. Sehingga, banyak yang kemudian bergabung dengan IMM melalui kesadaran individu. Karena bagaimana pun, bergabung dengan IMM adalah sebuah pilihan, tidak bijak jika menggunakan “jebakan batman”. (*)

30 Maret 2015
A Fahrizal Aziz

Pemira, dalam kacamata ikatan



Pemira atau pemilu raya, menjadi event tahunan yang menyorot perhatian publik, terutama kaum aktivis yang terhimpun dalam OMEK. Gairah untuk menduduki jabatan struktural di OMIK, membuat para OMEK melakukan ekspansi besar-besaran. Adagium yang beredar, semakin banyak jabatan OMIK (HMJ, BEM, dan SEMA) maka semakin menunjukkan eksistensi sebuah OMEK tersebut. Terkhusus di UIN Maliki, persaingan sengit sempat terjadi antara PMII dan HMI ketika masih menggunakan sistem Partai. Karena terjadi konflik serius, maka sistem tersebut dirubah pada tahun 2012. Setelah sistem berubah, maka arus bergeser. HMI menjadi sedikit sulit menembus persyaratan yang rumit, dan PMII semakin tak terbendung. Baru kemudian, gerakan independen –baik yang digawangi UKM atau Mahasiswa non ideologis—muncul sebagai antitesis yang kuat atas ekspansi PMII. Lalu bagaimana dengan IMM?

IMM termasuk OMEK yang kurang bergairah dalam wacana politik. Semenjak sistem kepartaian dirubah menjadi sistem independen, IMM nihil partisipasi. Tahun 2010, IMM mendelegasikan tiga calon ketua. Seperti Umar Alfaruq yang maju sebagai Calon Ketua BEM-F Humaniora. Nur Rohman sebagai calon ketua HMJ PBA, dan Wildan Setyo sebagai calon ketua HMJ TI. Dari semua calon, hanya Wildan yang berhasil memenangkan pemira dan menjadi ketua HMJ TI. Tahun 2011, IMM mendelegasikan dua kadernya. Subur Pramono sebagai calon ketua HMJ Fisika. Dan A Fahrizal Aziz sebagai calon ketua HMJ PGMI. Hanya saja, keduanya kalah suara.

Setelah itu, sepanjang tahun 2012-2014, tidak ada satu pun kader IMM yang maju sebagai calon. Ada beberapa faktor yang mendasari. Pertama, sistem berubah. Biasanya, ada dua poros besar dalam pemira. Poros PMII dengan PKDM (Partai Kebangkitan Demokrasi Mahasiswa) dan Poros HMI, IMM, KAMMI dan beberapa orda dengan PP (Partai Pencerahan). Setelah sistem dirubah, komunikasi politik model kepartaian tidak berjalan. Terkecuali PMII, yang memang memiliki akses yang sangat terbuka dengan birokrasi.

Kedua. Lemahnya penguasaan isu dikarenakan keterbatasan partisipasi kader di lembaga Intra (OMIK) maupun UKM. Jelang Pemira, biasanya ada agenda besar bernama Musyma (Musyawarah Mahasiswa) atau Kongres Mahasiswa. Disinilah isu-isu muncul, termasuk dalam penyusunan draft regulasi semisal persyaratan pemira dll. Peserta Musyma tentunya adalah perwakilan OMIK dan UKM.

Ketiga. Kurang persiapan. Selain karena sistem yang berubah, dan persyaratan semakin berat, serta minimnya pengalaman dalam mempersiapkan agenda semacam ini, membuat IMM pun tak begitu memiliki peran dalam percaturan politik. Kecuali, jika itu sebatas komunikasi kultural yang mengharapkan dukungan secara kuantitatif dari IMM. Andaikan pun menang, semisal Mas Wildan dulu, ternyata tidak terlalu berimbas secara signifikan kepada Ikatan.

Keempat, lemahnya jaringan dosen yang terstruktur. PMII memiliki IKAPMII, HMI memiliki KAHMI. Secara kultural, IMM masuk bagian dari KAHMI, namun IMM tidak bisa mengakses KAHMI secara formal karena itu adalah lembaga milik alumni HMI. Seharusnya, IMM memiliki Fokal-IMM yang bisa menjadi jejaring dintern. Untuk itu serba sulit –andaikan pun berhasil memenangkan kursi OMIK—itu juga tidak akan berdampak signifikan.

Mencoba Realistis
Melihat kultur dan konstelasi kampus, agaknya Pemira tidak menjadi solusi praktis bagi IMM. Meskipun, posisi politik adalah posisi paling strategis untuk memajukan sebuah lembaga. Karena bagaimana pun, OMIK adalah ‘lahan basah’ yang didalamnya banyak sekali jaringan dan kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan personal maupun komunal. Hanya saja, tidak bisa berjalan sendiri, harus banyak instrument agar proses politik itu berjalan lancar. Seperti basis massa, struktur di dalamnya, hingga jejaring alumni.

Akhirnya, Pemira bukan lagi event prestisius untuk IMM, melainkan hanya sekedar wacana responsif. Jika berniat mengajukan calon ketua, seharusnya sejak jauh-jauh hari. Dimulai dari anggota biasa, pengurus harian, hingga kemudian mengajukan diri sebagai calon. Karena sebagaimana mainstream politik IMM, yaitu Politik nilai, akan sangat lucu ketika calon yang diusung IMM kalah secara kapabilitas, karena kurangnya persiapan.

Merujuk pada statement Alberto Melucci, seorang Antropolog, bahwa gerakan sosial mewujud dalam inovasi kultural, teknik-teknik bertahan hidup, serta transformasi sosial dan ekonomi. Dalam perspektif ini, agaknya IMM perlu berfikir realistis jika hendak mengejar posisi struktural di Intra melalui Pemira. Ada aspek yang lebih urgen yang bisa dibenahi, yaitu gerakan kultural yang terabaikan selama bertahun-tahun. Lebih lanjut, Arturo Escobar juga mengatakan bahwa gerakan sosial tidak hanya berupa persaingan politik, tapi juga memuat persaingan kultural.

Gerakan Kultural inilah, yang dalam Muhammadiyah kerap disebut dengan istilah Politik Horisontal. Gerakan kultural harusnya mampu berkembang di komisariat melalui program temporal, L.O (Lambaga Otonom) maupun Komunitas/Paguyuban. Hanya saja, sudah sejak beberapa tahun belakangan, gerakan kultural di internal IMM UIN Maliki terhenti karena terjebak pada formalisasi gerakan. Akhirnya, Komisariat yang seharusnya mampu menjadi basis kultural, kini hanya menjadi basis formal-struktural, dan orientasi lebih ke ‘bentuk’ daripada ‘isi’. Karena sangat mustahil, politik tanpa basis kultural yang kuat.

IMM pun harus mulai terbuka (inklusif) dalam gerakannya. Merangkul masyarakat baik secara formal maupun informal. Struktural maupun kultural. Apalagi, dengan payung ideologi besar bernama “Muhammadiyah”, semestinya Mahasiswa yang berasal dari keluarga atau kultur Muhammadiyah, yang secara formal tidak mengikuti DAD, bisa menjadi basis kultural dengan pendekatan yang lebih cair, seperti yang pernah dilakukan IMM Universitas Brawijaya dengan Komunitas Sang Pencerahnya. Bahkan jika diteliti, tak sedikit pula yang bergabung dengan IMM, yang sebelumnya tidak berasal dari keluarga atau kultur Muhammadiyah.

Posisi struktural memang penting, Jabatan politik pun juga tak kalah penting, tapi itu hanya bersifat momentual. Sementara kita melupakan gerakan-gerakan kultural yang justru menjadi pondasi secara institusional.

17 Februari 2015
A Fahrizal Aziz

*Untuk disampaikan dalam diskusi bidang Hikmah Komisariat Reformer, 18/02/15