Petang itu
saya menghidupkan televisi, menuju channel berita. Sambil menyeduh kopi, saya
menyimak konferensi pers Tim Independen yang dipimpin oleh Buya Syafii Maarif.
Tim Independen dibentuk oleh Presiden Jokowi dalam rangka memberikan masukan
konstruktif terkait kemelut KPK-Polri. Kehadiran Buya –sekalipun hanya sebagai
Tim adhoc—mengisyaratkan satu hal : akhirnya muncul juga tokoh Muhammadiyah.
Buya Syafii
memang salah satu tokoh Muhammadiyah yang terkenal dekat dengan Jokowi, bahkan
PDIP. Sudah tidak bisa dipungkiri lagi kedekatan Buya dengan almarhum Taufiq
Kiemas. Dalam peta politik 2014 yang lalu, Buya termasuk yang dekat –atau
mendukung Jokowi—bahkan menjadi Penasehat Tim Transisi. Berbeda dengan Pak
Amien Rais yang secara terang benderang mendukung Prabowo.
Buya Syafii
memang bukan politisi dan tidak mau terlibat serius dengan politik praksis.
Tetapi Buya tidak sepenuhnya anti politik. Sikap kenegarawanan Buya terlihat
ketika (sekalipun mendukung Jokowi) tidak pernah menyerang Prabowo secara
figur. Karena Buya paham betul ‘gerbong kultural’ yang berada dibelakangnya
juga lumayan signifikan. Meskipun barangkali masih kalah banyak dibanding Amien
Rais atau Din Syamsudin.
Pak Amien Rais
sendiri justru secara satir mengkritik Jokowi, bahkan menyamakan figurnya
dengan sosok Estrada. Berbeda dengan Pak Din Syamsudin yang lebih moderat dan
netral. Karena secara Institusional, Pak Din tengah memimpin Muhammadiyah dan
juga MUI.
Sayang,
setelah pemenang pemilu diputuskan MK, banyak kader Muhammadiyah (yang kontra
dengan Jokowi-JK) juga tak mau ‘move on’. Jika kita lansir di group-group ‘Muhammadiyah’
yang ada di facebook, kritik yang ada sudah bukan lagi kritik sehat, tapi sudah
masuk level sinis. Ada bahkan beberapa orang yang dalam pemilu tidak mendukung
Jokowi-JK, tapi marah habis-habisan ketika tidak ada kader Muhammadiyah di
Kabinet. Logika kekanak-kanakan inilah yang barangkali membuat kita mengelus
dada.
Secara figur,
warga Muhammadiyah pun tertuju pada sosok Buya Syafii Maarif, yang merasa harus
‘bertanggung jawab’ karena tidak ada kader Muhammadiyah setruktural yang masuk
kabinet Jokowi-JK.
Jika kita
melihat statement Buya Syafii Maarif di Tim Independen, terlihat betul
bagaimana sosok Buya mengartikulasikan keberadaannya di lingkaran istana.
Ketegasan berfikirnya : Jangan lantik tersangka, perkuat KPK, Penangkapan
pimpinan KPK sudah ndak bener. Dll. Mau dekat atau jauh dengan lingkaran
kekuasaan, Buya tetaplah Buya. Tegas. Kritis. Tajam. Dan apa adanya.
Buya pasti
tahu bahwa rekomendasinya tersebut akan sangat susah di terapkan Presiden
Jokowi. Terutama jika menimang-nimang efect politik internal maupun eskternal.
Buya tentu tahu konskwensi politik ketika membuat statement “calon kapolri
bukan pilihan Jokowi’, ‘KPK dilumpuhkan’ dan ‘Penangkapan Bambang Wijayanto
ndak bener’. Jikalau Buya memiliki kepentingan politik secara vertikal, tentu
statement semacam itu akan dihindari. Tetapi Buya berani mengatakannya dengan
sangat terbuka.
Sayang,
tampilnya Buya di gelanggang itu menyisakan satu pertanyaan besar : manakah
kader muda Muhammadiyah? tahun ini usia Buya Syafii Maarif memasuki angka 80.
Usia yang sudah sangat sepuh untuk menjadi orang di depan layar. Buya sendiri,
bukan figur politisi, melainkan sebagai Intelektual dan Cendekiawan. Tentu,
domain Buya bukan menyiapkan kader politisi, melainkan menyiapkan gerbong
kultural yang bergerak dalam dunia intelektual. Selain Maa’rif Institute, Buya
juga orang terdepan yang memback up JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
sebagai wadah membangun gerakan intelektual.
Hanya saja, di
internal Muhammadiyah, bahkan di IMM yang merupakan ortom dilingkup Mahasiswa,
masih ada saja gejolak kontraproduktif tentang kehadiran JIMM atau sosok Buya
Syafii Maarif sendiri. Bahkan pernah ada sebutan trio liberalis Muhammadiyah.
Apapun bentuk sentimen di dalamnya, sekarang kita sadar bahwa Muhammadiyah
minus dalam berbagai bidang. Terutama Politik. Pak Amien Rais sendiri, yang
begitu nampak superior, akhirnya juga tak bisa berbuat banyak.
Gerakan
intelektual, agaknya menjadi satu basis kultural Muhammadiyah yang paling
menonjol untuk sekarang ini, Dibanding dengan gerakan budaya, politik, atau
dakwah konvensional. Amal usaha Muhammadiyah pun juga telah menjelma menjadi
korporasi karena tuntutan zaman. Sudah susah untuk diharapkan menjadi PKO
sebagaimana yang menjadi tradisi awal berdirinya Muhammadiyah.
Hari ini kita
menyaksikan sendiri, bahwa Muhammadiyah, yang memiliki ratusan bahkan ribuan
figur kompeten, tenggelam dalam percaturan wacana karena lemahnya penguasaan
politik. Yang paling bisa diharapkan justru gerakan kultural, terutama yang
berbasis intelektual. Bahkan sosok Buya Syafii, yang notabene bukan politis,
harus tampil sebagai ‘wakil’ Muhammadiyah yang diharapkan mampu memberi solusi
atas permasalahan bangsa ini.
Memang
begitulah gejalanya, ketika kepentingan politik menyebabkan orang tak bisa
berfikir jernih, tak bisa saling percaya satu sama lain, dan fikiran pun
menjadi keruh. Pada akhirnya, butuh figur-figur yang mampu memecahkan semua itu
secara ilmiah, independen, dan terukur. Sosok intelektual akan selalu
dibutuhkan. Karena mereka berfikir untuk kemanusiaan, bukan sekedar kepentingan
pragmatis atau golongan.
Hanya saja,
setelah Buya Syafii Maarif, siapa lagi?
10
Februari 2015
A
Fahrizal Aziz