Saya tak
bermaksud mengupas sosok Kakanda Pradana Boy ZTF dalam tulisan ini, hanya saja,
jika saya mengkaji secara faktual, agaknya sosok Mas Boy menjadi simbol yang
sangat kuat, terutama dalam gerakan intelektual. Popularitas dan kompetensinya
menjadi penguat argumentasi jika gerakan Intelektual itu “pernah ada” di IMM
Malang. Apalagi, hirarkis akademiknya juga sangat mendukung. Sosok Mas Boy
tidak hanya fenomenal, tapi juga sangat referensial bagi IMM Malang raya.
Kita menyadari,
tidak banyak figur yang mencolok di IMM Malang, baik dalam ranah akademik
hingga politik. Sosok Mas Boy terus menjadi perbincangan karena meskipun beliau
kandidat Doktor NUS (National University Of Singapore), tapi disisi lain tetap
kuat ke-IMM-annya. Bahkan, jika ada kebijakan yang senyatanya merugikan IMM
atau Persyarikatan, beliau tidak sungkan-sungkan melayangkan kritik.
Tidak banyak
kakanda IMM yang tetap kekeh ke-IMM-annya meskipun telah berada pada posisi strategis,
baik secara akademis maupun politis. kita punya banyak Doktor, tapi tak banyak
yang fenomenal sebagaimana Mas Boy. Kita juga banyak alumni yang terjun di
bidang Politik, tapi tak banyak yang menyeruak. Agaknya memang sangat riwuh
untuk berproses di IMM.
Dalam
perbincangan tentang Politik Kampus di IMM UIN Malang sekitar satu tahun lalu,
saya mengajukan dua kekhawatiran mendasar tentang keberadaan IMM sebagai ortom
Muhammadiyah dan juga Organisasi Ekstra kampus :
Pertama,
IMM sebagai ortom Muhammadiyah harus mewakili jiwa dan ruh gerakan
Muhammadiyah, salah satunya tidak berpolitik secara praktis, apalagi membentuk
Partai Politik. Sehingga, ketika ada kader IMM yang terjun dalam Politik kampus
(pemira) langsung mendapatkan stigma negatif, akhirnya timbul kebimbangan dalam
diri kader ; disisi lain ingin berpolitik secara total, disisi lain harus
menjauhi politik sebagaimana organisasi induknya.
Hal ini berbeda
dengan Organisasi Mahasiswa lain yang secara terang benderang terjun ke Politik
Praktis. Bahkan PMII yang konon merupakan Organisasi induk NU, telah dengan
tegas mengikrarkan manifestasi independensi. Lagipula, kalaupun masih menjadi
organisasi induk NU, PMII tidak akan sungkan-sungkan untuk terjun dalam dunia
Politik sebagaimana yang dilakukan Organisasi induknya.
Untuk itulah
banyak kader IMM yang ketika berpolitik hanya setengah-setengah, dan ketika
terjun di Partai Politik pun, tidak ada yang sensasional, baik secara
popularitas maupun kinerja. Bahkan, dalam kepemimpinan nasional akhir-akhir
ini, hampir tidak ada kader IMM yang muncul. Sementara banyak kader yang
mencoba bermain politik di dalam internal IMM, tentu hal ini akan lebih
menggelikan.
Posisi seperti
itu tentu sangat dilematis. IMM tidak bisa berpolitik sebagaimana Muhammadiyah.
Tapi dalam dunia kampus, Politik merupakan sebuah wadah eksistensi gerakan
mahasiswa. Jika tidak berpolitik secara praksis, maka akan susah menunjukkan
simbol eksistensi tersebut. Ini pula yang ditakutkan oleh sebagian besar kader
IMM UIN Malang.
Kedua,
muncul pemikiran intoleran, yang dalam bahasa akademik disebut sebagai kaum
“konservatif”. Sosok Mas Boy bisa menjadi cermin. Betapa banyak kader IMM yang
cemerlang secara akademik, tapi tidak terlalu mendapatkan apresiasi yang besar
di IMM, bahkan tidak sedikit yang menghujat karya-karya dan pemikirannya. Mas
Boy mungkin termasuk salah satu “korbannya”.
Sifat intoleran
terhadap karya dan pemikiran orang lain bisa menimbulkan iklim yang tidak baik
dalam wacana pengembangan intelektual. Apalagi, jika penghakiman itu sudah
masuk dalam ranah “benar” dan “salah”. Labeling yang bersifat provokatif dan
impulsif. Bagaimanapun juga, sebuah pemikiran tidak ada yang bersifat absolute.
Semua bisa diperbincangkan, diperdebatkan, dan diklarifikasi.
Maka, sikap untuk
meniadakan pemikiran yang lain itu bisa membawa IMM sebagai organisasi yang
stagnan. Apalagi, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, benih-benih kader
Progresif yang responsible dan kritis harusnya menjadi instrument utama. Saya
tahu betul jika kegelisahan ini juga dirasakan oleh Mas Boy dalam bukunya yang
berjudul The Defenders of Puritan Islam.
Dua hal itulah
yang menjadi kegelisahan saya selama ini, sehingga IMM hanya cenderung
melaksanakan aktifitas administratifnya dibanding membentuk kader-kader yang memiliki
militansi sekaligus kompetensi yang memadahi, dan sedikit terbukti, pasca Mas
Pradana Boy ZTF, denyut nadi intelektual di IMM mulai melemah, perlahan-lahan.
Apalagi dengan gerakan Politik, Politik yang sangat parokial dan transaksional.
Tidak heran pula
jika IMM lemah dalam hal gerakan, baik gerakan intelektual, jalanan hingga
gerakan politik. Karena semua dilakukan serba setengah-setengah. Yang cemerlang
dianggap “liberal”, yang berpolitik dianggap “fatalistik” dan yang demo jalanan
dianggap “anarkis”. Semua serba salah, maka jalankan saja progam yang ada,
administrasi yang ada, layaknya “mayat hidup”. Maaf, mungkin istilah ini sangat
kasar, tapi itulah kata yang bisa mewakili secara emosional kegelisahan saya
selama ini.
Tanggung jawab
saya ketika dilantik sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM
Malang periode ini hanya satu ; menghidupkan kembali budaya intelektual. Namun,
jujur saya pesimis dengan iklim yang demikian ini, iklim yang serba
setengah-setengah. Tiga pendahulu saya, Mas Husein Bafaradj, Mas Abdul Kholiq
dan Mas Adam Muhammad agaknya juga belum begitu berhasil menghidupkan budaya
intelektual ini. Tapi semua harus segera dimulai, tugas saya dan Mas Prima
Tahta Amrillah sudah menanti didepan. 10 bulan tersisa.
Memang, sosok
seperti Mas Pradana Boy ZTF tidak lahir dalam setiap periode kepengurusan IMM.
Tapi setidaknya, ada nama Mas Boy yang mengisi deretan aktor intelektual IMM
dari Malang. Meskipun secara nasional banyak juga tokoh IMM yang hadir dalam
wacana intelektual, seperti halnya Mas Dr. Sukidi Mulyadi, Dr. Zakiyudin
Baidhawy, Dr. Zuly Khodir, Mas Najib Burhani, Mas Rohim Ghazali, Mas Fajar Riza
Ul Haq, Mas Abdul Halim Sani, dan lain-lain. Tapi nama-nama tersebut kadang
tidak banyak dikenal di kalangan IMM sendiri.
Di IMM Malang,
masih banyak aktor intelektual yang bisa ditemui, masih banyak juga benih-benih
kader yang memiliki karya intelektual. Misalkan seperti Mas Hasnan Bachtiar
yang aktif mengelola Pusat Kajian Islam dan filsafat, ada Mas Subhan Setowara,
Mas Adam Muhammad, Mas Abdul Kholiq, Mas Fiqh Tri Hidayatullah yang juga aktif
di MCW, Mas Denny Mizhar yang kuat dengan cita rasa sastranya. Ada juga sebuah
LSM yang bernama Resist (Religion and sosial studies) yang juga
didirikan Mas Pradana Boy ZTF. Disisi lain ada sebuah Komunitas yang bernama
Almaun Community yang didirikan oleh teman-teman IMM non PTM Malang.
Kader-kader muda
yang juga aktif di IMM dan memiliki karya-karya intelektual juga masih banyak,
misalkan Deni Aditya Susanto dari IMM UB yang kini juga sebagai koordinator
Almaun Community. Fajrin Dwi Kurniawan yang sekarang menjabat sebagai sekbid
Organisasi PC IMM Malang dan Farihul Muflihin dari UIN yang kini sebagai ketua
Korkom. Di UM masih ada juga Ilfatul Amanah dan Nely Izzatul, di Ikip Budi Utomo
ada Saipul Bahri dan Supriadi, di UMM tentunya lebih banyak lagi, saya tidak
tahu secara persis, namun tugas utama PC IMM Malang adalah membangun
silaturahim dengan mereka semua.
Optimisme untuk
membangun kembali budaya intelektual dan memiliki figur-figur yang berkiprah
disana masih terbuka lebar, setidaknya celah itu masih terbuka dibandingkan
membangun branding politik yang nyatanya gagal diwujudkan IMM dalam berbagai
jenjang. IMM masih punya banyak tokoh yang konsen dalam gerakan intelektual,
dan itulah yang bisa kita harapkan sebagai brand-image gerakan IMM.
Sebuah kebijakan
struktural yang harus saya emban bersama Mas Prima. Bagaimana cara membangun
iklim yang kondusif bagi perkembangan intelektual di IMM Cabang Malang? Secara
normatif setidaknya ada empat aktifitas yang harus dilakukan ; membaca,
diskusi, menulis, dan bergerak. Mas Boy adalah figur yang sangat representatif,
karena telah melakukan empat hal tersebut, termasuk dengan mendirikan Resist
sebagai wadah membangun generasi intelektual yang sekaligus menjadi
interpretasi aksi dari gerakan keilmuannya.
Saya berharap Mas
Pradana Boy ZTF bukanlah simbol terakhir gerakan intelektual di IMM Malang,
setelahnya –minimal periode ini—akan muncul kembali sosok seperti beliau,
meskipun untuk melampaui hal itu tidak mudah, menyaingi karya tulis dan
buku-bukunya, serta menyaingi kemampuannya menularkan “virus-virus” keilmuan
bagi kader-kader yang lain. Saya juga sangat terpukau dengan keseriusan Mas Boy
menulis Novel “Sang Penakluk Ombak”, karena menurut Mathew Arnold, Sastra
adalah organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual manusia.
Jika sosok-sosok
intelektual itu semakin banyak di IMM, maka –mengutip istilah David
Weschsler—akan melahirkan orang-orang yang memiliki totalitas untuk bertindak
sesuai tujuan, berfikir rasional serta mampu menghadapi lingkungan dengan
efektif. Bangunan itu sudah ada, hanya tinggal di rapikan saja. Selamat
berjuang, Fastabiqul Khairot!
Malang,
5 Februari 2014
Ahmad
Fahrizal Aziz