loading...

Sabtu, 03 Februari 2018

Memandang Politik (1)

Untuk apa belajar ilmu politik? Pertanyaan reflektif tersebut diajukan oleh dosen pengampu mata kuliah Ilmu Politik kala itu. Meski kami mahasiswa jurusan Pendidikan, namun juga mendapatkan tiga mata kuliah sosial yaitu Ilmu Politik, Ilmu Ekonomi, dan Sosiologi.

Saya yang aktif dalam organisasi mahasiswa, memang sempat beberapa kali mengikuti kajian politik. Bahkan bisa disebut, kajian politik merupakan hal yang wajib bagi mahasiswa.

Kemudian juga ikut kontes politik kecil-kecilan skala kampus, sebagai bagian dari praktek berpolitik. Meski politik tidak sekedar pemilu, pilkada, dsj.

Karena itulah saya sedikit tahu, bahwa ada lima tingkatan orang berpolitik. Yaitu karena kepentingan ekonomi, jabatan, pengaruh, prestise dan pengabdian. Level pengabdian ini adalah level tertinggi.

Karena politik menjadi disiplin ilmu, maka ia menjadi kajian terbuka dan dipandang secara positif. Yang pertama harus dijauhkan ketika belajar ilmu politik, adalah menganggap politik itu kotor. Karena itu fikiran negatif. Ilmu harus dikaji dengan fikiran positif.

Masalahnya, banyak anak muda yang apolitik. Kriteria anak muda itu, yang masih berusia dibawah 40 tahun. Karena dalam ilmu Psikologi, orang berusia diatas 40 tahun, biasanya sudah mapan dengan cara berfikirnya dan sukar berubah.

Anak muda, terutama usia pelajar dan mahasiswa, sangat memungkinkan untuk mengkaji ilmu seluas-luasnya, termasuk ilmu politik. Tidak harus secara klasikal di ruang perkuliahan.

Anak muda berupaya mempertanyakan secara kritis, stigma bahwa politik adalah zona yang sengit, dan mungkin kotor. Tapi apakah semua politisi itu orang kotor dan tidak punya sumbangsih? Nyatanya tidak.
Maka sebelum mengkaji sesuatu, fikiran terbuka dan positif itu perlu dibangun, agar ilmu bisa masuk sepenuhnya. Tidak sekedar yang kita inginkan atau sesuai selera saja. Seperti, mengkaji politik hanya untuk mencari letak kotornya politik.

Dengan begitu, kita tidak hanya sekedar menyempitkan politik sekedar perebutan kekuasaan dan jabatan, tapi lebih luas dari itu. Selamat menyimak tulisan berseri ini. []

14 Agustus 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Jumat, 02 Februari 2018

Soal Kartu Kuning ke Jokowi dan Kritisisme yang Perlu dirawat

Kartu kuning yang diacungkan Zaadit Taqwa, ketua BEM UI, kepada Presiden Jokowi memicu tafsir ganda. Meski selepas itu ada Konferensi Press yang menjelaskan lebih detail alasan kenapa kartu kuning tersebut diajukan.

Setidaknya ada tiga hal besar yang disorot. Yaitu soal wabah kelaparan yang melanda suku asmat di Papua, pengangkatan Perwira tinggi sebagai Plt Gubernur, dan Permendikti tentang organisasi mahasiswa.

Aksi dramatikal itu berhasil merebut perhatian publik, sehingga selepas aksi tersebut mereka bisa melakukan konferensi press untuk menyampaikan aspirasi, dan diliput secara luas.

Kartu kuning juga bisa ditafsirkan berbeda. Dalam sepak bola, pemain yang terkena kartu kuning berarti telah melakukan pelanggaran secara sengaja, sehingga tidak boleh diulangi. Meski kesengajaan tersebut sangat bergantung tafsir si wasit.

Seorang defender atau striker tidak akan mendapat kartu kuning kalau misal bolanya menyentuh tangan tanpa sengaja. Tapi akan diganjar kartu kuning kalau memegangnya dengan sengaja, ketika permainan sedang berlangsung.

Artinya, mungkin ada banyak kesalahan yang secara sengaja dilakukan Presiden Jokowi atau para pembantunya, yang harus diberikan kartu kuning. Ya, agar berhati-hati lagi, apalagi ini tahun politik.

Selain itu, warna kuning juga sejalan dengan warna almamater UI, yang mana menteri-menteri Jokowi lulusan UI juga hadir di forum dies natalis tersebut.

Warna kuning juga identik dengan Partai Golkar. Partai yang saat ini sangat dekat dengan Jokowi, dan bahkan lebih dekat dari PDIP, yang notabene partai pengusungnya. Golkar dikenal sebagai Partai yang gesit dan lincah.

Sejak reformasi, Golkar sekali menang pemilu, dan pemilu terakhir (2014) berada di posisi kedua. Pada dua Pilpres sebelumnya, 2004 dan 2009, Golkar mencalonkan Presidennya sendiri. 2014, Partai beringin ini mendukung pasangan Prabowo-Hatta.

Sayang, yang diusung atau didukung Golkar belum pernah sekalipun menang. Sementara 2019, Golkar secara mantab mendukung kembali Jokowi sebagai Capres.

Kartu kuning bisa bermakna ganda. Selain peringatan agar berhati-hati, dalam konteks aksi Ketua BEM UI kemaren, mengingatkan pada kita bahwa kritisisme harus terus dirawat. []

Blitar, 3 Februari 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com