loading...

Jumat, 16 September 2016

Muhammadiyah Blitar akan Membedah "Muhammadiyah Jawa"



Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Blitar melalui Majelis Pustaka dan Informasi akan menggelar bedah buku "Muhammadiyah Jawa" pada hari Ahad, 18 September 2016 jam 08.30 - selesai di Local Education Center (LEC) Garum Kab. Blitar. Buku akan dibedah langsung oleh Penulisnya, Ahmad Najib Burhani, Ph.D yang juga berasal dari Blitar. Najib sendiri kini tinggal di Jakarta, bekerja sebagai Peneliti di LIPI dan sekaligus sebagai Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah.

Acara tersebut juga di support oleh Penerbit Buku Suara Muhammadiyah. Buku itu merupakan hasil disertasi dari Ahmad Najib Burhani. Beberapa apresiasi datang untuk buku ini, salah satunya Prof. Din Syamsudin, bahkan beliau menulis testimoni seperti di bawah ini :



Muhammadiyah lahir di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pendirinya, Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), adalah abdi dalem pamethakan di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Namun berbeda dari Martin Luther yang berkata, “Here I stand. I can do no other” sebagai pemberontakan terhadap otoritas gereja Katolik, Dahlan mampu mewarnai kraton dan masyarakat Jawa tanpa harus berpisah atau memusuhi.

Justru dalam diri Dahlan, Islam dan kejawaan menjadi entitas tunggal, seperti konsep sastra gending dimana Islam menjadi sastra yang diiringi gending Jawa. Muhammadiyah adalah Islam varian Jawa yang paling otentik. Inilah satu gagasan yang diurai buku ini. Gagasan lain adalah asal muasal puritanisme dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan, Muhammadiyah memang bercorak Jawa pedalaman, namun dari sisi ideologi (yang disebut puritan) ia banyak dipengaruhi nilai-nilai Sumatra Barat terutama yang dibawa oleh Haji Rosul dan Islam pesisir melalui Haji Mas Mansur (Surabaya, Jawa Timur).

Perbedaan watak gerakan dan ideologi itulah yang, saya yakin, justru mendorong Muhammadiyah selalu menjaga keseimbangan antara pemurnian (puritanisasi) dan pembaruan (modernisasi) secara proporsional dalam bingkai Islam berkemajuan (altawazun bayn al-tajrid wa al-tajdid). Prinsip inilah yang belakangan ini ditampilkan dalam konsep dakwah kultural. Buku ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin melihat dialektika Muhammadiyah dengan tradisi lokal Indonesia, satu aspek yang sering dilewatkan para pengkaji gerakan ini. Alih-alih melihat pengaruh budaya Indonesia, banyak peneliti yang terlalu terfokus melacak pengaruh Timur Tengah, terutama Wahhabi, terhadap Muhammadiyah.

Terakhir, saya percaya bahwa gerakan Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai ke-Indonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam pada budaya Indonesia untuk adanya “Indonesia yang Islami” dari pada “Islam yang Indonesiawi”.

Acara ini akan dihadiri oleh undangan dan terbuka untuk umum, terutama kader dan warga Muhammadiyah di Blitar raya. Panitia berharap, agenda bedah buku ini nanti akan memberikan wawasan lebih utuh tentang bagaimana Muhammadiyah awal melihat budaya Jawa. Karena selama ini Muhammadiyah selalu dilekatkan dengan Wahabi. Padahal berdasar temuan tersebut, Muhammadiyah ternyata sangat toleran terhadap tradisi Jawa (baca juga : Muhammadiyah Sebagai Representasi Islam Jawa)  untuk lebih jelasnya, silahkan mengikuti bedah bukunya. Bagi yang menginginkan bukunya, bisa dibeli di lokasi bedah buku. (red.s)