Oleh A Fahrizal Aziz
(Mantan Aktivis IMM)
Judul di atas adalah tema Pelantikan DPD IMM Jawa Timur, yang sukses digelar pada Ahad, 10 Maret 2019 lalu di Gedung Grahadi. Setelah ramai-ramai pasca Musyda di Jember tahun lalu. Sepertinya butuh energi untuk "merampungkan" sengkarut perdebatan yang sempat memanas.
Empat hari berikutnya, tepat milad IMM ke-55. Lebih dari setengah abad organisasi ini berdiri. Ada banyak waktu yang terlewati. Ada banyak sejarah dilalui. Tema "mencerdaskan bangsa, membangun peradaban" sangat tepat kiranya, jika benar-benar dihayati.
Tahun 1964, tahun lahirnya IMM adalah masa-masa krusial perpolitik di Indonesia. Sebab setahun berikutnya pecah peristiwa G30SPKI. Setelah pembelotan (atau lebih tepatnya kontra kepemimpinan Bung Karno) muncul dimana-mana. Setahun berikutnya, kekuasaan Bung Karno semakin lemah dan akhirnya jatuh.
Orde baru mulai menancapkan kekuasaannya. Tak sedikit peristiwa bersejarah terjadi pada kurun waktu 32 tahun kekuasaan Pak Harto. Sebutlah peristiwa Malari dan Reformasi 1998, yang salah satu motor penggeraknya adalah tokoh IMM, Prof. Amien Rais.
Saat reformasi digulirkan, suasana ekonomi setelah itu kian membaik. Salah satu wujudnya, akses pendidikan semakin terbuka, kesadaran untuk belajar ke jenjang perguruan tinggi juga bertambah. Wajib belajar 9 tahun zaman orba naik menjadi 12 tahun untuk sekarang ini.
12 tahun ternyata tidak cukup, paling tidak muncul kesadaran untuk setidaknya lulus S1. Dampaknya, jumlah mahasiswa membludak. Kampus-kampus dipugar dengan indah, dan tentu saja, organisasi mahasiswa kian subur.
Sebab mahasiswa selalu diprovokasi dengan istilah agen perubahan dan agen kontrol sosial. Tak mungkin dua hal itu bisa dijalankan jika hanya duduk di kelas, mengerjakan tugas, berkencan, lulus, bekerja dan kemudian sibuk dengan urusan administratif pekerjaan.
Harus ada wadah yang bergerak, berhimpun, untuk menyalakan api perubahan. Lewat organisasi, kemungkinan itu bisa terjadi. Organisasi pun tak sembarang organisasi. Tak sedikit juga organisasi yang hanya untuk kesenangan sendiri. Untuk sekedar jalan-jalan dan memenuhi sosial media dengan foto-foto minim substansi.
IMM adalah salah satu, dari sekian organisasi mahasiswa yang berusia cukup tua. Lebih setengah abad berlalu. Tentu sudah banyak tokoh dilahirkan, dan masih lebih banyak lagi bibit-bibit baru yang siap tumbuh.
Iklim untuk menumbuhkan itu harus terus dirawat. Tri kompetensi dasar menjadi slogan yang bagus dan cukup menjual, mengesankan sebuah semangat meletup-letup untuk menjadi manusia paripurna, yang unggul dalam tiga lini sekaligus : intelektual, religius, dan humanis.
Komisariat harus menjadi wadah utama dalam merawat iklim tersebut, didukung oleh hirarki di atasnya. Hal itulah yang setidaknya saya alami, sejak bergabung dengan IMM, bergelut di dalamnya selama tak kurang dari lima tahun.
Terbayang ketika saya harus menjadi Kabid RPK (Riset dan Pengembangan Keilmuan) PC IMM Malang, dan musti memenuhi beberapa undangan diskusi, dengan peserta yang kuat bacaannya. Sehingga, seringkali ketika saya diminta menjadi pemantik diskusi, justru menjadi momentum adu wawasan dan bacaan.
Iklim semacam itu membuat saya harus membaca, sebab bila tidak, pasti mati kutu ; kalah berargumentasi, sebab para peserta yang sekalipun baru pimpinan komisariat, sudah melahap beragam bacaan yang menjadi topik diskusi.
Dalam IMM pula saya belajar bahwa diskusi berbeda dengan ceramah. Dalam ceramah peserta hanya duduk dan mengangguk, dalam diskusi peserta bisa tidak sepakat dengan pemateri, mendebatnya dengan bermacam argumentasi, atau sekedar bertanya untuk menguji.
Iklim semacam itu layak untuk dilestarikan, dipupuk agar semakin subur. Melahirkan kader-kader kritis, yang tidak saja luas pengetahuan, namun juga kuat berargumentasi.
Barangkali itu wujud kecil dalam mencerdaskan bangsa, cara-cara sederhana membangun peradaban. Jangan melulu sibuk berpolemik, apalagi berpolemik di internal. Kata Buya Syafii Maarif, berdebatlah karena beda pendapat, bukan karena beda pendapatan.
Semoga, berita-berita kurang sedap dan tidak produktif yang mendera IMM sejak tanwir di Papua, dualisme muktamar, penolakan hasil Musyda dan lain sebagainya, lekas berganti dengan berita-berita yang lebih punya makna.
Selamat milad ke-55. Semakin tua, semakin besar, dan semoga makin banyak melahirkan kader-kader yang handal. []
Blitar, 14 Maret 2019