loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Memimpikan kader penulis?



Ketika menemui Pak Jaiz Kumkelo untuk memberikan satu buku antologi cerpen FLP Maliki setahun yang lalu, beliau nyeletuk demikian : kader-kader rajin nulis ya Khi. Saya hanya mengangguk pelan dan tersenyum getir, sambil menerka-nerka kata “kader” yang dimaksud Pak Jaiz. Yang dimaksud kader FLP atau kader IMM? FLP sendiri tidak mengenal istilah “kader”. Selama ini, ketika berbincang agak santai dengan beliau, yang ditanyakan selalu IMM, IMM dan IMM. Hampir tidak pernah lewat perbincangan tersebut. Entah hanya bertanya : kemaren DAD dapat berapa kader? Bagaimana budaya diskusinya? Atau menanyakan tentang senior, terutama Cak Fek. Topek (Cak Fek) masih sering bina adek-adek kan?

Dengan lekas saya paham, bahwa kader yang dimaksud Pak Jaiz tersebut bukanlah para penulis antologi yang bukunya dia pegang, yang disampul depannya ada endorsement dari beliau. Saya memang meminta Pak Jaiz untuk memberikan endorsement untuk antologi tersebut agar antologi perdana FLP Maliki itu terlihat lebih berwibawa. Hehe,

Lalu Pak Jaiz mengajukan dua pertanyaan lagi : kader-kader ada yang masuk SA? (Suara Akademika) dan bagaimana kamu bina mereka menulis? Dua pertanyaan terakhir ini membuat saya begitu tersindir. Bahkan sebelum sesi perbincangan itu berakhir, Pak Jaiz menekankan sesuatu : sebelum kamu ‘hilang’ seperti Kholiq (Mas Abdul Kholiq) kamu harus mengajari mereka menulis ya, Khi.

Mendadak saya jadi teringat Cak Kholiq, yang dulu –ketika saya masih tinggal di koms. Revivalis—adalah motivator terbesar saya dalam menulis. Cak Kholiq tidak hanya memotivasi secara verbal. Melainkan juga melalui bukti nyata. Karya-karyanya yang terserak di media massa, koran, majalah, dll. Dibandingkan Cak Kholiq, tentu saya belum ada apa-apanya, termasuk jumlah karya yang dimuat di Media Massa.

Sementara saya hanya menulis bebas. Kalau pun agak serius, itu hanya di Suara Akademika, itu pun karena tuntutan lembaga. Karya saya yang serius hanya sampai di level regional Jawa Timur (Koran Surya) dan sisanya koran lokal semisal Koran Pendidikan. Lainnya, saya lebih banyak menulis di Online, terutama untuk mendukung teman-teman Blogger yang memiliki insting membuat website profesional.

Buku? Saya pun juga belum punya buku dalam bentuk cetak. Sudah masuk ke penerbit satu novel berjudul ‘Samara’ dan entah kapan akan diterbitkan. Dua Novel lainnya menanti rampung, dan akan dilempar ke dua penerbit yang berbeda pula.

Dan kemudian saya terfikir, haruskah muncul kader-kader penulis? Penulis yang seperti apa? Apakah seperti Cak Kholiq yang menyemarakkan media cetak, apa yang menerbitkan buku, apa yang rajin menulis di blog dan website, atau yang lain? tapi yang pasti, setiap kader akan menulis makalah, paper, proposal dan skripsi, hehe.

Sekitar tiga bulan yang lalu, saya berkunjung ke rumah Koordinator JIMM, yang mengapresiasi langkah PC IMM Malang untuk membentuk Tim Riset dan Tim Kepenulisan yang akan menerbitkan Jurnal dan Antologi. Bahkan sang koordinator mengatakan : kita siapkan dananya. Tentu itu sebuah jaminan yang menggiurkan.

Saya kemudian menghubungi beberapa personil Tim Kepenulisan dan mengatakan : naskah belum cukup. Bisa dibayangkan, dari 21 komisariat se-Malang raya, yang didalamnya ada ratusan kader aktif, untuk menyaring tak lebih dari 20 naskah saja kesulitan. Dana sudah siap, tapi naskah belum siap. Ini keterbalikan dengan peristiwa masa lalu, yang biasanya selalu bilang “tidak ada dana”.

Jangankan di internal IMM UIN Malang, se-Malang raya pun nasibnya juga hampir sama. Itulah kenapa, sejak saya membuat blog “Segelas Kopi Untuk Ikatan” tak lama kemudian Blog itu vakum. Maka saya kembali ke pemahaman awal saya : bahwa menulis itu pilihan, bukan keharusan.

Kita bisa menyiapkan wadah menulis, lembaga menulis, atau pelatihan menulis. Tetapi menulis –tetaplah menulis itu sendiri—bukan wadah apalagi teori. Sekeras apapun Cak Kholiq mengajak kader menulis dan mencontohkan menulis, pada akhirnya kembali juga ke keinginan pribadi. Sekeras apapun juga saya mengajak menulis, membuat blog segelas kopi, mengumpulkan catatan sederhana “segelas kopi untuk Ikatan” yang bahkan sudah masuk jilid kedua, hingga membuat Paguyuban Srengenge sebagai media untuk belajar menulis, akhirnya kembali lagi ke personal masing-masing.

Sekeras apapun teman-teman PC IMM Malang membentuk Tim Riset dan Tim Kepenulisan, pada akhirnya juga kembali ke individu masing-masing. Tidak bisa dipaksa, ditekan, atau sekedar dihimbau. Terlalu banyak wadah kepenulisan, terlalu sering workshop kepenulisan, terlalu banyak himbauan untuk menulis. Pada akhirnya menulis ya tetap menulis. Sederhana, kan?

Ada wadah, ada pelatihan, ada dana, tapi kita lupa menyisakan gairah. (*)

Sukabumi, 7 Februari 2015
A Fahrizal Aziz