loading...

Jumat, 16 Juni 2017

Muhammadiyah Menjadi Partai Politik?





Pewacanaan Muhammadiyah menjadi Partai Politik begitu kencang sekitar tahun 1966, terutama setelah pembubaran diri (atau dibubarkannya Masyumi). Hal ini karena beberapa pihak menilai, Muhammadiyah perlu ruang politik agar geraknya tajam lagi, terutama agar memiliki andil dalam menentukan kebijakan publik.
 
Ilustrasi
Sementara NU sudah lebih dulu menjadi Partai Politik pada tahun 1952 dan bisa ikut Pemilu 1955. Secara mengejutkan, Partai NU masuk tiga besar dibawah PNI dan Masyumi.

Selepasnya NU dari Masyumi, kekuatan Masyumi memang menurun. Meski menjadi Partai terbesar kedua kala itu, namun besarnya Masyumi karena disokong oleh beberapa Ormas Islam Modernis terutama Muhammadiyah, Persis dan Al Irsyad.

Keadaan tersebut begitu terasa ketika beberapa petinggi Masyumi bersitegang dengan Presiden Soekarno, yang salah satunya menolak Manipol. Karena sebagian petingginya terlibat PRRI, maka timbul kemelut di internal Masyumi dan mungkin juga Ormas penyokongnya seperti Muhammadiyah.

Termasuk yang paling dibuat bingung adalah Prawoto Mangkusasmito, yang duduk menjadi ketua Umum. Dalam beberapa catatan, termasuk catatan yang pernah ditulis Ajip Rosidi dan Prawoto sendiri, internal Masyumi sendiri memang punya insting bahwa Presiden Soekarno akan membubarkan mereka setelah sebagian petingginya terlibat PRRI.

Sebelum itu, maka mereka membubarkan diri. Hal ini untuk menghindari kesan jikalau Masyumi dibubarkan Soekarno. Meski sejarah pun memiliki versi yang beragam, bahwa Masyumi memang dibubarkan Soekarno demi menegakkan Manipol, atau ideologi Nasakom-nya.

Karena itu sekitar tahun 1965 dan 1966 ada keinginan besar untuk merehabilitasi kembali Masyumi. Ini dirasa perlu karena selepas bubarnya Masyumi, Ormas penyokong nampak kesulitan dalam akses politik. Sampai-sampai, beberapa tokoh di Muhammadiyah, salah satunya Djarnawi Hadikusumo berpendapat perlunya Muhammadiyah menjadi Partai Politik.

Desas desus jika Muhammadiyah akan menjadi Parpol itu terdengar oleh Prawoto yang juga tengah mempersiapkan rehabilitasi Masyumi. Bagi Masyumi, posisi Muhammadiyah sebagai Ormas penyokong sangatlah penting, karena dari segi pengikut, Muhammadiyah paling banyak dibanding Ormas yang lain.

Artinya apa, hampir sulit untuk menghidupkan kembali Masyumi tanpa campur tangan Muhammadiyah. Mungkin bisa, namun secara dukungan tidak akan maksimal. Sampai-sampai, Prawoto menemui Ketua Umum PP Muhammadiyah waktu itu, K.H Ahmad Badawi untuk meminta agar Muhammadiyah mendukung rehabilitasi Masyumi.

Dijelaskan oleh KH. Ahmad Badawi, bahwa Muhammadiyah tidak mungkin menjadi Partai Politik, karena terkendala oleh putusan Tanwir Bandung 1966. Namun demikian beberapa tokoh Muhammadiyah masih banyak menyuarakan hal tersebut.

Namun entah apa yang terjadi, sepertinya memang terjadi dead lock dan belum bulatnya kesepakatan untuk rehabilitasi kembali Masyumi, sampai dibentuklah Panitia Tujuh pada tanggal 7 Mei 1967 yang diketuai oleh KH. Faqih Usman (yang nantinya menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah).

Panitia tujuh ini dibentuk oleh Badan Koordinasi Amal Muslimin (1965), salah satu wadah bersama Ormas Islam yang menginginkan terbentuknya Partai Politik pasca Masyumi. Maka didirikanlah Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada 17 Agustus 1967. Namun Pemerintah mengisyaratkan tidak bolehnya mantan Pengurus Masyumi menjadi pimpinan Parmusi.

Berdirinya Parmusi sekaligus menggagalkan upaya untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai Partai Politik. Meski sebagian besar pendiri Parmusi jugalah tokoh Muhammadiyah, bahkan ketuanya, Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Umum, Drs. Lukman Harun adalah tokoh Muhammadiyah.

Namun tak berselang lama, rezim Soekarno lengser dan berganti rezim Soeharto. Parmusi untuk pertama kalinya mengikuti pemilu 1971 dan berada di posisi ketiga setelah Golkar dan Partai NU. Meski sudah berhasil mengungguli PNI yang notabene pemenang pemilu 1955, namun pemilu 1971 dianggap kurang demokratis lagi.

Pada tahun 1975 rezim orde baru melalui kekuatannya di Parlemen kemudian melakukan fusi parpol dalam dua unsur. Unsur agama dan nasionalis. Golkar, dikarenakan bukan Parpol maka tidak terkena fusi tersebut. Golongan agama di gabungkan ke PPP, termasuk Partai NU, Parmusi dan Partai Syarikat Islam. Golongan nasionalis digabungkan ke PDI.

Selanjutnya, pemilu era orde baru menjadi panggung Golkar seutuhnya. Untung, karena Muhammadiyah tidak menjadi Parpol, maka tidak tersedot ke PPP sebagaimana NU. Hubungan Muhammadiyah dan Golkar tergolong baik, apalagi selama kepemimpinan AR Fachrudin. []


Blitar, 18 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz



Sumber bacaan :
Buku karya Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama : Sejarah NU  1952-1967
Buku karya S.U. Bajasut dan Lukman Hakiem, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Terakhir Masyumi
Buku Karya Amien Rais, Moralitas Politik di Muhammadiyah
Wikipedia
Nu Online
dll

Sabtu, 10 Juni 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (Bag. 6)





Konsep Gerakan Saudagar (?)
 
oleh A Fahrizal Aziz
Kala berbincang dengan kader Muhammadiyah dari berbagai daerah, hampir selalu mengatakan jika ciri khas Muhammadiyah Blitar (Kabupaten) adalah kumpulan para Saudagar. Apalagi, saya—yang bukan saudagar ini—juga dimasukkan sebuah group WA Jaringan Saudagar Muhammadiyah.

Awalnya saya kira group tersebut berisikan para saudagar Muhammadiyah se-Kabupaten Blitar, ternyata tidak begitu. Mungkin banyak juga yang bukan saudagar, sehingga mengirim sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan ke-saudagaran. Sementara saya hanya viewer saja.

Group tersebut lebih banyak digunakan untuk menawarkan produk-produk hasil produksi warga Muhammadiyah, atau sekedar mereka yang reseller. Nah, mungkin ini lebih disebut lapak jual beli, belum disebut jaringan. Karena jaringan berarti terhubung satu sama lain dan memiliki keterikatan.

Saya tentu tidak punya ototritas apapun untuk berbicara terkait hal ini, karena saya bukan saudagar. Barangkali hanya sekedar komentar bebas, selaku bagian dari warga Muhammadiyah. Namun iklim ke-saudagaran terasa begitu kuat di kalangan Muhammadiyah sendiri. Sampai-sampai, ketika hendak menerbitkan website blitarmuID, Pak Basori selaku Ketua MPI PDM Kab. Blitar berharap point besar pemberitaannya tentang wirausaha.

Pada awal puasa lalu,  MPI bertemu Majelis Ekonomi untuk membahas sebuah brand usaha khusus warga Muhammadiyah. Saya sebenarnya diundang, namun karena bertepatan dengan kajian ramadan bersama DPP IMM di Masjid Attaqwa, saya pun datang belakangan.

Dalam hati saya bertanya, kenapa MPI yang tupoksinya di kepustakaan dan Informasi sampai harus ikut membahas soal wirausaha? Apa sekiranya, Majelis Ekonomi, dan mungkin di support oleh MPKU, MPS, MPM dan LazisMu tidak cukup?

Atau mungkin Majelis Ekonomi menggandeng para saudagar Muhammadiyah yang siap berkolaborasi? Namun lagi-lagi itu hanya sekedar pertanyaan, lagipula saya hanya “pembantu umum” di Majelis-majelis, jadi ya tidak punya hak apapun untuk ikut memberikan keputusan.

Namun hal tersebut bisa dimaklumi, karena tokoh-tokoh Muhammadiyah Blitar, terutama Pak Sis yang memimpin Muhammadiyah Blitar selama tiga periode (satu periode ketika belum terjadi pemekaran Kota dan Kabupaten) adalah seorang saudagar sukses dengan berbagai unit usaha. Salah satu yang terkenal ada di bidang peternakan.

Keberhasilan Pak Sis juga diikuti oleh anak-anaknya, termasuk Pak Hidayat yang kini menjadi ketua PDM Kab. Blitar. Situasi ini yang agaknya menjadi motivasi tersendiri bagi sebagian besar warga Muhammadiyah Kabupaten Blitar untuk juga mengikuti jejak menjadi Saudagar.

Sampai-sampai dulu beberapa teman berbisik, bahwa satu-satunya program PDM yang kemungkinan disambut dengan antusias, adalah program pemberdayaan kewirausahaan. Program lain mungkin diminati, namun tidak sebanyak program wirausaha, dan apalagi program media dan kepenulisan?

Saya yang sedang tidak bergelut di bidang wirausaha, kadang kala agak canggung juga. Misalkan, dulu saya membantu MPI harapannya agar muncul website, muncul tim penulis, atau bahkan tim Jurnalis. Namun agaknya yang seperti itu tidak begitu laku.

Namun jika kita peras lagi arti dari jaringan pengusaha, atau katakanlah saudagar-saudagar Muhammadiyah di Kabupaten Blitar, sebenarnya tidak bisa juga disebut masif. Memang ada beberapa saudagar besar dengan omzet diatas rata-rata, yang masuk kategori kaya atau sangat kaya.

Namun makna jaringan pengusaha tersebut, agaknya masih belum bisa dilihat secara utuh. Minimal dari pandangan saya sebagai yang bukan pengusaha ini. Padahal citra itu sudah kadung melekat di PDM Kab. Blitar. Hal-hal lain diluar itu, tidak begitu lagi dilihat, termasuk gerakan literasi yang nantinya mungkin akan digagas oleh MPI.

Mungkin saja, kader-kader yang non pengusaha akhirnya tidak terlalu bisa beraktualisasi, karena ciri khas Muhammadiyah Blitar sudah dikunci sebagai kumpulan saudagar. Sementara, sebagai sebuah sistem atau jaringan, belum juga terlalu nampak.

Bukan tidak mungkin juga kader-kader dalam bidang lain, misalkan Politik juga kurang bisa beraktualisasi, juga kader Da’i yang kedepan memiliki tugas ceramah di Masjid-masjid. Belum lagi yang gawat, jikalau aspek kaderisasi tidak terlalu juga diminati.

Mungkin akan minus kader dalam bidang-bidang tertentu, minus kader yang mengelola amal usaha dikarenakan terkendala profesionalitas, terutama karena latar belakang pendidikan. Misalkan guru minimal harus s1, sementara kader Muhammadiyah banyak yang tidak melanjutkan s1 bidang Pendidikan. Akhirnya sangat mungkin pengelola Lembaga Pendidikan Muhammadiyah kadepan justru bukan kader Muhammadiyah.

Atau misalkan pengelola rumah sakit, khususnya tenaga perawat. Tenaga perawat tentu harus lulusan keperawatan. Tidak serta merta karena kader Muhammadiyah, lalu dicomot jadi perawat di rumah sakit milik Muhammadiyah sendiri. Atau mungkin pula krisis calon-calon dokter, dan apalagi direktur rumah sakit nantinya juga dokter.

Masalahnya, pengelola AUM terkadang powernya lebih kuat ketimbang pengelola Muhammadiyah, meskipun Muhammadiyah lah yang mendirikan AUM tersebut.

Sementara iklim dan konsentrasi lebih menguat pada kewirausahaan, sementara sisi lain minus sekian derajat. Masalahnya, bidang kewirausahaan yang selama ini digaungkan, juga belum nampak merata.

Setidaknya, jika dibandingkan dengan gerakan kewirausahaan lain di Blitar, seperti sedulur UKM Blitar raya yang baru berusia 365 hari, jaringan saudagar di Muhammadiyah Kab. Blitar belum begitu nampak. []

Blitar, 15 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz

Senin, 05 Juni 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 5)





Merawat IPM dan IMM
 
oleh A Fahrizal Aziz
Tentu menjadi kegelisahan tersendiri ketika organisasi sepi peminat, apalagi jika perkaderan macet, stagnan sampai beberapa generasi. Terkhusus di Muhammadiyah, sepertinya berorganisasi memang memunculkan banyak kepentingan. Kepentingan tidak selalu berkonotasi negatif, ada juga yang positif.

Awal mula berjumpa dengan Kang Atim dan Kang Khabib dahulu, salah satu perbincangan utamanya adalah bagaimana IMM Blitar bisa eksis. Sampai terbersit keinginan untuk membuat kegiatan atau program yang sekiranya populer di kalangan Mahasiswa, atau masyarakat Blitar secara umum, meski sedikit melenceng dari tujuan.

Rasa peduli yang tinggi itu kadang-kadang membuat saya heran sendiri, terutama ketika IMM Blitar sempat vacum sebelum akhirnya Sukma Ulinuha bersedia menjadi Ketua dan Pergerakan IMM berdenyut kembali.

Yang membuat heran ialah, Kang Atim dan Kang Khabib yang notabene bukan lagi pengurus IMM, sampai harus berfikir keras bagaimana agar IMM tetap eksis. Sampai-sampai saya pernah “dilamar” untuk menjadi Ketua sementara. Selain itu, nama Dian Yuli (sekarang ketua PDNA Kab. Blitar) juga pernah diharap menjadi ketua, terutama untuk mengisi kevakuman.

Beberapa kali pertemuan dilakukan, untuk menanyai siapa yang bersedia menjadi ketua IMM Blitar. Yang saya ingat waktu itu di Kebonrojo dan Kedai Telkom. Sementara diskusi di WA soal ini juga terus bergulir. Namun belum juga memberikan hasil, sampai kemudian entah karena apa, Sukma Ulinuha bersedia. Idealnya memang begitu, ketika Ketua tidak aktif, Sekretaris lah yang menggantikan, dan Sukma waktu itu berposisi sebagai sekretaris.

Mau bagaimana pun, bagi saya, gerakan intelektual memang harus digalakkan. Meski banyak orang berkata bahwa kegiatan seperti itu tidak terlalu laku, atau mungkin justru akan ditertawakan.

Namun kata “intelektual” disini bukan berarti sok pinter, sok jenius, dll. Meskipun IMM bertujuan mengusahakan terbentuknya akademisi Muslim. Artinya lebih pada kegiatan akademiknya. Kegiatan akademik hanya dimiliki oleh Mahasiswa, disesuaikan dengan disipilin ilmunya.

Intelektual, sebagaimana yang pernah diutarakan Filsuf Italia Antonio Gramsci, adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang, apapun latar belakangnya. Maka Gramsci membangi antara Intelektual Tradisional dan Organik. Istilah ini agak berat, namun di era serba canggih ini bisa dilacak definisinya melalui internet.

Artinya, intelektualisme itu bukan saja milik kalangan tertentu, tapi semua orang memiliki potensi yang sama. Memang akan lebih gesit jika yang menjalankan adalah organisasi mahasiswa seperti IMM, karena aktivitas utamanya adalah belajar, kuliah, membaca buku, menulis, dlsb.

Hal itu kemudian disepakati, sampai akhirnya Kang Atim dan Kang Khabib yang tidak lagi berada di struktural IMM, tetap membantu merawat iklim tersebut melalui Paguyuban Srengenge. Setidaknya, kata “membaca” dan “menulis” itu terus didengungkan, dan sedikit banyak itu akan menciptakan suasana bathin tersendiri, bahwa kegiatan intelektual masih ada yang peduli.

Tapi bukan berarti menafikan yang lain, bukan berarti yang tertarik dengan kegiatan baca-tulis, tidak tertarik pada kegiatan lain. Harusnya itu saling melengkapi. Apalagi di IMM, mau diakui atau tidak, kesempatan mendapatkan kader baru, yang benar-benar baru, itu terbuka lebar.

Mungkin kader baru bisa muncul dari Amal Usaha, namun yang masuk ke Amal Usaha tujuan utamanya untuk bekerja, kecuali jika sebelumnya sudah menjadi kader. Yang sebelumnya tak tersentuh Muhammadiyah, mungkin akan sedikit tahu Muhammadiyah, namun jangan berharap akan mau mengurus Muhammadiyah, sebagaimana kader yang hatinya tertanam rasa cinta pada Muhammadiyah.

Mereka yang masuk ke IMM, meski hanya satu atau dua orang, namun memiliki kesadaran yang tinggi, tentu lebih baik daripada berduyun-duyun karena adanya program populis yang bersifat sementara, namun hilang satu per satu ditengah jalan karena tidak sesuai dengan harapan.

Waktu saya kemudian memutuskan bantu-bantu Pak Widjianto Dirja di Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Kab. Blitar, tentu setelah melalui perenungan panjang. Apalagi, ketika Pak Wid bilang bahwa tugas MPK sebenarnya tidak terlalu teknis, tapi lebih bersifat koordinatif dengan bidang perkaderan Organisasi Otonom.

Setelah saya fikir-fikir, yang perlu dan mendesak untuk lekas diperhatikan adalah IPM dan IMM. Karena dari dua ortom inilah, awal mula pembibitan kader, tunas-tunas bermunculan.

Hanya saja, saya tidak terlalu punya wawasan tentang IPM, karena tidak pernah aktif di IPM. Karena itu, akses ke IPM sangat terbatas. Saya hanya punya sedikit wawasan tentang IMM, karena pernah aktif di struktural IMM dari tahun 2010-2014, dari komisariat sampai cabang.

Maka penting kiranya IMM untuk istiqomah memperjuangkan gerakan Intelektual, entah berupa kajian pemikiran, diskusi terbuka, atau mungkin menulis dan melakukan penelitian. Karena setelah tidak lagi di IMM, belum tentu aktivitas tersebut bisa dijalankan.

Ya, meskipun barangkali kegiatan semacam itu tidak terlalu menarik, membosankan, dan kurang mendatangkan materi. Tapi Intelektualisme itu adalah jiwa utama mahasiswa. Mungkin sedikit yang aktif dan mengikuti kegiatan semacam itu, dan sedikit yang mengapresiasinya. Namun lebih baik ada daripada tidak sama sekali.

Saya kekeh dengan gerakan Intelektual, meskipun tidak laku, meskipun tidak populer, meskipun ditertawakan orang. Lagian kita tidak perlu memedulikan yang sinis, fokus saja pada yang masih menghargai hal-hal positif yang kita jalankan.

Nah, beberapa waktu yang lalu, malam-malam ketika hendak meminjam bendera Muhammadiyah di Rumah Pak Zaenal Arifin untuk acara Baitul Arqom Ramadan keeseokan harinya, Pak Zaenal bertanya tentang materi apa yang akan dibawakan Pak Basuki Babussalam.

Tentu saya jawab materi yang berkaitan dengan bagaimana warga Muhammadiyah seharusnya memandang politik, sementara Pak Zaenal sendiri akan bertindak sebagai moderator.

Tiba-tiba, beliau membuka lemari dan menyodorkan sebuah buku berjudul “Moralitas Politik Muhammadiyah” karya Pak Amien Rais.

“Coba ini dibaca kalau nanti hendak membuat tulisan tentang Muhammadiyah dan Politik, intinya Muhammadiyah itu menerapkan High Politik. Tidak selalu terlibat politik praktis, tapi mewarnai kebijakan publik yang ada,” jelas Pak Zaenal.

Mungkin itu hanya peristiwa biasa layaknya seorang Bapak memberikan buku kepada juniornya di Muhammadiyah. Tapi bagi saya itu jadi dukungan tersendiri, mungkin Pak Zaenal percaya jika buku itu dipinjamkan ke saya, maka akan saya baca dan kemudian akan saya jadikan referensi tulisan.

Rasa percaya tersebut tentu tidak akan diberikan jika kita tidak berbuat apa-apa. Berarti apa yang kita perbuat, entah lewat IMM, Paguyuban Srengenge, atau mungkin website BlitarmuID sedikit banyak sudah dilihat keberadaannya. Ternyata ada gunanya juga.

Tapi memang harus perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, dan telaten. Karena gerakan semacam ini rawan kejenuhan, kebosanan, dan belum tentu dihargai orang. Karena kita sedang memposisikan diri sebagai penggerak. Mudah memulai, tapi sulit merawatnya. Fastabiqul Khairot. []

Blitar, 10 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz