loading...

Kamis, 26 Oktober 2017

IPM, IMM, dan Kader Berikutnya



Masalah perkaderan sangatlah penting, namun disisi lain paling diabaikan. Itulah kenapa saya nekat untuk bantu-bantu di MPK (Majelis Pendidikan Kader), agar mengetahui realitanya.

Ternyata sangat kompleks. Ya, sebagaimana yang dituturkan bapak-bapak. Selain karena kesibukan pekerjaan yang sudah menguras energi, berbagai rangkap jabatan juga terjadi. Tak jarang satu orang harus merangkap sebagai pengurus ortom, ranting, cabang, sampai daerah.

Belum lagi yang mendapatkan amanah mengelola amal usaha. Tentu tidak bisa dibayangkan betapa sibuknya, dan betapa sulitnya mengatur waktu.

Selain itu, andai kemudian diadakan agenda perkaderan, katakanlah 2-3 hari menginap, itu juga tidak mudah terealisasi. Bahkan untuk sekedar acara di hari libur pun, banyak yang menolak. Hari libur saatnya liburan, berkumpul dengan keluarga, kok masih harus mengurus organisasi?

Kalau melihat fakta ini, tentu betapa besar perjuangan, sekaligus pengorbanan mereka yang secara ikhlas mengurus Muhammadiyah, memikirkan regenerasi atau program-program lain yang tentu saja bertujuan memberdayakan Umat.

Belum lagi jika anaknya harus "diminta" menjadi kader, sebab Orang tuanya juga adalah kader. Saya pribadi belum tentu mau, andai kedua orang tua saya Muhammadiyah, dan saya harus bergabung juga dengan Muhammadiyah karena alasan tersebut.

Andaikan pun akhirnya bergabung, biar karena mereka menemukan sendiri "jati diri" ideologinya.

Meski perkaderan adalah proses panjang dan teramat panjang, dan tidak bisa sekali dua kali tatap muka lalu bisa benar-benar menghayati posisinya sebagai kader. Tidak bisa juga hanya karena memiliki NBM/KTA, yang bisa didapat hanya dari rekomendasi PCM dan PDM, lantas bisa disebut kader.

Utamanya, perkaderan adalah proses penanaman ideologi. Selebihnya bisa dalam hal administrasi, keorganisasian, dll.

Ketika awal mula saya masuk ke Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), ikut menggagas program dan agenda yang berkait dengan informasi dan kepustakaan, yang pertama kali terbersit adalah bagaimana ada proses kaderisasi dalam bidang ini?

Pemikiran semacam ini mungkin ribet, dan saya memahami, sebab bapak-bapak tentu sudah sangat sibuk. Sampai saya diminta "mengambil" beberapa anak di IPM dan IMM untuk ikut mengelola website.

Lho, kan belum kita kader?

Karena itu, sebenarnya ada program upgrading selepas workshop MPI di MBT Garum waktu itu, hanya saja proses tersebut belum bisa terlaksana.

Selain pelatihan mengelola website, juga bagaimana menyajikan konten atau tulisan yang ideologis? Ini tidak gampang. Ini bukan saja tugas MPI, tapi tugas kaderisasi secara menyeluruh.

Termasuk ketika kita mendambakan dai Muhammadiyah yang benar-benar ideologis. Bagaimana ukurannya?

Kita tidak bisa "mengambil" kader lalu diberikan tugas berat, sementara mereka belum mendapatkan pengalaman dan keterampilan soal itu.

Begitu pula, saya menyadari betul, bahwa bagaimana kiranya saya menjalankan program perkaderan di MPK, sementara proses perkaderan saya dibentuk di Kota lain, dalam wadah yang berbeda.

Sementara keadaan tiap daerah pun berbeda.

Meskipun, masih banyak bapak-bapak, bahkan Ketua MPK sendiri, yang merasa gelisah dan perlunya perkaderan yang lebih holistik. Tapi lagi-lagi, terkendala waktu dan kesibukan.

Sementara anak mudanya, seperti saya, belum tentu siap. Karena memang tidak pernah dipersiapkan.

IPM dan IMM

Berkahnya, Muhammadiyah memiliki sekolah, dari TK sampai SMA. Memiliki IPM. Tentu mereka anak-anak muda, sebagian lagi remaja dan anak-anak. Apalagi jika bersekolah di Muhammadiyah, tambah komplit.

Sekolah adalah "lahan subur" perkaderan, sebab mereka memang memfokuskan waktu untuk belajar. Ada mata pelajaran khusus AIK, Ke-Muhammadiyahan, atau sejenisnya.

Atau paling tidak mereka yang bergabung ke IPM dan IMM, yang bukan dari Sekolah/Kampus Muhammadiyah, kesehariannya pastilah bergelut dengan hal-hal akademik.

Bagaimana IPM dan IMM bisa menjadi "Sekolah/kampus kedua" bagi mereka.

Bagaimana IPM dan IMM bisa memberikan ruang lain berupa pengayaan pengetahuan, kemampuan bicara, kepemimpinan, dan sebagainya, yang kurang didapat di sekolah/kampusnya.

Sebab jika sudah tidak di IPM atau IMM, kesempatan seperti itu belum tentu ada. Sudah disibukkan pada urusan praktis sehari-hari.

Artinya, perkaderan secara ideologis, besar kemungkinan terjadi di IPM dan IMM, dalam rentang usia 18 - 25 tahun. Setelah usia tersebut, mereka akan mengelaborasikan sendiri makna ideologi yang mereka dapat pada bidang yang mereka geluti.

Atau yang lebih praktisnya, bagaimana IPM dan IMM nantinya bisa dipersiapkan untuk Muhammadiyah di masa yang akan datang, dari berbagai bidang. 

Dalam suasana semacam ini, IPM dan IMM lah yang menjadi harapan paling besar, untuk regenerasi. Sebab kader-kader ideologis sangat mungkin muncul dari situ.

Mereka pun sebenarnya bisa berkreasi sendiri. Memang sering terjadi satu dua hal yang membuat bapak-bapak geregetan, tapi ya namanya anak muda, dan apalagi yang masih remaja. []

Blitar, 26 Oktober 2017
Ahmad Fahrizal Aziz