loading...

Minggu, 21 Januari 2018

Warga Muhammadiyah Jadi Penentu Pilgub Jatim?




Meski baru diumumkan bulan depan, namun sepertinya dua pasangan akan bertarung sengit, dengan menggalang suara utama dari kalangan Nahdliyin. Warga NU akan terpecah dalam dua kubu besar, termasuk kemungkinan suara dari kaum nasionalis yang berafiliasi di GMNI, yang jumlahnya cukup signifikan.

Sekalipun GMNI selalu identik dengan PDIP, namun nyatanya tidak demikian. Begitupun halnya ketika mengidentifikasikan suara NU dengan PKB atau PPP, dan apalagi PAN dengan Muhammadiyah.

10 tahun terakhir Pakde Karwo dari Demokrat, yang notabene tokoh GMNI, berhasil memenangkan Pilgub Jatim dengan menggandeng Gus Ipul. Sementara PDIP justru keok, termasuk PKB sebagai Partai dengan pemilih terbesar di Jatim.

Suasana politik begitu cair dan sukar ditebak. Tahun ini dengan bersatunya PDIP dan PKB, maka secara logika harusnya bisa menang mudah. Namun Pilgub sangat berkait dengan figur, dan suara konstituen sangat mungkin berubah.

PDIP sendiri yang kerap mengusung tagline partainya wong cilik, juga belum tentu mendapat dukungan penuh dari wong cilik. Sebab sosok Khofifah di akar rumput sangat membumi, apalagi selepas menjadi Menteri Sosial.

Belum lagi Khofifah didukung oleh Partai Demokrat, yang disitu ada sosok Pakde Karwo. Besar kemungkinan "suara merah" juga akan terbagi, sama halnya dengan suara NU.

Dalam suasana seperti ini, kemanakah kiranya suara warga Muhammadiyah? Sebab secara kultural, jumlah warga Muhammadiyah tentu sangat diperhitungkan. Warga Muhammadiyah akan jadi bandul penentu siapakah yang akan menang.

Namun sebenarnya bukan hanya soal kalkulasi suara. Tapi dengan realitas demikian, setidaknya Muhammadiyah memiliki ruang untuk menyampaikan gagasan atau aspirasi yang hendak dititipkan calon tertentu, dan kelak sama-sama mengawalnya.

Namun selama ini cenderung pasif dan tak berkutik, bahkan untuk sekedar melempar wacana. Padahal Muhammadiyah memiliki dua sosok potensial di Jatim, yaitu Kang Yoto dan H. Masfuk.

Dengan potensi kultural yang ada, Muhammadiyah punya kekuatan signifikan untuk mewarnai kebijakan publik. Sebab dalam politik tidak ada yang netral. Karena di bilik suara kita akan tetap memilih. Hanya bagaimana kita tidak jadi sekedar pemilih, tapi turut serta menyumbang aspirasi dan sama-sama mengawalnya. []

Blitar, 22 Januari 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Ditolak 19 DPD, Bagaimana Status Ali Muthohirin?

Srengenge- Tanwir IMM yang bersejarah, yang dilaksanakan di Sorong Papua, menjadi perbincangan di kalangan kader maupun alumni. Terlebih ketika muncul rilis hasil Tanwir "tambahan" yang dilaksanakan di hotel Je Meredien. Konon 16 DPD + 3 DPD melalui surat resmi menyatakan menolak hasil pleno internal DPP IMM yang menentukan Ali Muthohirin sebagai Ketum menggantikan Taufan Korompot.

Jika total DPD ada 32. Maka jumlah 19 DPD tersebut sudah quorum. Selepas rilis hasil Tanwir tersebut, beberapa DPD diluar 19 DPD diatas pun mengeluarkan sikap. Terutama DPD IMM Jatim.

Pada intinya sikap terpecah menjadi dua. Ada yang menerima hasil tanwir, sebab itu keputusan tertinggi kedua selepas muktamar. Ada yang mengembalikannya ke pleno internal DPP IMM.

Hasil tanwir salah satunya juga menentukan Irfan sebagai Plt Ketum DPP, sampai waktu Muktamar berlangsung. Lalu siapa Ketum DPP IMM saat ini? Ali atau Irfan?

Sebelumnya, kita sangat menyesalkan atas mundurnya Taufan Korompot sebagai Ketua Umum. Sebab Taufan terpilih secara sah melalui forum musyawarah tertinggi. Meski setelah itu diterpa banyak masalah, yang sebenarnya lebih pada masalah pribadi.

Dalam suasana tersebut, tentu tidak mudah. Betapa sengitnya perdebatan di internal DPP sendiri pasca mundurnya Taufan. Meski jabatan tertinggi kedua selepas Ketum adalah Sekjend yang dijabat Ali Muthohirin, namun tidak secara otomatis juga Sekjend naik menjadi Ketum.

Selain itu Taufan juga tidak memiliki wewenang untuk menunjuk calon penggantinya. Semua harus dilakukan melalui musyawarah. Karena yang mundur adalah pucuk pimpinan, maka langkah terbaik adalah digelar Muktamar luar biasa.

Karena tidak ada muktamar luar biasa, maka forum tanwir ini menjadi arena paling strategis untuk membahas hal tersebut. Sayang, banyak sekali kejadian-kejadian yang memilukan terdengar ketika Tanwir berlangsung. Mulai dari forum yang ricuh sampai pengusiran oleh panitia, sebab panitia sudah kehabisan uang.

Apalagi Tanwir ini digelar di Papua. Tentu tak sedikit biaya yang dikeluarkan. Termasuk biaya transportasi, sampai biaya acara. Sangat disesalkan jika pada akhirnya hanya menyisakan polemik berkepanjangan.

Jika memang sudah ada 19 DPD yang menyetujui hasil tanwir, dan Muktamar rencana digelar Mei atau Agustus, maka berpolemik soal siapa ketua umum sepertinya tidak begitu menguntungkan. Waktu yang tersisa hanya beberapa bulan. Waktu yang tepat untuk memulihkan keadaan atau rekonsiliasi.

Namun akankah semudah itu? Kita berharap segera ada kabar baik, sebelum muncul istilah dualisme kepemimpinan. []

Blitar, 21 Januari 2018


Ahmad Fahrizal Aziz
(Mantan Kabid RPK PC IMM Malang)