Ketika menemui
Pak Jaiz Kumkelo untuk memberikan satu buku antologi cerpen FLP Maliki setahun
yang lalu, beliau nyeletuk demikian : kader-kader rajin nulis ya Khi.
Saya hanya mengangguk pelan dan tersenyum getir, sambil menerka-nerka kata
“kader” yang dimaksud Pak Jaiz. Yang dimaksud kader FLP atau kader IMM? FLP
sendiri tidak mengenal istilah “kader”. Selama ini, ketika berbincang agak
santai dengan beliau, yang ditanyakan selalu IMM, IMM dan IMM. Hampir tidak
pernah lewat perbincangan tersebut. Entah hanya bertanya : kemaren DAD dapat
berapa kader? Bagaimana budaya diskusinya? Atau menanyakan tentang senior,
terutama Cak Fek. Topek (Cak Fek) masih sering bina adek-adek kan?
Dengan lekas
saya paham, bahwa kader yang dimaksud Pak Jaiz tersebut bukanlah para penulis
antologi yang bukunya dia pegang, yang disampul depannya ada endorsement dari
beliau. Saya memang meminta Pak Jaiz untuk memberikan endorsement untuk
antologi tersebut agar antologi perdana FLP Maliki itu terlihat lebih berwibawa.
Hehe,
Lalu Pak Jaiz
mengajukan dua pertanyaan lagi : kader-kader ada yang masuk SA? (Suara
Akademika) dan bagaimana kamu bina mereka menulis? Dua pertanyaan terakhir
ini membuat saya begitu tersindir. Bahkan sebelum sesi perbincangan itu berakhir,
Pak Jaiz menekankan sesuatu : sebelum kamu ‘hilang’ seperti Kholiq (Mas
Abdul Kholiq) kamu harus mengajari mereka menulis ya, Khi.
Mendadak saya
jadi teringat Cak Kholiq, yang dulu –ketika saya masih tinggal di koms.
Revivalis—adalah motivator terbesar saya dalam menulis. Cak Kholiq tidak hanya
memotivasi secara verbal. Melainkan juga melalui bukti nyata. Karya-karyanya
yang terserak di media massa, koran, majalah, dll. Dibandingkan Cak Kholiq,
tentu saya belum ada apa-apanya, termasuk jumlah karya yang dimuat di Media
Massa.
Sementara saya
hanya menulis bebas. Kalau pun agak serius, itu hanya di Suara Akademika, itu
pun karena tuntutan lembaga. Karya saya yang serius hanya sampai di level
regional Jawa Timur (Koran Surya) dan sisanya koran lokal semisal Koran
Pendidikan. Lainnya, saya lebih banyak menulis di Online, terutama untuk
mendukung teman-teman Blogger yang memiliki insting membuat website
profesional.
Buku? Saya pun
juga belum punya buku dalam bentuk cetak. Sudah masuk ke penerbit satu novel berjudul
‘Samara’ dan entah kapan akan diterbitkan. Dua Novel lainnya menanti rampung,
dan akan dilempar ke dua penerbit yang berbeda pula.
Dan kemudian
saya terfikir, haruskah muncul kader-kader penulis? Penulis yang seperti apa?
Apakah seperti Cak Kholiq yang menyemarakkan media cetak, apa yang menerbitkan
buku, apa yang rajin menulis di blog dan website, atau yang lain? tapi yang
pasti, setiap kader akan menulis makalah, paper, proposal dan skripsi, hehe.
Sekitar tiga
bulan yang lalu, saya berkunjung ke rumah Koordinator JIMM, yang mengapresiasi
langkah PC IMM Malang untuk membentuk Tim Riset dan Tim Kepenulisan yang akan
menerbitkan Jurnal dan Antologi. Bahkan sang koordinator mengatakan : kita
siapkan dananya. Tentu itu sebuah jaminan yang menggiurkan.
Saya kemudian
menghubungi beberapa personil Tim Kepenulisan dan mengatakan : naskah belum
cukup. Bisa dibayangkan, dari 21 komisariat se-Malang raya, yang didalamnya ada
ratusan kader aktif, untuk menyaring tak lebih dari 20 naskah saja kesulitan.
Dana sudah siap, tapi naskah belum siap. Ini keterbalikan dengan peristiwa masa
lalu, yang biasanya selalu bilang “tidak ada dana”.
Jangankan di
internal IMM UIN Malang, se-Malang raya pun nasibnya juga hampir sama. Itulah
kenapa, sejak saya membuat blog “Segelas Kopi Untuk Ikatan” tak lama kemudian
Blog itu vakum. Maka saya kembali ke pemahaman awal saya : bahwa menulis itu
pilihan, bukan keharusan.
Kita bisa
menyiapkan wadah menulis, lembaga menulis, atau pelatihan menulis. Tetapi
menulis –tetaplah menulis itu sendiri—bukan wadah apalagi teori. Sekeras apapun
Cak Kholiq mengajak kader menulis dan mencontohkan menulis, pada akhirnya
kembali juga ke keinginan pribadi. Sekeras apapun juga saya mengajak menulis,
membuat blog segelas kopi, mengumpulkan catatan sederhana “segelas kopi untuk
Ikatan” yang bahkan sudah masuk jilid kedua, hingga membuat Paguyuban Srengenge
sebagai media untuk belajar menulis, akhirnya kembali lagi ke personal
masing-masing.
Sekeras apapun
teman-teman PC IMM Malang membentuk Tim Riset dan Tim Kepenulisan, pada
akhirnya juga kembali ke individu masing-masing. Tidak bisa dipaksa, ditekan,
atau sekedar dihimbau. Terlalu banyak wadah kepenulisan, terlalu sering
workshop kepenulisan, terlalu banyak himbauan untuk menulis. Pada akhirnya menulis
ya tetap menulis. Sederhana, kan?
Ada wadah, ada
pelatihan, ada dana, tapi kita lupa menyisakan gairah. (*)
Sukabumi,
7 Februari 2015
A
Fahrizal Aziz