loading...

Minggu, 13 November 2016

Menghapus PR Adalah Kebijakan Revolusioner





Entah bagaimana kebenaran kebijakan ini, apa memang sudah disahkan oleh Kemendikbud atau belum, namun kebijakan menghapus PR akan menjadi gebrakan tersendiri dalam dunia pendidikan. Artinya, Guru tidak lagi diberi ruang untuk membebankan pada siswa tugas sekolah di rumah, semua harus tuntas di sekolah. Hal itu bisa memberikan ruang aktualisasi yang lebih luas kepada siswa diluar sekolah.
 
Mendikbud, Muhadjir Efendy
Pada jam pulang sekolah, banyak siswa yang harus mengikuti les tambahan untuk lebih menguasahi mata pelajaran, baik yang bersifat privat maupun kelas umum. Kadang kala justru tempat les tambahan tersebut menjadi barometer utama pendidikan. Maka banyak orang tua yang menggerutu karena nilai anaknya tidak juga membaik, padahal sudah diikutkan les tambahan.

Di Sekolah, dalam moment penerimaan rapor atau ketika ada siswa yang nilainya jelek, maka Guru akan menegur orang tua agar lebih memperhatikan belajarnya. Hal ini sebenarnya terbalik, karena tugas untuk membuat siswa memahami pelajaran adalah Guru, bukan Orang Tua. Kalau Orang Tua bisa, maka tidak perlu disekolahkan. Jika terjadi demikian, maka sekolah hanya lembaga formal untuk mendapatkan ijasah semata.

Seharusnya, jika ada siswa yang nilainya jelek, maka orang tua lah yang bertanya kepada guru, kenapa anaknya bisa mendapatkan nilai jelek? Apa karena kurang konsentrasi, apa karena ada masalah di keluarganya, misal orang tuanya sering bertengkar. Atau karena tidak punya buku pelajaran, dll. Sehingga orang tua bisa berbenah diri sesuai dengan kapasitasnya. Sementara Guru tetap sebagai penanggung jawab utama soal penguasaan pelajaran di kelas.

Biasanya yang terjadi, ketika Guru mengadu kepada orang tua, justru orang tua menjadi alat penekan pada anak. Tidak semua anak bisa ditekan agar lebih giat belajar, justru lebih banyak yang akhirnya berontak dan menjadi nakal. Alat paling efektif untuk menekan anak biasanya adalah PR. Jika Kemendikbud kemudian menghapus PR, ada banyak perubahan mendasar yang terjadi :

Meminimalisir beban
Jam sekolah sebenarnya sudah cukup banyak. Misal dari jam 07.00 sampai maksimal 15.30. Penguasaan terhadap mata pelajaran tidak selalu faktor lamanya belajar, tapi efektifitas. Misalkan, siswa belajar bahasa Inggris sejak kelas 3 SD sampai XII SMA. Namun setelah lulus sekolah, ternyata tidak juga mahir bahasa Inggris. Lalu 10 tahun dapat belajar bahasa Inggris, apa hasilnya? Sementara ada yang ikut kursus intensif, hanya 10 bulan bisa mahir bahasa Inggris. Ini soal efektifitas.

PR yang diberikan guru, biasanya justru memperpanjang pelajaran yang belum tuntas. Dengan tidak adanya PR, maka Guru akan berfikir bagaimana membuat metode agar siswa mudah paham, sehingga tidak perlu ada PR. Hal itu tidak sulit mengingat sekarang kita berada di era teknologi-informasi. Guru akan memutar otak untuk mempelajari lagi metode-metode mutakhir yang lebih efektif, dan bisa juga memicu kreatifitas Guru untuk dalam menyajikan media pembelajaran. Dengan itu siswa tidak lagi terbebani PR, karena sudah tuntas ketika jam tatap muka.

Mengasah Kemampuan lain
Jika sebelumnya siswa ikut les tambahan yang berkaitan dengan akademik, maka diluar jam sekolah siswa bisa aktif dikegiatan lain yang bersifat non akademik seperti seni atau skill yang lain. Ini bisa membuat kemampuan siswa berimbang. Namun orang tua juga harus peka dalam melihat ini, serta sekolah harus berupaya menyiapkan wadahnya melalui ekstrakurikuler.

Fokus siswa bisa terbagi lebih baik. Urusan akademik cukup selesai di ruang kelas, diluar kelas mereka memiliki dunia baru yang mengasah kemampuannya dari sisi lain, misal olahraga, seni, hobi, atau kegiatan lain. Ada yang akhirnya les musik, belajar sastra, kursus fotografi, aktif di ekskul, dll. Aktivitas non akademik juga sangat menunjang bagi kehidupan mereka kelak ketika dewasa, karena itu berkaitan dengan left skill.

Perubahan Paradigma
Guru dan Orang Tua akan berfikir bahwa akademik bukan satu-satunya penunjang untuk kesuksesan siswa. Disini akan terjadi perubahan mental dan pola pikir. Selama ini karena terlalu fokus pada akademik, setelah lulus hanya menghasilkan tenaga kerja. Yang tidak berkesempatan kuliah mayoritas tidak memiliki skill atau keahlian tertentu, karena selama sekolah hanya terfokuskan pada hal-hal yang bersifat akademik. [red.s]