loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Pilihan menjadi kader IMM



UIN Malang menjadi salah satu kampus tujuan paling favorit alumus Aliyah tempat dulu saya belajar. Berdasarkan data yang dihimpun secara partikelir, sebagian besar lulusan Aliyah ini melanjutkan ke UIN Malang. Ada yang menjadikan UIN Malang sebagai pilihan pertama, dan jika gagal di kampus lain yang secara great lebih tinggi, larinya sebagian besar juga ke UIN Malang. Jadi bisa dipastikan, sebagian besar mahasiswa baru UIN Malang yang berasal dari Blitar, adalah Alumni Aliyah tempat saya belajar. Akhirnya, pernah muncul pertanyaan begini : anak Blitar banyak, kenapa yang bergabung dengan IMM hanya kamu?

Hal ini berbeda dengan kader lain, terutama yang berasal dari Lamongan dan Gresik, yang setiap tahunnya mampu mengajak adik kelas, tetangga, hingga teman-temannya untuk bergabung dengan IMM. Meskipun trend terbaru, jumlah kader IMM dari dua kota ini semakin menurun. Bahkan ketua komisariat, bisa berotasi dari berbagai wilayah, tidak selalu dari Lamongan dan Gresik. Bahkan juga mulai banyak kader dari luar Jawa.

Tentu, jarangnya Mahasiswa Blitar yang bergabung dengan IMM, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai mahasiswa asal Blitar, saya memang gagal membentuk branding IMM sebagai organisasi yang diminati. Saya pun juga gagal mengajak adik-adik kelas saya untuk bergabung dengan IMM. Bahkan, adik kelas yang masih kerabat, justru bergabung dengan OMEK lain. Sisanya tidak ada yang ikut.

Kedua, jawaban yang umum adalah soal kultur dan afiliasi organisasi. Nama “Muhammadiyah” dirasa terlalu berat. Apalagi, secara kultural, alumnus Aliyah tempat saya belajar dulu memang bukan dari kultur Muhammadiyah. Disinilah terjadi resistensi. Meskipun kader IMM sendiri, tidak semuanya dari kultur dan keluarga Muhammadiyah.

Hal itu nampak berbeda dengan di UMM. Memang banyak yang bukan berasal dari kultur atau keluarga Muhammadiyah, namun keikutsertaan mereka di IMM karena nama kampusnya adalah “Muhammadiyah”. Di dua kampus yang berbeda, sebagaimana yang pernah saya temui, ada yang menggunakan “jebakan batman”. Bahkan ketika mereka mengikuti DAD, ada yang belum ngeh kalau itu perkaderan IMM. Mereka mengaku bergabung dengan komunitas atau majelis ta’lim. Tentu, model “jebakan batman” ini bagus, tapi juga tidak selalu baik untuk perkaderan.

Bagi saya, bergabung dengan IMM harus melalui kesadaran kritis. Kesadaran bahwa setelah bergabung, konskwensi diantaranya, adalah berlabel sebagai “kader IMM” atau “Kader Muhammadiyah”. Saya bergabung dengan IMM, karena sejak SMA sudah tertarik dengan pemikiran tokoh-tokoh Muhammadiyah, diantaranya Buya Hamka, Buya Syafii Maarif, dan Amien Rais. Meskipun secara geneologis, bukan berasal dari kultur atau keluarga Muhammadiyah.

Karena menurut saya, khusus di kampus UIN Malang, ada tiga jenis alasan kenapa mahasiswa bergabung dengan IMM. Pertama, karena memang dia ikut IPM atau ortom Muhammadiyah lain di daerah. Jadi jiwa idealisme Muhammadiyah-nya ia teruskan di IMM. Kedua, karena berasal dari kultur dan keluarga Muhammadiyah, meskipun tidak pernah ikut ortom Muhammadiyah sebelumnya. Kader kedua ini merasa perlu bergabung dengan IMM sebagai basis kelompok ideologi. Tipe ketiga ini termasuk yang bukan dari ortom dan kultur Muhammadiyah, namun secara ideologi, terutama Mahzab fiqh-nya sejalan dengan Muhammadiyah.

Ketiga, bukan berasal dari kultur Muhammadiyah, tidak juga bergabung dengan ortom Muhammadiyah sebelumnya, tapi merasa tertarik dengan IMM, entah sekedar ingin tahu atau ingin mengeksplorasi kemampuannya.

Saya masuk tipe ketiga. Tipe ketiga ini paling rentan, karena dia bergabung dengan IMM berdasar ekspektasi. Berbeda dengan tipe kesatu dan kedua, yang sudah memiliki ikatan baik dari ortom sebelumnya, dari keluarga, hingga kultur di kampung halamannya. Tipe ketiga ini bisa saja menjadi bosan, malas, dan keluar dari IMM, jika ekspektasi yang ia harapkan tidak terpenuhi. Namun disatu sisi, tipe ketiga ini juga memiliki potensi yang besar.

Dalam beberapa kali acara sharing perkaderan dengan beberapa teman korps instrukstur PC IMM Malang antara tahun 2011-2012, ada satu pertanyaan besar yang sepertinya membutuhkan jawaban seumur hidup, bagaimana cara menggaet banyak kader? Tentunya dari segi kuantitas. Di beberapa komisariat, terutama non PTM, masalah kuantitas kader memang menjadi kegelisahan tersendiri. Karena itu, diterapkanlah perkaderan personal dan kultural. Adik kelas, tetangga, teman dekat, dll diajak untuk bergabung dengan IMM.

Cara-cara konvensional semacam itu baik, namun tidak selamanya manjur juga. Apalagi fokus pada kuantitas. Karena itu akan melelahkan. Percayalah, jika sistem dan budaya organisasi itu sudah terbentuk di dalamnya, maka dengan sedirinya IMM akan menjadi organisasi yang dimintai. Terlepas dari hal-hal pragmatis lainnya. Misalkan, budaya membangun wacana, diskusi, berkarya, dll yang memang tidak tersedia di bangku kuliah namun dibutuhkan dalam pergaulan sosial, terutama masyarakat akademis.

Jika budaya itu sudah matang, maka aura organisasi itu akan muncul dengan sendirinya. Sehingga, banyak yang kemudian bergabung dengan IMM melalui kesadaran individu. Karena bagaimana pun, bergabung dengan IMM adalah sebuah pilihan, tidak bijak jika menggunakan “jebakan batman”. (*)

30 Maret 2015
A Fahrizal Aziz