UIN Malang menjadi salah satu kampus tujuan paling
favorit alumus Aliyah tempat dulu saya belajar. Berdasarkan data yang dihimpun
secara partikelir, sebagian besar lulusan Aliyah ini melanjutkan ke UIN Malang.
Ada yang menjadikan UIN Malang sebagai pilihan pertama, dan jika gagal di
kampus lain yang secara great lebih tinggi, larinya sebagian besar juga ke UIN
Malang. Jadi bisa dipastikan, sebagian besar mahasiswa baru UIN Malang yang
berasal dari Blitar, adalah Alumni Aliyah tempat saya belajar. Akhirnya, pernah
muncul pertanyaan begini : anak Blitar banyak, kenapa yang bergabung dengan IMM
hanya kamu?
Hal ini berbeda dengan kader lain, terutama yang
berasal dari Lamongan dan Gresik, yang setiap tahunnya mampu mengajak adik
kelas, tetangga, hingga teman-temannya untuk bergabung dengan IMM. Meskipun
trend terbaru, jumlah kader IMM dari dua kota ini semakin menurun. Bahkan ketua
komisariat, bisa berotasi dari berbagai wilayah, tidak selalu dari Lamongan dan
Gresik. Bahkan juga mulai banyak kader dari luar Jawa.
Tentu, jarangnya Mahasiswa Blitar yang bergabung
dengan IMM, bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai mahasiswa asal Blitar,
saya memang gagal membentuk branding IMM sebagai organisasi yang diminati. Saya
pun juga gagal mengajak adik-adik kelas saya untuk bergabung dengan IMM.
Bahkan, adik kelas yang masih kerabat, justru bergabung dengan OMEK lain.
Sisanya tidak ada yang ikut.
Kedua, jawaban yang umum adalah soal kultur dan
afiliasi organisasi. Nama “Muhammadiyah” dirasa terlalu berat. Apalagi, secara
kultural, alumnus Aliyah tempat saya belajar dulu memang bukan dari kultur
Muhammadiyah. Disinilah terjadi resistensi. Meskipun kader IMM sendiri, tidak
semuanya dari kultur dan keluarga Muhammadiyah.
Hal itu nampak berbeda dengan di UMM. Memang
banyak yang bukan berasal dari kultur atau keluarga Muhammadiyah, namun
keikutsertaan mereka di IMM karena nama kampusnya adalah “Muhammadiyah”. Di dua
kampus yang berbeda, sebagaimana yang pernah saya temui, ada yang menggunakan “jebakan
batman”. Bahkan ketika mereka mengikuti DAD, ada yang belum ngeh kalau
itu perkaderan IMM. Mereka mengaku bergabung dengan komunitas atau majelis
ta’lim. Tentu, model “jebakan batman” ini bagus, tapi juga tidak selalu baik
untuk perkaderan.
Bagi saya, bergabung dengan IMM harus melalui
kesadaran kritis. Kesadaran bahwa setelah bergabung, konskwensi diantaranya,
adalah berlabel sebagai “kader IMM” atau “Kader Muhammadiyah”. Saya bergabung
dengan IMM, karena sejak SMA sudah tertarik dengan pemikiran tokoh-tokoh
Muhammadiyah, diantaranya Buya Hamka, Buya Syafii Maarif, dan Amien Rais.
Meskipun secara geneologis, bukan berasal dari kultur atau keluarga
Muhammadiyah.
Karena menurut saya, khusus di kampus UIN Malang,
ada tiga jenis alasan kenapa mahasiswa bergabung dengan IMM. Pertama,
karena memang dia ikut IPM atau ortom Muhammadiyah lain di daerah. Jadi jiwa
idealisme Muhammadiyah-nya ia teruskan di IMM. Kedua, karena
berasal dari kultur dan keluarga Muhammadiyah, meskipun tidak pernah ikut ortom
Muhammadiyah sebelumnya. Kader kedua ini merasa perlu bergabung dengan IMM
sebagai basis kelompok ideologi. Tipe ketiga ini termasuk yang bukan dari ortom
dan kultur Muhammadiyah, namun secara ideologi, terutama Mahzab fiqh-nya
sejalan dengan Muhammadiyah.
Ketiga, bukan berasal dari
kultur Muhammadiyah, tidak juga bergabung dengan ortom Muhammadiyah sebelumnya,
tapi merasa tertarik dengan IMM, entah sekedar ingin tahu atau ingin
mengeksplorasi kemampuannya.
Saya masuk tipe ketiga. Tipe ketiga ini paling
rentan, karena dia bergabung dengan IMM berdasar ekspektasi. Berbeda dengan
tipe kesatu dan kedua, yang sudah memiliki ikatan baik dari ortom sebelumnya,
dari keluarga, hingga kultur di kampung halamannya. Tipe ketiga ini bisa saja
menjadi bosan, malas, dan keluar dari IMM, jika ekspektasi yang ia harapkan
tidak terpenuhi. Namun disatu sisi, tipe ketiga ini juga memiliki potensi yang
besar.
Dalam beberapa kali acara sharing perkaderan
dengan beberapa teman korps instrukstur PC IMM Malang antara tahun 2011-2012,
ada satu pertanyaan besar yang sepertinya membutuhkan jawaban seumur hidup,
bagaimana cara menggaet banyak kader? Tentunya dari segi kuantitas. Di beberapa
komisariat, terutama non PTM, masalah kuantitas kader memang menjadi
kegelisahan tersendiri. Karena itu, diterapkanlah perkaderan personal dan
kultural. Adik kelas, tetangga, teman dekat, dll diajak untuk bergabung dengan
IMM.
Cara-cara konvensional semacam itu baik, namun
tidak selamanya manjur juga. Apalagi fokus pada kuantitas. Karena itu akan
melelahkan. Percayalah, jika sistem dan budaya organisasi itu sudah terbentuk
di dalamnya, maka dengan sedirinya IMM akan menjadi organisasi yang dimintai.
Terlepas dari hal-hal pragmatis lainnya. Misalkan, budaya membangun wacana,
diskusi, berkarya, dll yang memang tidak tersedia di bangku kuliah namun
dibutuhkan dalam pergaulan sosial, terutama masyarakat akademis.
Jika budaya itu sudah matang, maka aura organisasi
itu akan muncul dengan sendirinya. Sehingga, banyak yang kemudian bergabung
dengan IMM melalui kesadaran individu. Karena bagaimana pun, bergabung dengan
IMM adalah sebuah pilihan, tidak bijak jika menggunakan “jebakan batman”. (*)
30 Maret 2015
A Fahrizal Aziz