loading...

Jumat, 21 Oktober 2016

Isi Otak dan Isi Perut





“Zaman itu orang pada kenyang perutnya, jadi malas berfikir. Tapi kalau perut lapar, juga tambah malas berfikir.”

Ditengah makan siang, ungkapan itu melucur dari mulut seorang organisatoris gaek yang sudah menghabiskan separuh hidupnya untuk organisasi. Saya tahu, lapar dan kenyang itu hanya sekedar kiasan. Bukan semata soal makanan. “Sekarang umur saya 52 tahun. Saya berada di organisasi itu sejak umur 18 tahun,” lanjutnya dengan ekspresi meyakinkan, menunjukkan betapa sebenarnya dia sudah begitu mahfum dengan realitas.

Generasi tua biasanya jarang berbicara teori atau idealisme, yang ia bicarakan realitas. Berfikirnya pun realistis. Beberapa cenderung pesimis. Berbeda dengan anak muda yang berbicara panjang lebar soal idealisme, optimisme, namun terkesan utopis. “Ngomong panjang lebar tapi gak ada satu pun yang bisa diterapkan,” respon organisatoris gaek itu sambil tertawa getir.

Disaat yang bersamaan ada yang bertanya kepada saya terkait aksi demonstrasi mengkritik 2 tahun kepemimpinan Jokowi-JK, mereka mengkritisi tumpulnya hukum, kesenjangan hingga stabilitas ekonomi. Demonstran biasanya memang cenderung kritis dan menguliti kesalahan-kesalahan rezim.

“Itu teman saya, ngomong panjang lebar bagaimana seharusnya Pemerintah membuat kebijakan agar ekonomi negara stabil, padahal tiap bulan ia masih bergantung pada kiriman orang tua. Jangankan ekonomi negara, ekonominya sendiri saja belum stabil,” jelasnya.

Seumur-umur saya baru sekali ikut berdemo. Itupun berdemo terkait pemilu kampus. Hampir semua sesi demo menuntut rezim, baik yang bersifat lokal ataupun nasional, saya tidak pernah ikut. Karena itulah banyak yang nyinyir. Katanya, saya tipe mahasiswa romantis yang tidak peduli dengan kondisi negara. Atau, menyebut saya hedonis karena seringnya nongkrong di cafe atau mall. Padahal sekedar nongkrong, bukan berarti menghabiskan uang, bisa untuk sekedar jalan-jalan. Membuang bosan.

Itu diperparah, ketika suatu ketika saya menulis bahwa aksi demonstrasi sudah tidak lagi relevan. Apalagi demonstrasi emosional tanpa suatu alternatif ide untuk memperbaiki yang ada. Itu hanya sekedar eksis, menunjukkan bahwa ia peduli dengan nasib negara dan bangsa, atau nasib lingkungannya. Padahal aspirasi itu bisa jadi menguap, bias tak membekas. Yang tersisa hanya pecahan triplek dari helm-helm yang beradu sengit dengan tongkat security. Atau lelehan ban yang dibakar untuk mendramatisir, beserta tanaman yang rusak disekitar jalanan.

Tahun 1998, dengan segala kompleksitasnya, demonstrasi hanya mengisyaratkan satu hal yang realistis. Satu hal yang bisa dengan mudah diterima atau ditolak oleh rezim : mundurnya Soeharto. Tidak muluk-muluk. Yang muluk-muluk itu urusan belakangan. Permintaan itupun dipenuhi, dengan segala resiko yang akhirnya menguntit hingga saat ini.

Selepas itu, tidak ada demonstrasi paling sukses dari 98, terutama dalam melawan rezim. Rezim semakin susah dijatuhkan, karena dipilih sendiri oleh rakyat. Dulu yang kritis dibungkam. Tapi dengan dibungkam, kita jadi tahu mana yang benar dan yang salah. Terang sekali. Sekarang yang kritis dibiarkan bersuara, tapi selalu ada yang membantahnya dengan argumentasi yang tak kalah. Akhirnya kritik jadi semacam komoditi.

“Dulu orang-orang kritis karena mereka lapar. Buktinya mereka dipenjara. Yang kenyang memang tidak bersuara, karena apalagi yang mau disuarakan untuk dirinya?” sambung saya dalam perbincangan.

Di meja yang berbeda orang sedang membicarakan proyek. “Yang ini harus kita dapatkan. Lumayan!” terdengar suara renyah dari pemuda yang hatinya nampak berbunga-bunga. Saya berniat mengakhiri makan siang itu.

“Sekarang tunjukkan siapa yang masih peduli dengan ini semua? Kalau bukan kalian?” bapak itu mengajak berbincang lagi. Saya jadi ingat kata-kata Tan Malaka, bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir.

Perut saya sudah kenyang, tapi malah malas untuk berfikir mendalam. Bawaannya jadi ngantuk. Saya kemudian memesan kopi. “Ya, kalian terus saja buat forum diskusi, menulis, atau hal-hal lain. Tapi tidak semua orang tertarik dengan itu,” lanjutnya.

Saya mahfum. Meski usia saya bahkan tidak ada separuh dari usia bapak itu. Belum tentu saya bisa bertahan selama itu, dan siapa bisa menduga batas usia kita? tapi kita harus bertahan bukan karena pujian. Pujian itu ilusi yang melenakan. Meski sesekali kita butuh juga. Kita harus bertahan karena sesuatu hal yang kita perjuangkan. Satu hal yang tidak semata urusan perut. Maka kalau ada istilah, perut kosong otak tidak jalan, atau logika tumpul tanpa logistik. Itu terlalu mengada-ngada.

Otak tumpul karena menjadikan logistik sebagai tujuan. Padahal logistik dibutuhkan untuk hidup, bukan hidup untuk logistik. Orang cari uang untuk membayar, bukan membayar untuk uang. Ini logika sederhana sekali. Dalam istilah jawa, ada kata Mulyo dan Mukti. Mulyo artinya hidup tercukupi, tapi tidak terlalu berguna bagi sekitar. Karena uangnya untuk foya-foya. Sementara Mukti, bisa jadi kehidupan ekonominya biasa saja, tapi ia punya imbas positif yang meluas.

Dalam perbincangan dengan seorang tokoh Muslim beberapa tahun silam, ada tamu yang nyeletuk begini : bapak ini aneh, dapat hibah sekian ratus miliar, tapi kenapa diberikan kepada negara?. Maksudnya, hibah itu digunakan untuk membangun kampus, yang kebetulan kampus itu milik pemerintah. Padahal, bisa saja ia bangun lembaga sendiri, milik pribadi, dengan pengelolaan sendiri. Tidak perlu bersinggungan dengan BPK. Toh bukan uang negara.

Katanya, kalau bangun sendiri, bisa mulai dari awal lagi. Itu tidak bisa besar. Tapi kalau diberikan negara, tinggal untuk melanjutkan pembangunan yang ada. pengajarnya juga sudah ada. Sehingga bisa lebih besar. Mungkin ini disebut kehidupan yang mukti. Padahal ia bisa lebih mulyo jika memiliki lembaga pribadi. Hal yang sama belum tentu mampu saya lakukan, dengan beragam godaannya. (*)

Blitar, 20 Oktober 2016
A Fahrizal Aziz