“Jangan sampai
ada orang seperti Ulil Abshar Abdalla di Muhammadiyah.” ujar salah seorang
penceramah dalam sebuah sesi tausiyah. Ini bukan pertama kalinya kita
mendengarkan kegelisahan bahkan kekhawatiran yang berlebih tentang JIL dan
termasuk salah satu Big Father-nya, Ulil Abshar Abdalla. Meskipun senyatanya,
yang lebih liberal dari Ulil itu banyak, meski tidak menggunakan label “Islam”.
Sebut saja Goenawan Muhammad atau Ayu Utami. Tapi orang-orang (masjid) hanya
mengenal Ulil Abshar Abdalla. Mereka tidak tahu bahwa salah satu supporting
terbesar JIL itu adalah Komunitas Utan Kayu milik Bos besar Tempo Goenawan
Muhammad.
Tapi, bukan
salah tidaknya JIL, atau haram tidaknya liberalisme yang akan kita bahas.
Kemaren, beberapa aktivis yang terkenal memiliki cara fikir yang dekonstruktif
tentang doktrin agama terutama doktrin fiqih, menolak beberapa kebijakan
presiden yang mencabut hampir semua subsidi. Mulai dari kereta api, listrik,
tol, hingga kebijakan subsidi tetap BBM.
Anda tahu,
pencabutan subsidi itu adalah upaya liberalisasi ekonomi. Jadi, tak sedikit
juga para aktivis yang berfikiran liberal dalam doktrin agama, menolak
liberalisasi ekonomi. Begitu pun juga penolakan beberapa mahasiswa, terutama
yang beraliran kiri, tentang upaya liberalisasi ekonomi tersebut. Padahal,
gerakan kiri, dalam pandangannya terhadap agama, jauh lebih liberal dan jauh
lebih out of context dibandingkan JIL. JIL masih menyakini Al Qur’an sebagai
sumber dan masih memiliki pemahaman jika kebenaran akan Tuhan itu Absolute.
Ulil, JIL, dan
Pemikiran para aktivisnya, hanya sebuah made a man yang jika di lepaskan ke
publik bisa di netralisir dengan mudah oleh bantahan argumentatif. Tapi kalau
kebijakan ekonomi, misalkan soal liberalisasi ekonomi, sekali diputuskan, tidak
ada yang bisa melawan. Membantah bisa, tapi kebijakan akan terus berjalan dan
pederitaan itu akan lekas dirasakan.
Disinilah,
sebenarnya, Ulil dkk mungkin penting untuk dikomentari, tapi sebenarnya tidak
terlalu urgen. Yang urgen, yang bersikap lebih aplikatif, justru jarang terbaca
di mimbar-mimbar masjid. Padahal, di moment Ramadhan seperti ini, forum
tausiyah banyak dibuat. Selepas shalat subuh, sebelum berbuka puasa, atau
sebelum/sesudah shalat tarawih.
Semoga kita
tidak salah fokus!