loading...

Selasa, 30 Mei 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 4)





Media dan Komersialisasinya
 
oleh A Fahrizal Aziz
Waktu berdiskusi dengan Pak Dayat dan Pak Taufik di Rumah Makan Joglo, Pak Dayat selaku Ketua PDM Kabupaten Blitar mengutarakan keinginan beliau agar setiap Majelis memiliki amal usaha-nya masing-masing. Pertemuan itu dalam rangka penyampaian gagasan dan program MPI, termasuk salah satunya pengadaan BlitarmuID dan Workshop Pengelolaan Website.

Sebagai seorang dengan jiwa pengusaha yang kuat, apa yang disampaikan Pak Dayat sangatlah visioner, dan barangkali juga sesuai dengan harapan kami di MPI nanti. Ini seperti sebuah tantangan terbuka yang tengah dilemparkan.

Sebenarnya sudah ada gambaran juga. Awal-awal perjumpaan dengan Pak Basori—entah berapa kali kami bertemu dan Pak Basori selalu mentraktir makan—juga difikirkan bagaimana nantinya media bisa menghasilkan uang, bukan justru menyedot anggaran tiap bulan atau tahunnya.

Saya ingat-ingat, meski sebenarnya tidak terlalu ahli dalam bidang ini, ada beberapa teman blogger yang mendapatkan penghasilan besar dari websitenya. Memang sebagian besar bukan Jurnalis, melainkan semacam internet marketing. Jika menengok website mereka, sebenarnya sepele, kontentnya pun kadang sangat sederhana. Namun pengunjungnya sangat banyak.

Salah satu contohnya, anda bisa search di google nama Eka Lesmana. Seorang Blogger populer yang hanya lulusan SMP, tapi sudah punya penghasilan sekitar 8 digit setiap bulannya. Bekerja maksimal 4 jam setiap hari, bisa membeli beberapa ekor sapi, bebek, dan kemudian juga membuka beberapa toko. Fantastis.

Barangkali setelah bosan di dunia Internet Marketing, ia akan bekerja sepenuhnya di dunia nyata dengan memelihara ternak atau mengelola tokonya. Entahlah.

Tapi untuk mencapai titik tersebut bukan perkara gampang, meski sangat mungkin diupayakan, apalagi dengan kerja tim. Ya barangkali, kita bermimpi BlitarmuID nanti bisa menjadi amal usaha MPI. Bermimpi tak apa-apa kan? mumpung mimpi itu gratis. Kalau dalam bahasa agama, mungkin ini semacam iradah, angan yang tinggi. Siapa tahu nanti terijabah.

Apalagi jenis iklan itu bermacam rupa, ada iklan online yang disediakan oleh google atau jasa penyedia iklan yang bisa kita temukan dengan mudah di internet. Ada iklan yang kita ajukan sendiri ke sebuah lembaga. Jika kita tengok PWMU.co, disana iklannya sudah komplit. Tinggal kita tanya saja berapa pendapatannya, pasti besar. Hehe

Tapi terlepas dari hal-hal teknis tersebut, BlitarmuID nanti bisa menjadi magnet tersendiri untuk mengajak orang memulai berkarya ditengah derasnya arus informasi sekarang ini. Kita tentu amat pilu melihat group-group WA kita yang dijejali banyak informasi copy paste. Bukan tulisan sendiri. Pilu karena kita hanya sebagai konsumen isu, yang dibuat orang lain dengan kepentingan yang kita tidak tahu.

Masalah ini sangat mendasar,membangun state of mind warga Muhammadiyah. agar tidak terjebak dalam polarisasi isu, tergeragap ditengah arus informasi yang kian pesat karena posisi kita sebagai konsumen, pengikut, dan sejenisnya.

Jadi, selain sebagai informan kegiatan Muhammadiyah secara umum, MPI punya tugas mendasar yaitu Pendidikan Literasi, minimal di kalangan warga Muhammadiyah sendiri. Meski program semacam itu belum tentu laku. Tapi, kita juga tidak harus mengikuti selera umum, yang pada akhirnya membuat seolah-olah tidak ada pilihan, karena tidak ada yang mau tampil beda. []

Blitar, 4 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz

Senin, 29 Mei 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 3)





Workshop MPI 2017
 
oleh A Fahrizal Aziz
Saat menyatakan ketersediaan membantu Majelis Pustaka dan Informasi, memang sudah ada bayangan ini-itu, program apa dan bagaimana menjalankannya. Itu karena saya punya sedikit pengalaman di bidang pengelolaan media, meskipun masih harus banyak belajar.

Waktu di IMM, selama dua periode di Komisariat, saya berada di bidang Keilmuan. Bidang yang sekaligus bertugas mengelola blog komisariat. Ketika di Himpunan Mahasiswa Jurusan, saya juga berada di bidang Penerbitan dan Kepenulisan, yang kemudian berganti nama menjadi Bidang Litbang. Programnya tak jauh berbeda.

Periode pertama di IMM Cabang Malang, saya menjadi Sekretaris Bidang Media. Meski menjadi sekretaris, namun hampir semua program bidang, saya yang menjalankan, karena Ketua Bidang waktu itu tidak aktif dan akhirnya resign karena harus kuliah lanjutan keluar negeri.

Sebelumnya, saya di bidang dakwah. Kala itu memang ada tiga bidang yang ditawarkan tim formatur, satunya bidang Keilmuan. Bidang Keilmuan, untuk IMM Cabang Malang, adalah bidang yang bergengsi. Apalagi citra IMM Malang sebagai satu dari tiga cabang yang unggul secara keilmuan, setelah Ciputat dan Yogyakarta.

Saya kemudian memilih bidang dakwah, sekaligus nostalgia di masa Aliyah ketika saya menjadi pengurus Rohis (Kerohanian Islam), yang salah satu kegiatannya adalah meramaikan Masjid. Namun karena berbagai pertimbangan, saya kemudian bertukar posisi, alias di resuffle, ke sekretaris bidang Media.

Pengalaman selama berada di media, sebenarnya fokus saya di bagian tulis menulis. Mulai dari penulisan kontent, liputan khusus, wawancara, sampai menulis berita. Tidak punya pemahaman dalam bidang pengadaan media, apalagi harus “bekerja sendirian” karena ditinggal ketua bidang. Meski akhirnya tetap ada jalan keluar, termasuk dengan dibuatnya website IMM Malang yang waktu itu beralamat di www.imm-malang.or.id(sekarang www.imm-malang.org).

***
Saya tentu harus membawa energi anak muda, begitu kata Pak Basori. Meski awalnya banyak yang menebak-nebak, berapa usia saya, dan sudah punya anak berapa? Sekilas memang seperti seumuran dengan Kang Atim, atau Kang Khabib. Padahal saya masih junior. Jangankan dibandingkan dengan Kang Atim, saat saya baru beberapa bulan menjadi kader komisariat IMM di Malang, Kang Khabib sudah menjadi Ketua IMM Cabang Kediri.

Tapi, selain soal waktu, sebenarnya tidak terlalu ada perbedaan antara kader muda dan senior. Apalagi warga Muhammadiyah adalah kalangan modernis, artinya punya keterbukaan dalam berbagai hal, termasuk dalam teknologi. Jadi, tidak berlebihan jika nantinya MPI menggagas program pembuatan website, meski sempat muncul kekhawatiran, apa iya nanti warga Muhammadiyah akan membaca website tersebut?

Beruntungnya respon MPI begitu baik, setelah beberapa kali melakukan rapat. Dan lagipula, saya juga paham, bahwa dari semua anggota MPI, mungkin hanya saya yang punya cukup waktu luang dan bidang yang sejalan.

Pak Basori selaku Ketua MPI misalkan, harus membagi waktu antara tugas menjadi kepala sekolah, pengurus cabang sekaligus pengurus MPI, belum lagi kesibukan lain. Sementara anggota yang lain, seperti Pak Bukhori dan Pak Romadhon, juga disibukkan dengan tugas mengajar dan lainnya.

Saya, meski juga mengurus ini-itu, tapi masih satu jalur. Dalam konteks kepenulisan, saya tengah membangun Komunitas Penulis di Blitar. Sekarang sudah ada, terutama dalam bidang sastra. Di tambah Paguyuban Srengenge, ditambah MPI, ditambah lagi sebagai Blogger dan Kontributor media. Sepertinya banyak juga aktivitas yang saya geluti. Tapi itu masih satu jalur, satu minat.

Nah, kadang saya membayangkan yang baru masuk dunia media, dan harus bertugas di bidang tersebut. Ini sama halnya ketika saya tiba-tiba, mau tak mau, dimasukkan Majelis Wakaf dan harus mengupayakan sertifikat tanah yang letaknya di puluhan titik. Bisa jempalitan dibuatnya.

Maka waktu itu perlu adanya Workshop Pengelolaan Website/Media. Tentu harus sama-sama belajar, begitu pun dengan saya. Lupakan sejenak tentang hal-hal ideal. Bahwa website harus yang begini, bahwa pengelola harus yang begitu. idealnya memang begini dan begitu, tapi ini sedang memulai. Harus perlahan-lahan.

Setidaknya, meski masih belum sempurna dan progresif, namun angan dan impian itu sudah ada, matahari sudah mulai terbit di MPI, Majelis yang sejak lama terlantar dan tak diminati. Tentu dengan semangat kerja teman-teman dari MPI, beserta keterbukaan Pak Basori yang mau menerima beberapa konsep yang kami ajukan pada beliau.

Saat itu, mungkin untuk pertama kalinya, MPI mengadakan sebuah acara yang terbilang besar, dengan tema yang benar-benar baru ; yaitu seputar website. Barangkali juga terprovokasi oleh Pwmu.co yang begitu produktif menerbitkan tulisan, dibawah binaan Pak Nadjib Hamid yang seolah tiada lelah berkarya untuk Muhammadiyah.

Tugas selanjutnya, bagaimana membesarkan BlitarmuID, disamping bagaimana membangun kesadaran warga Muhammadiyah untuk tidak saja menjadi konsumen media, tapi juga produsen, yang memproduksi beritanya sendiri, gagasanya sendiri, pemikirannya sendiri, dan karyanya sendiri.

Peran semua pihak sangat dibutuhkan. Selamat berkarya, dan mari berkolaborasi. []

Blitar, 3 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz

Minggu, 28 Mei 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 2)





Dari Paguyuban Srengenge ke Majelis Pustaka dan Informasi
 
oleh A Fahrizal Aziz
Masuk ke Muhammadiyah melalui jalur IMM akhir-akhir ini saya rasakan sebagai sebuah kemudahan tersendiri, dibanding misalkan masuk dari jalur yang lain. Meskipun ini tidak bisa dijadikan patokan secara umum.

Jalur IMM adalah jalur akademisi. Dunianya ada di kampus, yang kesehariannya dihadapkan pada diskursus keilmuan. Jadi, misalkan membuat kegiatan yang berupa kajian, seminar, atau diskusi keilmuan, adalah hal yang biasa. Karena memang wilayahnya disitu.

Dulu, waktu silaturahim ke rumah Pak Handoyo, ketua Ranting Muhammadiyah Sumbersari, kami para pengurus IMM UIN Malang “tidak direstui” saat hendak melakukan kegiatan bakti sosial anak jalanan. Padahal apa yang salah? Bukankah ini merupakan kegiatan yang baik?

“Tempat kalian di kampus,” kata Pak Handoyo. Memang tidak ada pembatasan dimana kegiatan harus dijalankan, namun karena IMM, maka fokuskan saja di kampus atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kampus. Kalau ingin kegiatan pada ranah sosial yang lebih luas, bisa lewat Pemuda Muhammadiyah atau Muhammadiyah nantinya.

Ucapan Pak Handoyo tersebut tentu tidak bermaksud membatasi gerak kami di IMM, namun mengingatkan kembali bahwa ber-Muhammadiyah punya banyak jalan, tidak hanya sampai pada IMM. Sementara IMM, memang Ortom yang khusus dibentuk untuk mewadahi Mahasiswa.

Tugas utama Mahasiswa adalah belajar. Kalaupun ada Mahasiswa yang sambil bekerja mencari uang, pekerjaannya tersebut hanya bersifat sampingan. Pekerjaan utamanya tetaplah belajar : kuliah, membaca buku, menulis, dsj.

Ini berkebalikan, jika nanti sudah hidup bermasyarakat. Tugas utamanya adalah bidang pekerjaan yang ia geluti. Itulah mengapa, saya berfikir andai masuk Muhammadiyah melalui jalur Amal Usaha misalkan, sementara—sebelum menjadi pengelola Amal Usaha—tidak aktif atau bahkan tidak mengenal Muhammadiyah sama sekali.

Memang kerap kali muncul pro kontra diantara Pimpinan Muhammadiyah sendiri, bahwa karyawan AUM tersebut seharusnya otomatis menjadi kader Muhammadiyah atau agak dipaksa untuk mau juga mengurus Muhammadiyah, misalkan di ranting atau cabang tempat ia tinggal.

Namun ada juga yang tidak sepakat, bahwa pengelola AUM, tugas utamanya adalah mengelola AUM. Membesarkan AUM berarti juga ber-Muhammadiyah. Meski kadang-kadang ada juga pengelola AUM yang menggerundal ketika Muhammadiyah minta dana, padahal AUM itu ada karena Muhammadiyah.

Lain halnya jika langsung masuk Muhammadiyah, entah ranting, cabang, atau bahkan daerah. Ber-Muhammadiyah tentu bukan tugas utama, tugas utamanya mencari nafkah. Ber-Muhammadiyah bisa nomor dua, tiga, empat atau seterusnya.

Untuk itu, agar ber-Muhammadiyah sejalan dengan tugas utamanya, kadang program yang dijalankan adalah yang berkaitan dengan penguatan maisah (pendapatan). Misalkan dengan menjalankan program ekonomi tertentu. Program semacam itu penting karena program mendasar.

Untungnya konteks dakwah Muhammadiyah itu dimensinya luas, tidak sebatas di Masjid-masjid. Sehingga, mengeloa Amal Usaha, membesarkan bisnis melalui program majelis, merupakan bagian integral dari Muamalah duniawiyah yang sudah di shahihkan melalui Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Warga Muhammadiyah, yang mana urusan Muamalah duniawiyah menjadi elemen penting disamping Aqidah, Akhlak dan Ibadah.

Pemikiran itulah yang membuat saya agak berfikir ulang, jika misalkan hendak bergabung dengan Muhammadiyah. Apa kiranya yang bisa saya perbuat? meskipun ada beberapa Majelis yang mungkin memberikan ruang bagi saya, seperti Majelis Pendidikan Kader dan Majelis Pustaka-Informasi. Namun kedua Majelis ini kerap kali terlantar.

Selain karena kurang laku, kedua Majelis tersebut kadang memang kurang secara langsung menyentuh sisi kehidupan warga Muhammadiyah dibandingkan beberapa Majelis lain. Seperti Majelis PKU yang secara tajam membidangi Amal Usaha bidang Kesehatan. Majelis Dikdasmen yang mengurusi Sekolah-sekolah Muhammadiyah, Majelis Ekonomi yang membawahi beberapa Koperasi yang tentu sangat penting diakses dalam rangka bantuan pendanaan dan investasi.

Atau juga Majelis Tabligh yang pasti dicari-cari karena Masjid atau Musholla membutuhkan beberapa penceramah untuk Khotbah Jum’at atau Kajian ke-Islaman. Meski ada juga Majelis yang memiliki tugas spesifik, seperti Majelis Wakaf yang bertugas melakukan sertifikasi tanah milik Muhammadiyah agar kedepan tidak bermasalah dengan hukum.

Tapi mau bagaimana pun, orang seperti saya memang ruangnya di dua bidang tersebut. Apalagi kiprah dan pekerjaan impian saya nantinya ada di bidang media dan tulis menulis, sehingga agak lebih mudah mengartikulasikan diri di bidangnya. Memang pada akhirnya semua akan kembali pada minat dan kecenderungan masing-masing.

Itulah mengapa, sekembalinya dari “pengembaraan ilmu” dari Kota sebelah, saya beserta Khabib M. Ajiwidodo dan Atim Purnama membuat wadah bernama Paguyuban Srengenge, yang lokusnya di kajian pemikiran dan kepenulisan. Sementara Kang Khabib dan Kang Atim kala itu—setahu saya—masih di Pemuda Muhammadiyah, sebelum akhirnya masuk Majelis pasca Musyda 2015 lalu.

Kang Khabib masuk Majelis Pendidikan Kader PDM Kota dan Kang Atim masuk di Lembaga Dakwah Khusus PDM Kab. Seperti sudah saya prediksi sebelumnya, sangat kecil kemungkinan kami masuk diluar Majelis atau Lembaga itu.

Sementara saya masih fikir-fikir. Kata Kang Atim, saya terlalu banyak mikir. Mau gabung ke Pemuda mikir dulu, mau masuk ke Majelis juga masih mikir. Bukannya apa-apa, hanya saja saya masih berfikir, apa gerangan kontribusi yang bisa saya lakukan jikalau seandainya bergabung. Lagipula, saya orang baru, belum tahu suasananya. Belum genap setahun kembali ke Blitar. Butuh belajar “membaca” realitas.

Sampai kemudian, selepas acara bedah buku Muhammadiyah Jawa di LEC Garum, Pak Basori Adi mengajak saya untuk bergabung ke Majelis Pustaka dan Informasi. Entah beliau dapat kabar darimana kalau saya memang bekas wartawan, meski wartawan kelas teri. Atau setidaknya, tahu darimana kalau saya suka menulis.

Mungkin dari website Paguyuban Srengenge yang baru rilis semingguan, yang dalam waktu enam bulan berganti nama 3 kali. Namun yang terakhir, www.srengenge.id, insyallah tidak berganti lagi. []

Blitar, 2 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz

Sabtu, 27 Mei 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 1)




Memilih Muhammadiyah
 
oleh A Fahrizal Aziz
Saya bergabung dengan Muhammadiyah, secara administratif, pertama kali melalui IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) akhir tahun 2009. Itu berarti, kurang lebih tujuh tahun berselang. Satu-satunya bukti administatif yang saya miliki hanya kartu anggota IMM.

Namun sejak Aliyah, saya sudah mulai membaca buku-buku karya tokoh Muhammadiyah. Yang pertama kali—karena dulu jurusan Bahasa—adalah novel-novel karya Buya Hamka. Meski belum tahu pasti jika Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah. Baru kemudian membaca buku karya Buya Syafii Maarif yang berjudul “Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia”.

Buku-buku Buya Maarif begitu mengena, meski susah payah saya memahami karena keterbatasan wawasan mengingat kala itu saya masih pelajar aliyah. Dengan bahasa yang lincah dan dibumbui beragam metafor, Buya Maarif membuat saya penasaran untuk menelisik lebih lanjut biografinya, sampai kemudian tertulis bahwa beliau adalah Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Buya Maarif sepertinya tidak saja melahap banyak buku ilmiah, melainkan juga buku-buku karya sastra. Baru setelah kuliah, dan mengikuti esai-esainya yang secara periodik muncul di rubrik resonansi Harian Republika, saya tahu jika Buya Maarif adalah pengagum Mohammad (Allama) Iqbal, sastrawan besar asal Pakistan.

***
Karena masuk melalui jalur IMM, suguhan paling terasa adalah kajian-kajian akademik lintas pemikiran. Mungkin karena sejak mengikuti Darul Arqom Dasar, sisi ketertarikan saya dalam dunia wacana begitu menguat, sehingga hampir setiap materi selalu mengajukan pertanyaan.

Hal ini ternyata menggembirakan Instruktur yang bertugas kala itu, bahwa mereka kedatangan kader yang banyak bertanya, meski barangkali juga akan menimbulkan kekhawatiran tersendiri, seandainya ekspektasi saya di IMM tidak terpenuhi.

Sejak Aliyah saya memang sudah tertarik dengan Muhammadiyah, meski dibesarkan dalam kultur “Islam Tradisionalis”. Namun entah bagaimana saya mendefinisikanya, kadang-kadang susah melepaskan bacaan “Usholli” tiap kali hendak memulai Sholat, meski tidak ada keharusan bahwa itu sepenuhnya harus saya rubah.

Pilihan Muhammadiyah bukan didasarkan atas perbandingan apapun, tidak juga karena saya merasa Muhammadiyah lebih dari yang lain, namun ini lebih karena kecocokan. Apalagi jika yang saya cari adalah keuntungan, entah keuntungan sosial maupun material, bukan IMM atau Muhammadiyah yang menawarkan keduanya.

Makanya saya tidak mau fanatik, tidak mau terlibat dalam debat urat saraf tentang mana yang benar dan salah, mana dalil yang shahih dan dhoif. Sudah ada ahlinya, dan saya meyakini apa yang saat ini telah saya pilih. Soal fiqh, memang akan banyak versi, sampai kapanpun.

Tinggal bagaimana kemudian mengartikulasikan kehadiran diri di Muhammadiyah. Bagaimana “berbuat sesuatu” dari hal-hal yang sederhana. Itulah yang membedakan antara belajar Muhammadiyah, dengan ber-Muhammadiyah. Belajar Muhammadiyah mungkin cukup dengan membaca buku, mendengarkan ceramah, atau diskusi.

Ber-Muhammadiyah perlu berbuat, perlu masuk, tenggelam, terhanyut. Karena inilah ladang ber-amal. []

Blitar, 1 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz