loading...

Sabtu, 25 April 2015

Pradana Boy ZTF, akankan menjadi simbol terakhir?



Saya tak bermaksud mengupas sosok Kakanda Pradana Boy ZTF dalam tulisan ini, hanya saja, jika saya mengkaji secara faktual, agaknya sosok Mas Boy menjadi simbol yang sangat kuat, terutama dalam gerakan intelektual. Popularitas dan kompetensinya menjadi penguat argumentasi jika gerakan Intelektual itu “pernah ada” di IMM Malang. Apalagi, hirarkis akademiknya juga sangat mendukung. Sosok Mas Boy tidak hanya fenomenal, tapi juga sangat referensial bagi IMM Malang raya.


Kita menyadari, tidak banyak figur yang mencolok di IMM Malang, baik dalam ranah akademik hingga politik. Sosok Mas Boy terus menjadi perbincangan karena meskipun beliau kandidat Doktor NUS (National University Of Singapore), tapi disisi lain tetap kuat ke-IMM-annya. Bahkan, jika ada kebijakan yang senyatanya merugikan IMM atau Persyarikatan, beliau tidak sungkan-sungkan melayangkan kritik.

Tidak banyak kakanda IMM yang tetap kekeh ke-IMM-annya meskipun telah berada pada posisi strategis, baik secara akademis maupun politis. kita punya banyak Doktor, tapi tak banyak yang fenomenal sebagaimana Mas Boy. Kita juga banyak alumni yang terjun di bidang Politik, tapi tak banyak yang menyeruak. Agaknya memang sangat riwuh untuk berproses di IMM.

Dalam perbincangan tentang Politik Kampus di IMM UIN Malang sekitar satu tahun lalu, saya mengajukan dua kekhawatiran mendasar tentang keberadaan IMM sebagai ortom Muhammadiyah dan juga Organisasi Ekstra kampus :

Pertama, IMM sebagai ortom Muhammadiyah harus mewakili jiwa dan ruh gerakan Muhammadiyah, salah satunya tidak berpolitik secara praktis, apalagi membentuk Partai Politik. Sehingga, ketika ada kader IMM yang terjun dalam Politik kampus (pemira) langsung mendapatkan stigma negatif, akhirnya timbul kebimbangan dalam diri kader ; disisi lain ingin berpolitik secara total, disisi lain harus menjauhi politik sebagaimana organisasi induknya.

Hal ini berbeda dengan Organisasi Mahasiswa lain yang secara terang benderang terjun ke Politik Praktis. Bahkan PMII yang konon merupakan Organisasi induk NU, telah dengan tegas mengikrarkan manifestasi independensi. Lagipula, kalaupun masih menjadi organisasi induk NU, PMII tidak akan sungkan-sungkan untuk terjun dalam dunia Politik sebagaimana yang dilakukan Organisasi induknya.

Untuk itulah banyak kader IMM yang ketika berpolitik hanya setengah-setengah, dan ketika terjun di Partai Politik pun, tidak ada yang sensasional, baik secara popularitas maupun kinerja. Bahkan, dalam kepemimpinan nasional akhir-akhir ini, hampir tidak ada kader IMM yang muncul. Sementara banyak kader yang mencoba bermain politik di dalam internal IMM, tentu hal ini akan lebih menggelikan.

Posisi seperti itu tentu sangat dilematis. IMM tidak bisa berpolitik sebagaimana Muhammadiyah. Tapi dalam dunia kampus, Politik merupakan sebuah wadah eksistensi gerakan mahasiswa. Jika tidak berpolitik secara praksis, maka akan susah menunjukkan simbol eksistensi tersebut. Ini pula yang ditakutkan oleh sebagian besar kader IMM UIN Malang.

Kedua, muncul pemikiran intoleran, yang dalam bahasa akademik disebut sebagai kaum “konservatif”. Sosok Mas Boy bisa menjadi cermin. Betapa banyak kader IMM yang cemerlang secara akademik, tapi tidak terlalu mendapatkan apresiasi yang besar di IMM, bahkan tidak sedikit yang menghujat karya-karya dan pemikirannya. Mas Boy mungkin termasuk salah satu “korbannya”.

Sifat intoleran terhadap karya dan pemikiran orang lain bisa menimbulkan iklim yang tidak baik dalam wacana pengembangan intelektual. Apalagi, jika penghakiman itu sudah masuk dalam ranah “benar” dan “salah”. Labeling yang bersifat provokatif dan impulsif. Bagaimanapun juga, sebuah pemikiran tidak ada yang bersifat absolute. Semua bisa diperbincangkan, diperdebatkan, dan diklarifikasi.

Maka, sikap untuk meniadakan pemikiran yang lain itu bisa membawa IMM sebagai organisasi yang stagnan. Apalagi, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, benih-benih kader Progresif yang responsible dan kritis harusnya menjadi instrument utama. Saya tahu betul jika kegelisahan ini juga dirasakan oleh Mas Boy dalam bukunya yang berjudul The Defenders of Puritan Islam.

Dua hal itulah yang menjadi kegelisahan saya selama ini, sehingga IMM hanya cenderung melaksanakan aktifitas administratifnya dibanding membentuk kader-kader yang memiliki militansi sekaligus kompetensi yang memadahi, dan sedikit terbukti, pasca Mas Pradana Boy ZTF, denyut nadi intelektual di IMM mulai melemah, perlahan-lahan. Apalagi dengan gerakan Politik, Politik yang sangat parokial dan transaksional.

Tidak heran pula jika IMM lemah dalam hal gerakan, baik gerakan intelektual, jalanan hingga gerakan politik. Karena semua dilakukan serba setengah-setengah. Yang cemerlang dianggap “liberal”, yang berpolitik dianggap “fatalistik” dan yang demo jalanan dianggap “anarkis”. Semua serba salah, maka jalankan saja progam yang ada, administrasi yang ada, layaknya “mayat hidup”. Maaf, mungkin istilah ini sangat kasar, tapi itulah kata yang bisa mewakili secara emosional kegelisahan saya selama ini.

Tanggung jawab saya ketika dilantik sebagai Kabid Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Malang periode ini hanya satu ; menghidupkan kembali budaya intelektual. Namun, jujur saya pesimis dengan iklim yang demikian ini, iklim yang serba setengah-setengah. Tiga pendahulu saya, Mas Husein Bafaradj, Mas Abdul Kholiq dan Mas Adam Muhammad agaknya juga belum begitu berhasil menghidupkan budaya intelektual ini. Tapi semua harus segera dimulai, tugas saya dan Mas Prima Tahta Amrillah sudah menanti didepan. 10 bulan tersisa.

Memang, sosok seperti Mas Pradana Boy ZTF tidak lahir dalam setiap periode kepengurusan IMM. Tapi setidaknya, ada nama Mas Boy yang mengisi deretan aktor intelektual IMM dari Malang. Meskipun secara nasional banyak juga tokoh IMM yang hadir dalam wacana intelektual, seperti halnya Mas Dr. Sukidi Mulyadi, Dr. Zakiyudin Baidhawy, Dr. Zuly Khodir, Mas Najib Burhani, Mas Rohim Ghazali, Mas Fajar Riza Ul Haq, Mas Abdul Halim Sani, dan lain-lain. Tapi nama-nama tersebut kadang tidak banyak dikenal di kalangan IMM sendiri.

Di IMM Malang, masih banyak aktor intelektual yang bisa ditemui, masih banyak juga benih-benih kader yang memiliki karya intelektual. Misalkan seperti Mas Hasnan Bachtiar yang aktif mengelola Pusat Kajian Islam dan filsafat, ada Mas Subhan Setowara, Mas Adam Muhammad, Mas Abdul Kholiq, Mas Fiqh Tri Hidayatullah yang juga aktif di MCW, Mas Denny Mizhar yang kuat dengan cita rasa sastranya. Ada juga sebuah LSM yang bernama Resist (Religion and sosial studies) yang juga didirikan Mas Pradana Boy ZTF. Disisi lain ada sebuah Komunitas yang bernama Almaun Community yang didirikan oleh teman-teman IMM non PTM Malang.

Kader-kader muda yang juga aktif di IMM dan memiliki karya-karya intelektual juga masih banyak, misalkan Deni Aditya Susanto dari IMM UB yang kini juga sebagai koordinator Almaun Community. Fajrin Dwi Kurniawan yang sekarang menjabat sebagai sekbid Organisasi PC IMM Malang dan Farihul Muflihin dari UIN yang kini sebagai ketua Korkom. Di UM masih ada juga Ilfatul Amanah dan Nely Izzatul, di Ikip Budi Utomo ada Saipul Bahri dan Supriadi, di UMM tentunya lebih banyak lagi, saya tidak tahu secara persis, namun tugas utama PC IMM Malang adalah membangun silaturahim dengan mereka semua.

Optimisme untuk membangun kembali budaya intelektual dan memiliki figur-figur yang berkiprah disana masih terbuka lebar, setidaknya celah itu masih terbuka dibandingkan membangun branding politik yang nyatanya gagal diwujudkan IMM dalam berbagai jenjang. IMM masih punya banyak tokoh yang konsen dalam gerakan intelektual, dan itulah yang bisa kita harapkan sebagai brand-image gerakan IMM.

Sebuah kebijakan struktural yang harus saya emban bersama Mas Prima. Bagaimana cara membangun iklim yang kondusif bagi perkembangan intelektual di IMM Cabang Malang? Secara normatif setidaknya ada empat aktifitas yang harus dilakukan ; membaca, diskusi, menulis, dan bergerak. Mas Boy adalah figur yang sangat representatif, karena telah melakukan empat hal tersebut, termasuk dengan mendirikan Resist sebagai wadah membangun generasi intelektual yang sekaligus menjadi interpretasi aksi dari gerakan keilmuannya.

Saya berharap Mas Pradana Boy ZTF bukanlah simbol terakhir gerakan intelektual di IMM Malang, setelahnya –minimal periode ini—akan muncul kembali sosok seperti beliau, meskipun untuk melampaui hal itu tidak mudah, menyaingi karya tulis dan buku-bukunya, serta menyaingi kemampuannya menularkan “virus-virus” keilmuan bagi kader-kader yang lain. Saya juga sangat terpukau dengan keseriusan Mas Boy menulis Novel “Sang Penakluk Ombak”, karena menurut Mathew Arnold, Sastra adalah organisasi tertinggi dari kegiatan intelektual manusia.

Jika sosok-sosok intelektual itu semakin banyak di IMM, maka –mengutip istilah David Weschsler—akan melahirkan orang-orang yang memiliki totalitas untuk bertindak sesuai tujuan, berfikir rasional serta mampu menghadapi lingkungan dengan efektif. Bangunan itu sudah ada, hanya tinggal di rapikan saja. Selamat berjuang, Fastabiqul Khairot!


Malang, 5 Februari 2014
Ahmad Fahrizal Aziz