loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Kenapa Harus Anti OMEK?



Bulan Juni 2013 silam, dalam sebuah Workshop Jurnalisme Keberagaman, saya bertemu dengan aktivis Pers Mahasiswa dari berbagai Kota, seperti Yogyakarta, Bandung, Jember, Semarang, Bengkulu, Cirebon dan tentunya Jakarta. Masing-masing dari mereka adalah fotografer dan Wartawan. Acara berlangsung selama tiga hari. Pada jam-jam kosong, kami sering berbincang santai, terutama soal idealisme aktivis pers mahasiswa kampus yang salah satu diantaranya, harus netral dari pengaruh OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus). Kenapa demikian?

Menurut salah seorang dari mereka, yang nampak paling senior, agak bahaya jika kader OMEK mengelola media kampus, terutama LPM. Bisa-bisa, Media kampus itu akan dijadikan alat kepentingan mereka. Kata “kepentingan” disini tidak lain adalah kepentingan politik. Apalagi, LPM menganut Jurnalisme kritis. Kalau pengelolanya bukan kader yang netral dan profesional, LPM bisa kehilangan fungsinya.

Misal begini, kalau dia adalah kader OMEK yang memiliki kekuasaan, maka fungsi LPM sebagai media kritis akan tumpul. Namun jika dia kader yang OMEK-nya tidak memiliki kekuasaan, maka kritiknya akan bersifat propaganda. Kritiknya akan diarahkan untuk menjatuhkan OMEK lain yang berkuasa, dengan harapan publik akan lebih menerima OMEK dimana dia berada.

Jika terlanjur sudah menjadi kader OMEK tertentu, maka ia harus melepaskan “jubah ideologisnya”, atau yang lebih ekstrim, akan diminta memilih salah satu diantaranya, LPM atau OMEK. Syarat lainnya ialah, ia tidak memiliki jabatan strategis di OMEK tersebut, apalagi ketua Umum. Bagi mereka, ini adalah untuk menjaga netralitas dan profesionalitas media, mengingat semakin banyaknya media partisan atau media golongan, yang mengunggulkan golongan tertentu, mengkritik golongan lain, namun bukan sebagai kontrol sosial, melainkan karena ada kepentingan yang terselubung.

Apakah semua kader OMEK seperti itu? tentu tidak. Namun menurutnya, sangat susah membedakan mana kader OMEK yang fanatik dengan ideologinya, dan mana kader OMEK yang memang bisa berlaku netral dan profesional ketika menjadi wartawan. Maka, mau tidak mau memang harus memberlakukan aturan super ketat semacam itu.

Ini baru dari perspektif LPM. Pernah suatu kali, saya menghubungi salah seorang pengurus gerakan anti OMEK. Di Malang, Gerakan anti OMEK sudah ada di dua kampus besar, UM dan UB. Dalam perbincangan singkat itu, saya mengajukan pertanyaan yang mendasar. Kenapa harus anti OMEK? Menurutnya, OMEK sudah keterlaluan melakukan doktrin kepada kader-kadernya. Biarlah mereka bergerak dengan kesadaran sendiri, bukan dengan doktrin. Lalu saya pun mengajukan pertanyaan kedua, apakah gerakan anti OMEK sendiri adalah sebuah organisasi juga? Dia menjawan iya, dan beberapa dari mereka juga ikut kontestasi politik kampus.
Lalu, bukankah Gerakan anti OMEK yang kemudian menjadi organisasi sendiri, secara definitif juga sebuah OMEK? Karena sama-sama ekstra kampus. Dan resistensi yang ditujukan oleh anggotanya, yang anti dengan OMEK itu juga sebuah doktrin juga? Doktrinya adalah Anti OMEK. Itu sama saja seekor harimau yang berkata anti harimau, padahal dirinya sendiri adalah harimau juga.

Resitensi terhadap OMEK
Teman saya, aktivis LPM di salah satu kampus Negeri di Bandung, harus rela melepaskan posisinya sebagai Tim Redaksi karena terpilih menjadi ketua Umum salah satu OMEK. Padahal dedikasi dan kemampuan jurnalisnya begitu bagus. Ia lebih memilih menjadi ketua Umum OMEK, kendati sangat mencintai Jurnalistik. Sementara hal yang kebalikannya terjadi dengan salah satu teman di kampus Malang, dimana ia lebih memilih LPM daripada OMEK.

Kenyataannya, secara Organisasi, OMEK memang lebih banyak berafiliasi dengan kekuatan Politik. Entah itu Partai politik, politisi, atau birokrat. Hal inilah yang membuat LPM cukup was-was, karena sebagai Media, LPM harus menawarkan berita, kritik, atau solusi yang benar-benar netral dan tidak memihak. Meskipun pada kenyataannya, sangat sulit sekali kita temui. Salah satu yang paling terlihat, adalah moment pilpres 2014 kemarin, dimana keberpihakan media begitu kentara.

Selain itu, OMEK sendiri memang lebih banyak menghabiskan energinya untuk bertanding dalam arena politik, karena pada kontestasi lainnya, semisal Riset, kepenulisan, Pengabdian Masyarakat, Teater, musik, dsb pasti kalah dengan UKM/Ormawa/komunitas. Misal saja, jika mahasiswa ingin bisa menulis, maka ia akan lebih memilih ikut UKM atau komunitas kepenulisan. Jika ingin bermain musik, maka ikut UKM Musik. Ingin konsentrasi ke penelitian maka ikut UKM Penelitian. Kalau ikut OMEK, apa fokusnya?

Tapi modal terbesar OMEK adalah jejaring politik. Misalkan disebuah kampus, OMEK terafiliasi dengan jejaring alumni. Alumni itu sudah memiliki posisi strategis dalam birokrasi kampus. Atau misalkan, OMEK dilirik karena kader-kadernya banyak yang menjadi ketua Hima/HMJ hingga BEM/Presma. Semua itu adalah posisi-posisi politik, yang seterusnya mungkin bisa berubah menjadi Kaprodi, Dekan, Wakil Rektor, hingga Rektor. Belum lagi posisi lain semisal Kepala Bagian (Kabag) dan Kepala pusat-pusat studi. Akhirnya, konsentrasi OMEK lebih banyak kesana.

Untuk itu ada celetukan begini, mau peduli atau tidak dengan OMEK, usahakan bergabung dan usahakan nampak, karena itu untuk mendekati birokrasi. Begitu lah kultur sebagian besar masyarakat kita.

Maka tak heran jika OMEK selalu lekat dengan kekuasaan dan jabatan. Itulah yang membuat pihak lain menjadi resisten. Ada yang resisten karena kader OMEK dinilai terlalu fanatik dan tidak bisa netral, dan akhirnya mempengaruhi kinerja lembaga tertentu. Ada yang resisten karena kader OMEK terlalu ambisius sehingga memunculkan gerakan anti OMEK.

Sepertinya, OMEK memang menjadi jembatan strategis untuk mereka yang ingin belajar politik. Meskipun tidak semua kader memiliki konsentrasi kesana, namun diluar dari gerakan politik itu, eksistensi OMEK nyaris tidak terlihat. Disinilah ide tentang politik nilai itu menjadi relevan kembali, karena senyatanya, OMEK memang menyimpan kekuatan besar dan strategis. Baik dari jumlah kader, maupun jaringannya. (*)

18 April 2015
A Fahrizal Aziz