Bulan Juni 2013 silam, dalam sebuah Workshop
Jurnalisme Keberagaman, saya bertemu dengan aktivis Pers Mahasiswa dari
berbagai Kota, seperti Yogyakarta, Bandung, Jember, Semarang, Bengkulu, Cirebon
dan tentunya Jakarta. Masing-masing dari mereka adalah fotografer dan Wartawan.
Acara berlangsung selama tiga hari. Pada jam-jam kosong, kami sering berbincang
santai, terutama soal idealisme aktivis pers mahasiswa kampus yang salah satu
diantaranya, harus netral dari pengaruh OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra
Kampus). Kenapa demikian?
Menurut salah seorang dari mereka, yang nampak
paling senior, agak bahaya jika kader OMEK mengelola media kampus, terutama
LPM. Bisa-bisa, Media kampus itu akan dijadikan alat kepentingan mereka. Kata
“kepentingan” disini tidak lain adalah kepentingan politik. Apalagi, LPM
menganut Jurnalisme kritis. Kalau pengelolanya bukan kader yang netral dan
profesional, LPM bisa kehilangan fungsinya.
Misal begini, kalau dia adalah kader OMEK yang
memiliki kekuasaan, maka fungsi LPM sebagai media kritis akan tumpul. Namun
jika dia kader yang OMEK-nya tidak memiliki kekuasaan, maka kritiknya akan
bersifat propaganda. Kritiknya akan diarahkan untuk menjatuhkan OMEK lain yang
berkuasa, dengan harapan publik akan lebih menerima OMEK dimana dia berada.
Jika terlanjur sudah menjadi kader OMEK tertentu,
maka ia harus melepaskan “jubah ideologisnya”, atau yang lebih ekstrim, akan
diminta memilih salah satu diantaranya, LPM atau OMEK. Syarat lainnya ialah, ia
tidak memiliki jabatan strategis di OMEK tersebut, apalagi ketua Umum. Bagi
mereka, ini adalah untuk menjaga netralitas dan profesionalitas media,
mengingat semakin banyaknya media partisan atau media golongan, yang
mengunggulkan golongan tertentu, mengkritik golongan lain, namun bukan sebagai
kontrol sosial, melainkan karena ada kepentingan yang terselubung.
Apakah semua kader OMEK seperti itu? tentu tidak.
Namun menurutnya, sangat susah membedakan mana kader OMEK yang fanatik dengan
ideologinya, dan mana kader OMEK yang memang bisa berlaku netral dan
profesional ketika menjadi wartawan. Maka, mau tidak mau memang harus
memberlakukan aturan super ketat semacam itu.
Ini baru dari perspektif LPM. Pernah suatu kali,
saya menghubungi salah seorang pengurus gerakan anti OMEK. Di Malang, Gerakan
anti OMEK sudah ada di dua kampus besar, UM dan UB. Dalam perbincangan singkat
itu, saya mengajukan pertanyaan yang mendasar. Kenapa harus anti OMEK? Menurutnya,
OMEK sudah keterlaluan melakukan doktrin kepada kader-kadernya. Biarlah mereka
bergerak dengan kesadaran sendiri, bukan dengan doktrin. Lalu saya pun
mengajukan pertanyaan kedua, apakah gerakan anti OMEK sendiri adalah sebuah
organisasi juga? Dia menjawan iya, dan beberapa dari mereka juga ikut
kontestasi politik kampus.
Lalu, bukankah Gerakan anti OMEK yang kemudian
menjadi organisasi sendiri, secara definitif juga sebuah OMEK? Karena sama-sama
ekstra kampus. Dan resistensi yang ditujukan oleh anggotanya, yang anti dengan
OMEK itu juga sebuah doktrin juga? Doktrinya adalah Anti OMEK. Itu sama saja
seekor harimau yang berkata anti harimau, padahal dirinya sendiri adalah
harimau juga.
Resitensi terhadap OMEK
Teman saya, aktivis LPM di salah satu kampus
Negeri di Bandung, harus rela melepaskan posisinya sebagai Tim Redaksi karena
terpilih menjadi ketua Umum salah satu OMEK. Padahal dedikasi dan kemampuan
jurnalisnya begitu bagus. Ia lebih memilih menjadi ketua Umum OMEK, kendati
sangat mencintai Jurnalistik. Sementara hal yang kebalikannya terjadi dengan
salah satu teman di kampus Malang, dimana ia lebih memilih LPM daripada OMEK.
Kenyataannya, secara Organisasi, OMEK memang lebih
banyak berafiliasi dengan kekuatan Politik. Entah itu Partai politik, politisi,
atau birokrat. Hal inilah yang membuat LPM cukup was-was, karena sebagai Media,
LPM harus menawarkan berita, kritik, atau solusi yang benar-benar netral dan
tidak memihak. Meskipun pada kenyataannya, sangat sulit sekali kita temui.
Salah satu yang paling terlihat, adalah moment pilpres 2014 kemarin, dimana
keberpihakan media begitu kentara.
Selain itu, OMEK sendiri memang lebih banyak
menghabiskan energinya untuk bertanding dalam arena politik, karena pada
kontestasi lainnya, semisal Riset, kepenulisan, Pengabdian Masyarakat, Teater,
musik, dsb pasti kalah dengan UKM/Ormawa/komunitas. Misal saja, jika mahasiswa
ingin bisa menulis, maka ia akan lebih memilih ikut UKM atau komunitas
kepenulisan. Jika ingin bermain musik, maka ikut UKM Musik. Ingin konsentrasi
ke penelitian maka ikut UKM Penelitian. Kalau ikut OMEK, apa fokusnya?
Tapi modal terbesar OMEK adalah jejaring politik.
Misalkan disebuah kampus, OMEK terafiliasi dengan jejaring alumni. Alumni itu
sudah memiliki posisi strategis dalam birokrasi kampus. Atau misalkan, OMEK
dilirik karena kader-kadernya banyak yang menjadi ketua Hima/HMJ hingga
BEM/Presma. Semua itu adalah posisi-posisi politik, yang seterusnya mungkin
bisa berubah menjadi Kaprodi, Dekan, Wakil Rektor, hingga Rektor. Belum lagi
posisi lain semisal Kepala Bagian (Kabag) dan Kepala pusat-pusat studi.
Akhirnya, konsentrasi OMEK lebih banyak kesana.
Untuk itu ada celetukan begini, mau peduli atau
tidak dengan OMEK, usahakan bergabung dan usahakan nampak, karena itu untuk
mendekati birokrasi. Begitu lah kultur sebagian besar masyarakat kita.
Maka tak heran jika OMEK selalu lekat dengan kekuasaan
dan jabatan. Itulah yang membuat pihak lain menjadi resisten. Ada yang resisten
karena kader OMEK dinilai terlalu fanatik dan tidak bisa netral, dan akhirnya
mempengaruhi kinerja lembaga tertentu. Ada yang resisten karena kader OMEK
terlalu ambisius sehingga memunculkan gerakan anti OMEK.
Sepertinya, OMEK memang menjadi jembatan strategis
untuk mereka yang ingin belajar politik. Meskipun tidak semua kader memiliki
konsentrasi kesana, namun diluar dari gerakan politik itu, eksistensi OMEK
nyaris tidak terlihat. Disinilah ide tentang politik nilai itu menjadi relevan
kembali, karena senyatanya, OMEK memang menyimpan kekuatan besar dan strategis.
Baik dari jumlah kader, maupun jaringannya. (*)
18 April 2015
A Fahrizal Aziz