loading...

Selasa, 26 September 2017

Najwa Shihab dan Media Barunya





Srengenge– Berhenti menjadi host Mata Najwa dan keluar dari Metro tv, ternyata tak membuat aktivitas Jurnalisme Najwa Shihab berhenti juga. Kini ia membuka kanal media, namun bukan bergabung dengan televisi lain, melainkan membuka beberapa kanal di media sosial yang dimilikinya.

Sebelumnya Najwa Shihab telah merilis website pribadi yang beralamat di Najwashihab.com, belakangan perempuan yang akrab dipanggil Nana ini juga membuka channel Youtube dan merilis video yang sekilas mirip Mata Najwa, namun dengan kemasan yang lebih santai. Ia pun juga melakukan live video di Facebook dan Instagram. Apakah itu media baru Nana?

Jika melihat rilis video perdananya, kemasannya sudah seperti produksi acara televisi profesional, dengan kualitas HD. Bahkan Nana juga memiliki tim lengkap yang menjadi tim kreatif, mulai dari kameramen, editor video, sampai admin sosial media miliknya. Desain lokasi wawancara pun juga dibuat santai, dengan beberapa properti yang terpajang.

Media sosial memang menjadi salah satu alternatif banyak tokoh publik untuk menyampaikan aspirasi, gagasan, sampai kreatifitasnya. Bukan tak mungkin kedepannya Najwa Shihab akan menjadikan media sosial sebagai kanal untuk mencurahkan insting jurnalismenya, mengingat sosial media memiliki kebebasan yang lebih, ketimbang stasiun televisi. Baik dari segi durasi maupun konten yang akan diangkat. [red.s]


PKI dan Takhayul Politik



Oleh : Nurbani Yusuf

Ada berbagai opini bersangkut PKI. Sebagian beranggapan bahwa PKI itu fiktif atau hantu. Kumpulan para orang panik dan paranoid. Sebagian lagi beranggapan PKI itu nyata. Musuh paling berbahaya. Laten dan mematikan. Kenapa disebut laten karena PKI adalah ideologi dengan pengikut paling militan.

Sejarah mencatat bahwa PKI itu ada. Pernah menjadi konstentan Pemilu '55. Dan masuk tiga besar, setelah PNI dan Masyumi. Diakui bahwa PKI cepat merakyat karena program-program yang ditawarkan langsung bersentuhan dengan kebutuhan praktis rakyat kecil. Semisal: bagi-bagi tanah kepada petani miskin, kemudahan lapangan kerja dan keadilan kumulatif: sama rata-sama rasa yang memikat banyak orang.

PKI adalah partai alternatif melawan kemapanan. Tak heran dalam waktu singkat PKI menyalib partai-partai besar yang didukung mayoritas. Andai tak ada Gestapo mungkin PKI berpeluang menjadi partai penguasa. Inilah yang menakutkan. Maka berbagai cara dilakukan untuk membendung PKI kembali bangkit.

*
Akan halnya peristiwa penghianatan PKI yang kemudian lazim disebut G 30 S PKI. Ada silang sengkarut yang sulit di urai. Sebagian beranggapan PKI adalah pengkhianat negara dengan membunuhi beberapa jendral angkatan darat untuk merebut kekuasaan. Sebagian lagi beranggapan G 30 S PKI adalah kurban yang disasar propaganda orde baru. Inilah soal peliknya. Yang kemudian menyeret kita pada pusaran konflik tak berkesudahan. Apapun bentuknya, peristiwa politik adalah skandal.

Sejarah memang tak pernah punya kemampuan menjelaskan peristiwa dengan obyektif. G 30 S PKI adalah nyata tak perlu dibantah. Menjadi bagian dari sejarah kelam yang tak boleh dilupakan meski tak persis sama dengan yang ada dalam cerita filmnya.

Demokrasi meminta jenis kurbannya sendiri, memilih yang dikehendaki. Demikian Plato memberi rumus. Ortega pun mengaku kalah dalam pemilu yang ia selenggarakan sendiri. Soekarno pun terpekur di rumahnya selama beberapa tahun. Kalah dan disepikan di tengah ramai.

*
Misteri yang bermula dari sas-sus itulah awalnya. Menjadi takhayul yang tak bisa dicandra dengan akal sehat. Dan itu berbahaya. Sebab takhayul politik tak butuh logika atau metodologi ilmiah. Takhayul politik hidup dan tumbuh ketika para politisi yang haus kekuasaan tak bisa berhenti mengendalikan ego. Takhayul hanya butuh pembenar dan justifikasi.

Sebagaimana proses pemilihan khalifah Abu Bakar as Sidiq juga menyisakan banyak misteri termasuk pengikut Syiah lawan politik yang tak bisa terima hingga hari ini.

Terbunuhnya para khalifah rasyidah (Umar, Ustman dan Ali) juga berasal dari takhayul politik. Para khalifah itu dibunuh sebab takhayul politik yang diciptakan dan disebar para pengikut. Dan PKI adalah takhayul politik yang terus menggiring opini publik. Dan kita hanya butuh pembenar. Sebab kebenaran tak perlu ditawarkan.


@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar
__
Sumber sekunder : nalarsehat.com

posted from Bloggeroid

Minggu, 24 September 2017

Hanya Soal Selera [Puisi]



Kita masuk pada suatu masa
Ketika berita tak saja berisi fakta
Tapi lebih pada selera pemiliknya

Kita terbiasa menghabiskan hari-hari
Dimana perdebatan silih berganti
Tanpa perlu diskusi, atau tawaran solusi

Kita terjebak pada era sosial media
Ketika orang bisa berkomentar apa saja
Tanpa perlu mengaca, 
atau menengok isi otaknya

Kita disuguhkan beragam sajian
Tantang kebenaran
Tentang kemanusiaan
Tentang kepedulian
Dan tentang apa saja yang penting memberikan kesan

Sebagian dari kita mengidap rasa tak percaya
Sebagian lagi dibayangi rasa curiga
Asal jangan sampai mengidap sakit jiwa
Sebab nyatanya, semua hanya soal selera.

Selera bagi mereka yang punya sarana dan kuasa.
Sementara kita, hanyalah serupa bidak yang dimain-mainkannya.

Blitar, 25 September 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

Jumat, 22 September 2017

Soekarno : Islam Itu Kemajuan



Dialah Soekarno, seorang tokoh bangsa yang dekat dengan semua kalangan. Sejak muda Ia dekat dengan para pendiri bangsa. Kedekatannya dengan banyak ulama terlebih ulama modernis menjadikannya seorang pemikir Islam.

Dalam bukunya yang berjudul "Islam sontoloyo" Soekarno memberikan keterangan mengenai Islam yang berkemajuan.

Begini kata Soekarno di salah satu artikel dalam bukunya tersebut:

"Mengapa kita musti kembali ke zaman ‘kebesaran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat? Lupakah kita, bahwa hukum Syariat itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang ‘mubah’ atau ‘jaiz’? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau yang jaiz ini! Alangkah baiknya kalau ia ingat bahwa ia di dalam urusan dunia, di dalam urusan statemanship, ‘boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh beradio, boleh berkapal udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper-hyper modern’, asal tidak nyata di hukum haram atau makruh oleh Allah dan Rasul! Adalah suatu perjuangan yang paling berfaedah bagi ummat Islam, yakni berjuang menentang kekolotan. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya ke muka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar jaman ke muka, perjuangan inilah yang Kemal Attaturk maksudkan, tatkala ia berkata, bawa ‘Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam mesjid memutarkan tasbih, tetapi’ Islam adalah perjuangan.’ Islam is progress: Islam itu kemajuan!” .
(Red.S)
posted from Bloggeroid

Cara Orang Waras Menonton Film G30S/PKI



Tidak seperti tahun tahun sebelumnya, pada tahun 2017 terlebih pada bulan September ini kisah-kisah tentang PKI kembali dihembuskan. Hal ini tentu sangat berbeda dengan 19 tahun terakhir ini, dimana pasca 98” kisah tentang PKI jarang sekali di bicarakan atau mungkin sejarahnya sudah masuk rongsokan ingatan rakyat Indonesia, akan tetapi bulan ini (September 2017) mulai Dari pejabat teras negara sampai pedagang kaki lima pun saat ini mulai membuka kembali memorinya tentang PKI dan film G30S/PKI.

Terlebih lagi, panglima TNI Gatot Nurmantyo mengintruksikan kepada anak buahnya untuk menonton film Pemberontakan G30S/PKI. Hal itu tentu menimbulkan efek yang besar dan akan diikuti bukan hanya oleh jajaran TNI akan tetapi juga diikuti oleh sebagian masyarakat. Bisa kita lihat pada bulan ini banyak  aktivis ormas yang menjadwalkan nobar  film yang disutradarai Arifin C Noer tersebut, tak terkecuali siswa-siswa sekolah khususnya tingkat SMA.

Menonton film G30S/PKI pada masa ini tentu berbeda dengan kewajiban menonton film G30S pada masa orde baru. Pemutaran film tersebut saat ini hanyalah sebagai tameng kecil diantara jutaan tameng untuk menjaga ideologi pancasila yang di anut bangsa ini dari ancaman ideologi lain termasuk komunis. Kalau masa orde baru dulu menonton film G30S/PKI bertujuan untuk memberikan virus pembenaran terhadap apa yang dilakukan ABRI pada saat itu, tahun 65”.

Sebagai masyarakat modern yang terpelajar, tentunya ketika menonton G30S/PKI kita tidak serta merta melahap habis seluruh adegan yang terdapat di Film. Hal yang sangat elok kita lakukan adalah mengimbangi isi film tersebut dengan sebuah diskusi-dikusi kecil, hal tersebut bertujuan untuk meluruskan bila ada adegan di film tersebut yang kurang pas atau adegan palsu yang dirancang pemerintah orde baru.

Mengadakan forum diskusi kecil pasca menonton film tersebut tentunya bukan hal yang sulit untuk dilakukan, mengingat saat ini sudah banyak literatur yang bisa kita gunakan untuk berdiskusi, diantaranya adalah buku “Dalih Pembunuhan Massal” karya John Rossa, “Benturan NU Dan PKI” karya Abdul Mun’in , “Orang-Orang Dipersimpangan Kiri Jalan” karya Soe Hog Gie,“Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal” karya Ben Anderson dan Ruth McVey, “Ayat-ayat yang Disembelih” karya Thowaf Zuharon, selain buku diatas kita juga bisa menambahkan buku “Catatan Kritis IMM Melawan Komunisme” karya immawan ajib purnawan serta masih banyak lagi literatur lain baik karangan penulis dalam negeri ataupun luar negeri.

Hal yang tetap di ingat adalah tetaplah kritis, bernalar sehat dan berfikir bersih mengingat situasi politik saat ini  yang membabi buta, karena bisa jadi isu PKI adalah sebuah alat politik suatu kelompok.

INGAT !!!  film Pemberontakan G30S/PKI bukan untuk anak-anak, karena ada unsur kekerasan yang sangat mengerikan.
__________________ 
Coretan
Khabib M Ajiwidodo
(Paguyuban Srengenge Blitar)

Selasa, 19 September 2017

Melupakan PKI


Soekarno dan D.N Aidit


Tiap masuk bulan september, diskusi tentang PKI selalu menyeruak. Jika selama orde baru diskusi cenderung searah, sekarang ini peristiwa G30 S PKI mulai dikaji dari beragam perspektif, meski ada beberapa yang masih resisten, sampai perlu kiranya menggerakkan massa untuk membubarkan diskusi-diskusi diluar “tema besar”.

Bagi pelaku sejarah, peristiwa itu tentu sangat traumatik dan sukar dilupakan. Setidaknya itulah yang pernah diceritakan almarhum kakek, beserta orang-orang sepuh yang bersinggungan langsung dengan PKI yang pada tahun itu, lari ke Blitar selatan guna bersembunyi. Bahkan konon pemimpin PKI Jatim juga turut serta mengungsi ke Blitar selatan.

Namun yang perlu diingat, bahwa sebagai parpol, PKI tentu memanfaatkan kekuatan massa. Tak bisa dibayangkan betapa banyak massa fanatik yang mendukungnya, sehingga bisa menjadi partai terbesar ketiga pada pemilu 1955. Sebagian besar massa pendukung PKI kala itu adalah masyarakat petani, pekerja kasar, yang jumlahnya sangatlah banyak.

Sayangnya, perspektif tentang G30 S PKI selama ini lebih banyak dilihat dari sudut pandang pemerintah, sama persis dengan peristiwa pemberontakan PRRI Permesta. Padahal mungkin saja ada perspektif dari sudut yang berbeda, yang perlu diketahui generasi sekarang, agar lebih obyektif dan bisa belajar dari kesalahan dan kegagalan masa lalu..

Ketika belajar sejarah pemberontakan PKI waktu Aliyah dahulu, satu pertanyaan yang tidak berani saya ajukan adalah, apa iya sekelas jenderal bisa diculik sebegitu gampangnya? fikiran saya mungkin terlalu imajinatif, bahwa jenderal itu, kalau diibaratkan film-film kerajaan zaman dahulu, adalah orang dengan keahlian atau “kesaktian” berperang di atas rata-rata. Maka tidak mudah ditaklukkan.

Tapi pertanyaan semacam itu tidak perlu diajukan, sebab akan sulit sekali mencari jawabannya, apalagi sejarah yang berkembang sudah nyaris final, bahwa para Jenderal tersebut memang diculik dan dihabisi di lubang buaya. Toh mereka juga manusia biasa, dan hidup memang tak semenarik film laga atau film sejarah kerajaan nusantara.

Tapi yang sulit sekali dilakukan, adalah melupakan PKI. Buktinya isu tersebut terus menerus digulirkan sebagai “senjata stigmatik”. Berbeda dengan peristiwa PRRI Permesta yang dengan gampang dilupakan. Paradoksnya, dalam kontestasi politik nasional, belum sekalipun partai berhaluan Islam atau berbasis massa Islam menjadi pemenang. Sementara, partai nasionalis-demokratis, yang disatu sisi begitu permisif dengan eks. Anak/keturunan PKI, bisa dua kali memenangkan pemilu.

Artinya apa? Bagi saya isu PKI lebih pada sentimen politik kekuasaan ketimbang kekhawatiran tentang bangkitnya kembali ideologi, sebab negara berhaluan komunis-sosialis sudah bertumbangan, Uni Soviet sudah bangkrut dan terpecah menjadi beberapa negara. Mungkin tinggal Tiongkok yang saat ini masih bertahan, namun tidak sepenuhnya juga disebut murni negara komunis.

Yang menjadi problem besar ketika pola pikir generasi saat ini tidak mau beranjak dari masa lalu, sehingga berperang dengan bayang-bayang ketimbang serius berkarya untuk memajukan diri dan bangsa. Karena dilihat dari sudut apapun, sulit kiranya PKI bisa bangkit lagi, bahkan kalaupun bangkit, semisal dalam bentuk kajian atau diskusi massa, sulit untuk memiliki kekuasaan, sebab sudah dikunci oleh konstitusi.

Purbasangka tersebut perlu kita hindari, apalagi hanya karena simbol-simbol yang bisa saja dibuat oleh siapapun. Bahkan cuplikan film Soe Hok Gie, dimana ada kelompok orang mengibarkan bendera PKI diatas truk, sempat dicuplik sebagai kebangkitan ulang PKI. Padahal jelas itu merupakan salah satu segmen dalam sebuah film, yang tentu hasil rekayasa.

Generasi saat ini tidak pernah bersinggungan dengan PKI, apalagi mengenalnya. Barangkali tak ada salahnya untuk belajar sejarah secara lebih kritis, namun jangan sampai mewarisi dendam dan kebencian, karena itu bisa memicu konflik berkepanjangan. Sejarahnya kita pelajari, yang lain-lain dilupakan saja, termasuk PKI yang sudah terkubur dalam sejarah.

Blitar, 18 Sepetember 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
(Paguyuban Srengenge Blitar)