Ide/gagasan memang suatu yang menarik. Ia dibicarakan,
didebatkan hingga disampaikan ke kalayak luas sebagai model ideal dalam sebuah
gerakan. Boleh-boleh saja, dalam pidato pelantikan ketua PC IMM Malang dua
periode terakhir, ide tentang intelectual Movement menjadi semacam
‘jualan’ yang laris manis. Apalagi, jika menyebut IMM Cabang Malang sebagai
satu dari tiga basis intelektual IMM se-Indonesia, setelah Jogja dan Ciputat.
Ada kebanggaan tersendiri ketika mendengarnya, namun ada pertanyaan yang
mengusik pikiran : apa benar demikian?
Ketika pertama kali bergabung dengan PC IMM Malang dibawah
kepemimpinan Arif Rahmawan, dan mendapatkan amanah mengelola bidang Media, saya
dengan serius membaca selebaran sejenis ‘ide dasar kepemimpinan’. Mas Arif
Rahmawan ingin membangun kembali Budaya Keilmuan di PC IMM Malang. Tentu,
sebagai bekas kabid Keilmuan di Komisariat, saya menyambut dengan senang hati,
meskipun dalam jatah struktural saya terdampar ke Bid. Media (dan) bukan bidang
keilmuan. Maklum saja, saya masuk ke cabang pun atas rekomendasi Yusuf Hamdani
Abdi, yang kala itu menjadi tim formatur. Sebelumnya, saya justru lebih sering
berinteraksi dengan Mas Arif Rahmawan sebagai koordinator Korps. Instruktur PC
IMM Malang.
Ide tentang membangun kembali budaya keilmuan menjadi sangat
seksi, apalagi ditengah rendahnya publikasi dan loyonya event-event ilmiah.
Terlebih, Mas Arif Rahmawan sebagai senior di IMM Tamadun FAI, yang terkoneksi
dengan banyak jejaring baik internal maupun eksternal. Dan salah satu senior
–Pradana Boy ZTF—menjadi simbol intelektualisme, tidak hanya di IMM Malang
raya, tapi juga Muhammadiyah secara umum. Selain Mas Boy, nama-nama lain yang
juga sangat diperhitungkan sebagai aktor gerakan intelektual juga banyak muncul
dari IMM Tamadun, seperti Mas Subhan Setowara dan Mas Hasnan Bachtiar.
Sebagai bawahan, yang harus menerjemahkan gagasan ketua umum
secara kongkret kala itu, saya pun turut membuat ide tentang laboratorium
pemikiran virtual. Bidang media harus memiliki media yang aksestable. Tentu,
selain media sosial berupa Facebook dan Twitter, kita juga harus memiliki blog
dan website. Blog sebagai sarana untuk merekam aktivitas struktural, dan
website sebagai laboratorium karya tulis, terutama essay, dokumentasi kajian
hingga jurnal virtual. Dan untuk pertama kalinya PC IMM Malang memiliki website
resmi di www.imm-malang.or.id. Media online menjadi prioritas karena melihat
perkembangan internet yang massif. Bahkan setiap mahasiswa, hampir setiap
minggu sekali mengakses internet dan setiap harinya membuka jejaring sosial.
Bidang media sudah menyiapkan wadah, dan sesuai kesepakatan
proker, bidang-bidang lain, seperti bidang kader, organisasi, dan keilmuan
turut serta menjadi kontributor. Mulai dari database kader, arsip-arsip
administratif, hingga publikasi ilmiah. Sayang, karena beragam problematika di
internal, ide baik itu tak berjalan sesuai harapan, hingga masa langganan
website yang hanya satu tahun, habis dan tidak diperpanjang lagi karena
efisiensi pendanaan.
Namun spirit untuk membuat laboratorium pemikiran virtual
masih belum surut, saya dan beberapa teman membuat blog segelas kopi untuk
Ikatan, yang kemudian digarap sedikit lebih serius ketika kepemimpinan PC IMM
Malang berganti ke Yusuf Hamdani Abdi. Saya pun akhirnya kembali ke bidang
Keilmuan, yang berganti dengan Riset dan Pengembangan Keilmuan (RPK). Bersama
Prima Tahta Amrillah, optimisme untuk membangun kembali budaya keilmuan masih
menyala-nyala. Bahkan pernah ada diskusi intens untuk membuat analisis terkait
budaya keilmuan IMM Malang raya di kantor PSIF yang di mentori oleh Mas Hasnan
Bachtiar.
Dalam agenda proker, Diadakanlah workshop riset dan
dibentuklah Tim Riset untuk mewujudkan budaya meneliti, terutama untuk meneliti
IMM dan Muhammadiyah. PC IMM Malang pun bekerjasama dengan para kader peneliti,
salah satunya Deni Aditya yang kemudian masuk menjadi bagian dari bidang RPK
–selepas saya resign—dan membuat workshop kepenulisan plus Tim Kepenulisan. Tim
Riset dan Tim Kepenulisan ini kemudian bertransformasi menjadi KOPPI (Komunitas
Penulis dan peneliti Ikatan) yang baru saja terbentuk.
Untuk membangun budaya keilmuan, setidaknya ada tiga akivitas
yang secara elemental berjalan berkesinambungan, yaitu membaca, diskusi, dan
berkarya. Aktivitas diskusi sudah berserak dimana-mana, disetiap komisariat,
setidaknya seminggu sekali ada diskusi. Di warung kopi, hampir tiap malam ada
diskusi. Orang berdiskusi, agar diskusinya berjalan baik, tentu dibarengi dengan
membaca atau menganalisis. Namun diskusi saja tidak cukup, karena analisis
biasanya berbasis hipotesa. Maka harus Dibuktikan dengan melakukan penelitian,
baik penelitian literal maupun lapangan.
Dari aktivitas itulah diharapkan muncul karya-karya. Baik
berupa laporan diskusi, essay, hingga jurnal penelitian. Dokumentasi diskusi,
essay dan jurnal penelitian itulah yang pada suatu hari bisa menjadi referensi
untuk membuat format gerakan, baik dilevel cabang maupun komisariat. Tentu
karya dokumentatif tersebut tidak hanya bersifat virtual, sebagaimana yang
tertulis diatas, kedepan bisa berupa buku hingga Jurnal cetak. Arah orientasi
Tim Riset PC IMM Malang bisa dilihat di weblog Khalam.co.nr
Akhirnya, jika hendak menyebut IMM Cabang Malang sebagai
salah satu basis intelektual IMM di Indonesia, ada wujud kongkretnya. Sejauh
mana budaya diskusi dan tentunya tema diskusi yang diangkat, hingga karya
referensial berupa buku, junal hingga publikasi yang lain. Atau yang lebih
fenomenal lagi, siapakah tokoh intelektual yang dimunculkan dari budaya tersebut.
Tentu tidak selamanya kita merujuk Mas Pradana Boy sebagai simbol
intelektualisme, atau Mas Subhan dan Mas Hasnan. Setiap periodenya, setidaknya
muncul sosok baru.
Realita Gerakan
Betapapun ide tentang gerakan intelektual begitu kuat
digaungkan, senyatanya ia selalu menjadi second priority. Energi PC IMM
Malang biasanya terkonsentrasi pada hal-hal yang bersifat
administratif-organisatoris hingga hal-hal politik. Apalagi, PC IMM Malang
termasuk yang tergemuk dalam jumlah komisariat. 21 komisariat tersebar di enam
kampus. Dengan sistem akademik dan budaya yang berbeda-beda, perbedaannya pun
begitu kuat dan kentara. Mulai dari perbedaan dalam memaknai ideologi, hingga
perbedaan politik.
Era kepemimpinan Arif Rahmawan, ketika ide tentang membangun
kembali gerakan keilmuan begitu digaungkan, secara faktual, nyatanya
konsentrasi justru lebih banyak ke agenda-agenda politik : membangun komunikasi
dengan Pimpinan IMM Cabang se-Jawa Timur, ikut begitu jauh dalam agenda
muktamar, hingga konsentrasi ke Musyda. Bahkan, Arif Rahmawan yang disatu sisi
masih menjabat sebagai ketua PC IMM Malang, terpilih menjadi formatur dan
menjadi Sekum DPD.
Di internal, program-program cabang justru lebih dititik
beratkan ke agenda perkaderan. Misalkan DAM dan LID. Bidang Keilmuan, yang
seharusnya menjadi prioritas –sebagaimana arah kepemimpinan—justru hanya
bergerak di awal-awal, itupun melalui diskusi-diskusi kultural, yang dikenal
dengan Safari Keilmuan. Selebihnya, Nothing.
Era kepemimpinan Yusuf Hamdani Abdi, Intelectual Movement
masih menjadi bahasan intens, sekalipun jauh lebih abstrak. Boleh-boleh saja
Yusuf mengatakan jika PC IMM Malang sebagai barometer IMM se-Indonesia. Tetapi Political
Marketing tersebut masih dalam tataran ide. Senyatanya, kepemimpinan Yusuf
justru lebih mengakomodir semua agenda, itulah kenapa PC IMM Malang era Yusuf
Hamdani bisa dikatakan sebagai era paling produktif, terutama dalam menjalankan
program-program temporal dan momentual. Hampir semua bidang berhasil
menjalankan agenda proker-nya. Hanya saja, agenda-agenda organisasi dan politik
tetap menjadi agenda yang paling menguras energi, terutama waktu dan pendanaan.
Realitanya, sense of policy untuk agenda-agenda
keilmuan memang selalu terpinggirkan. Maka tak salah jika Prof. Kuntowijoyo
mengatakan jika seorang intelektual adalah orang yang memilih jalan sunyi, atau
istilah lain sebagai ‘kaum pinggiran’. IMM sendiri, yang notabene adalah ortom
Muhammadiyah yang bergerak di kampus, pada kenyataannya tak mampu menjadi wadah
yang nyaman untuk mengembangkan budaya-budaya ilmiah. Perlu wadah baru entah
itu L.O, LSM, komunitas dan sejenisnya.
Jadi, betatapun ide tentang membangun budaya keilmuan itu
terus disuarakan, pada akhirnya akan kembali ke figur pengelolanya. Apakah secara
figuritas sosok itu menyakinkan? tentu tidak hanya dinilai secara verbal, namun
juga secara sikap. Karena bisa jadi intelectual movement menjadi ide
gerakan, tapi secara faktual kebijakan yang diambil justru bertolak belakang.
IMM Malang sendiri mendapatkan gelar sebagai salah satu
basis intelektual juga tak lepas dari banyaknya lembaga lain yang didalamnya
terhimpun banyak kader IMM. Misalkan, Mas Hasnan yang intens membina
kader-kader intelektual baik melalui PSIF ataupun RGST. Sebagian besar yang
aktif disana adalah kader IMM yang tidak terlalu dikenal secara struktural. Para
alumnus workshop Riset dan Kepenulisan pun harus membentuk Komunitas Penulis
dan Peneliti Ikatan agar geraknya lebih bebas dan nyaman.
Baru saja, muncul Rumah Inspirasi yang terkoneksi dengan
banyak komunitas lainnya, termasuk JIMM (Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah) yang dibina langsung oleh Mas Pradana Boy. Diantara figur-figur
yang terhimpun di dalamnya antara lain Mas Subhan Setowara, Mas Adam Muhammad,
Mas Fiqh Tri Hidayatullah, Mas Ali Muthohirin, Jumhur, dan Fauzan, yang baru
saja terpilih menjadi ketua PC IMM Malang periode 2015-2016. (*)
7 Maret 2015,
A Fahrizal Aziz*
(*) Mantan Kabid RPK PC IMM Malang