loading...

Kamis, 15 September 2016

Mungkinkah Beragama Tanpa Ideologi?



ideologi


Ada orang yang berkata : saya netral, tidak NU tidak Muhammadiyah dan lain sebagainya. Netral yang dimaksud, tentu secara afiliatif, bukan anggota dari ormas tertentu. Tapi setiap ormas memiliki ideologi gerakan, termasuk di dalamnya pilihan terhadap Fiqh. Menurut Fahrizal, Ketua Paguyuban Srengenge, orang bisa netral secara organisasi, tapi belum tentu bisa netral secara ideologis, apalagi fiqh.

“Mengaku netral tapi sholat subuh pakai qunut, bisa disebut dia NU. Begitupun sebaliknya, mengaku netral tapi shalat tarawihnya delapan rakaat, orang akan mengira dia Muhammadiyah,” ucap Fahrizal.

Lebih lanjut, istilah netral sendiri bisa muncul karena antipati terhadap ormas yang di akar rumput sering terlibat perselisihan. Misal dalam pelaksanaan ibadah, atau penentuan hari raya. Tapi pada kenyataannya, orang justru sulit menjadi netral. Bahkan meski sudah menjadi pejabat negara pun, identitas ideologinya bisa terlihat. Terutama dalam menjalankan agama, keinginan untuk menjadi netral semakin sulit karena beribadah butuh mahzab, dan mahzab itu berkelompok.

Untuk itu, keberagaman yang ada lebih baik dimaknai sebagai kekayaan berfikir, bukan justru biang dari perselisihan. Sehingga orang tidak perlu ragu menunjukkan identitas ideologisnya, tanpa harus khawatir terkena stigma. “Bilang saja kalau anda NU, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Tidak apa-apa, toh itu bukan aib, melainkan pilihan ideologis dan wadah gerakan. Daripada bilang netral, tapi justru tidak jelas identitas dan saluran dakwahnya, malah tidak produktif,” pungkasnya. (*)