loading...

Selasa, 27 Maret 2018

Anekdot H. Agus Salim


Gambar diambil dari google
H. Agus Salim merupakan salah seorang bapak bangsa. dia adalah diplomat yang cerdik, ahli debat, kritis dan ulama besar. Agus Salim juga pernah kehilangan iman dan susah payah merebutnya kembali hingga menemukan islam yang pas untuk Indonesia. Islam yang tidak terikat adat kebiasaan, tapi dapat menggerakan bangsa untuk menentukan nasibnya  sendiri. Ia juga berkawan baik dengan para pemimpin Islam seperti HOS Cokroaminoto (Sarekat Islam) dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), dan para pimpinan Nasionalis Seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dls.
***
Ketika masih muda, dia pernah bertanya kepada seorang ulama, "apakah Adam dan Hawa memiliki pusar?". Ulama itu menjawab,"ada, karena mereka juga manusia."... "kalau punya pusar, sebagaimana halnya kita, itu tandanya mereka dilahirkan oleh seorang ibu." ...  Ulama itu tiada dapat menimpali.
***
Pada tahun 1906 sampai dengan 1911, Agus Salim bekerja di konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, sekaligus memperdalam islam dan berhaji. Pada tahun 1912 sampai dengan 1915, Agus Salim mendirikan Hollandsch - Inlandsche School (HIS) swasta di Koto Gadang. Dan pada sekitar tahun 1915, Agus Salim menjadi pengurus besar Central Serekat Islam.
***
Pada tahun 1921 sampai dengan 1924, Agus Salim menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil Serekat Islam. Pada tanggal 19 desember 1948, agus Salim ditawan Belanda bersama Sukarno dan Hatta, disingkan ke Berastagi, Parapat, Bangka, dan baru kembali ke ibu kota Yogyakarta pada tanggal 6 juli 1949.
Pada waktu di Volksraad, Agus Salim berpidato dalam bahasa Melayu. Ia ditegur ketua parlemen dan diminta berpidato dalam bahasa Belanda. Tapi Agus Salim, yang sebenarnya lancar bahasa Belanda, berpendapat ia berhak memakai bahasa Melayu. Dalam pidatonya, dia menyebutkan kata "ekonomi". Lawannya Bergmeyer, mengejeknya, "apa kata 'ekonomi' dalam bahasa Melayu?", Salim menjawab, "coba, tuan sebutkan dulu apa kata 'ekonomi' dalalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan dalam bahasa Melayu." Bergmeyer terdiam karena kata "ekonomi" tidak ada dalam bahasa Belanda.
***
Gambar diambil dari google

Dalam suatu pertemuan Serekat Islam, Musso mengejek Agus Salim dan H. O. S. Tjokroaminoto dari atas podium. Dia bertanya kepada peserta, "orang yang berjenggot itu seperti apa, saudara?", hadirin menjawab, "kambing". Muso bertanya lagi, "orang yang berkumis itu seperti apa, saudara?", hadirin menjawab, "kucing". Tiba giliran Agus Salim naik mimbar. Ia berkata "tadi kurang lengkap, saudara. Yang tidak berkumis dan tidak berjenggot itu seperti apa?" Salim menjawab sendiri, "anjing". ... Musso memang tidak berjenggot dan tidak berkumis.
***
Gambar diambil dari google

Pernah pula dalam sebuah acara diplomatik di London,  waktu itu Ia menggunakan peci hitam yang menutupi rambutnya yang putih sambil merokok. bau khas yang keluar dari rokoknya, membautnya menjadi pusat perhatian. "Apa itu yang anda hisap, tuan?" ujar salah Pangeran Philip yang pertanyaannya sudah mewakili rasa penasaran sebagian besar tamu undangan.

‘’Ini, yang mulia, adalah alasan mengapa Barat ingin menguasai dunia," ujarnya. Padahal dia hanya sedang menghisap rokok kretek yang memang menghasilkan aroma khas pada asapnya. Aroma itu berasal dari cengkeh, rempah yang diburu oleh bangsa barat pada masa kolonial.
***
Pada tahun 1921, dalam sidang Hoofdbestuur Muhammadiyah (sekarang disebut PP Muhammadiyah), H. Agus salim menyampaikan gagasan untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai partai politik. Pidatonya tentang gagasannya tersebut sempat memukaukan para sidang. Namun KH. Ahmad Dahlan tampaknya tidak  sepakat dengan gagasan Haji Agus Salim, sampai-sampai pendiri Muhammadiyah itu berdiri sambil memukul meja dan mengajukan dua pertanyaan. Pertama, apa saudara-saudara tahu betul apa agama Islam itu? Kedua, apa saudara berani beragama Islam? ...

Tidak ada satu pun dari yang hadir yang sanggup menjawab pertanyaan itu, termasuk Haji Agus Salim sendiri. Bukannya tidak bisa, sebab mana mungkin ditanya soal Islam begitu saja tidak tahu. Tapi, ketika ditanya “Beranikah kamu beragama Islam?”. Mereka tahu persis yang ditanyakan KH. Ahmad Dahlan itu.
***
Dalam suatu jamuan makan, semua orang memakai sendok dan garpu. Hanya Agus Salim yang memakai tangan. Sewaktu ditanya mengapa demikian, Salim menjawab, "karena saya tahu bahwa tangan saya bersih, sedangkan saya tidak tahu apakah sendok dan garpu itu bersih.
***
Saat pertama kali menginjakkan kakinya di Amerika Serikat, Haji Agus Salim langsung diserbu wartawan. Beberapa wartawan muda iseng menanyakan pendapat Agus Salim tentang kesan pertamanya berada di negeri Paman Sam tersebut. Mendapat pertanyaan seperti itu, Agus Salim hanya tersenyum. Ia kemudian menjawab dengan guyonan.
"Rok-roknya memang bagus sekali, tetapi menurut pendapat saya betis-betis di bawah rok itu malah lebih bagus." jawab Agus Salim.
***
Gambar diambil dari google

Bung Karno dan H. Agus Salim, sering berpolemik panjang lebar soal poligami. Pada beberapa tulisannya, Bung Karno tampak tidak setuju lelaki berpoligami karena dianggapnya sebagai perendahan harkat dan martabat kaum perempuan. Sebaliknya Agus Salim setuju karena pengertian beliau yang mendalam mengenai hal ini. Namun, beberapa tahun kemudian, Bung Karno  ternyata mengambil banyak istri banyak sementara Agus Salim tetap beristri satu.
***
Pada 1927, Agus Salim mendapat undangan mengikuti kongres Islam di Mekah. Waktu itu pemerintah kolonial Belanda mempersulitnya untuk memperoleh paspor. Setelah berupaya keras, akhirnya ia berhasil memperoleh paspor itu di Surabaya.
Sayangnya, ketika itu kapal yang akan ke Arab Saudi, kapal Kongsi Tiga, sudah akan berangkat dari Jakarta. Agus Salim tidak akan dapat mengejar kapal itu, karena perjalanan dari Surabaya ke Jakarta memakan waktu cukup lama.
Mengetahui hal itu, HOS Cokroaminoto mengirim telegram kepada perwakilan Kongsi Tiga di Jakarta. Isinya: Jika kapal itu berangkat tanpa Agus Salim, tahun depan tidak akan ada seorang pun jamaah haji yang akan berangkat dengan kapal Kongsi Tiga. Kapten kapal pun terpaksa menunda keberangkatan selama 2×24 jam.
Ketika Agus Salim tiba, ia disambut dengan upacara kehormatan oleh awak kapal. Mereka berbaris rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Ketika Agus Salim lewat, mereka memberinya hormat.
Setelah di kapal, Agus Salim bertanya kepada sang kapten, “Mengapa saya disambut dengan cara seperti itu? Bukankah saya hanya orang biasa?”
Dengan agak jengkel si kapten menjawab, “Kapal ini tidak akan menunda keberangkatannya selama 2×24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!”
***
Tidak ada yang meragukan bahwa H. Agus Salim adalah seorang diplomat yang hebat. Sulit ada yang menyaingi dalam hal berdebat. Sekalipun suatu kali ternyata beliau pernah kalah akal dengan seorang kusir andong.
Ceritanya, ketika suatu pagi beliau sehabis shalat di Bandara Kemayoran, Haji Agus Salim naik dokar. Ketika itu kudanya kentut. Kata Haji Agus Salim kepada kusirnya, “Pak, kudanya masuk angin”. ... “Bukan masuk angin, tapi keluar angin”, jawab kusir. Haji Agus Salim keok dengan jawaban itu. (Red. S)
Agus salim dan Keluarganya. Gambar diambil dari google

BEGITULAH H. AGUS SALIM, DIBALIK SOSOKNYA YANG TEGAS, NAMUN MASIH ADA SISI LUCU YANG MENGIRINGI PERJALANAN HIDUPNYA
­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­________________________
Diolah dari berbagai sumber


Senin, 26 Maret 2018

Perayaan Hatedu di Blitar

27 Maret diperingati sebagai Hari Teater Sedunia (Hatedu). Para pegiat kesenian teater, khususnya di Blitar, mengadakan pertunjukan atau pentas seni untuk merayakannya. Meskipun perayaannya dimajukan tanggal 25 Maret, mengambil moment hari Minggu, agar para pelajar juga bisa ikut berpartisipasi.

***
Saya duduk di tribun penonton, bersama teman-teman Lingkar Pena yang baru saja "Kajian literasi rutin Ahad siang". Kajian kami di lantai II Perpustakaan, sementara Pensi Hatedu di Amphy Teater yang letaknya persis sebelah barat gedung Perpus, yang jadi satu dengan Museum tersebut.

Salah satu pengurus Lingkar Pena Blitar, Ahmad Radhitya Alam, juga tampil dalam Pensi itu sebagai individu, maupun bersama Teater Barra SMAN Talun, dan mungkin juga sekaligus panitia.

Acara tersebut diadakan Sanggar Mlasti (Movement Language Art Sound to Indonesia), yang juga didukung oleh DKKB, UPT Perpustakaan Proklamator Bung Karno, dan lain sebagainya.

Saya lihat juga banyak pegiat seni disitu, yang belum saya kenal namun sudah sering mendengar namanya. Termasuk dari Blitar Creativity Forum, ada Supri yang terlihat membantu persiapan acara. Di tribun lain ada teman-teman Bale latar, yang kami pernah bersama-sama mengadakan perayaan hari puisi di Istana Gebang tahun lalu.

***
Acara dimulai sekitar pukul 16.30. Sebelum dimulai, saya ngopi sejenak di sekitar lokasi acara, sembari berbincang banyak hal dengan Saiful dan Karas (IMM), yang sore itu ternyata juga menonton.
Karena hari libur, maka pengunjung pun lumayan ramai, terutama peziarah makam Bung Karno dari luar daerah.

Disekitaran acara, terlihat juga panitia yang nampak sibuk mempersiapkan sound system, yang sepertinya memang sedikit ada masalah. Tak nampak juga properti khusus, selain bangku panjang dan kurungan ayam berserta kain hijau.

Waktu saya kembali dari ngopi dan shalat ashar, Alam sedang membaca sebuah puisi diiringi gitar, yang sesekali, sang gitaris, menyahut dengan nyanyian. Suasana sore yang sedikit mendung itu menjadi syahdu seketika.

Dilanjutkan dengan pertunjukan teater Azhar dari MTsN 1 Blitar (Karangsari). Penampilan yang semacam "deklamasi bersama", dialog-dialog yang saling bersahutan dan tarian sederhana. Sebagai alumnus, tentu ada rasa senang sekaligus bangga bisa melihat almamater saya tampil.

Setelah itu, sebuah lagu legenda sepanjang zaman pun disenandungkan seorang perempuan berkacamata, yang sekilas mirip vokalisnya Banda Neira. Lagu "yang terlupakan" dari Iwan Fals tersebut menjadi sangat fresh.

Setelah break shalat magrib, acara pun dimulai kembali. Saya lihat di sudut atas tribun, sudah hadir Mbak Puput Amiranti dan Pak W Haryanto, pasangan penyair dan juga pegiat seni teater, yang pada kesempatan ini juga ikut membacakan puisi.

Selepas Isya, penonton pun semakin banyak, menyambut tiga penampil berikutnya : Lakon teater dari "Bulu putih" MAN Wlingi, dan sebuah "single dance" dari teater Adab bina Gayatri UNP Kediri.

Untuk mendramatisir suasana, lampu pun dimatikan. Tim panggung menata properti ; memasang kurungan ayam, menyelimutinya dengan kain hijau, lalu menaburi dengan bunga-bunga. Karena tak begitu fokus, saya tidak tahu kalau di dalam kurungan tersebut ada sesosok perempuan berbusana serba putih.

Saat instrument dibunyikan, "sangkar hijau" itupun bergerak-gerak. Bunyi sekumpulan orang yang menjerit, mendesah, dan entah apalagi, menambah suasana makin magis. Sejurus kemudian.. blasss!!! Sangkar terbuka.

Seorang perempuan terbebas dari kurungan, meliuk liukan tubuhnya, menari, berlari-lari, meraung, mencakar-cakar, membanting sangkar, dan menebas udara dengan selendangnya. Sampai pada akhirnya, ia pun tersungkur kembali.

Penampilan yang dahsyat, dan langka sekali. Permainan gerak, ekspresi, yang dipadukan instumentasi, benar-benar meletupkan emosi.

Memang tidak semua penampilan saya tulis disini, namun saya masih sempat menyaksikan penampilan teater Bara dari SMAN Talun yang mengangkat soal nasionalisme, yang salah satu penampilnya adalah Ahmad Radhitya Alam, si anak ajaib. Seniman muda yang masih kelas 2 SMA.

Belum sampai jam 9 malam, saya harus beranjak pulang. Perut yang mual, kantuk, dan badan yang menggigil terus mendera, meski sudah berulang kali saya oleskan minyak angin. Sebab hari itu saya memang kurang fit.
Sekali lagi, selamat atas perayaan Hari teater di Blitar tercinta ini, terkhusus untuk sanggar Mlasti yang sangat produktif mengadakan event kesenian semacam ini. Terus berkarya!

Tabik,
Blitar, 26 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com


Minggu, 25 Maret 2018

Kitab Kuning, Kyai Dan Pondok Muhammadiyah



Ilustrasi diambil dari google

 oleh : Khabib M. Ajiwidodo*

Kitab Kuning di pondok salaf
mengapa disebut kitab kuning? ... “Yaa karena kertasnya berwarna kuning”,, begitulah kiranya jawaban paling mudah untuk menjawab tentang apa itu kitab kuning.  Kitab kuning identik dengan dunia pesantren. Di pesantren, mempelajari kitab kuning adalah hal wajib bahkan ada motivasi khusus dari para santri untuk memutuskan mondok yaitu “aku ingin ke pondok untuk mempelajari kitab kuning”.

Dalam tradisi pondok pesantren, mempelajari kitab kuning dilakukan setiap hari, bahkan dalam bulan-bulan liburpun biasa diadakan “ngaji kilat”, maksudnya mempelajari isi kitab khusus pada bulan tersebut. Ngaji kilat itu sendiri biasanya khusus untuk para santri yang sudah menguasai ilmu tata bahasa arab seperti ilmu nahwu shorof, ilmu mantiq dan sejumlah cabang ilmu lainnya.Metode pembelajaran di pondok berlangsung dengan cara tatap muka. Seorang Kyai membacakan naskah kitab kuning lengkap beserta artinya. Artinya disesuaikan dengan bahasa daerah dimana pondok pesantren berada.Kemudian, para santri menuliskan makna yang telah diajarkan/ diucapkan oleh Kyai yang membacakan kitab saat itu. 

Alat tulis untuk memaknai memanfaatkan alat tulis dengan ujung pena yang kecil. Kalau jaman dulu biasanya menggunakan mata pena yang dicelupkan pada tinta china yang diberi pelepah daun pisang agar tidak meresap. Akan tetapi pada masa sekarang para santri kebanyakan mengunakan bolpoin dengan mata pena yang kecil.

Bagi santri yang sudah benar-benar menguasai isi kitab kuning setelah diuji oleh para pengasuh maka pimpinan (kyai) pondok memberikannya ijasah. Ijasah adalah sebuah pengakuan bahwa yang bersangkutan sudah benar-benar menguasai isi kitab. Tradisi pembelajaran diatas menjadi tradisi pondok pesantren khususnya pesantren salaf.

Kyai di Muhammadiyah?
Pasca KH. Azhar Basyir tahun 1994 Muhammadiyah mulai dipimpin oleh kalangan akademisi (Profesor atau Doktor). Menurut pengamatan Syafiq A. Mughni (ketua PP Muhammadiyah)  Kecilnya jumlah kyai dalam Muhammadiyah disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Muhammadiyah tidak memiliki banyak pesantren tradisional. Kedua, kyai lebih mudah tumbuh dalam masyarakat tradisional.ketiga, modernitas.

Pesantren – pesantren (modern) milik Muhammadiyah secara umum menekankan penguasaan ilmu-ilmu agama yang aplikatif tanpa menjadikan kitab kuning sebagai rujukan utama. Selain itu pimpinana dalam pesantren Muhammadiyah tidak mengenal system darah biru kyai, Anak cucu kyai Muhammadiyah tidak serta-merta diistimewakan; tidak banyak orang berdatangan untuk minta barakah kepada kyai Muhammadiyah. Egalitarianisme menyebabkan kedudukan kyai dalam Pondok pesantren Muhammadiyah tidak lagi istimewa.

kitab kuning di Muhammadiyah
Sebenarnya, mempelajari kitab kuning adalah hal yang sangat penting di Muhammadiyah, terutama bagi para ulama tarjih. Ar-ruju’ila al-Qur’an wa as-Sunnah tidak akan pernah lepas dari kajian kitab kuning. Berbagai produk Majelis Tarjih da Tajdid seperti HPT, Fatwa tarjih, Buku-buku Fiqh tidak lepas dari kitab kuning, meski literatur rujukan tidak dituliskan secara formal.

Bagi seorang Ulama, mempelejari kitab kuning itu sangat penting. Akan tetapi anehnya dilingkungan pondok Muhammadiyah, kitab-kitab kuning kurang terkenal. Banyak santri yang kurang familier dengan nama-nama kitab kuning. Walaupun diajarakan, tapi durasi waktunya sangat sedikit, bisa disebut ala kadarnya atau “tambel butuh”saja.

Jarang Pesantren Muhammadiyah yang mengajarkan alfiyah Ibnu Malik, mengkhatamkan kitab-kitab madzhab, tashawuf, kalam, kajian kitab-kitab tafsir atau kitab-kitab hadis hingga mengkhatamkan sekian kitab tafsir atau sekian kitab hadis, sekian ulumul Quran karya ulama klasik, dan lain sebagainya. Tradisi mengkaji permasalahan (Bahtsul Masail) dengan melibatkan kitab-kitab kuning hampir jarang terjadi.

Jika dibandingkan dengan organisasi lain, harus diakui, Muhammadiyah dalam hal ini memang tidak sesolid Nahdlatul Ulama. Organisasi ini bahkan memiliki tradisi kajian keagamaan yang relatif kuat dengan referensi keagamaan yang baku. Dalam bidang fiqih, misalnya, mereka  terbiasa membaca kitab kuning seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, Fanah at-Thalibin, Ihya Ulumuddin dan sebagainya. Dalam Tasawuf membaca Al-Hikam, Ihya Ulumuddin dsl, Belum lagi dalam bidang tafsir, Kalam dan ilmu ilmu lain yang bersumber dari kitab-kitab kuning.

Padahal kalau kita membaca kisah Pendiri Muhammadiyah, maka akan kita lihat bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah Ulama yang dilahirkan dari Tradisi Keilmuan Kitab Kuning dari para Guru/ Kyai. Jejak pengembaraan intelektual KH Ahmad Dahlan bermula tiap petang belajar mengaji dengan tekun saat usia 7 tahun. Ketika itu diajar oleh ayahnya sendiri. Ketika beranjak dewasa, belajar ilmu fiqih kepada KH Muhammad shaleh, ilmu Nahwu kepada KH Muhsin, ilmu Falak kepada KH Raden Dahlan, ilmu Pengobatan kepada Syeikh Hasan, ilmu Hadits kepada Kiai Mahfud dan Syeikh Khayyat. Kemudian ilmu Quran kepada Syeikh Amin dan Sayyid Bakri Tercatat pula guru-guru beliau cukup beragam, Kyai Sholeh Darat di Semarang Syeikh Jamil Djambek dari Bukittinggi dan Syeikh Ahmad khatib. Disamping itu, atas usaha KH Baqir, beliau bertemu Sayyid Rasyid Ridha di Mekkah.

Trensains sebagai tajdid Kyai Muhammadiyah
“Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, kiranya itu ungkapan yang pas untuk kyai Agus Gurwanto, D.sc atau lebih akrab disebut Gus Pur. Sebagai Kyai Muhammadiyah, daripada terus menerus megolok-olok tradisi turats di Muhammadiyah yang mlempem, lebih baik membuat tradisi keilmuan baru. Kemudian dicetuskanlah Trensains (pesantren sains).

Tidak seperti pondok modern yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Trensains mengambil kekhususan pada pemahaman al-Quran, sains ke-alam-an dan interaksinya. Poin terakhir, interaksi antara agama dan sains merupakan materi khas trensains dan tidak ada dalam ponpes modern.Kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggris menjadi kemampuan dasar bagi para santri. Selain menjadi alat komunikasi, di Trensains bahasa Arab juga digunakan sebagai alat analisis awal dalam menalar ayat-ayat al-Quran khususnya ayat-ayat kauniyah.

Trensains juga membimbing para santrinya untuk mempunyai kemampuan nalar matematik dan filsafat yang memadai. Konsep dasar limit, diferensial dan integral perlu diperkenalkan sebagai alat analisis dan memahami konsep fisika. Nalar dan spirit filosofis diperlukan untuk berfikir runut, tuntas dan mendasar.Jika umumnya pesantren mengharapkan alumninya menjadi ulama syariah (hukum Islam), maka proyeksi alumni Trensains adalah lahirnya ulama-ulama yang memiliki spesialisasi di bidang sains kealaman, teknolog, dan dokter yang mempunyai basis al-Quran, kedalaman filosofis serta keluhuran akhlak.

Wallahu a'lam bish-shawab
__________________________
*Khabib M. Ajiwidodo
(aktivis Pemuda Muahammadiyah Kota Blitar, pernah mbeguru pada Gus Rohmad Pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Trenggalek)

Sabtu, 24 Maret 2018

Saya, NU, dan Muhammadiyah


Secara administratif, saya memang tidak pernah tergabung dengan NU. Tidak juga aktif di badan otonomnya, seperti IPNU atau Ansor. Tapi sejak kecil sampai remaja, saya mengaji di LP Maarif. Di TPQ Rodhotul Adfal dan Madrasah Diniyah Darussalam. Wisuda TPQ pun juga dari LP Maarif.

Salah satu yang selalu saya kenang, adalah ketika mengikuti berbagai perlombaan tingkat TPQ, meskipun tidak pernah sekalipun menjadi juara. Mulai dari lomba Shalat, Tartil Qur'an, sampai "Nasyid" Mars Santri Maarif. Meski waktu kelas Diniyah, pernah beberapa kali juara 2 dan 3, yang mungkin jadi prestasi tertinggi selama menjadi santri Maarif.

Karena itulah, ketika wajib "nyantri" setahun di Mahad Al Jamiah UIN Malang, dengan tradisi Aswaja yang kental, saya sudah cukup terbiasa. Misal, mendengar Wirid Latif jelang Shalat subuh, atau beragam Shalawat, salah satu Shalawat yang terkenal di UIN Malang adalah Shalawat Irfan.

Shalawat Irfan digubah oleh Alm. Prof. Ahmad Mudhlor, pendiri Ponpes Luhur. Tiap kali mendengar shalawat Irfan, saya selalu terkenang masa-masa di Mahad, sebab Shalawat tersebut hampir selalu disenandungkan ketika pujian jelang shalat 5 waktu.

Meskipun barangkali saya memiliki pandangan berbeda, dan lebih suka menyebut itu sebagai Syair pujian, daripada Shalawat. Seperti  syair Ila Ilas, atau Syair-syair "Shalawat" lain yang jumlahnya sangat banyak, bahkan khas pesantren tertentu.

Meski 9 tahun lebih ngaji di LP Maarif, namun saya kurang tahu NU secara organisasi. Waktu masih kecil, saya kira NU itu hanya khusus Kyai. Sebab tiap kali ada Kyai datang ke pengajian, atau menghadiri acara yang diadakan TPQ, Ustaz selalu menyebut "Kyai NU". Apalagi setelah tahu kalau NU kepanjangan dari Nahdlatul Ulama. Organisasi khusus Ulama?

Ternyata tidak demikian. Meskipun para perintis dan pendiri NU memang Ulama, yang menjadi simbol khas organisasi. Istilah Ulama itu barangkali juga karena Istinbath hukum NU, lebih bersumber dari qoul (pendapat) ulama, aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid).

Sehingga posisi Ulama memang sangat strategis. Belum lagi secara kultural, posisi Kyai yang sangat dihormati di lingkungan NU.

Saya yang bukan anak Kyai, dan tidak memiliki keturunan Kyai sama sekali, memang agak canggung dan minder. Bahkan jika harus satu kelas dengan para "Gus". Makanya, saya kira dulu itu NU hanya untuk Ulama atau Kyai.

Namun ternyata NU memiliki Badan/Organisasi Otonom di berbagai jenjang. Saya tidak tahu pasti, apakah kira-kira memang ada diferensiasi dalam organisasi NU, antara (mungkin) kader yang keturunan Kyai dan yang bukan?

***
Sekitar Aliyah kelas XI, saya kemudian mengenal Muhammadiyah dari buku bacaan. Baru 2009 akhir, secara organisasi saya bergabung di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Uniknya, awal saya mengenal Muhammadiyah justru sebagai organisasi, sebab saya memang belum merasakan hidup dalam kultur Muhammadiyah.

Karena organisasi, fikir saya waktu itu, maka bisa mendaftar secara administratif. Maka saya pun mendaftar. Memang sempat muncul beragam perbincangan, orang NU kok ikut Muhammadiyah? Terutama dari teman-teman sekolah.

Sebagai sebuah ideologi, keduanya memang kerap dipertentangkan, terutama soal amaliyah. Soal Usoli, subuh pakai qunut, penggunaan sayyidina, selametan orang meninggal, kenduri munggahan, jumlah azan shalat Jum'at, penggunaan bedug,  sampai pada hal yang substansi, seperti konsep berkah.

Bagi orang seperti saya, pertentangan ideologis macam itu memang kadang merepotkan, terutama yang sejak kecil belajar Aswaja, yang serba Syafiiyah. Lalu berbenturan dengan ideologi Muhammadiyah yang nyaris "memangkas" semua amaliyah NU.

Namun dalam hal lain, terutama kultur di Muhammadiyah, juga soal keorganisasian, nyaris tak ada masalah. Saya tak bisa membandingkan, sebab tidak pernah aktif di organisasi NU, dan memang pemilihan organisasi tersebut tidak karena dasar perbandingan.

NU bagi saya memang menyatu secara kultural, di keluarga dan lingkungan. Melalui LP Maarif juga saya belajar agama dari dasar : membaca Al Qur'an, Shalat, doa-doa, dan lain sebagainya. Guru-guru LP Maarif, yang saya tahu berjuang secara ikhlas sebab kadang digaji kadang tidak, memiliki jasa yang tak terkira.
Soal Muhammadiyah, adalah murni preferensi pribadi. Entah bagaimana pandangan orang, tapi sudah sejak lama saya berhenti mempertentangkannya. Saya jalani apa adanya, tanpa perlu lagi membandingkan. Wallohu'alam.

Blitar, 24 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Jumat, 23 Maret 2018

Suatu Malam di Klenteng Poo An Kiong

Adzan Isya berkumandang tak lama setelah kami tiba di klenteng Poo An Kiong. Panitia sudah bersiap membuka acara, sementara tiga narasumber sudah duduk di depan. Panitia yang lain menawari kami kopi hitam dan STMJ, seraya mendekatkan nampan berisi gelas-gelas kecil.

Atas undangan Dr. Arif Muzayyin Shofwan, salah satu narasumber acara, kami datang ke book launch dan bedah buku "Ada Aku diantara Tionghoa dan Indonesia". Dr. Arif merupakan salah satu penulis seri bunga rampai tersebut.

Di beberapa kota, buku ini dibedah di berbagai universitas, dan khusus di Blitar, acara digelar di Klenteng, yang bersebelahan dengan pasar legi tersebut.

Beberapa undangan yang hadir, sebagian "berbatik naga", meski tak sedikit juga dari unsur agama, termasuk dari penghayat. Beberapa sesepuh juga hadir, terutama dari tokoh nasionalis. Saya dan Khabib MA mewakili Paguyuban Srengenge.

Secara kultur, China--atau kemudian disebut Tiongkok--memang begitu menyatu dengan masyarakat Indonesia. Beberapa sumber menyebut, salah satu interaksinya melalui perdagangan. Itulah kenapa orang Tiongkok sangat ahli dan konsisten dalam berdagang.

Interaksi tersebut kemudian melahirkan percampuran bahasa, terutama nama-nama makanan, sebutan keseharian, seperti toko, koko, wa (gua), lu (elu), bakpao, bakmie, kemoceng, gopek, dan masih banyak lainnya.

Termasuk percampuran tradisi yang masuk dalam tradisi perayaan agama seperti memberikan angpau. Tradisi memberi angpau, dengan beragam sebutan yang berbeda, juga kadang dilakukan oleh orang Islam ketika lebaran.

Sebab Tionghoa sebagai sebuah etnis, ternyata tidak identik dengan satu agama saja, katakanlah Konghucu. Daniel Lim misalkan, yang malam itu menjadi narasumber, yang juga bos Graha Bangunan, beragama Katolik. Sementara banyak juga orang Tionghoa yang beragama Islam. Walikota Malang saat ini, Abah Anton, adalah Tionghoa yang beragama Islam.

Yang menarik pula, Imlek sebagai hari raya Agama Konghucu, ternyata juga dirayakan Etnis Tionghoa yang non Konghucu, meskipun ada juga yang tidak merayakan, karena alasan identitas agamanya saat ini.
Salah satu narasumber yang dijadwalkan hadir malam itu adalah RD Beny Susetyo, namun berhalangan karena ada rapat dengan Presiden Jokowi. Lalu digantikan oleh Poo Sun Bing atau yang lebih dikenal dengan nama Bingky Irawan.

Sosok sepuh, salah satu yang memperjuangkan Konghucu menjadi agama sah di Indonesia pasca orde baru. Sebab menurut beberapa analis, sejak era Soekarno agama Konghucu sudah ada di Indonesia, bahkan mungkin jauh sebelum itu.

Pak Bingky mengenakan pakaian lurik khas Jawa, ber-blangkon, juga sempat nembang. Penampilannya begitu njawani, apalagi setelah mendapatkan gelar Raden Kanjeng dari Keraton Solo. 

Barangkali itulah cara mencairkan suasana, sekalipun malam itu acara diskusi dan bedah buku diadakan di klenteng, yang memiliki pagoda dan backgroundnya "tungku naga", namun begitu kental Jawa-nya.
Lebih kental lagi, ketika perwakilan seniman dari Komunitas Pelestari budaya Jawa, maju dan ikut nembang "dandang gulo", setelah sebelumnya ada satu orang yang ikut memberikan perspektif, namanya Pak Usman Arif, yang juga dari Tionghoa, dan sudah nampak sepuh.

Menariknya, meski dari etnis Tionghoa, namun namanya begitu "arab", dan ternyata beliau juga seorang dosen, yang disiplin ilmunya adalah sastra Jawa. []

Blitar, 22 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Senin, 19 Maret 2018

Kehilangan Sudut Pandang

Gejala paling nampak di era sosial media, adalah masyarakat yang terpola, apalagi kini setiap orang punya kanal sendiri untuk berbagi. Banyak informasi dibagikan tanpa direnungkan dan dianalisis, sehingga banyak yang bahkan tidak memahami apa yang sebenarnya ia bagikan.

Belum lagi, ketika isu berganti setiap moment, tanpa didiskusikan dengan baik, tanpa didalami, apalagi sampai pada solusi, sudah hilang dan berganti isu baru. Isu-isu tersebut akan muncul lagi ketika dibutuhkan. Sayangnya kita tidak tahu pasti, siapa yang memunculkan?

Kemampuan mencerna informasi begitu rendah. Kemampuan literasi, terutama dalam aspek analisis isu dan meresponnya dalam bentuk tulisan yang tajam nan kritis, juga masih rendah. Walhasil, postingan demi postingan hanya berpindah dari satu gawai ke gawai yang lain, dari jempol si A ke jempol si B dan seterusnya.

Tidak ada proses mengkritisi, atau sekedar mengomentari. Lebih banyak yang menjadi konsumen bisu, yang hanya sebagai katalisator atau kepanjangan tangan. Hanya sekedar dimanfaatkan, diracuni oleh provokasi, dan selanjutnya terjebak dalam ilusi kata dan kalimat yang tersaji.

Sungguh kuatnya pengaruh tulisan. Apalagi ditengah masyarakat yang kehilangan sudut pandang, ditengah ketidakmampuan mengungkapkan gagasan, sebab rasionalitasnya sudah dikunci, amarahnya berhasil diletupkan, rasa benci berhasil ditaburkan.

Sehingga, karena tak punya sudut pandang, orang lebih suka menyudutkan, menghakimi, menghabisi, tanpa perlu klarifikasi, tanpa perlu mempertimbangkan beragam opini.

Dampaknya : perdebatan, perpecahan, kekacauan, yang akhirnya membuat suasana tidak kondusif.
Begitu mengerikan dampaknya. Tentu ini bisa dicegah jika masing-masing masyarakat memiliki sudut pandang, tidak mudah terbawa "suasana magis" dari isu yang nampak bombastis.

Masalahnya, saat ini kita mengalami keterlompatan budaya. Tradisi lisan yang teramat kuat mengakar, hingga ratusan tahun. Sementara tradisi tulis, kadang hanya terhenti di lingkup perguruan tinggi, itupun baru bermula kira-kira pada era 20-an. 

Belum satu abad, disaat tradisi lisan masih mengakar kuat, orang sudah dijejali teknologi informasi, yang mana orang lebih senang memproduksi foto selfi ketimbang opini. Tapi itu lebih mending, daripada yang lebih suka caci maki. []

Blitar, 20 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Warisan Sistem

Ketika bergabung sebuah organisasi, apapun jenisnya, kita mungkin akan memilih organisasi yang sudah tertata, salah satunya dilihat dari sistem rekruitment, pengembangan anggota/kaderisasi, sampai sistem regenerasi.

Sehingga kita bisa merencanakan sejak awal, berapa jangka waktu keaktifan kita di organisasi tersebut, serta apa saja yang harus kita perbuat dalam jangka sekian.

Dengan sistem yang demikian, maka organisasi tersebut akan terus "menyegarkan dirinya", kepengurusan berotasi sebagaimana adanya, sehingga figuritas tidak akan mendominasi, sekalipun dalam setiap periodenya akan selalu muncul figur yang menonjol.

Sayangnya, dalam organisasi terbuka yang mengedepankan musyawarah mufakat, selalu saja muncul figur-figur yang enggan digeser atau bergeser. Bisa jadi karena ia tidak ingin melepaskan "zona nyamannya", bisa jadi pula ada sistem yang macet, terutama sistem kaderisasi.

Tapi itu soal lain, yang terpenting direnungkan adalah pentingnya membangun sistem. Dalam sebuah organisasi, pasti akan muncul orang-orang yang demikian, yang bahkan tidak begitu dikenal pada generasi berikutnya. Mereka mengakhiri amanahnya di organisasi tersebut, dengan mewariskan sistem yang baik.
Sistem yang mereka wariskan tersebut, akan menjadi semacam "penunjuk jalan" bagi generasi berikutnya. Namun tidak ada sistem yang sempurna, sehingga tetap diperlukan penambahan dan penyempurnaan pada setiap generasinya.

Pengelola organisasi yang baru perlu mempertimbangkan ini, bahwa pada setiap kepengurusan yang mereka emban, terutama pada organisasi yang berusia belasan atau puluhan tahun, sudah ada sistem yang dibuat generasi terdahulu, yang perlu dilanjutkan dan barangkali sedikit pembaharuan.

Ibarat membangun rumah, tidak lagi memulai dari awal, ada "bangunan" yang bisa diteruskan, dikembangkan, agar sistem tersebut makin utuh.

Ini juga sekaligus menguji ego, sebab tak sedikit generasi baru yang ingin merombak total sistem, dan mengabaikan bangunan yang dicipta generasi sebelumnya. Apalagi jika generasi baru tersebut tipe narsistik, yang lebih menonjolnya figurnya ketimbang merawat sistem yang ada. Sehingga yang lain, rekan organisasi yang posisi struktural ada dibawahnya, hanya menjadi figuran.

Padahal dalam sistem yang baik, bukan berarti figuritas memudar, justru akan muncul figur-figur dalam banyak bidang. Muncul rasa tanggung jawab bersama, tidak ada yang merasa paling berjasa, sebab semua bekerja atas nama sistem.

Lalu bagaimana jika organisasi tersebut masih baru? Disinilah peluang untuk menata sistem. Sebab menata sistem itu jauh lebih sulit, daripada sekedar mendirikan. Kecerdasan berorganisasi diuji pada kemampuan kita "menata".

Pada proses menata ini, banyak orang gagal. Makanya kita perlu bersyukur, jika sebuah organisasi memiliki sistem yang baik, sebab itulah warisan generasi terdahulu, yang mungkin karena sibuk menata sistem, sampai lupa narsis sehingga kurang dikenal. Tapi sistem tersebut insyaallah akan menjadi ladang amal.
Tabik!

Blitar, 19 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com

Rabu, 14 Maret 2018

Jiwa Seni

Apa yang kita lakukan ketika suntuk atau memiliki waktu luang? Bernyanyi, melukis, memahat, mengutak atik benda elektronik, merajut, bermain alat musik, bikin desain di corel draw/photoshop, berpuisi, nulis novel, atau hal lain?

Meski bagi sebagian orang, hal-hal diatas bukan lagi kegiatan sampingan, melainkan kegiatan utama, mata pencaharian dan sekaligus hobi yang ia kerjakan dengan penuh kegembiraan. 

Di televisi atau internet, mungkin kita sering melihat seorang menteri, atau bahkan presiden, ternyata bisa bermain musik bahkan bernyanyi. Rasanya memang sangat kontras dengan pekerjaannya, yang serba administratif, serba "otak kiri". Lantas, kapankah waktu mereka mempelajarinya?

Pada kesempatan yang lain, kita mungkin pernah menemui seorang birokrat atau politisi yang fashionable. Seolah penampilan tak kalah penting dengan pekerjaannya melayani masyarakat. Ternyata tidak hanya artis, pejabat pun bisa sangat artistik.

Jiwa seni juga nampak dari desain rumah ; hiasan yang menempel, interior dinding, bentuk kursi atau meja, cangkir yang digunakan untuk menyuguhkan minuman, sampai toples untuk menyimpan makanan ringan. Jika bertamu ke rumah seseorang dan mendapati hal demikian, barangkali kita langsung menebak sense of art pemiliknya.

Ketika masih sekolah/kuliah, mungkin kita memiliki teman yang lebih mementingkan kegiatan teaternya daripada hadir di kelas. Ada pergulatan bathin antara pendidikan dan kecintaannya menekuni seni peran.
***

Sejujurnya, berkesenian bagi mereka yang jiwa seninya sudah meletup-letup, ibarat "pulang ke rumah", sekalipun pada akhirnya mereka bekerja di bidang yang barangkali, sangat berkebalikan. Meskipun untuk melampiaskan hobi atau jiwa seninya, harus menanti waktu luang disela pekerjaan rutinnya.

Setiap orang memiliki kreatifitas, sense of art atau jiwa seni, hanya seberapa serius kah itu diasah? Pada kondisi tertentu, kemampuan seni tersebut bisa menjadi pelampiasan, juga semacam "alat" untuk memaknai hidupnya.

Jiwa seni sangatlah penting untuk terus dirawat, diasah, dikobarkan. Sebab itulah yang membuat hidup memiliki rasa. Tidak hambar, formal, dan menjenuhkan. []

Blitar, 14 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz