loading...

Senin, 30 April 2018

UNDANGAN DISKUSI, 4 Mei 2018

Setelah bulan April lalu menggelar diskusi "tadarus tokoh", bulan Mei ini akan digelar Tadarus Kebangsaan. Konsepnya tidak jauh berbeda, hanya lebih tajam lagi mengkaji pemikiran tokoh tersebut tentang kebangsaan.


Untuk itu, kami MENGUNDANG bapak/ibu, mahasiswa, pelajar, dan aktivis sosial untuk hadir dalam Diskusi Kebangsaan pada :


Hari : Jum'at, 4 Mei 2018
Jam : 13.30-15.30 WIB
Tempat : Ruang diskusi koleksi khusus Perpustakaan Bung Karno Blitar.


Tadarus kebangsaan kali ini akan mengkaji kiprah dan pemikiran H.O.S Tjokroaminoto yang notabene adalah guru dari beberapa tokoh bangsa seperti Soekarno.


Penyaji kali ini adalah Sulkhan Zuhdi dari IAIN Tulung Agung.


Silahkan hadir dan ramaikan.


Salam Merdeka


Jumat, 27 April 2018

Awal Munculnya Teologi Pembebasan



Teologi Pembebasan adalah kata majemuk dari teologi dan pembebasan. Secara etimologis, teologi berasal dari theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Teologi adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungannya dengan manusia dan alam semesta. Sedangkan kata pembebasan merupakan istilah yang muncul sebagai reaksi atas istilah pembangunan (development) yang kemudian menjadi ideologi pengembangan ekonomi yang cenderung liberal dan kapitalistik dan umum digunakan di negara dunia ketiga sejak tahun 60-an.

Teologi Pembebasan muncul di kawasan Amerika Latin sebagai respon atas kondisi sosial, ekonomi dan politik saat itu. Sejak tahun 1950-an negara-negara kawasan Amerika Latin ini melakukan proses industrialisasi di bawah arahan modal multinasional. Namun karena mementingkan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang begitu tajam. Urbanisasi meningkat tajam. Kaum proletar –kelas buruh– tumbuh dengan cepat. Inflasi melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan diktator militer. Pada saat yang sama, otoritas gereja Katholik mulai terbuka terhadap perubahan dan pandangan-pandangan dari luar.

Teologi Pembebasan merupakan gerakan yang telah dilakukan oleh para Romo, Uskup, dan bagian-bagian lain gereja sejak awal tahun 60-an. Mereka ini memimpin “Gereja untuk Orang Miskin”. Akan tetapi baru pada tahun 1971, Gustavo Gutierrez, asal Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan secara tertulis lewat bukunya, Teologia de la Liberacion. Tokoh setelah Gustavo, Juan Louise Segundo (Uruguay), Hugo Asmann (Brazil) dan John Sabrino (El-Salvador), adalah pastor yang relatif punya otoritas dan profesional secara akademis. Karena itu Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika Latin.

Pemahaman Teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional, menurut para uskup Amerika Latin menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masalah-masalah kongkret. Teologi Barat, dianggap hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.

Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku.

Dalam konteks Teologi Pembebasan, Yesus adalah Sang Pembebas. Yesus lahir untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi.

Pengikut Teologi Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxian. Peranan marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan ketidakadilan dan praktek kekerasan. Sementara pada sisi lain mereka menolak filsafat materialisme, ideologi ateis dan pengertian agama sebagai candu masyarakat.

Kesadaran tentang keperluan teologi serupa, rupanya juga muncul di kalangan umat Isslam. Kita bisa menyebut Hassan Hanafi di Mesir yang terkenal dengan gagasan Kiri Islam, Ziaul Haque di Pakistan yang menulis buku yang cukup provokatif, “Revelation and Revolution in Islam” (Wahyu dan Revolusi dalam Islam), Ali Syari’ati di Iran yang dianggap sebagai ideolog Revolusi Iran dan harus pula disebut nama Asghar Ali Engineer, India. (Red.S)
____________
Sumber Pustaka
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baehaqy, (Yogjakarta: LKiS, 2007)


Lima Pengertian Tauhid Menurut Amien Rais



Menurut cendekiawan Muslim, Amien rais, sesungguhnya Tauhid mengisyaratkan lima pengertian, yaitu:

Pertama,   unity of Godhead, yaitu kesatuan ketuhanan.

Kedua,  unity of creation, yaitu kesatuan penciptaan. Seluruh makhluk di alam semesta ini, baik yang kelihatan maupun yang tidak, yang lahir maupun yang gaib, merupakan bagian dari ciptaan Allah.

Ketiga,  unity of mankind, yaitu kesatuan kemanusiaan. Jadi, perbedaan warna kulit, bahasa, geografi, sejarah, dan segala perbedaan yang melatarbelakangi keragaman umat manusia tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi.

Keempat,  unity of guidance, yaitu kesatuan pedoman hidup. Bagi orang yang beriman, hanya ada satu pedoman hidup, yakni yang datangnya dari Allah yang berupa wahyu. Karena Allah yang menciptakan manusia, maka Allah pula yang paling tahu apa yang baik atau buruk bagi manusia, sehingga kita betul-betul dapat mencapai kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

Kelima, unity of the purpose of life, yaitu kesatuan tujuan hidup. Bagi orang yang beriman, satu-satunya tujuan hidup adalah untuk mencapai ridha Allah. (Red.s)

Cita-cita Menjadi Youtuber


Oleh A Fahrizal Aziz


Ada yang memilih resign sebagai pegawai bank, demi fokus menjadi youtuber. Padahal menjadi pegawai bank adalah dambaan banyak orang, sebab gajinya cukup tinggi, dan kerjanya selalu rapi.


Lalu apa yang ditawarkan youtube, sehingga ia lebih memilih sebagai youtuber? Mungkin banyak orang bertanya-tanya.


Youtube adalah situs berbagi video, yang mengundang siapapun menjadi kreator, lalu mengunggahnya, dan kemudian dilihat banyak orang.


Lalu dapat uang darimana?


Untuk menarik lebih banyak kreator, youtube yang juga satu payung dengan google, menawarkan pendapatan dengan cara monetize video. Jadi, setiap video yang diunggah, akan diselipkan iklan, dan dari iklan-iklan tersebut kreator mendapatkan penghasilan.


Bagaimana syaratnya? dulu cukup mudah, tinggal membuat akun youtube lalu mencari fitur monetize, lalu mengaktifkannya. Sekarang ada syarat-syaratnya, seperti subcriber/pelanggan minimal 1.000, view dalam setahun min 10.000 dengan durasi ditonton 4.000 jam.


Jadi tidak bisa langsung, harus melalui tahap-tahap, dan harus telaten. Tidak sekali bikin akun youtube lalu bisa langsung dimonetize.


Video yang diunggah pun harus orisinil, tidak boleh dari video yang sudah ada. Kalaupun membuat potongan-potongan video dari yang sudah ada, jangan sampai lebih dari 30 detik.


Jadi, misal ada 10 video yang ingin digabungkan, masing-masing harus dipotong kurang dari 30 detik, lalu digabungkan.


Begitupun dengan pemilihan lagu pengiring. Youtube menawarkan beberapa lagu yang bisa digunakan backsong, ketika kita sedang mengedit video. Lagu-lagu yang ditawarkan youtube tidak akan melanggar hak cipta. Beda halnya ketika menggunakan lagu dari penyanyi terkenal, biasanya akan langsung terdeteksi hak ciptanya.


Lalu berapa hitungan penghasilannya? Penghasilan dihitung dari jumlah penonton, berapa iklan yang muncul dan barangkali di klik oleh penonton. Sebab ada iklan yang bentuknya video beberapa detik, ada juga yang hanya flyer atau berupa link.


Youtube pun kadang mempertimbangkan durasi. Misalkan durasi video 3 menit. Apakah pengunjung menonton selama 3 menit utuh, atau hanya beberapa detik saja? Itu mempengaruhi, sebab kadang kala iklan tayang di menit pertengahan dari total durasi.


Memang tidak bisa dipastikan, sebab kadangkala pihak google memberi catatan tertentu, yang membuat pendapatan turun. Tetapi bisa kita kira-kira, kita ambil saja kemungkinan terburuk.


Misal penonton me-klik atau menonton utuh iklan di video kita, anggap saja kita mendapatkan 50 rupiah/view. Terlalu kecil ya?


Tapi bagaimana misalkan yang menonton video kita 10.000 orang, sementara ada 10% yang sekaligus mengakses iklan kita. Tinggal dikali 50x1000, dapatnya Rp 50.000. Masih kecil?


Lalu bagaimana jika yang me-klik iklan ada 10.000 dari total penonton 100.000? Hasilnya sudah 500.000.


Sekarang mari kita lihat viewer/penonton rata-rata youtuber kondang Indonesia, total pasti di atas 1 juta penonton. Atau penonton video klip musik, yang bahkan di atas 50 juta. Video klip "Surat cinta untuk starla" ditonton lebih dari 180 juta.


Dengan jumlah segitu, tentu sudah besar sekali hitungannya. Korporasi-korporasi besar pun juga mulai mempertimbangkan untuk beriklan lewat youtube daripada televisi. Pasang iklan di televisi, apalagi pada jam primetime antara 18.00-20.00 pun juga mahal, berapa menit saja sudah ratusan juta.


Jadi misal dalam sebulan saja total video kita dikunjungi 1 juta orang, dan perkirakan saja ada 100.000 pengakses iklan, paling tidak sudah mendapatkan "gaji" 5 jutaan. Jumlah tersebut bisa bertambah atau berkurang.


Uniknya, para kreator video di youtube, rata-rata didominasi anak-anak muda. Bahkan banyak youtuber yang masih pelajar, namun sudah menjadi jutawan. Keahliannya meracik konten dan editing video, membuat channel youtubenya dibanjiri penonton.


Karenanya, banyak anak-anak muda yang bercita-cita menjadi youtuber. Kursus IT makin laris, kuliah jurusan komunikasi visual juga kian bergengsi. Sebelum youtube, sebenarnya sudah ada blogger, yang juga menghasilkan uang. Hanya kurang dikenal. Lebih terkenal vlogger, sebutan untuk kreator video log.


Selamat datang di era yang serba terbuka, dimana kreatifitas benar-benar dihargai. []


Blitar, 26 April 2018


Jumat, 20 April 2018

Siapa Layak Menantang Jokowi?

Siapa kira-kira yang layak menjadi penantang Jokowi pada pilpres 2019? Mungkin banyak yang akan menjawab Prabowo Subianto, apalagi jika merujuk survey. Prabowo tokoh yang paling elektable setelah Jokowi.


Tapi jika melihat track record, sebenarnya ada banyak penantang lain, yang kontestable, yang berlatar sipil dan punya rekam jejak sebagai kepala daerah. Misalkan, seperti TGB Zainul Majdi, Sukarwo, dan Ahmad Heryawan.


Atau, figur-figur parpol yang pernah berada di eksekutif seperti Dzulkifli Hasan. Mungkin juga (Purn) TNI, Jenderal Bintang 4 seperti Moeldoko dan Gatot Nurmantyo.


Tetapi hasil survey merujuk ke Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Bukan tanpa sebab, Prabowo sudah berkontestasi sejak 2004, namanya sudah masuk arena, sudah dibidik lembaga survey, sudah pernah maju sebagai cawapres dan sekaligus capres. Meski nasibnya tidak semulus SBY, yang juga satu angkatan di Militer.


Kenapa bisa demikian?


Sebelum maju pada pilpres 2004, SBY adalah Menteri di era Gus Dur dan Megawati. Jabatannya Menteri Koordinator Polhukam, lalu mendirikan partai, dan menang pilpres, 2009 kemudian Demokrat jadi pemenang pemilu.


Lima tahun berikutnya nyaris tak tertandingi. Pada pilpres 2009, ia unggul di atas 60%. Megawati, Jusuf Kalla, Prabowo dan sekaligus Wiranto benar-benar tak berkutik. Padahal SBY berpasangan dengan tokoh yang tingkat elektabilitasnya sangat rendah, karena tidak terbidik lembaga survey sebelumnya, yaitu Boediono.


Namun dalam politik memang selalu ada citra negatif, yaitu banyaknya kader Partai Demokrat yang tertangkap KPK, terlibat skandal korupsi berbagai macam instansi.


Tetapi terlepas dari itu semua, SBY mengakhiri masa jabatannya dengan mulus, dengan preseden yang baik sebagai seorang Presiden. Beda hal dengan Soeharto yang memilih mundur, B.J Habibie yang ditolak LPJnya oleh MPR, Gus Dur yang diturunkan, atau Megawati yang kalah pilpres sebagai petahana.


Kini SBY tengah mempersiapkan "putra mahkota", tengah menjalankan proses kaderisasi politiknya. Sama halnya (mungkin) dengan Megawati, yang nampak memberikan ruang terbuka untuk putrinya, Puan Maharani.


Prabowo masih berada dalam arena, belum menyerah, meski usia tak muda lagi. Politisi seangkatannya sudah meredakan ambisi, termasuk mantan atasannya Wiranto yang barangkali akan mengakhiri jabatan birokrasinya sebagai Menko Polhukam.


Prabowo mungkin terlambat mempersiapkan diri, karena selepas diberhentikan dari TNI, selepas meledak peristiwa 1998, ia menghilang dari peredaran. Ada yang menyebutkan tinggal di luar negeri. Baru kembali pada 2004, sementara tokoh lain sudah mempersiapkan segalanya, menata strategi politiknya. Meski tidak semua sukses.


Amien Rais, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, Surya Paloh, Aburizal Bakri termasuk sederet tokoh seangkatan, yang sudah tidak lagi tampil di depan layar. Karenanya mungkin juga, ketika pilpres 2014 lalu ada kesempatan maju sebagai capres, Megawati lebih memilih figur lain. Mungkin sudah saatnya untuk duduk tenang di belakang, dan memberikan ruang bagi kader-kader yang lebih junior untuk tampil.


Karena itupula barangkali, B.J Habibie kala itu mematok kriteria Presiden adalah usia 40-60 tahun. Pada rentang usia itu, di masa depan Indonesia memiliki banyak figur. Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, TGB Zainul Majdi, Sugianto Sabran, M. Ridho Ficardo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Emil Dardak, Azwar Anas, dll adalah sederet nama yang perlu dipertimbangkan.


Tinggal political will dari partai politik yang ada, juga kesadaran masyarakat untuk menilai calon dari rekam jejak. Maka sangat menarik ketika popularitas dan elektabilitas diukur dari kinerja, jika Presiden nanti secara struktural muncul dari Walikota, Gubernur, lalu naik menjadi Wakil Presiden dan kemudian menjadi Presiden.


Meski tidak menutup kemungkinan tokoh diluar eksekutif atau kepala daerah, bisa juga berkontestasi, dengan rekam jejak yang nyata, gagasan dan program yang menyakinkan. Sehingga dalam kepemimpinan nasional, kita akan selalu memiliki alternatif.


Jangan sampai, sebagaimana yang dulu dikhawatirkan Soekarno, demokrasi dikuasahi oleh para kapitalis. Yang tanpa punya visi misi jelas, apalagi prestasi politik dan birokrasi, namun tampil ke permukaan, hanya karena punya uang, punya media, citranya dipoles sedemikian rupa.


Ada banyak yang layak menjadi penantang Jokowi, dan barangkali juga menggantikannya, namun popularitas dan elektabilitas kurang mendukung, meski secara kapasitas tidak diragukan lagi. []


Blitar, 19 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com


Jumat, 13 April 2018

Pak Amien dan Ganti Presiden

Benarkah Pak Amien Rais ikut dalam gerakan #2019gantipresiden yang ramai menjadi tagar di sosial media, dan bahkan mewujud dalam bentuk kaos dan bermacam asesorisnya?


Jika iya, toh itu sudah biasa. Sejak orde baru, Pak Amien Rais termasuk tokoh terdepan yang mengharap Pak Harto mundur, dengan 10 argumentasi kenapa Pak Harto, yang sudah 30 tahun lebih berkuasa itu, harus diganti.


Pak Amien Rais juga tokoh penting, meski keputusan bersifat komunal, atas diturunkannya Gus Dur dan diganti Megawati. Tentu ini peristiwa politik yang sangat bersejarah.


Namun seberapa kuatkah Pak Amien Rais untuk saat ini? Sepertinya masih kuat, meski barangkali tak sekuat waktu masih menjadi Ketua MPR RI, atau ketika menjadi Ketua Umum PAN. 


Basis akar rumputnya pun mungkin juga masih solid, salah satunya ketika Pak Amien mendapat otokritik dari salah satu kader partai baru, langsung ada barisan yang "berfatwa haram" memilih partai baru tersebut.


Bagaimanapun, Pak Amien Rais adalah legenda. Gelar sejarahnya pun sangat bergengsi, yaitu bapak reformasi. Pak Amien pada akhirnya akan terus disebut dalam sejarah Indonesia. Sebagai aktor peralihan era.


Sayangnya, Pak Amien Rais tidak pernah mulus dalam kontestasi pilpres, sekalipun namanya sangat terkenal, bahkan sampai sudut-sudut negeri, hampir semua kenal Amien Rais.


Pada pilpres 2004, ketika namanya masih berkibar, dan suasana reformasi yang masih menghangat, justru hanya sekitar 14,66% saja masyarakat yang memilihnya. Masih dibawah Bu Mega, Pak Wiranto, dan apalagi Pak SBY.


Padahal konstituen Muhammadiyah, konon hampir 30% penduduk Indonesia. Suara NU jelas terpecah ke Mega-Hasyim dan Wiranto-Salahudin. Meskipun mungkin ada beberapa yang ke SBY-JK, sebab JK juga representasi tokoh NU.


Saat pada akhirnya SBY terpilih, yang notabene berlatar TNI, orang banyak merenung, lantas reformasi macam apa yang diinginkan, kalau tokoh reformasinya saja, yang menjadi simbol peralihan era, justru mendapat dukungan yang tidak sampai dari seperempat rakyat Indonesia.


Akhirnya orang menyadari ada kesenjangan elit dan rakyat. Mungkin para elite atau para aktivis ingin rezim berganti, era berubah, namun rakyat masih merindukan sosok pemimpin militer, yang kuat, smiling seperti Pak Harto. Maka mulai bermunculan meme "penak jamanku to", dengan foto Pak Harto tersenyum sambil melambaikan tangan.


Pada pilpres berikutnya, SBY nyaris tak tertandingi, sekalipun berpasangan dengan figur yang tak masuk incaran survey. Dalam satu putaran saja, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto bisa disisihkan. Kemenangan elektoral yang luar biasa, di atas 60%, dengan tiga pasang calon.


Lebih tinggi dari suara Jokowi-JK yang hanya unggul tipis dari Prabowo-Hatta.


Lalu apa juga makna dari ganti Presiden, dan seberapa berpengaruhkah figur Pak Amien Rais dalam gerakan ini?


Berbeda ketika Pak Amien Rais menghantam rezim orde baru, dan membuat argumentasi kenapa Pak Harto harus mundur dan rezim harus berganti. Kali ini gerakan #2009gantipresiden syarat tendensi, untuk memenangkan Prabowo.


Salah satu deklaratornya, Mardani Ali Sera dari PKS, juga bukan tanpa kepentingan. Ia masuk dalam radar cawapres Prabowo. Gerakan ini akan menjadi semacam "prestasi" yang mungkin jadi pertimbangan, apakah sosoknya layak mendampingi Prabowo.


Beda hal dengan suara-suara kritis sebelum 1998, yang nyaris tanpa tendensi kekuasaan. Orang keluar masuk penjara karena berbeda paham dengan rezim, kritik yang mereka suarakan bertaruh dengan moncong senapan atau sniper yang kapan saja bisa menembus dada atau kepalanya.


Tanpa tahu, apakah setelah semuanya berubah hidupnya akan lebih enak, atau justru tambah sengsara. Seperti para pejuang yang nyaman hidup dibawah kolonial Hindia-Belanda, yang bisa makan enak dan sekolah tinggi sampai eropa, namun justru terlunta-lunta di negaranya sendiri yang telah merdeka.


Pak Harto dengan kebesaran hatinya, sebenarnya sangat menyadari bahwa ia harus segera mengakhiri jabatannya. Namun dalam sambutannya, ia berujar : apakah setelah saya mundur keadaan akan menjadi lebih baik?


Sebagaimana dulu, kita berharap rezim berganti, tapi nyaris tak pernah bisa menerka apakah penggantinya akan lebih baik?


Hal tersebut terulang kini, ketika orang sibuk mengupas rezim, mengkritisi, dan menggalang gerakan untuk mengganti. Tapi kita secara sadar juga belum tahu apakah nanti penggantinya bisa lebih baik, apa gagasan darinya untuk memperbaiki kondisi negeri, apa kira-kira hal yang menyakinkan bahwa penggantinya nanti tidak justru lebih mengecewakan?


Pak Amien Rais sebagai King Maker, pelaku sejarah, orang yang pernah terlibat dalam sistem, tentu sangat memahami hal tersebut. Salam takzim dan hormat kepada beliau, dan berharap ada pencerahan publik agar tak sekedar mengganti, tapi benar-benar serius menguji penggantinya.


Agar kita lebih yakin, bahwa 2019 memang harus ganti Presiden.


Tabik,


Blitar, 13 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz

Rabu, 11 April 2018

Kitab Suci, dan Segala yang Fiksi

Sejak pidato "2030 Indonesia bubar" dan puisi "Ibu Indonesia", novel dan puisi jadi semacam bahan tertawaan. Meski sebenarnya bukan novel dan puisinya, namun orang yang mempergunakannya. Lalu bagaimana ketika Rocky Gerung menyebut bahwa kitab suci adalah fiksi?


Tentu banyak yang berkeberatan jika fiksi selalu identik dengan kebohongan, palsu, tidak ilmiah, rekayasa, dlsb.


Ketika membaca cerpen, kita sadar bahwa itu karangan. Rocky bermaksud menjelaskan bahwa fiksi bukan berarti bohong, palsu, omong kosong dan sebagainya. Makanya ia membedakan istilah fiksi dan fiktif.


Sebuah novel, sekalipun diangkat dari kisah nyata seperti Laskar Pelangi dan Negeri 5 Menara, toh tetap masuk karya fiksi. Sementara istilah non fiksi, diidentikkan dengan berita, esai, jurnal ilmiah, dsj.


Tentu jangan diartikan pula ketika kitab suci disebut fiksi, maka langsung menganggap itu sebuah kebohongan, kepalsuan, dan semacamnya.


Dalam kitab suci ada "puisi", ada kalimat demi kalimat yang perlu ditafsiri. Ada cerita, narasi tentang yang sudah berlalu, atau yang belum terjadi seperti surga neraka. Ada petuah langsung dan tak langsung, sebagaimana pengarang mencoba menyelipkan amanat dalam novel yang dikarangannya.


Dalam karya fiksi, ada nalar yang diasah, ada imaji, dan ada nilai etis yang dibentuk.


Jadi, selamat buat Rocky Gerung yang telah berhasil mengorek kedangkalan sebagian orang, yang masih menganggap karya fiksi sebagai suatu khayalan semata.


Bahwa orang perlu tahu kalau novel yang bagus pun butuh riset, kajian lintas literatur, wawancara kepada yang ahli, sampai kontemplasi tingkat tinggi. Bukan sekedar mengarang seenak hati.


Sudah saatnya kita menghargai karya fiksi, sudah saatnya kita perlu menghargai nalar dan imajinasi. Sudah saatnya kita menghidupkan "rasa", di tengah masyarakat yang hanya mengandalkan emosi, dan kehilangan sensitifitasnya. []


Blitar, 11 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com


Senin, 09 April 2018

Mendukung Jokowi Lagi?

Apa kira-kira 2019 nanti masih (mau) mendukung Jokowi?


Begitulah salah satu pertanyaan yang datang dari beberapa teman, yang pada pilpres 2014 silam sempat menjadi "partner debat", ada yang diantaranya netral, tapi ada juga yang super fanatik dengan Prabowo sebab partainya menjadi salah satu pendukung.


Saya tidak akan menjawab spesifik, sebab bukan bagian dari tim kampanye, atau sekedar relawan. Saya hanya "free citizen" yang sedang menjalankan hak berpendapat sekaligus hak politik untuk memilih.


Masalahnya, kenapa 2014 silam harus ikut-ikutan terlibat dalam "perang urat saraf" dukung mendukung capres? Tidak ada guna, nambah musuh, dan bikin hidup tidak tenang. Apakah sampai seperti itu?


2014 adalah kali kedua saya ikut nyoblos dalam pilpres. Pertama kali pada 2009, ketika usia memasuki 17 tahun. Lima tahun berikutnya, melalui tulisan-tulisan khusus bertema politik di Kompasiana, saya ikut berpendapat soal pemilu.


Sayangnya, tulisan yang banyak terbaca adalah part dukungan untuk Jokowi-JK, padahal ada beberapa tulisan sebelum itu, yang justru mengkritisi ketersediaan Jokowi untuk nyapres, sementara baru 2 tahun mejabat Gubernur DKI Jakarta.


Selain itupula, sebenarnya ada tokoh lain yang saya kagumi, dan berharap tokoh ini bisa diusung menjadi Capres atau cawapres. Ya, meskipun tokoh ini tidak jadi naik, namun style busana dan slogannya "dikopi" oleh Jokowi.


Busana hitam-putih, sepatu ketz dan slogan kerja, kerja, kerja sebelumnya adalah khas Dahlan Iskan. Dalam konvensi Capres Partai Demokrat, Dahlan Iskan mengungguli beberapa nama seperti Anies Baswedan, Gita Wirjawan, Dino Patti Jalal, dll. Sayang suara Partai Demokrat terjun payung sehingga tidak bisa mengusung capres.


Apalagi, karena elektabilitas Jokowi yang sangat tinggi, ketika ia memutuskan bersedia Nyapres, otomatis membenamkan nama-nama potensial lain, baik yang berpartai dan apalagi yang tidak, sampai hanya mengerucut pada dua pasangan saja. Pilpres pun menjadi panas.


Jokowi adalah "gejala" dalam politik, bukan penyebab politik itu sendiri. Sangat ajaib ketika sosok yang baru naik dan dikenal, bisa mengalahkan figur yang siap nyapres sejak 2004 seperti Prabowo, yang 10 tahun kemudian berada di top performance terutama dalam hal elektabilitas.


2019 barangkali akan sangat berbeda. Jokowi sebagai calon petahana, dengan "cengkeraman" yang lebih kuat di masyarakat. Meskipun dalam politik juga muncul teori resistensi. Jika calon A dibenci dan dihabisi pendukung calon B, maka pendukung calon A makin mengeras. Begitupun sebaliknya.


Hanya saja, sebagaimana yang dikatakan Rizal Ramli, debat politik kita makin norak. Kalau orang mengkritik pemerintah, maka akan langsung disebut pendukung Prabowo. Begitupun sebaliknya, jika mengkritik Prabowo berarti mendukung Jokowi.


Padahal kritisisme itu perlu terus digaungkan. Kita mengkritisi diktum revolusi mental yang hanya sekedar slogan, atau pencabutan subsidi besar-besaran. Kita juga mengkritik pidato penebar pesimisme, rasa benci dan diksi yang kurang etis diungkapkan apalagi oleh seorang elite parpol.


Dalam suasana politik yang "tanpa pilihan", masalahnya kita harus tetap memilih, sebagai warga negara yang baik. Jika capres tetap, maka bandulnya adalah cawapres.


Artinya bukan dukung mendukung secara membabi buta. Lebih pada hak dan preferensi, sebab dalam pemilu tidak ada yang netral. Tidak mungkin nyoblos keduanya, atau tidak nyoblos sama sekali. Harus salah satu. []


Blitar, 10 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz


Buku Ini Menawarkan Tradisi Membaca Dan Menulis Sebagai Metode Progresif Pengembangan Diri




Untuk mewarnai jagat literasi, Penerbit Progresif kembali menerbitkan buku. Kali ini adalah buku “Literasi Sampai Mati (Jalan Progresif Membaca, Menulis, dan Demokrasi Partisipatoris)” yang ditulis oleh Nurani Soyomukti, penulis asal kota kecil Trenggalek.

Buku ini ingin mengajak pembaca menjalani tradisi literasi, terutama tradisi membaca dan menulis, serta berperan dalam dunia sosial dan politik yang berbasiskan kecerdasan literasi. Keunikan buku ini, menurut Eko editor Penerbit Progresif, adalah terletak pada isinya yang provokatif melalui cerita dan kisah hidup penulis yang diuraikan dalam buku ini.

Menurut si editor, dalam buku ini kita bisa melihat bagaimana dinamika literasi dalam diri penulis berkembang. Pertaubatan dari aktivis radikal yang memegang pikiran ideologis yang kaku, hingga kemudian ikut masuk sistem demokrasi yang menurutnya lebih rasional untuk diperjuangkan. “Sepertinya ia kemudian menawarkan pilihan: Apa jika bukan demokrasi lewat pemilu? Demokrasi komunis dan Khilafah yang tidak menginginkan demokrasi itu sendiri?”, demikian tulis editor.

Ditambahkan oleh catatan editor bahwa  penulis menguraikan berbagai evolusi pemikiran bersamaan perubahan-perubahan peran. Sebagai sebuah buku yang dimaksudkan untuk memotret aspek literasi, buku ini cukup berhasil dalam menyuguhkan bagaimana pentingnya tradisi membaca dan menulis sebagai budaya yang harus dijaga. Keterlibatan penulis dalam aksi-aksi literasi sejak sekolah hingga ia pulang kampung tetap menjadi kisah utama buku ini. Mulai dari pertama kali “jatuh cinta” pada buku, hingga menjadi penulis banyak judul buku dan memetik peran sosial yang cukup partisipatif dari kedalamannya menerjuni danau Literasi.

“Pesan dalam buku ini adalah: Membaca dan menulis adalah jalan progresif yang harus dilalui oleh siapapun yang ingin menjadi subjek indenden dalam kehidupan. Jalan membaca buku dan menulis adalah jalan menjadi manusia yang ingin mendapatkan pencerahan dan kontrol terhadap dunianya, bukan objek penindasan sistem budaya yang hanya menyuruh orang untuk meniru semata”, tulis editor. (Red.EN)


Jumat, 06 April 2018

Sinyal Kemenangan Khofifah-Emil

Benarkah suara Khofifah cukup tinggi di kalangan Ibu-ibu? Mungkin banyak yang menyebut demikian, apalagi posisi Bu Khofifah sebagai Ketua Umum Muslimat NU Pusat. Sementara, hampir disetiap desa/dusun ada yasinan Ibu-ibu Muslimat seminggu sekali.

Forum-forum itu bisa "dibisiki" agar mendukung Khofifah. Toh tidak ada salahnya juga. Namun ternyata Ibu-ibu tidak semua berfikiran begitu, ada juga--meski belum tersurvey--yang tetap mengingingkan Gubernur laki-laki, atau berfikiran bahwa Gubernur ideal itu laki-laki.

Beda antara Bu Khofifah sebagai ketua Muslimat, yang hanya memimpin kaum Muslimat, dengan Gubernur sebagai pemimpin administratif sebuah Provinsi. Itulah barangkali, meski suara Ibu-ibu Muslimat itu sangat besar jumlahnya, namun Khofifah tetap kalah dalam dua kali Pilgub Jatim.

Bedanya, kali ini Khofifah berada di kubu Pakde Karwo, yang representasi kaum nasionalis. Suaranya mungkin akan bertambah. Meski ada yang menyebut bahwa suara konstituen PDIP juga besar di kubu Gus Ipul. Namun sosok Puti masih terlalu baru untuk diperkenalkan ke publik Jatim, orang belum banyak mengenal.

Dalam beberapa survey, popularitas Puti masih dibawah 30%. Masih kalah dibanding Emil Dardak yang hampir menyentuh 50%. Sementara popularitas Khofifah unggul sekitar 4-5% dari Gus Ipul. Lebih dari 90% warga Jatim sudah mengenal Khofifah dan Gus Ipul.

Dalam berbagai survey yang rilis bulan maret lalu, duet Khofifah-Emil hanya unggul tipis dari Gus Ipul-Puti. Keunggulannya kurang dari 3%. Bahkan survey litbang kompas hanya mengunggulkan Khofifah-Emil 0,5 persen.

Keunggulan yang sangat tipis ini tentu tidak bisa menjadi acuan, atau sekedar bayangan bahwa Khofifah-Emil akan menang mudah. Namun langkah Gus Ipul juga cukup berat, mengingat Khofifah adalah kompetitor yang cukup kuat dalam dua Pilgub (2008 dan 2013).

Uniknya, Pilgub kali ini hanya diikuti dua pasangan, yang orang sering menyebutnya "all NU final". Beda dengan dua Pilgub sebelumnya. Khofifah kini mendapat dukungan dari SBY dan Pakde Karwo. Suara NU pun sudah pasti terpecah. Diperkirakan hanya sekitar 11% yang belum menentukan pilihan.

Debat kandidat nanti akan menjadi moment penting, dimana para pemilih mungkin akan merubah pilihannya, sementara pemilih yang belum menentukan sikap, akan menjadikan debat kandidat sebagai tolok ukur.
Sejauh ini, dilihat dari aspek manapun, Khofifah-Emil masih unggul, meski sangat tipis. Kenapa debat kandidat akan sangat menarik? Sebab ada Emil Dardak, yang pada usia 22 tahun sudah meraih Ph.D di Jepang.

Debat mungkin akan berlangsung seru, datable, penuh gagasan, dan sinyal kemenangan Khofifah-Emil nampak lebih terlihat, meski kemungkinan-kemungkinan lain bisa saja terjadi. Peluang masih sama besarnya. []

Blitar, 6 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Kamis, 05 April 2018

Komunitas Literasi Memandang Buku Lebih Utama Daripada Tulisan Media Online




Di era digital ini, muncul kekuatiran tentang kedangkalan media online. Demokrasi digital yang memungkinkan setiap orang bisa menulis di media tersebut punya potensi pendangkalan berpikir bagi sebagian kalangan.  Demikian ditulis oleh akun QLC (Quantum Litera Center), salah satu komunitas literasi di Trenggalek. Komunitas Literasi di kota kecil ini lebih memilih jalur penerbitan buku karya para penulis lokal.  Mereka memandang bahwa membaca buku cetak itu lebih utama dibanding membaca buku online.

Melalui postingan facebooknya, QLC mengajak menghitung  jumlah kata-kata dalam semua media online baik website atau blog. Ternyata jumlahnya tak akan bisa mengalahkan jumlah kata-kata yang sudah ditulis dalam buku oleh para penulis sejak peradaban menulis muncul hingga sekarang. Jika membuka website atau blog, akan kelihatan bahwa kebanyakan keluar adalah artikel-artikel atau berita. Artikel dan berita yang muncul bahkan ketika dipindah di WORDS dengan (katakanlah) spasi 1, jumlahnya bahkan ada yang tak sampai 1 halaman.

QLC memandang bahwa tulisan di media online (website atau blog) jumlahnya memang terbatas. Karena ditulis bukan berdasarkan kedalaman. Ada penulis yang mencoba menulis panjang di media online, tetapi jumlahnya pun sanga sedikit. Sedangkan tulisan yang menguraikan tentang suatu hal secara utuh tapi bersifat umum dan tematik semacam dilakukan Wikipediapun, ternyata tidak bisa memajang banyak (tema). Meskipun  jilid-jilid ensiklopedik lewat Wikipedia itu bisa dipajang oleh siapa saja yang mau melakukannya, ternyata juga seringkali tidak lengkap. Masih tetap kalah jauh dengan ensiklopedia cetak yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu dari berbagai macam penerbit—yang rata-rata berada di perpustakaan kampus.

Sementara itu media online juga membuka peluang untuk para penulis pemula yang masih belajar dan ingin memajang tulisannya. Tingkat kedalaman dan keluasan tema tetap tak bisa dibandingkan dengan buku yang ada di perpustakaan. Apalagi kalau media online yang menyajikan tulisan berupa  NEWS. Meskipun tiap hari memuat berita, tapi tetap saja ukuran foto lebih lebar daripada isi tulisan. Apalagi prinsip media online seperti ini memang menganggap bahwa foto harus lebih ditonjolkan daripada isi tulisan. Belum lagi kalau bicara isu hoax, di mana media online paling banyak untuk meyebarkannya.

Karena itulah, menurut QLC, membaca buku lebih punya manfaat yang lebih dalam dibanding baca media online. Dicontohkan bahwa dosen memang akan suka jika mahasiswanya banyak membaca buku. Terutama buku tentang tema tertentu, satu tema tapi sumbernya banyak dan mendalam. Dan itu tak bisa mengandalkan google, yang nanti ketemunya kebanyakan adalah artikel di website yang belum tentu penulisnya sudah ahli terhadap suatu tema—atau bisa jadi baru belajar menulis.

Postingan itu mendapatkan tanggapan komentar dari akun bernama Haredhika Lukiswara. Ia berkomentar: “Saya orang jadul yang lebih puas baca tulisan di kertas sambil membauinya daripada berlama-lama baca e-book yang bikin mata pedes. Hehe. Jikalau mahasiswa cari referensi di dunia online, saya sarankan pakai jurnal ilmiah yg terindeks daripada asal comot dari  web”. (Eko.N)

Selasa, 03 April 2018

Menanggapi Puisi Ibu Sukmawati

Apa yang dimaksud syariat Islam, terutama dalam puisi "Ibu Indonesia" yang dikarang Sukmawati Soekarnoputri? Tentu ini menjadi hal yang penting dibahas, sebelum mengedepankan emosi, apalagi berdasar video yang sudah dipotong dan dibumbui emotikon sedemikian rupa.

Pemahaman Syariat Islam sebagai At-thariqoh atau jalan yang harus ditempuh sebagai seorang muslim, bisa menjadi penunjuk bahwa, secara substansi, puisi tersebut mengandung beberapa kekeliruan. Tapi yang namanya puisi ya bebas tafsir, tidak harus sesuai dengan makna yang dimaksud penulisnya.

Singkatnya, syariat adalah jalan yang ditetapkan Allah Swt. Dalam ketetapan tersebut ada aturan-aturan, ada keharusan dan kewajiban yang dilaksanakan seorang muslim. Ibaratnya, jika ingin menjadi muslim, ada jalan yang harus ditempuh. Jika tidak mau menempuh jalan tersebut, maka tidak bisa disebut muslim atau masuk kategori muslim yang kurang kaffah.

Syariat juga berbeda dengan fiqh. Syariat lebih global, fiqh lebih khusus. Syariat bersumber langsung dari Al Qur'an dan Sunnah, sementara fiqh sudah tercampur dengan ijtihad ; Ijma' dan qiyas.

Semoga penjelasan yang sederhana ini bisa diterima, dan lebih mudah dipahami.

Lalu cadar? Cadar murni produk fiqh. Sebab muncul berbagai pendapat ulama. Syariatnya adalah menjaga aurat, fiqhnya bisa bermacam-macam, cadar salah satunya. Tidak semua muslimah mau bercadar, sebab masing-masing dari mereka memiliki pemahaman fiqh yang berbeda, bahkan ada yang menyebut bercadar tak memiliki dasar yang kuat.

Ya, fiqh memang variatif. Produk ijtihad dari yang umum ke yang khusus. Seperti halnya kewajiban shalat yang disyariatkan, yang jadi salah satu rukun Islam. Agar tahu tata caranya, maka diperlukan fiqh.
Karenanya, meski shalatnya sama, mungkin ada beberapa variasi terutama soal bacaan doa iftitah, bacaan ruku dan sujud, penggunaan qunut, bismillah bil jahr atau sirri, letak sedekap apakah diatas pusar atau depan jantung, dlsb.

Jadi syariat Islam yang dimaksud dalam puisi tersebut nampak tak menemukan konteksnya. Termasuk ketika membandingkan kidung dan adzan. Tidak semua orang bisa ngidung, dan fungsi kidung beda dengan adzan.
Adzan adalah penanda masuknya waktu shalat. Di beberapa Masjid, Musholla, atau Surau, tidak semua orang bisa adzan dengan bagus. Tetapi semua orang boleh mengumandangkan adzan. Bukan soal merdu atau tidak, tapi lebih soal kemauan.

Hal-hal semacam ini harus kita jelaskan. Hanya yang membuat kita sedih, kenapa perbandingannya harus dengan syariat Islam, cadar dan adzan. Bisa jadi ada perbandingan lain yang lebih kontestable.
Atau mungkin, Ibu Sukmawati ingin memukul secara ekstrem kelompok tertentu, yang kontra budaya Indonesia, melalui puisi tersebut? Toh, puisi juga bebas tafsir. Sebab selepas video itu menyebar, siapa yang paling kencang bereaksi juga bisa dilihat. []

Blitar, 4 April 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com