loading...

Selasa, 03 Januari 2017

Muhammadiyah dan FPI





Benturan ideologi antara Muhammadiyah dan FPI pernah disorot oleh Sholihul Huda, S.HI, M.Fil, dosen perbandingan agama Universitas Muhammadiyah Surabaya, yang juga pengurus PWM Jatim. Ia menulis buku berjudul Benturan Ideologi di Muhammadiyah, pertarungan ideologi moderat vs radikal.

Penulisan buku tersebut mengambil konteks Paciran, salah satu tempat di Lamongan utara yang juga menjadi wilayah tumbuh suburnya Muhammadiyah. Disana banyak kader Muhammadiyah yang kemudian juga tergabung dalam FPI. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Meski konteks penulisan buku tersebut diambil di Paciran, namun secara kasuistik penyebabnya hampir sama.

Di halaman 150-154, dalam sub bab bentuk transisi ideologi Muhammadiyah-FPI, penulis menjabarkan hasil penelitian sekaligus wawancara dengan berbagai tokoh. Penyebab kader Muhammadiyah bergabung dengan FPI, salah satunya karena Muhammadiyah dinilai kurang responsif dengan kemaksiatan yang terjadi di Masyarakat. FPI dinilai lebih tajam dalam hal nahi munkar.

Ternyata para pendiri awal FPI disana sebagian besar adalah kader Muhammadiyah. Mereka menilai Muhammadiyah lebih terfokus ke gerakan amar ma’ruf, dengan mendirikan lembaga pendidikan, dlsb. Sementara FPI bisa lebih tegas menjalankan nahi munkar, terutama dalam merespon kemaksiatan yang terjadi di Masyarakat.

Dikemudian hari gerakan FPI dinilai terlalu ekstrem dan tidak sejalan dengan dakwah Muhammadiyah yang cenderung santun dan kultural. Terjadilah gesekan ideologi. Gerakan FPI terlalu reaksioner. Ada yang menganggap reaksionernya tersebut positif, ada yang menganggap negatif.

Yang positif menilai, hadirnya FPI karena negara kurang cakap dalam merespon kemaksiatan yang terjadi. Semisal, banyaknya kasus perzinahan, miras, dan narkoba. Yang negatif, melihat jika FPI di Paciran identik dengan Muhammadiyah. Sementara sikap Muhammadiyah selama ini cenderung akomodatif terhadap Pemerintah.

Menempatkan Wewenang

Dalam sebuah negara, tugas penegakan hukum sudah dibebankan oleh aparat atau lembaga terkait. Kehadiran FPI, dalam wujudnya nahi munkar, menjadi satu problema tersendiri, jikalau mereka merasa berhak untuk melakukan penindakan. Sebagai Ormas, peran maksimal adalah melaporkan segala bentuk kejahatan yang terjadi kepada pihak berwenang, lalu bersama-sama mengawal proses hukumnya.

Jika dalam sebuah negara ada kelompok masyarakat yang merasa berhak untuk menghakimi setiap kejahatan, tanpa melalui proses peradilan yang berlaku, maka akan menciptakan suasana anarkis. Disatu sisi ini menjadi kritik bagi lembaga penegak hukum yang lamban dalam menindak kejahatan yang terjadi.

Muhammadiyah sejak awal berdirinya memang terilhami oleh QS. Ali Imron : 104, dimana pointnya adalah amar ma’ruf nahi munkar. Namun dalam aplikasinya, penerapan amar ma’ruf nahi munkar tersebut tidak secara represif, melainkan melalui jalur sosial.

Gesekan paling keras pada gerakan Muhammadiyah terjadi dalam upaya melawan TBC (takhayul, bid’ah, dan Churafat), sehingga Muhammadiyah mendapatkan label wahabi. TBC sendiri kemudian dikaji ulang dalam persepsktif yang berbeda. Selebihnya, dakwah Muhammadiyah bersifat akomodatif dengan memasuki jalur pendidikan, pelayanan sosial, dan ekonomi.

Gerakan yang bersifat membangun bangsa dari akarnya, bersatu dalam denyut nadi masyarakat dengan cara-cara yang santun dan membangun. Bukan dengan cara-cara represif seperti sweping, demonstrasi, atau pidato-pidato provokatif. Cara-cara semacam itu terlihat memukau dan seperti paling terdepan dalam membela Islam, namun nyatanya justru menciptakan luka dan sentimen kuat ditengah masyarakat dan Peradaban.

Disinilah, Muhammadiyah dan para penggeraknya harus kembali menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Sebagai Islam modern, Islam Kosmopolite, Islam yang tidak hanya sebagai keyakinan, tapi juga instrument untuk membangun peradaban. [red.s]