loading...

Selasa, 15 Maret 2016

Selamat Ulang Tahun, IMM


Tak susah bagi Pak Abdul Mu’ti untuk mengais kembali ingatan sekitar 20 tahun silam, ketika menjadi kader IMM, sampai posisinya sekarang sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah. Ketika diundang ke Blitar beberapa pekan lalu, beliau masih fasih menyanyikan Mars IMM, dan lebih fasih lagi menceritakan perjuangannya dulu sebagai kader IMM. Kebetulan saya duduk di dekat beliau, dan menyerap banyak hal dari apa yang beliau sampaikan.

Saya kira 20 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengais kembali ingatan. Ternyata ada yang lebih lama lagi. Lebih dari setengah abad. Jika usia IMM sekarang menginjak angka 52, kurun waktu itulah bapak ini mencoba mengingat, memaknai ulang keberadaannya sebagai –tidak hanya kader IMM—tapi juga deklarator, sekaligus pendiri IMM. Beliau adalah Bapak Sudibyo Markus.

Selain Pak Mu’ti dan Pak Sudibyo, tentu masih banyak lagi tokoh lainnya yang menyisakan ingatan untuk IMM, hanya tidak semua menyampaikan, dan tidak semua punya waktu untuk menyampaikan, selain hanya ucapan selamat ulang tahun, Miladiyah, hari jadi, Dirgahayu, dan seterusnya.

Bagi saya pribadi IMM pun juga punya makna penting dan sangat esensial. Di Penghujung tahun 2009 saya bergabung dengan IMM, mengikuti Darul Arqam Dasar (DAD) di sebuah SD kecil di sudut ‘sempitan’ Kota Malang. Kiri-kanannya kebun, bangunannya hanya dua sisi dibelah oleh taman minimalis. Itu SD Muhammadyah 08. Sekarang mungkin sudah ada pembaharuan.

Peserta perkaderan hanya 7 orang. Saya terpilih sebagai ketua Alumni DAD dari 7 orang tersebut. Enam orang laki-laki, dan satu perempuan. Yang total aktif selanjutnya hanya 3 orang : Saya, Rasikh Adila dan Yusuf Hamdani Abdi. Tapi ini baru perkaderan pertama, dalam satu periode minimal IMM di UIN Malang mengadakan dua kali perkaderan. Perkaderan pertama dilaksanakan komisariat masing-masing. 

Ada tiga komisariat. komisariat Perlopor, Reformer, dan Revivalis. Saya dan Rasikh berada dalam satu Komisariat, Komisariat Pelopor. Yusuf sebenarnya komisariat Reformer, hanya saja dia mengikuti perkaderan di Komisariat pelopor karena berhalangan ikut perkaderan di Komisariatnya sendiri. Perkaderan kedua diadakan tiga komisariat dibawah Korkom (Koordinator Komisariat).

Dari tiga orang itu, Rasikh Adila di hari-hari berikutnya terpilih sebagai ketua Komisariat dan Ketua Korkom IMM UIN Malang. Dengan kapasitas keilmuannya yang memadahi pula, diusianya yang masih muda, Rasikh sudah menjadi anggota Majelis Tarjih PDM Kota Malang. Rasikh Adila memang jenius, wawasannya luas, Keilmuannya tentang agama juga memadahi, selaras dengan tubuhnya yang juga besar. Hehe

Sementara Yusuf Hamdani, di hari-hari berikutnya terpilih menjadi Ketua IMM Cabang Malang. Yusuf adalah ketua IMM Cabang Malang pertama dari UIN Malang. Terutama ketika era reformasi, setelah IMM UIN Malang pun mereformasi diri menjadi tiga komisariat. Ia membuat sejarah baru, sejarah yang akan selalu memotivasi kader-kader selanjutnya.

Itu sekedar cerita, tapi saya harus menjelaskan kenapa IMM begitu esensial bagi saya. Esensial, berarti memang mempengaruhi banyak hal dalam diri saya, meski kurang terlibat pada hal-hal yang administratif dan organisasional. IMM mendekatkan kita pada budaya berfikir, budaya kritis, budaya yang terbuka, atau mengutip istilahnya Paulo Freire, Kesadaran terbuka. Selaras dengan apa yang ditulis Pak Sudibyo melalui akun facebooknya, “IMM banyak membentuk saya”.

Tentu saja, melalui interaksi, dialektika, dan konflik yang hadir. Dialog-dialog segar, dan romantika-romatika malam di warung kopi. Semuanya terasa mewah, mewah dalam kesederhanaan. Anomali ditengah masyarakat yang tengah digempur oleh moderitas dan hedonisme yang akut di sebuah kota. Kota yang semakin sesak dengan bangunan mewah, kemacetan, dan pendatang. Kota yang siap memangsa keluguan, dengan trend dan gaya hidup baru.

IMM adalah ‘tameng’ dari konstruksi neo-kolonialisme yang menggempur begitu masif. Ruang-ruang wacana yang dibangun di dalamnya –meski tak jarang mengundang kritik—Membuka pandangan, mendekonstruksi cara pandang yang usang. Inilah satu hal penting dan esensial dalam hidup saya. Selain tentu saja, kesempatan untuk berbagai dan berinteraksi di forum-forum formal, forum perkaderan, dan sejenisnya.

Semua itu susah untuk dilupakan. Tapi setengah abad lebih IMM tentu hanya akan menjadi fosil tanpa orang-orang yang mengisi di dalamnya. Senior yang telaten dan peduli, kader-kader Militan yang di dalam dirinya, berkobar-kobar api Intelektualisme yang tak pernah padam. Program-program yang dibuat untuk merevitalisasi perilaku, merejuvenasi sikap dan cara pandang.

IMM adalah rumah kecil dari Peradaban kita. Itulah kenapa, saya mengagumi nilai-nilainya, menikmati dan sekaligus mensyukuri. Selamat Ulang Tahun ke 52. (*)

Blitar, 14 Maret 2016
A Fahrizal Aziz

Kamis, 10 Maret 2016

Menyimak Tausiyah Pradana Boy ZTF tentang Islam kekinian


Ini untuk pertama kalinya saya mengikuti Tausiyah Pak Boy di sebuah Masjid. Biasanya, waktu masih di Malang, saya mengikuti beberapa diskusinya di Resist atau forum ilmiah lainnya. Terakhir acara Workshop kepenulisan PC IMM Malang sekitar setahun yang lalu. Pagi ini, karena namanya “Tausiyah”, kemasannya sedikit berbeda.

Saya mendapatkan informasi dari Mas Khabib, aktivis PDPM Kota Blitar, kalau Pak Boy akan mengisi kajian ahad pagi di Masjid At Taqwa Kota Blitar. Yang saya tahu, kajian ahad pagi itu memang berisi tausiyah. Artinya, segmentasinya umum. Hal ini tentu agak berbeda ketika di Malang, dimana audiens rata-rata Mahasiswa dan Dosen. Tema yang diangkat pun kadang-kadang membuat kening kita berkerut.

Dulu di semester awal kuliah, saya pernah ikut diskusi Pak Boy di Resist tentang Post-Kolonialisme. Sebagai mahasiswa tingkat pertama, saya benar-benar tertatih-tatih mengikuti diskusi itu. Materinya sama sekali asing ditelinga saya, buku-buku yang dirujuk pun hampir semuanya baru saya dengar. Kesan pertama ini sungguh memberatkan.

Diskusi kedua, kalau saya tidak salah ingat, adalah membahas hasil thesisnya ketika kuliah di Australia. Diskusi itu menyorot kubu konservatif dan progresif di kalangan Muhammadiyah. Lagi-lagi, saya memang kurang ngeh dengan apa yang dibicarakan. Yang saya tahu, istilah konservatif itu digunakan untuk isu lingkungan. Semisal konservasi hutan. Masyarakat memang harus konservatif agar ekosistem hutan tetap terjaga. Lantas, apa hubungannya Muhammadiyah dengan hutan? Pikir saya dengan polosnya.

Beberapa kajian dengan tema-tema berat lainnya juga pernah saya ikuti. Misalkan tentang Islam Profetik. Nama yang dirujuk sebenarnya tidak terlalu asing, yaitu Kuntowijoyo. Saya sendiri sudah mendengar nama Kuntowijoyo sejak masih SMA. Karena saya mengambil kelas Bahasa, jadi saya tahu beberapa nama Sastrawan. Saya baru tahu juga kalau Kuntowijoyo selain sebagai wartawan, juga sebagai Intelektual. Nama lain yang juga sangat familiar adalah Buya Hamka. Saya mengenal Buya Hamka sebagai novelis, tapi semenjak kuliah saya baru tahu kalau Buya Hamka juga seorang Cendekiawan.

Belakangan ini, Pak Boy sendiri juga menulis novel. Ini menarik, mengingat Kuntowijoyo sendiri juga banyak menulis novel, cerpen, dan puisi. Saya tidak tahu, apakah selain novel, Pak Boy juga pernah menulis cerpen atau puisi?

Pagi itu, sejenak saya merenung, apa benar Pak Boy akan mengisi Tausiyah? Apa jamaah tidak akan berkerut keningnya kalau mengikuti tausiyahnya yang mungkin akan membahas hal-hal yang berat. Tapi ternyata tidak demikian. Itu adalah untuk pertama kalinya saya benar-benar mudah mencerna apa yang disampaikan Pak Boy. Apa yang dibahas mungkin berat, tapi penyampaiannya begitu sederhana. Bahkan memulainya dengan membaca sebuah Hadits.

Tausiyah itu terlihat sederhana karena dibumbui banyak cerita-cerita. Tidak hanya cerita yang ada di dalam Al Qur’an, atau kitab-kitab klasik, tapi beberapa juga cerita pribadi. Yang menarik pula, cerita itu kemudian dihubungkan dengan konteks kekinian. Misalkan, tentang Imam Malik yang tidak bisa menjawab semua pertanyaan murid-nya, padahal beliau Imam besar. Ini keterbalikan dengan fenomena sekarang ini, banyak tokoh tertentu yang merasa tahu semuanya, meskipun sumbernya hanya dari Google.

Juga cerita tentang bagaimana Nabi Muhammad mengatasi sengketa, yang tidak langsung menyalahkan pihak-pihak yang berselisih paham dengannya. Hal itu keterbalikan dengan fenomena sekarang ini dimana orang bisa dengan mudah menyalahkan bahkan mengafirkan dengan bukti-bukti yang sebenarnya belum jelas validitasnya.

Jadi Islam kekinian yang dibidik pada Tausiyah tersebut adalah adanya sebagian generasi yang mudah terprovokasi oleh sumber-sumber yang belum jelas validitasnya, yang disatu sisi bisa memicu konflik antara satu dengan lainnya. Itu menyebabkan hal-hal kontraproduktif terjadi. Energi Umat habis untuk bertikai ketimbang melakukan sesuatu yang lebih solutif.

Pesan dari tausiyah itu memang sangat gamblang dan kongkrit. Berbeda sekali dengan diskusi ala kampus yang terkadang begitu abstrak, sampai-sampai ada istilah kalau mahasiswa itu ibarat berdiri diatas menara gading. Apa yang disampaikan hanya diawang-awang dan susah sekali untuk membumikannya.

Dalam Tausiyah itu Pak Boy memang memberikan kesan yang berbeda. Kesan sebagai da’i. Memang agak berbeda da’i dan intelektual. Da’i itu yang disampaikan biasanya “fatwa” dan petuah. Kalau Intelektual itu yang disampaikan teori-teori ilmiah. Pagi itu saya melihat teori yang dibalut dengan petuah-petuah. Ini tentu sangat menarik. (*)

Blitar, 4 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz

Rabu, 09 Maret 2016

JIMM, dalam Perbincangan Ummat


Kelahiran JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) menjadi perbincangan serius ketika Muktamar Muhammadiyah 2005 di Malang. Sayangnya, moment tersebut bertepatan dengan boomingnya pemikiran liberal yang secara institusi diwakili JIL (Jaringan Islam Liberal). JIL sendiri, sebagian besar diisi oleh anak-anak muda NU, salah satunya Ulil Abshar Abdalla yang sangat kontroversial itu. JIMM, karena juga menggunakan nama Jaringan, dianggap memiliki “jenis” yang sama dengan JIL. Itu berujung pada munculnya resistensi terhadap JIMM, terutama ketika Muktamar di Malang tersebut.

Tahun 2015 ini, Muhammadiyah akan kembali menggelar Muktamar di Makassar. Yang menarik, akankah JIMM menjadi Perbincangan kembali? Tentu saja, tahun 2005 silam, usia JIMM belum genap 3 tahun. Berbeda dengan sekarang, 10 tahun berselang, tentu ada banyak hal yang berbeda ketika membicarakan JIMM. Apalagi, tahun 2014 yang lalu, JIMM kembali menggelar tadarus Pemikiran yang dihadiri langsung oleh ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, beserta beberapa narasumber lain seperti Pak Haedar Nashir, yang sekaligus menginformasikan ke Publik jika JIMM masih eksis.

Forum Tadarus Pemikiran tersebut, menjadi moment penting kepada JIMM untuk mengenalkan, sekaligus mengklarifikasi hal-hal yang mungkin saja disalah pahami oleh Ummat, terutama kader-kader Muhammadiyah. Misalkan, banyak yang menilai jika anak-anak JIMM adalah pembelot di Muhammadiyah, Ingin bergerak atas nama Intelektual Muhammadiyah namun tidak mau berproses di dalam Organasi Muhammadiyah atau Ortom-ortomnya. Ada juga yang menilai jika JIMM adalah gerakan liberal di Muhammadiyah, sama dengan JIL. Ada juga yang mengatakan jika JIMM sudah dibubarkan pada Mukatamar 2005 silam, dan seabrek sangkaan lainnya yang membutuhkan klarifikasi dan dialog lebih intens.

Pradana Boy ZTF, yang sekarang menjadi koordinator JIMM Nasional, dalam beberapa kesempatan mencoba menjelaskan soal itu. Pada Bulan Ramadhan tahun 2014 kemaren, sebelum Tadarus dilangsungkan, saya dan beberapa teman berbincang di rumahnya, di daerah Klandungan Kota Malang. Menurutnya, JIMM bukanlah sebuah organisasi yang berdiri secara administratif atau pun struktural. Jadi kalau ada yang mengatakan JIMM dibubarkan, apanya yang dibubarkan? Selain itu, banyak yang berkecimpung di JIMM juga aktif di Muhammadiyah. Baik di dalam Organisasi maupun amal usaha. Pradana Boy sendiri adalah Dosen UMM, yang juga aktif di Pemuda Muhammadiyah, bahkan baru-baru ini beliau terpilih menjadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur.

Selain itu, penggerak awal JIMM sebelumnya juga rata-rata adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari berbagai daerah, mulai dari Malang, Solo, Jogjakarta, dan Jakarta. Sangkaan lain yang mengatakan jika JIMM sama dengan JIL, tentu saja harus didialogkan dengan serius. Salah satunya, adalah metodologi gerakan yang digunakan. Apakah metodologi Gerakan JIMM sama dengan JIL?

Lahirnya JIMM, atau gerakan Pemikiran Intelektual Muslim lainnya patut mendapatkan perhatian serius. Apalagi, tak sedikit dari penggerak/eksponen JIMM yang kini bergelar Master dan Doktor, baik dari dalam maupun luar negeri. Meskipun sempat dikritik oleh Deliar Noer karena menggunakan istilah “Intelektual”, namun dengan banyaknya Master dan Doktor di dalamnya, tidak berlebihan juga JIMM menggunakan istilah “Intelektual”.

Sekitar bulan november 2014, saya bertemu lagi dengan Pradana Boy ZTF di rumahnya. Pertemuan itu secara tidak sengaja terjadi karena ajakan Mas Hasnan Bachtiar, salah satu penggerak JIMM juga. Dalam pertemuan singkat tersebut, Pradana Boy menjelaskan konsep gerakan JIMM kedepan. Ia pun mengkombinasikannya dengan membentuk Rumah Inspirasi. Ada banyak agenda di dalamnya, salah satunya kajian sejarah Islam, bahasa arab, kitab kuning dan beberapa agenda lain. Ia sedikit berseloroh jika istilah “liberal” yang disematkan kepada eksponen JIMM tersebut karena soal Mantiq (Bahasa). Misalkan, nama Jaringan diganti dengan Jamaah, maka mungkin saja JIMM tidak akan disebut liberal.

JIMM sendiri tidak bisa dilepaskan dari sosok Alm. Moeslim Abdurrahman, yang bisa disebut sebagai ideolog awal JIMM. Meskipun menurut Pradana Boy, Kang Moeslim –sapaan akrab Moeslim Abdurrahman—sempat mengkritik juga tulisan anak-anak JIMM yang lebih menyorot pada isu Pluralisme dan Liberalisme. Menurutnya, secara khusus itu bukan domain JIMM. Domain JIMM adalah melakukan transformasi sosial, sebagaimana gagasan Islam Transformatif yang digaungkan Kang Moeslim.

Saya pun juga mendapatkan cerita tentang Kang Moeslim, yang ingin menghabiskan masa tua-nya di Yogjakarta. Budi Asya’ari Afwan, salah satu penggerak JIMM Jogja dalam acara tadarus pemikiran pernah bercerita, bahwa Kang Moeslim sudah mendirikan Sumbu Panguripan di Dusun Wintaos, desa girimulyo, kecamatan panggang, Gunung Kidul. Sumbu Panguripan itu adalah upaya untuk menafsirkan gagasan Islam Transformatif tersebut. Disana, Kang Moeslim dan beberapa orang mencoba membangun masyarakat, salah satunya dengan memberikan pembekalan kepada anak-anak dan orang tua agar terlepas dari kemiskinan yang sudah seperti lingkaran setan.

Hal lain yang menjadi cita-cita Kang Moeslim dan belum terealisasi sampai Ia meninggal, adalah mengusung buku-bukunya yang ada di Jakarta ke Bantul, Yogyakarta. Disana ia sudah membeli tanah untuk didirikan perpustakaan, serta mendirikan gedung sebagai wadah untuk melatih kader-kader Intelektual yang nantinya secara praksis akan mempraktekkan ilmunya untuk melakukan transformasi sosial di daerah-daerah terbelakang sebagaimana yang telah ia lakukan dengan Sumbu Panguripan.

Melihat apa yang dilakukan Kang Moeslim dan apa yang kini digerakkan oleh Pradana Boy melalui Rumah Inspirasinya, tentu bisa menjadi bahan perbincangan yang lebih utuh tentang JIMM, dibandingkan tahun 2005 silam, saat JIMM baru saja muncul dan belum menampakkan bentuknya secara lebih jelas. Beberapa sangkaan negatif yang sempat muncul ke permukaan, seiring waktu pun terjawab dengan sendirinya.

Tentu saja, JIMM tidak hanya secara simplikatif, dibaca sebagai gerakan “latah” untuk menyaingi lahirnya JIL. Tidak pula sebagai jembatan menuju kekuasaan, atau pembacaan lain yang berangkali jauh dari substansi kelahirannya. (*)

Blitar, 21 Mei 2015
A Fahrizal Aziz

Muhammadiyah dan Kaum Intelektualnya


Ada satu pesan penting yang pernah disampaikan Pak Haedar Nashir kepada anak-anak muda Muhammadiyah, terutama yang tergabung dalam JIMM. Pesan tersebut ialah, jangan hanya bergerak diluar struktur. Kaum Intelektual juga harus berjuang di dalam struktur. Memang tidak semua anak-anak muda tersebut berada dalam struktur, baik Muhammadiyah-nya atau ortomnya, namun rata-rata mereka adalah mantan aktivis IMM, IPM, atau setidak-tidaknya kader kultural.

Kabar baiknya, Koordinator JIMM Nasional, Pradana Boy ZTF, belum lama ini terpilih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Setidaknya, selain bergerak di JIMM yang memang tidak memiliki kaitan secara vertikal dengan Organisasi Muhammadiyah, anak-anak muda tersebut memiliki ruang aktualisasi ke dalam struktural.

Namun kehadiran JIMM, dan beberapa LSM yang secara kultural dekat dengan Muhammadiyah seperti Maarif Institute, juga menjadi wadah yang penting untuk mengikat kader-kader Muhammadiyah yang sedang menempuh studi di luar negeri dan belum masuk ke dalam struktur. Sebagian, seperti Pak Andar Nubowo dahulu, bahkan mengelola Cabang Istimewa Muhammadiyah di Perancis. Begitu pun dengan mantan aktivis IMM Universitas Brawijaya yang mendirikan PCIM di Taiwan yang menjadi negara studi mereka.

Kaum Intelektual, yang secara definitif menamakan diri Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah ini, semestinya menjadi salah satu aset penting untuk menyongsong Muhammadiyah abad kedua. Sebagaimana yang ditulis Politisi senior Muhammadiyah Hajriyanto Y. Tohari di Majalah Gatra edisi 39, 30 Juli-5 Agustus 2015 di halaman 106, bahwa Muhammadiyah tentu tidak relevan lagi disamakan dengan Ikhwanul Muslimin atau Wahabi. “Rival” terberat Muhammadiyah dalam ber-fastabiqul khoirot saat ini adalah The Gulen Movement di Turky.

The Gulen Movement (TGM) sendiri saya ketahui pertama kali dari Prof. Amin Abdullah. TGM telah melebarkan “dakwah Pendidikan”-nya hingga ke 180 Negara di dunia. Padahal usia Gerakan ini belum sampai seperempat abad. Muhammadiyah jauh lebih tua. TGM berhasil membuat progres yang sangat baik dalam Internasionalisasi Gerakan. Itulah yang belakangan diperbincangkan JIMM. Hanya saja, yang diperbincangkan lebih pada Internasionalisasi Pemikiran.

NU sudah berancang-ancang, bahkan sedikit “Berpolitik” dengan menjadikan Islam Nusantara sebagai diskursus kontemporer yang harapannya akan menjadi corak khusus Islam di Indonesia. Bahkan dikuatkan oleh statement Presiden Joko Widodo, dan beberapa Pemikir Islam papan atas seperti Prof. Azyumardi Azra. Hanya saja, kita tidak tahu, apakah gagasan tentang Islam Nusantara ini kedepannya akan “di eksport” dalam bentuk karya Ilmiah ke negara-negara lain atau tidak. Tapi tentu saja, dengan dikukuhkannya istilah “Islam Nusantara” ini, pasti akan banyak Sarjana-sarjana Barat dan Timur yang bergairah untuk menelitinya.

Sementara, Upaya untuk melakukan Internasionalisasi Gerakan itu tentu tidak sebatas mengeksport gagasan, melainkan juga membuat gerakan institusional di negara-negara lain. Inilah yang menjadi capaian gemilang TGM. Untuk itu, perlu sosok-sosok yang memang memiliki reputasi Internasional seperti Mahasiswa yang pernah studi diluar negeri. Kader-kader Muhammadiyah yang pernah studi diluar negeri sekarang ini banyak berhimpun di dalam JIMM. Sebagian sudah kembali ke tanah air, sebagian masih proses studi, sebagian bahkan memilih tinggal disana.

Kaum Intelektual ini tentu menjadi Pilar kekuatan yang besar juga bagi Muhammadiyah disamping tiga pilar yang ditulis Pak Hajriyanto, yaitu MPM, MDMC, dan LAZISMU. Dan terpilihnya Pak Haedar Nashir sebagai ketua Umum PP Muhammadiyah, memberikan Optimisme tersebut. Minimal, ada ruang terbuka bagi kader-kader intelektual ini untuk mem-bumikan gagasan-gagasannya melalui Muhammadiyah.

Misal, berkat gagasan dari Alm. Moeslim Abdurrahman dan Alm. Said Talahuley, Muhammadiyah memiliki MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) yang mencoba menajamkan peran dakwahnya ke sektor pertanian dan sektor-sektor lain yang selama ini jarang tersentuh. Gagasan Alm. Moeslim Abdurrahman tentang Islam Transformatif memang sangat terasa sekali dalam Majelis Pemberdayaan Masyarakat ini.

Selain itu, Buya Syafii Maarif dan Prof. Din Syamsudin pun juga ikut menggagas berdirinya LAZISMU yang mencoba menghimpun dana Ummat untuk didistribusikan ke masyarakat kurang mampu atau kaum mustadafin. Inilah dua sumbangsih praksis yang kemudian secara institusional muncul di dalam Muhammadiyah. Belum lagi kehadiran MDMC yang turut serta membantu masyarakat yang terdampak bencana. Bahkan MDMC memimpin aksi kemanusiaan di Nepal atas nama Negara Indonesia.

Kita tentu menantikan “Jurus-jurus” lain dari kaum Intelektual muda tersebut. Salah satu yang menurut saya juga penting, selain gerakan pemikiran tersebut, ialah gerakan budaya dan sastra. Kita berharap kedepan akan muncul generasi baru Buya Hamka atau Taufiq Ismail.

Selain mewarnai dunia pendidikan dengan banyaknya lembaga pendidikan, aksi sosial melalui LAZISMU, MDMC dan MPM, memenuhi rak-rak buku pemikiran, kedepan juga akan muncul banyak sastrawan, cerpenin, dan novelis Muhammadiyah, yang karyanya bisa diakses di toko-toko buku yang ada.

Ide terakhir ini mungkin kurang populer, tapi berdasarkan statistik yang ada, jumlah pembaca novel memang lebih banyak daripada pembaca buku-buku pemikiran, apalagi jurnal. Dan tentu saja, lebih banyak lagi jumlah penonton film, sinetron, dan FTV yang belakangan ide ceritanya banyak diambil dari novel dan cerpen.

Tapi apapun itu, upaya untuk melebarkan sayap dakwah itu sangat perlu. Apalagi, ketika sosok-sosoknya sudah muncul dan berhimpun. Kaum Intelektual akan sangat mempengaruhi arah Muhammadiyah kedepannya. (.)

Blitar, 2 September 2015
A Fahrizal Aziz
@fahrizalaziz22