Musykom tahun
ini saya tidak bisa hadir di tiga komisariat. Tahun lalu, hanya bisa hadir di
Musykom pelopor, itu pun tidak penuh. Tidak sempat mengikuti LPJ yang
(kabarnya) begitu seru. Kemaren, waktu mendapatkan sms Jannah, Sayida, dan
Luthfi untuk mampir di acara Musykom, saya harus menghadiri acara yang diadakan
LPM “Laun” STIT Al Muslihun Tlogo Kab Blitar, di dusun tingal kec. Garum,
daerahnya lumayan pelosok. Disana, selain berbicara soal media mahasiswa, salah
satu yang dibahas adalah “Klarifikasi” atas sejarah PKI. Hadir pula aktivis NGO
yang concern terhadap isu HAM Berat, salah satunya kasus pembantaian PKI
Blitar
selatan, termasuk daerah saya, pada periode tahun 1965-1967-an menjadi tempat
eksodus para kader PKI. Kala itu, tengah meledak konflik di Madiun yang kita
kenal dengan istilah G30S PKI. Konon, pemimpin tertinggi PKI Jawa Timur, Ruslan
Widjajasastra juga melarikan diri ke Blitar selatan, dan bersembunyi di gua
umbultuk.
Hampir semua
yang hadir, entah itu aktivis LPM atau aktivis NGO, adalah kader NU dan
sekaligus PMII. STIT (Sekolah tinggi Ilmu Tarbiyah) pun juga lembaga dibawah
payung NU. Bahkan PMII menjadi OMEK tunggal disana. Ini adalah untuk pertama
kali saya berinteraksi dengan kader-kader PMII, meski dalam wadah yang berbeda,
LPM dan NGO. Tapi kentalnya loyalitas mereka terhadap PMII bisa terlihat ketika
mengakhiri salam, selalu menggunakan “Wallohul Muqafiq”.
Di Blitar,
karena saya aktif di Forum Lingkar Pena, dulu saya sering berinteraksi dengan
KAMMI. Bahkan beberapa kali saya mendapatkan sms dari ketua Umumnya jika ada
kajian, atau lebih tepatnya Liqo’ / Halaqoh. Pernah juga berkunjung di
Komisariat HMI Blitar, yang ternyata pimpinan Cabangnya masih ikut PC HMI
Tulung Agung. Yang belum, dan entah kenapa bisa belum, justru bertemu dengan
kader-kader IMM Cabang Blitar, yang sekitar dua tahun lalu diresmikan oleh Mas
Najih, ketua DPD IMM Jawa Timur.
Pernah sekali
mengirim sms kepada Atim, ketua PC IMM Blitar, pernah dibalas sekali. Kemaren,
waktu TMO koms. Pelopor di Bedengan, saya sebenarnya ingin hadir karena diminta
mengisi materi analisis komisariat. Tapi entah apa yang terjadi, tidak bisa
datang sesuai undangan, bahkan tidak bisa datang sama sekali.
Itu
menunjukkan, interaksi saya dengan IMM memang sudah sangat jauh berkurang. Baik
secara kultural, apalagi struktural. Tapi, idealisme saya tetaplah IMM. Meski
tidak selalu menggunakan “Billahi fi sabilil haq”. IMM adalah wadah
konstruktif, corong untuk mengasah ketajam berfikir dan menemukan meaning
(makna). Dengan sumbangsihnya yang sebesar itu, tentu tidak mungkin melupakan
IMM begitu saja. Saya masih aktif, setidaknya untuk mempromosikan gagasan
ke-IMM-an dan ke-Muhammadiyah-an, melalui Segelas Kopi Untuk Ikatan.
Saya masih
mengikuti perkembangan IMM, ataupun gerakan kultural yang menyertainya, entah
melalui media sosial, media massa, atau sekedar informasi dari teman-teman.
Saya juga tahu jika Pradana Boy ZTF, Kakanda paling populer di IMM Malang itu,
baru saja terpilih menjadi ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur. Pradana
Boy, yang asli kakanda IMM itu, pernah di sebut oleh Prof. Imam Suprayogo
sebagai Cak Nur masa depan. Tentu “Cak Nur” disini tidak sesederhana sebagai
pengganti Nurcholish Madjid, terutama dalam percaturan pemikiran Islam.
Namun, jika memang
Pradana Boy akan menjadi Cak Nur masa depan, maka itu berarti, IMM akan menjadi
organisasi yang cukup diperhitungkan pula. HMI besar karena Cak Nur, bahkan NDP
(Nilai Dasar Pergerakan) yang konstruktif itu, dibuatkan langsung oleh Cak Nur.
Jadi tak ada salahnya untuk mempersiapkan diri mulai dari sekarang, sebagai
bagian dari “Transisi”. Bukan transisi PSSI yang invalid itu, tapi transisi
untuk bersama-sama menjadi sayap bagi kemajuan IMM. Secara hirarkis, semangat
itu harus dimulai dari komisariat.
Reformer dan
Revivalis baru saja memiliki nahkoda baru. Akbar dan Afaf. Dua nama yang memang
tidak bisa diragukan kapasitasnya. Saya pernah bertemu dan berbincang dengan
mereka berdua. Tinggal menunggu siapakah nahkoda baru pelopor, yang menurut
prediksi saya, panggilan inisialnya juga “A”. Tapi entahlah.
Berkibarlah
Ikatanku. Fastabiqul Khoirot!