loading...

Selasa, 24 Januari 2017

Membedakan Ulama’ dan Sekedar Penceramah





Belakangan orang bisa dengan mudahnya mendapat sebutan Ulama, atau menyebut dirinya Ulama. Apalagi, ketika secara institusi berdiri Majelis Ulama. Entah MUI, MIUMI, atau yang lain. Namun tidak sedikit yang meski mengkaji agama secara mendalam, namun tidak menggunakan kata Ulama’, seperti ICMI, yang lebih memilih kata Cendekiawan ketimbang Ulama’.

Sebagaimana kita tahu, Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalimadalah isim fa'il dari kata dasar:’ilmu. Jadi ‘aalimadalah orang yang berilmu dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu.

Namun demikian, dalam KBBI definisinya dikerdilkan menjadi orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Sehingga dalam masyarakat, Ulama itu hanya yang terlihat berdiri di mimbar memberikan ceramah keagamaan. Mereka yang di kampus, yang jarang (atau memang tidak mau) memberikan pengajian umum, yang meski kesehariannya mengkaji agama dan mengajarkannya di kampus, luput dari definisi Ulama’.

Meskipun banyak sekali tokoh Islam yang mendefinisikan kata Ulama’ ini dalam berbagai pandangan masing-masing. Hanya saja, sebagaimana dari kata asalnya, Ulama’ memiliki dimensi keilmuan. Di negara berbahasa arab, Ilmuwan dan Peneliti itu juga disebut Ulama’, dikarenakan Ulama’ mencakup pengertian di dalamnya, sebagai orang-orang yang berilmu.

Meski secara khusus ada perbedaan, misal yang ahli agama disebutnya khabir atau khubara’, lalu Muhtarif atau muhtarifun, Fanni atau fanniyyun yang merujuk kepada teknokrat, dan Tabib untuk sebutan dokter atau ahli pengobatan.

Posisi Ulama’ dalam Islam sangatlah mulia, bahkan Al Qur’an menyebutkan derajat kemuliaan orang-orang yang berilmu (Ulama’) beberapa derajat dibandingkan orang beriman. (QS. Al Mujadalah ayat : 11)

Sementara dalam HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Ulama kata Rasullulah adalah warasathul anbiya(pewaris para nabi). Maka disini sangat jelas betapa pentingnya posisi Ulama, sebagai penerus dakwah sekaligus kehidupan Islam.

Jika kita kaji lebih jauh, Ulama’ terdahulu, mereka memang orang terpilih yang memiliki kemampuan diatas rata-rata. Sebut saja Imam Syafi’i dan beberapa Ulama lain yang bahkan sudah hafal Al Qur’an dibawah usia 10 tahun. Selain kecerdasan tersebut, para Ulama’ terkenal biasanya memiliki kitab yang menjadi pedoman atau rujukan Umat.

Pada point inilah, banyak orang lupa bahwa peran Ulama selain menyampaikan sesuatu by pass(langsung) dari Nabi ke Ummatnya, namun juga melakukan ijtihad dalam berbagai bidang untuk merespon kondisi zaman yang berkembang. Makanya kemudian para Ulama membuat kitab-kitab yang mempermudah Umat untuk belajar Islam atau Ilmu.

Ada yang fokus dalam kerja Ilmiah mengkompilasi hadits seperti para Imam, mulai dari Imam Bukhori sampai Imam Ahmad dengan Musnad Ahmadnya, kitab-kitab fiqh, pemikiran, filsafat, sampai Moral dan Pendidikan seperti Kitab Ta’lim al-Muta’allimkarya Syekh Zarnuji.

Menariknya pula, banyak Ulama’ terdahulu yang meskipun ahli fiqh, namun juga dikenal sebagai ahli sastra, seperti al-Adib al-Mukhtar Rukn al-Din al-Farghani. Sementara Ulama’ kesohor yang kitabnya begitu luas di Indonesia salah satunya Imam Al Ghazali dengan kitab Ihya’ Ulumuddin yang fenomenal. Belum lagi khazanah kitab tafsir yang begitu banyak jumlahnya.

Selain itu, juga ada beberapa Ulama’ yang ahli ilmu kedokteran, salah satu yang paling populer adalah Ibnu Sina.  Kitabnya Qanun fi al-Tibb (Canon of Medicine). Buku yang terbagi atas 3 jilid ini pernah menjadi satu-satunya rujukan dalam bidang kedokteran di Eropa selama lebih kurang lima abad.

Selain Ibnu Sina, patut kiranya kita mengingat sumbangsih pemikiran Ibnu Rusyd, yang sangat berjasa dalam kemajuan eropa modern. Tiga kitabnya, Al Kulliyat fi at-thib dalam bidang kedokteran, Bidayat al-Mujtahid dalam bidang hukum Islam, dan Tahafut at tahafut dalam upayanya menengahi ketegangan antara Abu Hamid dan Pemikiran Aristoteles menjadi karya fenomenal nan berkelas.

Bahkan, Ibnu Rusyd disebut sebagai komentator terkemuka dari karya-karya Aristoteles, yang kemudian dibaca luas oleh sarjana barat, yang turut serta merangsang mereka untuk kebangkitan Ilmu Pengetahuan di eropa.

Yang tak kalah berkelas juga adalah karya-karya Ibnu Khaldun, yang disebut peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan ekonomi. Baik melalui karya fenomenal berjudul Muqodimah, kitab Al-‘ibar sampai tujuh jilid, dan karya lainnya yang menyoroti soal teologi dan fiqh.

Salah satu Ulama’ yang juga banyak dirujuk di Indonesia adalah Ibnu Taimiyah. Kecerdasannya dalam berbagai bidang sangat diakui, selain memahami rijalul hadits, serta wawasan yang luas tentang kutubus sittah dan Al Musnad, Ibnu Taimiyah juga pandai dalam ilmu hitung. Meski kemudian konsentrasinya lebih diarahkan pada hal-hal keagamaan, hingga berbuahlah Majmu Fatawa.

Dari sini semestinya kita tidak sembarangan menyebut orang Ulama’. Apalagi hanya karena sering menyampaikan ceramah. Ulama tidak hanya sekedar katalisator (penyampai) semata, namun mereka juga terlibat tradisi ilmiah, dengan merespon situasi, dan kemudian menulis kitab untuk memberikan pencerahan.

Kitab tersebut bisa berupa masalah ibadah, atau masalah pemikiran. Bahkan bisa jadi kitab syair dan sastra. Peran Ulama’ lebih dari sekedar memobilisasi massa, atau memberikan doktrin kepada Jamaah, melainkan mengajak mereka berfikir lebih cerdas dengan menulis kitab-kitab yang merepresentasikan pandangan-pandangannya.

Maka, Ulama yang sesungguhnya justru bersikap lebih tawadu’, bahkan kadang dipanggil Ulama pun enggan, karena saking tawadu’nya dan merasa takut jika sebutan itu membuatnya sombong. Meskipun yang bersangkutan memiliki keilmuan tinggi, dan telah menelurkan karya-karya berupa kitab atau buku yang membantu Umat memahami banyak hal dalam kehidupan ini.

Makanya, sebelum menyebut seseorang itu Ulama’, kita perlu tahu bagaimana latar belakangnya, gaya hidup, khazanah keilmuan, dan karya-karyanya. Karena Islam sangat memuliakan Ulama’, bahkan Nabi Muhammad SAW menyebutnya pewaris para Nabi.

Jika kita salah mengikuti Ulama’, yang ternyata hanya senang dengan simbol-simbol ulama, namun tidak memiliki kapasitas sebagaimana Ulama’, maka kita tidak akan tambah cerdas, tidak akan mendapatkan kedamaian dari kedalaman ilmu. Karena Ulama’ itu selain harus kita hormati figurnya, juga harus kita kaji karya-karyanya, agar kita tercerahkan. [red.s]