loading...

Jumat, 12 Agustus 2016

Mimpi, Cita-cita, dan Ilusinya


Oleh : Iqbal F.


Untuk apa anda punya cita-cita? 
Untuk apa anda punya mimpi?

Menjawab dua pertanyaan itu memang tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi jika seseorang tidak pernah punya mimpi, atau cita-cita. Katanya, let it flow saja, seperti air mengalir. Hanyut bersamanya, tanpa tahu hendak kemana, entah ke samudra, atau bendungan, atau ke pembuangan.

Tapi pertanyaan diatas tidak sesulit pertanyaan ini. Untuk siapa anda punya mimpi dan cita-cita?

Sekolah sampai tinggi, bekerja di lembaga dengan gaji tinggi, berbisnis, dan lain sebagainya.

Punya uang yang banyak. Minimal punya kekuatan finansial yang cukup. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, serta untuk memenuhi keinginan. Sisanya untuk siapa? Adakah orang yang hendak anda bahagiakan?

Pertanyaan mendasar tentang kehidupan memang menjadi subyek filsafat yang paling populer. Agar kita tahu untuk apa, siapa, dan kenapa kita melakukan ini semua. Agar kita tak terjebak dalam ilusi dan paradoks kehidupan yang pahit.

Ilusi, karena anda tidak tahu apa yang anda lakukan selama ini. Untuk siapa anda melakukan itu, dan kenapa.

Yang jelas, segala yang kita lakukan pasti ada tujuannya. Pasti. Suatu ketika, aku bertemu salah seorang karyawan swasta di salah satu foodcourt di daerah ciwalk. Kami terlibat perbincangan. Ia bukan asli Bandung, perantuan dari Jawa Tengah.

Katanya, biaya hidup di Bandung mahal. Meski gajinya sudah UMR. Mahal? Padahal kalau hanya untuk membiayai hidup sendiri, gaji UMR menurutku sudah lebih dari cukup. Kecuali kalau gaya hidupnya memang mahal. Who's know?

Ternyata bukan. Mahalnya, karena dia harus menyisihkan separuh gajinya untuk orang tua di kampung. Pantes saja. Kalau begitu, ya jelas harus ngirit.

Dia ingin berwirausaha. Sembari kerja kantoran. Untuk nambah penghasilan. Itulah cita-citanya terdekat. Ia hanya sedang mencari format bisnis yang menurutnya pas, dan bisa ia kerjakan di sela kesibukannya.

Mungkin yang berfikiran seperti itu bukan hanya dia. Pasti banyak yang lainnya. Mereka bekerja, punya mimpi, cita-cita, atau minimal harapan. Bukan untuk dirinya sendiri, untuk orang yang mereka sayangi, untuk orang yang selalu ada dalam fikiran kita.

Membayangkan orang tua di kampung, dari tempat perantauan itu tak mudah. Secara psikologis. Itu yang pernah dialami bapak saya ketika harus menyelesaikan master di salah satu kota sebelah selatan Prancis. Full beasiswa. Memendam rindu yang terlalu lama. Hanya bisa pulang saat moment kepulangan.

Bagi dia dan karyawan lain, salah satu mengobati rindu kampung halaman adalah dengan mengirimkan separuh gajinya kesana. Meski ia baru bisa pulang setahun sekali, itupun hanya beberapa hari.

Ia harus bekerja keras mencari uang, tapi ia lega karena tahu untuk apa dan siapa ia melakukan itu. Untuk orang yang ia fikirkan, dan memikirkannya. Sisanya tentu, untuk dirinya sendiri. (*)

Bandung, 10 Agustus 2016