loading...

Jumat, 28 September 2018

Mengontrol Keinginan



Keinginan berbeda dengan kebutuhan. Dalam kebutuhan ada keinginan, namun tidak semua keinginan mengandung kebutuhan.

Makan adalah kebutuhan, namun muncul keinginan untuk memilih apa yang dimakan. Nasi pecel, nasi padang, atau nasi borang.

Keinginan tersebut bisa terpenuhi jika memiliki kemampuan, misalkan memiliki uang lebih untuk mewujudkan keinginan tersebut. Sehingga, meskipun di rumah ada nasi liwet lauk tempe, karena dorongan keinginan, tetap akan pergi ke warung nasi padang.

Termasuk dalam kebutuhan lain, seperti berpakaian. Manusia butuh berpakaian agar lebih sehat, tidak masuk angin, gatal-gatal dan lain sebagainya.

Namun keinginan, membuatnya akan memilih jenis pakaian, mulai dari jenis kain, warna, hingga modelnya. Keinginan kadang juga disesuaikan dengan bentuk tubuhnya.

Karena tubuhnya bagus, kekar, maka menggunakan kaos yang ketat. Atau karena tubuhnya langsing dan seksi, maka menggunakan celana ketat.

Keinginan juga berkaitan dengan prestise atau kesan orang terhadapnya. Kenapa menggunakan batik, baju koko, kemeja polos, hingga hal-hal yang bersifat asesoris seperti jam tangan, syal, kalung, dan lain sebagainya.

Dua hal di atas adalah keinginan yang berkaitan dengan kebutuhan. Lalu bagaimana dengan keinginan yang tidak berkaitan dengan kebutuhan?

Sebenarnya berbeda tipis. Bahkan keduanya nyaris sama. Seperti kebutuhan makan tadi. Dia bisa saja makan nasi yang ada di rumah, kebutuhan sudah terpenuhi. Namun karana ada keinginan lain, sehingga makan ke warung.

Dia sebenarnya tidak perlu ke warung, karena di rumah sudah ada makanan, yang meski rasanya tidak seenak di warung.

Namun jika itu dikontrol, mungkin tidak akan ada yang mubazir. Uang yang seharusnya dia gunakan ke warung, barangkali bisa untuk hal lain.

Artinya ke warung bukan lagi kebutuhan. Lebih karena keinginan.

Akan tetapi keinginan manusia selalu berkembang, dan bahkan berada pada tahap irasional.

Seperti keinginan untuk dihargai, dipuji, dikagumi, dicintai dan lain sebagainya. Itu semua keinginan yang sama sekali tak berkait dengan kebutuhan. Meski keinginan yang terus diburu akan jadi semacam kebutuhan baru.

Keinginan bisa terhenti karena tidak adanya kemampuan. Misalkan, ingin beli mobil mewah tetapi tak punya cukup uang.

Ingin beli hape terbaru, model jaket terbaru, merk sepatu yang sedang trend, tas dengan brand tertentu, dan lain sebagainya, namun tidak memiliki kemampuan.

Sementara, pergaulan sosial memberikan tampat khusus dan stigma tersendiri bagi mereka yang memiliki barang-barang tersebut.

Keinginan kemudian menjadi hal yang sungguh menyiksa, ketika tak memiliki kemampuan untuk mewujudkan.

Pada akhirnya, sebagaimana teori Sigmund Freud, ada konflik dalam diri. Ada ketidakseimbangan karena ego yang berupa keinginan dan kepuasan tersebut tidak terpenuhi.

Hal tersebut akan terus terjadi, baik ketika ada atau tidaknya kemampuan untuk mewujudkan keinginan. Arti dari "kebutuhan" pun kian bergeser.

Itu barangkali lebih berat secara psikologis, dibandingkan mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makan.

Itulah kenapa banyak kasus orang yang menurut kita hidupnya enak dan berkecukupan, namun tiba-tiba bunuh diri.

Kulminasi keinginan yang tidak pernah terpuaskan, sebab benar kata Freud, keinginan tak akan terpuaskan. Sehingga perlu kontrol atas diri (introyeksi), yang kita kenal dengan istilah superego.

Kemampuan memilah mana yang benar-benar kebutuhan, dengan keinginan yang akhirnya menjelma jadi kebutuhan.

Memilah mana keinginan yang wajar, dan keinginan yang berlebihan. Keinginan yang bisa dipenuhi tanpa menimbulkan masalah, dengan keinginan yang bisa meledakkan masalah dikemudian hari.

Mengontrol itu tidak mudah, apalagi jika punya kemampuan untuk mewujudkannya. Apalagi keinginan tersebut bersifat hedonis dan pragmatis berupa hasrat dan kenikmatan sekejap.

Semoga kita mampu mengontrol keinginan kita sendiri. []

Blitar, 28 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Kamis, 27 September 2018

Kenapa Acara Tausiyah Laku Keras?



Acara Tausiyah, khususnya tausiyah keagamaan yang dibawakan Ustad-ustad kondang selalu penuh dengan jamaah, bahkan jadi fenomena tersendiri.

Padahal mungkin isi tausiyahnya biasa saja, bahkan lebih menarik humornya. Bingkisan humor itu sering disebut sebagai daya tarik. Namun, ternyata bukan itu, ada sisi lain yang menjadikan kegiatan tausiyah keagamaan jadi semacam kebutuhan.

Selain kebutuhan fisik, manusia juga membutuhkan sentuhan spiritual. Misalkan, Abu Zaid Ahmad Ibn Sahl al-Balkhi membagi antara kesehatan ruhani (tibb al-ruhani) dan kesehatan mental (tibb al-qalb).

Ada perbedaan antara ruhani yang lebih terkait pada sisi psikologi seseorang, dengan qalb (kalbu) yang lebih menyoroti mental.

Sebagaimana tubuh yang harus rutin menerima asupan makanan agar berenergi dan tidak sakit, tausiyah keagamaan disisi lain juga asupan bagi qalb (kalbu).

Ruhani dan qalb setiap manusia sangat rawan terserang penyakit, seperti depresi, rasa sedih, cemas, ketakutan dan lain-lain.

Penyakit tersebut jika menyerang seseorang, akan berdampak pada gangguan fisiknya. Hanya saja, ketika diteliti secara medis, tidak ditemukan tanda-tanda ada penyakit dalam tubuhnya.

Fenomena ini disebut psikosomatik. Jika ditelusur, psikosomatik ini nyaris mirip dengan sebutan orang seperti "sakit pikir", artinya ada orang yang sakit-sakitan karena tidak kuat menanggung beban pikiran.

Tausiyah keagamaan jadi menemukan relevansinya, ketika orang merasa tenang dan damai berkumpul dengan jamaah lain, mendengar apa yang disampaikan dai. Ada nilai spiritual yang dirasakan.

Manusia membutuhkan nasehat orang lain, apalagi orang tersebut tokoh yang bisa membimbing ke jalan spiritual. Hal tersebut bisa meredam pikiran negatifnya sendiri, yang sering dihinggapi kesedihan, kekhawatiran, kecemasan, rasa takut, dan sebagainya.

Mereka yang hadir dalam keadaan pasrah, percaya sepenuhnya pada yang disampaikan, tanpa perlu mempertanyakan. Itu kuncinya.

Meski tidak semua orang begitu, ada yang bisa mendamaikan dirinya sendiri, dengan mengembangkan pikiran positif dalam dirinya sendiri.

Pada dasarnya, manusia akan selalu mencari kebahagiaan. Dalam rutinitas kerja yang padat misalkan, disela libur ada agenda piknik, agar pikiran segar kembali.

Dalam bayang-bayang kesedihan, kecemasan dan ketakutan dalam hidup misalkan, manusia akan mencari ketenangan. Mencari ketenangan beda hal dengan hanya sekedar mencari kebahagiaan atau kesenangan.

Untuk mencari ketenangan bisa juga dengan ikut dzikir akbar. Ada juga yang menjalankan meditasi, ada yang cukup dengan ngopi dan berbincang bersama teman. Namun teman yang mengajak untuk berpikir positif.

Sementara hadir di acara tausiyah akbar adalah salah satu alternatif yang paling populer : dapat wawasan, rasa tenang, bisa tertawa, dan ... dapat pahala.

Blitar, 26 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Sumber foto : Tribunnews

Rabu, 26 September 2018

Prabowo Soal Uang Ngarit dan Uang Cendol



"Kalau di Jawa Timur namanya uang ngarit, kalau di Jawa Barat uang cendol," Ujar Prabowo, ketika mengisi public lecture di forum Soegeng Sarjadi Syndicate.

Public lecture tersebut berlangsung bulan Desember 2012, ketika Jokowi baru dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, dan namanya belum masuk radar survei capres.

Saat itu, elektabilitas Prabowo Subianto di urutan pertama, di atas Megawati dan Jusuf Kalla.

Dalam kesempatan tersebut, Prabowo bercerita soal keputusan hidupnya masuk dunia politik, diawali dengan masuk partai politik dan ikut konvensi capres sebuah partai besar.

"Saya keliling kemana-mana, menyiapkan makalah tebal, membahas neraca ekspor impor dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya ditanya, pak kongkritnya apa?" Jelas Prabowo.

Hal itulah yang membuat Prabowo gusar, bahwa Politik yang ia pelajari dalam ilmu politik, nyatanya tidak selalu sama dalam realitasnya.

"Di kampus-kampus dosen politik tidak menjelaskan apa itu serangan fajar. Padahal kalau kita tidak ngerti serangan fajar, kita tidak akan tahu realitas politik kita," Lanjutnya.

Prabowo pun menceritakan pengalamannya bertemu buruh tani, yang menggarap sawah orang lain. Sehari mereka mendapat bayaran Rp20.000.

"Bagaimana kalau dia tidak kerja sehari saja, karena harus ikut pemilu dan suruh milih kita, kalau tidak ada ganti bayarannya? Mereka mau makan apa untuk anak istri di rumah? Ya ini our people," Ungkap Prabowo.

Menurut Mantan Danjen Kopassus tersebut, secanggih apapun ilmu politik dipelajari, harus tahu juga realitas. Karena untuk menuju pada posisi politik harus melewati ralitas politik yang ada.

Sejak terjun ke politik dan kampanye ke berbagai daerah, Prabowo kemudian menemui istilah "uang ngarit" dan "uang cendol" tersebut, untuk mengistilahkan pengganti bayaran harian karena libur untuk ikut pemilu tersebut.

Ia pun mengaku sedih, namun realitas yang ada memang demikian. Butuh waktu untuk memperjuangkan demokrasi yang benar-benar ideal, namun dia meyakini bahwa demokrasi adalah sistem terbaik saat ini. []

Blitar, 27 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

_sumber foto : merdeka.com_

Selasa, 25 September 2018

Menjadi Manusia (Dalam Pandangan Aristoteles)



Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Apa yang disebut manusia? Pertanyaan dasar ini pernah direnungkan Aristoteles, filsuf yang dasar pemikirannya sangat berpengaruh hingga kini.

Ia kemudian membuat tiga kategori mahluk hidup, yaitu tumbuhan, hewan, dan manusia. Ketiganya tentu tidak semata dilihat dari bentuk, tetapi lebih menjelaskan kekhasan masing-masing, hingga mahluk tersebut layak disebut manusia.

Aristoteles memiliki teori terkenal bernama Hilomorfisma. Hubungan materi dan bentuk, hubungan tubuh dan jiwa.

Setiap mahluk memiliki materi, berupa tubuh, dan juga sebentuk jiwa. Bagi Aristoteles, tumbuhan dan hewan juga memiliki jiwa, karena itulah ia disebut hidup. Tubuh yang kehilangan jiwanya, akan disebut mati.

Akan tetapi jiwa tidak bisa diidentifikasi, jika tidak memiliki tubuh. Barangkali ini sangat berkait dengan pendapat Plato, bahwa tubuh adalah cangkang bagi jiwa.

Tubuh membutuhkan makanan untuk terus tumbuh, berkembang dan bertahan. Karenanya, tubuh perlu asupan nutrisi.

Baik tumbuhan, hewan, dan manusia membutuhkan nutrisi untuk keberlangsungan hidupnya.

Akan tetapi, tumbuhan tidak bisa mengidentifikasi kebutuhan nutrisinya. Ia pasif. Berbeda dengan hewan, ia bisa mengidentifikasi kebutuhan nutrisinya. Hewan pemakan rumput, tidak akan memangsa daging. Begitu pun sebaliknya.

Hewan punya persepsi, yaitu kemampuan mengidentifikasi berdasar indra yang mereka miliki. Entah indra pengecap, penciuman, perasa, penglihatan dan sebagainya.

Kucing tidak akan merebut rumput yang menjadi makanan kambing. Karena kucing bisa mengidentifikasi melalui sensor penciuman mana yang menjadi makanannya.

Hewan juga bisa mempersepsi mana musuh dan kawan, kapan harus santai dan menyerang. Persepsi berdasar insting kuat dan kebiasaan.

Ada hewan-hewan yang memiliki tingkat persepsi cukup baik, mereka bisa mempersepsikan kotorannya sendiri, sehingga membuangnya di tempat tertentu dan bahkan menguruknya dengan tanah/pasir.

Ada hewan yang bisa mempersepsikan tempat tinggalnya sendiri, dengan memperhatikan unsur kelembapan udara misalkan, dan lain sebagainya.

Hal serupa juga dimiliki manusia. Hewan dan manusia punya persepsi. Bedanya, persepsi manusia sangat berkaitan dengan pikiran, yang tidak dimiliki hewan.

Pikiran inilah yang menurut Aristoteles sebagai pembeda manusia dengan mahluk hidup yang lain.

Pikiran menggerakkan manusia untuk mengetahui dan memahami sesuatu.

Ada pikiran teoritis, yang membawa manusia pada perenungan dan pemahaman. Ada pikiran praktis, yang mendasari manusia untuk bergerak dan bertindak.

Pikiran inilah yang membuat manusia tidak hanya mencari dan menempati, seperti tumbuhan dan hewan, namun juga memproduksi, mengolah, merawat, mencipta atau bisa juga justru merusak dengan sadar.

Pikiran inilah yang membuat manusia memiliki keinginan. Tumbuhan dan hewan tidak memiliki keinginan. Mereka hanya menjalankan proses hidupnya secara alamiah : makan, tidur dan beranak pinak.

Karenanya, manusia bisa lebih tenang, damai, dan teduh dari tumbuhan. Namun bisa juga lebih buas dari hewan pemangsa daging. Tergantung pikiran masing-masing. []

Blitar, 25 September 2018

Referensi bacaan :

Buku "Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles" karya Kees Bertens. (Kanisius, 1999).

Buku "The Greatest Philosopher" karya Kumara Ari Yuana (Andi Offset, 2010)

Buku "Sejarah Filsafat" karya Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins (Bentang, 2000)

Minggu, 23 September 2018

Fanatik Pada Klub Sepakbola



Sifat fanatik memicu hilangnya kesadaran. Hal inilah yang pernah dikaji oleh Ibnu Sina, ahli kedokteran atau fisiologi, tentang gangguan mental seseorang karena terlalu suka (maniak) pada sesuatu.

Teori ini kemudian disebut frenologi.

Rasa suka dan bangga adalah hal wajar, namun tidak wajar lagi jika sudah menjadi maniak. Karenanya istilah "mania" atau "maniak" sebenarnya istilah untuk menyebut seseorang yang mengalami gangguan jiwa, sayangnya justru dijadikan kebanggaan.

Tiga abad sebelum masehi, Plato sudah mengidentifikasi 3 kelas jiwa. Salah satunya, Thumoeides, yaitu jiwa yang hanya mengandalkan amarah.

Jika dikaitkan, sifat fanatik melahirkan banyak Thumoeides, lebih suka bermain kasar, mengedepankan amarah, bahkan rela berkorban nyawa.

Dalam kelompok tertentu, Thumoeides ini sering dijadikan "tukang gebuk". Suasana mental dan jiwanya dikondisikan untuk itu. Maka jangan heran jika ada orang rela jadi tumbal bom bunuh diri, demi kebanggaan pada sesuatu yang ia sangat fanatik terhadapnya.

Lalu, bagaimana dengan fanatik terhadap club sepakbola? Sampai ada tragedi baku hantam antar supporter yang menyebabkan nyawa melayang. Apa sebenarnya yang dicari dari itu semua?

Memang sangat membingungkan, apalagi dalam kelompok massa. Kesadaran diukur dari kelompok tersebut. Misalkan, ada maling ayam dihajar warga hingga tewas, tanpa berfikir bahwa perlakuan itu justru jauh lebih keji dari sekedar mencuri ayam.

Persinggungan massa memang sulit dihentikan. Termasuk ketika dua massa dari kelompok yang berseteru bertemu, ya katakanlah antar supporter club bola yang memiliki sejarah perseteruan yang panjang.

Meski generasi berubah, meski pelatih dan pemain itu telah berganti, mungkin kepemilikan club juga berganti, termasuk sebagian besar supporternya sudah beda generasi, namun sentimen keduanya tetap abadi.

Berbeda dengan fanatik terhadap agama misalnya, yang masih punya dasar teologis, Tafsir bahwa dengan sikap tersebut, ia akan mendapat surga misalkan.

Bisa juga fanatik pada organisasi, pada tokoh yang ia junjung, bahwa kepatuhan dan loyalitas tersebut akan memberikan keberkahan misalkan.

Lalu bagaimana dengan fanatik dengan club sepakbola, yang pemain dan pelatihnya terus berganti, yang tidak memiliki justifikasi teologi. Tidak ada yang berani bilang dengan mendukung klub tertentu akan jadi kaya atau masuk surga.

Apakah yang semacam itu perlu dimaklumi? Mengingat fanatisme itu ada dimana-mana, termasuk pada pasangan capres dan cawapres. Tidak hanya pada klub sepakbola. []

Blitar, 24 September 2018
www.fahryzal.com

Kamis, 13 September 2018

Sejarah Pasar, dan Jenis-jenisnya



Srengenge - Pasar ternyata sudah ada sejak lama, bahkan konon sejak zaman kerajaan di berbagai dunia. Selalu ada pasar sebagai tempat berkumpulnya penjual dan pembeli.

Pasar di Indonesia sendiri, menjadi sangat khas dengan berbagai nama yang berbeda. Seperti nama hari di Jawa, ada pasar Legi hingga Kliwon. Pada mulanya penamaan tersebut punya maksud tertentu.

Menurut P.J Veth (2003 : 220) Pasar berasal dari bahasa Tamil, India. Di bekas kawasan Persia, pasar punya sebutan "bazar". Arti keduanya sama, yaitu tempat berkumpulnya penjual dan pembeli.

Di kawasan Jawa dan daerah Indonesia kini pada mulanya, sekelompok petani datang untuk menjual sisa panennya. Dahulu hasil panen seperti padi, palawija hingga sayuran tidak semuanya tukar/barter, sebagian untuk memenuhi kebutuhan, sisanya ditukarkan.

Cara menukarnya dengan menggelar lapak di suatu tempat, yang pada akhirnya didatangi banyak orang, sehingga tempat tersebut tumpah ruah.

Selain belum adanya uang sebagai alat jual beli, dahulu pasar tidak digelar setiap hari, menunggu waktu panen, dan tempatnya pun bergantian, biasanya antar dusun.

Memang tidak ada sumber yang pasti kapan awal mulainya, sampai akhirnya penguasa setempat mengatur kegiatan tersebut dengan sistem tertentu.

G.F.E Gonggryp (1973) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pasar digelar sepekan sekali. Ada yang 5 hari dan 7 hari karena kala itu ada yang menggunakan kalender Jawa dan Arab.

Pada tahun 1854, UU Keuangan berlaku dan pasar pun dibuat lebih tersistem. Pasar diatur oleh pemerintahan kolonial dan penguasa pribumi, dengan menyewakan tanah pada orang ketiga. Orang ketiga ini biasanya adalah etnis Tionghoa. (Colijn 1912 : 201)

Orang ketiga tersebut kemudian menyewakan kavling-kavling pada penjual. Orang ketiga ini disebut "tanda". Mereka para "tanda" tinggal disuatu tempat yang kemudian daerahnya disebut "ketandan".

Lokasi pasar dibuat berdekatan dengan kampung pecinan, karena banyak juga orang Tionghoa yang berjualan dan berani mendatangkan barang dari luar. Berbeda dengan penjual pribumi yang umumnya menjual hasil panen.

Pasar-pasar tersebut kini dikenal dengan pasar besar. Pasar besar mencirikan pasar dengan pedagang profesional. Pedagang profesional yang dimaksud adalah pedagang yang menimbun barang atau nyetok, dan pasar tersebut beroperasi setiap hari.

Pasar besar hingga saat ini masih banyak yang beroperasi, meski tidak dengan sebutan pasar besar. Pasar besar menandakan lokasi secara geografis. Di Malang, selain pasar besar di Kota, juga ada pasar Lawang dan Kepanjen.

Sementara ada pasar yang buka berdasar "pasaran hari". Seperti pasar senen, legi, kliwon dan sebagainya.

Pasar hari itu pada mulanya dikhususkan pada sebuah kecamatan, yang dibuka secara bergantian dari desa ke desa atau dusun ke dusun. (Gonggryp 1934 : 1148)

Ada yang menamakan dengan hari Jawa seperti Pon, Legi, Pahing, Kliwon. Ada yang menamakan dengan hari Arab, seperti pasar senen dan rebo.

Dalam tradisi Jawa mulanya dikenal pasaran hari, karenanya banyak orang Jawa menyebut pasar dengan peken, yang artinya pekan atau mingguan.

Sehingga pasar ditiap desa atau dusun hanya buka seminggu sekali berdasarkan pasarannya. Ada yang pasarannya pon, legi dan seterusnya.

Namun saat ini, pasaran tersebut tidak berlaku. Misalkan pasar legi atau pasar pon tetap buka setiap hari. Termasuk pasar senen dan rebo juga buka setiap hari, bahkan menamai lokasi di wilayah tersebut.

Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan pasar semakin meningkat. Sehingga ada isitilah pasar disesuaikan lokasinya. Sebagian besar pasar liar, misalkan seperti "pasar sepur" untuk menyebut sekelompok orang yang menggelar lapak di dekat rel kereta api.

Sekarang ini, juga sudah ada pasar spesifik. Seperti pasar hewan. Pasar hewan pun masih bisa lebih spesifik, seperti pasar burung yang di dalamnya hanya menjual berbagai jenis burung, lalu pasar bunga dan lain-lain.

Sampai akhirnya muncul pasar modern dengan konsep minimarket atau mal. Di beberapa mal dan minimarket, kebutuhan dapur seperti rempah-rempah dan sayuran juga sudah disediakan.

Itulah sejarah singkat dan jenis-jenis pasar yang kini ada di Indonesia. Yuk, follow instagram kami di @paguyubansrengenge atau akun FB Redaksi Srengenge.

_
Editor : Ahmad Fahrizal Aziz

Minggu, 09 September 2018

Inilah Bedanya Masjid Jami, Agung, dan Raya

Srengenge - Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, banyak berdiri Masjid-masjid di berbagai daerah. Sejak zaman dulu, jenis Masjid sudah dibedakan berdasar fungsi dan kedudukannya.

Selama ini kita mengenal istilah Masjid Jami', Masjid Agung, dan Masjid Raya. Sebenarnya apa perbedaannya?


(foto : Masjid Agung Kota Blitar)

Khususnya pada era Mataram Islam, Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun juga untuk keperluan yang terkait dengan urusan agama. Karenanya Masjid berdiri di dekat alun-alun dan keraton atau pusat pemerintahan.

Masjid yang terletak di samping alun-alun biasa disebut Masjid Agung. Sekarang, Masjid Agung adalah sebutan untuk Masjid terbesar tingkat Kota/Kabupaten.

Sementara Masjid Jami' berasal dari bahasa arab, jamek, yang artinya berkumpul. Masjid Jami' adalah Masjid terbesar di wilayah kelurahan, dan biasanya digunakan untuk shalat Jum'at.

Sehingga keberadaan Masjid Jami' disuatu tempat, menandakan teritori kelurahan. Tatanan itu dibuat untuk mempersatukan warga sekitar, khususnya pada saat Shalat Jum'at atau kegiatan keagamaan.

Di beberapa desa bahkan dusun juga berdiri Masjid yang lebih kecil, atau langgar dan musholla yang biasa digunakan shalat 5 waktu. Namun diharapkan, pada saat shalat Jum'at atau kegiatan keagamaan berpusat di Masjid Jami'.

Sementara Masjid raya, adalah Masjid tingkat provinsi, yang berkedudukan di Ibukota provinsi dan bangunannya lebih besar dan megah dibanding Masjid Agung.

Meski aturan dan klasifikasi tersebut sudah dibuat, namun sekarang ini banyak Masjid-masjid yang dibangun oleh kelompok masyarakat, swasta, atau ormas yang bahkan lebih besar dari Masjid yang dibangun pemerintah.

Sementara di tingkat nasional, berdiri Masjid Nasional yang sangat megah dan menjadi ikon negara. Di Indonesia, Masjid Istiqlal adalah Masjid Nasional yang berkedudukan di Ibukota Negara. (Red.s)

Sumber : Buku "Kota di Djawa Tempo Doeloe" karya Oliver Johannes Raap (2015 : 41-46)

Editor : Ahmad Fahrizal Aziz

Sabtu, 08 September 2018

Makna Pohon Beringin di Alun-alun

Srengenge - Setiap kali berkunjung ke suatu Kota, terutama kota-kota di Jawa, selalu bisa ditemukan pohon beringin di alun-alun. Ternyata pohon tersebut memiliki sejarah tersendiri, yang cukup sakral.


foto : alun-alun Kota Blitar

Multatuli dalam bukunya "Max Havelaar" (2005 : 366) menulis bahwa pohon beringin tidak ditanam di alun-alun, justru sebaliknya, keberadaan pohon beringin itulah yang dipilih sebagai alun-alun, yang kemudian didesain sebagai pusat daerah.

Pada zaman Majapahit, alun-alun merupakan bagian dari kompleks keraton, sebagaimana yang ditulis Handinoto dalam bukunya "Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial" (2010 : 219).

Alun-alun selalu berdekatan dengan pusat kekuasaan, bahkan berada di depan kediaman penguasa daerah. Ternyata ada hubungan filosofis antara pohon beringin dengan kekuasaan.

Pohon beringin memiliki konsep kosmografi, yaitu titik pertemuan antara kehidupan duniawi dan dunia lain. Penguasa pribumi, baik raja, sultan, hingga bupati tidak hanya sebagai pengurus daerah, melainkan juga memiliki status sebagai wakil Tuhan di dunia.

Sejak zaman Hindu-Budha, pohon beringin sudah dianggap suci dan keramat, dan masyarakat percaya pohon tersebut bisa melindungi penduduk setempat.

Selain itu, seperti yang diungkap H. Blink dalam buku "Nederlandsch Oost- en West-Indie" (1905 : 28) tumbuhnya pohon beringin di suatu tempat merupakan simbol dari kesuburan dan ketenteraman.

Pohon beringin bisa berusia ratusan tahun, dengan batang raksasa, daun lebat, bercabang dan sulur-sulurnya yang bergelantungan.

Meski tidak dapat diketahui berapa usia pasti dari pohon beringin, namun bisa diperkirakan usianya sejak didirikan alun-alun tersebut.

Misalkan, alun-alun Solo yang didirikan sejak tahun 1745. Jika dihitung hingga sekarang, maka usianya sudah mencapai 273 tahun. Usia pohon beringin jauh lebih tua dari itu, dan tumbuh dalam beberapa generasi.

Menurut sejarawan Belanda, Van den Broek, bibit pohon beringin pertama dibawa ke Jawa oleh pendatang dari India (Stille Krachten, jilid 4 : 89)

Di beberapa alun-alun, pohon beringin dipagari khusus dan dirawat dengan baik, meski tidak lagi begitu disakralkan seperti dahulu, apalagi setelah sistem pemerintahan berubah.

Beberapa kota atau kabupaten di Jawa kini, banyak yang tidak memiliki pohon beringin di alun-alun, dan banyak juga alun-alun yang sudah beralih fungsi. Tidak lagi tanah lapang, namun dirubah menjadi taman dan dibangun pedestrian.

Terlepas dari mitos dan kesan angkernya, keberadaan pohon beringin sangat bermanfaat bagi lingkungan, karena selain memberikan keteduhan, juga bisa menyerap dan menyimpan cadangan air yang melimpah. (red.s)

Editor : Ahmad Fahrizal Aziz

Jumat, 07 September 2018

Asal Usul Kampung China di Indonesia




Srengenge - Salah satu isu politik yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini adalah banyaknya pekerja asal Tiongkok yang datang ke Indonesia. Namun kampung China yang disebut Pecinan, ternyata sudah ada sejak tahun 1740.

Menurut L. Blusse dalam buku "Chinezen in de Archipel jilid 23 (hal 541) banyak orang Tiongkok yang menyambangi Nusantara, khususnya wilayah pesisir Jawa utara. Sekitar abad 15, ada kunjungan militer Tionghoa pada zaman Hindu, yang kemudian mulai menetap.

Kedatangan imigran asal Tiongkok tersebut bahkan jauh sebelum kedatangan VOC dan Belanda ke Nusantara.

Namun pada awalnya, imigran Tiongkok hanya menetap di wilayah pesisir utara Jawa, seperti Semarang, Batavia, dan Cirebon. Mereka baru masuk ke wilayah pedalaman Jawa, bersamaan dengan invasi VOC pada abad ke 16.

Kedatangan VOC tersebut sekaligus membuka kota baru dan bekerjasama dengan pedagang dan pengrajin Tionghoa, sebab kala itu VOC masih bergantung pada pedagang Tionghoa yang masih berhubungan dengan daerah asalnya. Termasuk dalam merekrut kuli dan pengrajin.

Pada halaman 546, L. Blusse juga menjelaskan betapa pesatnya pertumbuhan etnis Tionghoa sehingga menjadi penduduk mayoritas di wilayah kekuasaan VOC, dan membuat militer sulit mengendalikan, sehingga terjadilah pembantaian etnis Tionghoa pada 1740 di Batavia.

Peristiwa tersebut membuat VOC membuat sebuah wilayah khusus pemukiman etnis Tionghoa yang disebut pecinan dan mewajibkan mereka tinggal di kampung tersebut agar mudah melakukan pengawasan.

Meskipun demikian, menurut Van J.R Diessen dalam buku Het Centrum van het Nederlandse Kolonialen rijk in Azíë en zijn cultuurhistorische nalatenschap (1989 : 58) aturan tersebut tidak terlalu dipatuhi sehingga masih banyak orang Tionghoa yang tinggal diluar wilayah pecinan.

Akhirnya pada 1835 ditetapkan aturan wijkenstelsel (sistem daerah pemukiman) yang sangat ketat, sehingga mengharuskan warga Tionghoa tinggal di Pecinan.

Sistem tersebut berlangsung hingga tahun 1910 atau selama kurang lebih 75 tahun. Umumnya kampung pecinan tersebut berada di wilayah strategis, dekat dengan pasar, kamp militer Belanda, dan pemukiman VOC.

Meski aturan tersebut sudah tidak ada, namun bekas pecinan masih bisa kita temui hingga sekarang, termasuk kenapa ruko atau bangunan-bangunan di wilayah strategis suatu Kota dimiliki keturuan Tionghoa, sebab dahulunya adalah daerah pecinan. (Red.s)

Editor : Ahmad Fahrizal Aziz