loading...

Sabtu, 27 Mei 2017

Jalan Ber-Muhammadiyah (bag. 1)




Memilih Muhammadiyah
 
oleh A Fahrizal Aziz
Saya bergabung dengan Muhammadiyah, secara administratif, pertama kali melalui IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) akhir tahun 2009. Itu berarti, kurang lebih tujuh tahun berselang. Satu-satunya bukti administatif yang saya miliki hanya kartu anggota IMM.

Namun sejak Aliyah, saya sudah mulai membaca buku-buku karya tokoh Muhammadiyah. Yang pertama kali—karena dulu jurusan Bahasa—adalah novel-novel karya Buya Hamka. Meski belum tahu pasti jika Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah. Baru kemudian membaca buku karya Buya Syafii Maarif yang berjudul “Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia”.

Buku-buku Buya Maarif begitu mengena, meski susah payah saya memahami karena keterbatasan wawasan mengingat kala itu saya masih pelajar aliyah. Dengan bahasa yang lincah dan dibumbui beragam metafor, Buya Maarif membuat saya penasaran untuk menelisik lebih lanjut biografinya, sampai kemudian tertulis bahwa beliau adalah Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.

Buya Maarif sepertinya tidak saja melahap banyak buku ilmiah, melainkan juga buku-buku karya sastra. Baru setelah kuliah, dan mengikuti esai-esainya yang secara periodik muncul di rubrik resonansi Harian Republika, saya tahu jika Buya Maarif adalah pengagum Mohammad (Allama) Iqbal, sastrawan besar asal Pakistan.

***
Karena masuk melalui jalur IMM, suguhan paling terasa adalah kajian-kajian akademik lintas pemikiran. Mungkin karena sejak mengikuti Darul Arqom Dasar, sisi ketertarikan saya dalam dunia wacana begitu menguat, sehingga hampir setiap materi selalu mengajukan pertanyaan.

Hal ini ternyata menggembirakan Instruktur yang bertugas kala itu, bahwa mereka kedatangan kader yang banyak bertanya, meski barangkali juga akan menimbulkan kekhawatiran tersendiri, seandainya ekspektasi saya di IMM tidak terpenuhi.

Sejak Aliyah saya memang sudah tertarik dengan Muhammadiyah, meski dibesarkan dalam kultur “Islam Tradisionalis”. Namun entah bagaimana saya mendefinisikanya, kadang-kadang susah melepaskan bacaan “Usholli” tiap kali hendak memulai Sholat, meski tidak ada keharusan bahwa itu sepenuhnya harus saya rubah.

Pilihan Muhammadiyah bukan didasarkan atas perbandingan apapun, tidak juga karena saya merasa Muhammadiyah lebih dari yang lain, namun ini lebih karena kecocokan. Apalagi jika yang saya cari adalah keuntungan, entah keuntungan sosial maupun material, bukan IMM atau Muhammadiyah yang menawarkan keduanya.

Makanya saya tidak mau fanatik, tidak mau terlibat dalam debat urat saraf tentang mana yang benar dan salah, mana dalil yang shahih dan dhoif. Sudah ada ahlinya, dan saya meyakini apa yang saat ini telah saya pilih. Soal fiqh, memang akan banyak versi, sampai kapanpun.

Tinggal bagaimana kemudian mengartikulasikan kehadiran diri di Muhammadiyah. Bagaimana “berbuat sesuatu” dari hal-hal yang sederhana. Itulah yang membedakan antara belajar Muhammadiyah, dengan ber-Muhammadiyah. Belajar Muhammadiyah mungkin cukup dengan membaca buku, mendengarkan ceramah, atau diskusi.

Ber-Muhammadiyah perlu berbuat, perlu masuk, tenggelam, terhanyut. Karena inilah ladang ber-amal. []

Blitar, 1 Ramadan 1438 H
A Fahrizal Aziz