loading...

Rabu, 11 Januari 2017

Perspektif Keagamaan Muhammadiyah Berbeda dengan FPI, HT, dll





Sebagai Organisasi yang lahir 33 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah tentu sudah menciptakan kulturnya tersendiri. Termasuk dalam perspektif gerakannya. Meski dikenal sebagai gerakan purifikasi yang menolak Takhayul, Bid’ah, dan khurafat. Namun dalam persepektif sosial, Muhammadiyah selalu memperbaharui dirinya, sebagai ciri gerakan Islam Modern.

Refleksi menarik pernah dituliskan oleh Dr. H. Haedar Nashir, M.Si dalam sebuah artikel berjudul “Perspektif Indigenous Muhammadiyah” pada halaman 12-13 Majalah Suara Muhammadiyah edisi no. 24/th. Ke 97 16-31 desember 2013. Dalam pembukanya, tokoh yang kini mejabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menulis seperti ini :

Pakaian adalah bagian dari identitas diri. Muhammadiyah dengan identitasnya telah memiliki pakaian yang pas untuk dirinya. Jika dikenakan pakaian milik orang lain tentu tidak akan cocok, Kemungkinannya, kelonggaran atau kesempitan. Kalaupun ada yang pas ukurannya, belum tentu nyaman untuk dipakai Muhammadiyah.

Menurutnya, Muhammadiyah sudah merumuskan identitas tajdid atau pembaharuan yang becorak purifikasi dan dinamisasi. Mengambil posisi tengahan atau moderat yang dipandang tepat dan relevan bagi Muhammadiyah. Sementara itu, Ahmad Najib Burhani, yang juga banyak menulis buku dan artikel tentang Muhammadiyah, juga menyebut bahwa Muhammadiyah adalah organisasi terbuka yang menyerap segala hal positif dari manapun, termasuk dari Wahabi dan Barat.

Deliar Noer bahkan mengatakan, jika Moderatnya Muhammadiyah juga berbeda pula dengan Persatuan Islam (Persis) yang disatu sisi cenderung lebih keras.

Lebih lanjut, dalam artikel tersebut, Haedar menulis bahwa purifikasi keagamaan yang dilakukan Muhammadiyah sebenarnya berbeda dari purifikasi kaum revivalis maupun neorevivalis yang cenderung keras seperti gerakan Wahabi, Salafi, Jamaah Tabligh, MTA, Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Ansharu Tauhid, LDII, FPI, dan gerakan Islam sejenis yang mekar di Tanah Air.

Perbedaan-perbedaan tersebut bukan untuk dikonfrontasikan, melainkan untuk mengetahui posisi dan pandangan keagamaannya setiap gerakan Islam dalam bingkai ukhuwah.

Muhammadiyah dan Islam Indonesia

Dalam berbagai buku, termasuk diantaranya buku “Muhammadiyah Jawa” karya Ahmad Najib Burhani, dijelaskan bagaimana respon Muhammadiyah terhadap budaya jawa yang konon penuh dengan praktek takhayul dan khurafat. Juga respon Muhammadiyah terhadap Islam Jawa yang memadukan tradisi lokal dengan Islam.

Tentu jika Muhammadiyah memposisikan diri sebagai gerakan esklusif (tertutup), dakwahnya tidak akan berkembang sampai ke berbagai pelosok daerah. Juga ketika Muhammadiyah memposisikan diri sebagai gerakan garis keras yang suka melakukan sweping semaunya.

Dalam politik praksis, Muhammadiyah tidak dalam posisi mengejar kekuasaan. Termasuk dalam pendirian negara Republik Indonesia, juga perumusan dasar negara. Perdebatan soal dasar negara sudah final, dan Muhammadiyah memilih untuk ikut mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia dengan gerakan-gerakan nyata.

Pada berbagai aspek itulah kita tahu bagaimana pandangan keagamaan Muhammadiyah. Bagaimana Muhammadiyah memposisikan diri dalam pembangunan bangsa dan negara. Maka posisi Muhammadiyah tentu lebih luas, lebih substantif daripada hanya sekedar mengejar kekuasaan, atau alat yang diorganisir untuk kepentingan tertentu.

Berbagai organisasi Islam baru, tumbuh pasca meletusnya reformasi di tahun 1998, seperti FPI dan HTI, juga beberapa Parpol bercorak Islam, yang tidak memiliki pengalaman getir dalam sejarah panjang lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. [red.s]