loading...

Sabtu, 27 Agustus 2016

Mempertimbangkan Posisi IMM di PTM

Akhir tahun 2011, pasca LID (Latihan Instruktur Dasar) PC IMM Malang periode kepemimpinan Taufik Suwardi dengan Kabid kadernya Dodi Firmansyah, setidaknya seminggu sekali diadakan diskusi perkaderan bergantian tiap kampus. Kadang di UIN, UM, UB, Budi Utomo, dan tentu saja UMM. Tim instruktur inilah yang kemudian juga mengawal berdirinya IMM Universitas Kanjuruhan kala itu.

Dalam diskusi yang hangat, disertai beberapa cangkir kopi dan makanan ringan, muncul satu pembahasan serius tentang posisi IMM di kampus PTM, dalam hal ini UMM.

Kata salah satu anggota Instruktur dari Koms. Aufklarung kala itu, melihat IMM di UMM tentu harus berbeda melihat IMM di kampus non UMM. Bukan bermaksud dikotomis, tapi di UMM tidak bisa menyebut IMM sebagai OMEK, sebagaimana IMM di kampus non UMM. IMM harus dipandang sebagai Intra, atau setidaknya ortom.

Keyakinan itu juga diperkuat dengan dalil berupa surat kep. PP tentang organisasi yang berdiri di Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Tertulis secara eksplisit nama IMM disitu. Maka kasus dekan fak. Farmasi UM Surakarta beberapa waktu lalu jadi cermin betapa lemahnya pemahaman terhadap hal tersebut.

Tapi terlepas dari legal standing dan macamnya, posisi IMM di PTM (atau juga di kampus non PTM) memang harus dipertimbangkan lebih serius.

Pertama, tentu karena IMM sebagai ortom Muhammadiyah yang bergerak di wilayah kampus. Sehingga, keberadaannya penting sebagai corong perkaderan.

Kedua, meski PTM punya matkul khusus bernama AIK (Al Islam dan Kemuhammadiyahan), tapi itu bukan sarana kaderisasi, melainkan hanya wawasan agar lebih mengerti tentang Muhammadiyah. Untuk sah menjadi kader, tentu harus melalui mekanisme organisasi/ortom. Disinilah point keberadaan IMM. Karena tidak mungkin semua mahasiswa yang kuliah di PTM menjadi kader Muhammadiyah. Kuliah di PTM untuk mencari ilmu, sementara menjadi kader Muhammadiyah adalah preferensi masing-masing individu.

Jadi, kehadiran IMM di PTM membantu dalam rekruitment kader Muhammadiyah melalui Darul Arqam Dasar (DAD). Untuk itu, menyamakan IMM dengan OMEK dikampus PTM tentu menyederhanakan peran IMM. Padahal, dalam sebuah organisasi, perkaderan adalah bagian penting.

OMEK lain juga melakukan kaderisasi, tapi bukan untuk Muhammadiyah. Sementara IMM, secara hirarkis-ideologis mencetak kader-kader Muhammadiyah. IMM sebagai wadah formal proliferasi kader-kader muda Muhammadiyah di kampus PTM.

Sehingga kedepan, Muhammadiyah akan memetik “buah perkaderan” tersebut. Beberapa kembali ke daerah, beberapa melanjutkan secara hirarkis sampai ke Pimpinan pusat. Seperti sekarang, kita bisa memiliki tokoh muda yang hebat seperti Dr. Abdul Muthi dan Dahnil Anzar Simanjuntak. Belum lagi yang berkhidmat di daerah-daerah, yang merupakan didikan IMM dari PTM se-Indonesia.

Mereka belajar tentang Muhammadiyah, juga belajar ber-Muhammadiyah ketika Mahasiswa. Dari sinilah, masa depan Muhammadiyah itu bermula. (*)

Blitar, 27 Agustus 2016
A Fahrizal Aziz

Jumat, 12 Agustus 2016

Repon Prie GS terhadap Polemik Full Day School



Budayawan Prie GS ternyata juga merespon polemik full day school melalui akun facebooknya. Berikut responnya :

Saya setuju dengan rencana program One Day School untuk membentuk generasi yang tahan banting dan tidak lembek. Anak-anak memang tidak perlu banyak bermain dan siang malam harus mengerjakan PR demi negaranya. Budaya peloncoan harus dikembalikan karena ternyata ia membentuk karakter yang kuat dan tak kenal takut. Ini penting untuk menghadapi musuh negara. Kalau perlu anak-anak harus sering menginap di sekolah untuk tambahan pelajaran. Demi kedekatan hubungan para orang tua sebaiknya juga berkemah di lingkungan sekolah untuk menyemangati putra-putri mereka. Menteri, dirjen, kepala sekolah demi memberi contoh kerja keras ini seyogianya pulang ke rumah hanya boleh sebulan sekali. Setiap menteri berganti, kurikulum juga harus ganti. Pejabat baru harus membuat gebrakan segebrak-gebraknya agar bangsa ini melahirkan generasi gebrak.

Mimpi, Cita-cita, dan Ilusinya


Oleh : Iqbal F.


Untuk apa anda punya cita-cita? 
Untuk apa anda punya mimpi?

Menjawab dua pertanyaan itu memang tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi jika seseorang tidak pernah punya mimpi, atau cita-cita. Katanya, let it flow saja, seperti air mengalir. Hanyut bersamanya, tanpa tahu hendak kemana, entah ke samudra, atau bendungan, atau ke pembuangan.

Tapi pertanyaan diatas tidak sesulit pertanyaan ini. Untuk siapa anda punya mimpi dan cita-cita?

Sekolah sampai tinggi, bekerja di lembaga dengan gaji tinggi, berbisnis, dan lain sebagainya.

Punya uang yang banyak. Minimal punya kekuatan finansial yang cukup. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, serta untuk memenuhi keinginan. Sisanya untuk siapa? Adakah orang yang hendak anda bahagiakan?

Pertanyaan mendasar tentang kehidupan memang menjadi subyek filsafat yang paling populer. Agar kita tahu untuk apa, siapa, dan kenapa kita melakukan ini semua. Agar kita tak terjebak dalam ilusi dan paradoks kehidupan yang pahit.

Ilusi, karena anda tidak tahu apa yang anda lakukan selama ini. Untuk siapa anda melakukan itu, dan kenapa.

Yang jelas, segala yang kita lakukan pasti ada tujuannya. Pasti. Suatu ketika, aku bertemu salah seorang karyawan swasta di salah satu foodcourt di daerah ciwalk. Kami terlibat perbincangan. Ia bukan asli Bandung, perantuan dari Jawa Tengah.

Katanya, biaya hidup di Bandung mahal. Meski gajinya sudah UMR. Mahal? Padahal kalau hanya untuk membiayai hidup sendiri, gaji UMR menurutku sudah lebih dari cukup. Kecuali kalau gaya hidupnya memang mahal. Who's know?

Ternyata bukan. Mahalnya, karena dia harus menyisihkan separuh gajinya untuk orang tua di kampung. Pantes saja. Kalau begitu, ya jelas harus ngirit.

Dia ingin berwirausaha. Sembari kerja kantoran. Untuk nambah penghasilan. Itulah cita-citanya terdekat. Ia hanya sedang mencari format bisnis yang menurutnya pas, dan bisa ia kerjakan di sela kesibukannya.

Mungkin yang berfikiran seperti itu bukan hanya dia. Pasti banyak yang lainnya. Mereka bekerja, punya mimpi, cita-cita, atau minimal harapan. Bukan untuk dirinya sendiri, untuk orang yang mereka sayangi, untuk orang yang selalu ada dalam fikiran kita.

Membayangkan orang tua di kampung, dari tempat perantauan itu tak mudah. Secara psikologis. Itu yang pernah dialami bapak saya ketika harus menyelesaikan master di salah satu kota sebelah selatan Prancis. Full beasiswa. Memendam rindu yang terlalu lama. Hanya bisa pulang saat moment kepulangan.

Bagi dia dan karyawan lain, salah satu mengobati rindu kampung halaman adalah dengan mengirimkan separuh gajinya kesana. Meski ia baru bisa pulang setahun sekali, itupun hanya beberapa hari.

Ia harus bekerja keras mencari uang, tapi ia lega karena tahu untuk apa dan siapa ia melakukan itu. Untuk orang yang ia fikirkan, dan memikirkannya. Sisanya tentu, untuk dirinya sendiri. (*)

Bandung, 10 Agustus 2016

Ini Respon Aktivis IMM terkait Full Day School

Pro kontra atas ide Mendikbud Muhadjir Efendy soal penerapan full day school mendapatkan tanggapan beragam dari aktivis IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang notabene adalah organisasi otonom Muhammadiyah dilingkup Universitas.

Berikut tanggapan dari beberapa aktivis IMM yang mereka utarakan melalui akun sosial media masing-masing.

Ali Muthohirin, Sekjend DPP IMM

"..Polemik full day school semakin aneh, banyak yg mengutarakan bahwa itu hanya cocok di perkotaan, bukan di pedesaan, mereka mungkin tdk tahu klo di pedesaan sblm ada istilah full day school, kami yg org desa sdh biasa  menjalani sekolah model itu tanpa tau istilah full day school..hehe..pulang skolah lanjut diniyah ato TPQ sampai maghrib..blm lagi anggapan model ini bs mengurangi waktu anak dg org tua, klo ada yg bilang seperti itu, sama dg menganggap bahwa sistem pondok pesantren itu salah..hehe

Bahkan ada yg menolak sistem full day school tp mereka menjalankan madrasah diniyah bahkan mengkampanyekan "ayo mondok".hehe

#aneh

Najih Prasetyo, Sekbid Kader DPP IMM

"...Biar kekinian, komentar dikit lha...

Tidak berbicara pro maupun kontra, tetapi lebih pada bagaimana sikap hampir masyarakat kita yg lebih pada reaksioner semu, saya katakan semu kenapa?? Karana sikap kontra mau pro yg kita sampaikan tdk lebih pada kajian akademisnya, tetapi lebih pd sikap sentimen terhadap tokoh ataupun instansi tertentu.

Kenapa reaksioner, ternyata isu #FDS ini direspon seakan akan ini sudah ditetapkan menjadi kebijakan yg berpayung hukum, sekali lagi ini baru sebatas ide, suka suka pak mentri donk punya ide apa aja, kok kita ikutan sewot.. 

Seandainya yg dikeluarkan bersifat kebijakan yg berpayung hukum, boleh lha kita protes2 sama pak mentri seperti protes2 sekarang ini.

Nah Klo ide itu mau dijadikan kebijakan kan ada kajian yg meliputi bla bla bla...

Orang pada lupa ya bahwa tagline #AyoMondok dan #BanggaJadiSantri juga bagian dr FDS, duh pikirannya kemana coba.

Klo saya sih sejak TK sudah full day school. TK nya di TK ABA lagi..,

MI juga full day school, MIM juga..

SMP MA apa lagi...,,"


Kamis, 11 Agustus 2016

Djarot Berpeluang Dicalonkan Gubernur Oleh PDIP



Setelah Tri Rismaharini nampak enggan dicalonkan menjadi DKI 1, nama yang paling realistis bagi PDIP --sebagai partai pemenang pemilu-- adalah Djarot Saiful Hidayat yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Memang nama Djarot nampak tenggelam dalam perolehan hasil survey, oleh karena sosoknya memang tidak gencar diberitakan media, sekaligus belum adanya keputusan dari Partai.

Ahok sendiri pernah menilai Djarot sebagai figur pemimpin yang berhasil ketika 10 tahun menjadi Walikota Blitar. Apalagi ditengah mulai merosotnya simpati warga terhadal Ahok yang memilih maju dari jalur partai. Nama Djarot dinilai sangat realistis untuk dicalonkan.

Selain itu, dengan terbentuknya koalisi tujuh partai, peluang Djarot untuk menjadi calon alternatif sangat terbuka lebar. Yang menjadi soal, siapakah calon yang sekiranya cocok mendampinginya?

Calon yang memiliki track record yang baik, berpengalaman, serta memiliki visi yang bagus untuk Jakarta kedepan. (Red. 003)

Respon Netizen Terkait Full Day School Dinilai Berlebihan


Meski baru wacana, respon netizen terhadap gagasan Mendikbud Muhadjir Efendy dinilai terlalu berlebihan. Hal itupun menjadi sasaran haters yang memang senang memainkan isu, hingga membawa nama ormas sebagai justifikasi.

Seperti kita tahu, Mendikbud Muhadjir Efendy berniat menerapkan ajaran nawacita dengan melakukan full day school (FDS). FDS sendiri bertujuan menambah jam sekolah untuk kegiatan non akademik.

"Jam tambahan nanti akan dibuat aktivitas yang menggembirakan," jelas Mendikbud dalam video konpres yang diposting media "20 detik".

Namun gelombang protes begitu kencang, sampai timbul asumsi negatif yang berkaitan dengan lembaga atau kelompok yang berkepentingan dalam penerapan FDS. Memang selama ini ada sekolah yang menerapkan FDS dan berafiliasi dengan kelompok tertentu.

Namun demikian, masyarakat berharap agar pihak kementrian lekas memberikan penjelasan yang kongkrit terkait FDS agar polemik tidak berkepanjangan. (Red.008)