Bersedianya Anies Baswedan diusung oleh Koalisi Gerindra-PKS, yang di pilpres 2014 silam adalah rival politiknya, memberikan kritik namun juga kekaguman tersebdiri. Anies dinilai haus jabatan, sehingga asal dicalonkan mau saja menerima. Namun ada juga yang berfikiran lebih positif, Anies memberikan pendidikan politik yang baik bahwa tidak ada rival dalam sebuah kompetisi. Ia bahkan menyebutnya teman dalam demokrasi.
Hal berbeda justru diperlihatkan oleh Ahok. Tahun 2012, koalisi PDIP Gerindra mengusungnya sebagai cawagub mendampingi Jokowi. Jokowi mewakili PDIP dan Ahok kala itu mewakili Gerindra. Andaikan bukan karena Gerindra berkoalisi dengan PDIP, belum tentu Ahok dicalonkan kala itu. Terlepas dari perdebatan apapun, Ahok seharusnya berterima kasih dengan Gerindra, atau secara khusus kepada Prabowo Subianto yang kala itu merekomendasikan namanya.
Namun tidak demikian, Ahok terus keluar dan seolah menciptakan benteng. Attitude inilah yang membuat Gerindra enggan untuk mengusungnya kembali. Jusuf Kalla pun pernah mengingatkan kepada Ahok jangan asal keluar masuk partai. Ahok keluar dari Gerindra karena berbeda pendapat, setelah ia mendapatkan posisi Gubernur Jakarta kala itu.
Kehadiran Anies Baswedan dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 harus dimaknai lebih dalam sebagai kedewasaan demokrasi. Kematangan pribadi dalam berpolitik, yang memiliki perspektif sangat baik tentang kompetisi. Anies tidak saja calon pemimpin DKI Jakarta, tapi juga juru damai yang merawat tenun kebangsaan. Merangkul yang berseberangan, dan tidak suka memicu konflik. [red.s]