Pemira atau pemilu
raya, menjadi event tahunan yang menyorot perhatian publik, terutama kaum
aktivis yang terhimpun dalam OMEK. Gairah untuk menduduki jabatan struktural di
OMIK, membuat para OMEK melakukan ekspansi besar-besaran. Adagium yang beredar,
semakin banyak jabatan OMIK (HMJ, BEM, dan SEMA) maka semakin menunjukkan
eksistensi sebuah OMEK tersebut. Terkhusus di UIN Maliki, persaingan sengit
sempat terjadi antara PMII dan HMI ketika masih menggunakan sistem Partai. Karena
terjadi konflik serius, maka sistem tersebut dirubah pada tahun 2012. Setelah
sistem berubah, maka arus bergeser. HMI menjadi sedikit sulit menembus
persyaratan yang rumit, dan PMII semakin tak terbendung. Baru kemudian, gerakan
independen –baik yang digawangi UKM atau Mahasiswa non ideologis—muncul sebagai
antitesis yang kuat atas ekspansi PMII. Lalu bagaimana dengan IMM?
IMM termasuk OMEK
yang kurang bergairah dalam wacana politik. Semenjak sistem kepartaian dirubah
menjadi sistem independen, IMM nihil partisipasi. Tahun 2010, IMM
mendelegasikan tiga calon ketua. Seperti Umar Alfaruq yang maju sebagai Calon
Ketua BEM-F Humaniora. Nur Rohman sebagai calon ketua HMJ PBA, dan Wildan Setyo
sebagai calon ketua HMJ TI. Dari semua calon, hanya Wildan yang berhasil
memenangkan pemira dan menjadi ketua HMJ TI. Tahun 2011, IMM mendelegasikan dua
kadernya. Subur Pramono sebagai calon ketua HMJ Fisika. Dan A Fahrizal Aziz
sebagai calon ketua HMJ PGMI. Hanya saja, keduanya kalah suara.
Setelah itu,
sepanjang tahun 2012-2014, tidak ada satu pun kader IMM yang maju sebagai
calon. Ada beberapa faktor yang mendasari. Pertama, sistem berubah.
Biasanya, ada dua poros besar dalam pemira. Poros PMII dengan PKDM (Partai
Kebangkitan Demokrasi Mahasiswa) dan Poros HMI, IMM, KAMMI dan beberapa orda
dengan PP (Partai Pencerahan). Setelah sistem dirubah, komunikasi politik model
kepartaian tidak berjalan. Terkecuali PMII, yang memang memiliki akses yang
sangat terbuka dengan birokrasi.
Kedua.
Lemahnya penguasaan isu dikarenakan keterbatasan partisipasi kader di lembaga
Intra (OMIK) maupun UKM. Jelang Pemira, biasanya ada agenda besar bernama
Musyma (Musyawarah Mahasiswa) atau Kongres Mahasiswa. Disinilah isu-isu muncul,
termasuk dalam penyusunan draft regulasi semisal persyaratan pemira dll.
Peserta Musyma tentunya adalah perwakilan OMIK dan UKM.
Ketiga.
Kurang persiapan. Selain karena sistem yang berubah, dan persyaratan semakin
berat, serta minimnya pengalaman dalam mempersiapkan agenda semacam ini,
membuat IMM pun tak begitu memiliki peran dalam percaturan politik. Kecuali,
jika itu sebatas komunikasi kultural yang mengharapkan dukungan secara
kuantitatif dari IMM. Andaikan pun menang, semisal Mas Wildan dulu, ternyata
tidak terlalu berimbas secara signifikan kepada Ikatan.
Keempat,
lemahnya jaringan dosen yang terstruktur. PMII memiliki IKAPMII, HMI memiliki
KAHMI. Secara kultural, IMM masuk bagian dari KAHMI, namun IMM tidak bisa
mengakses KAHMI secara formal karena itu adalah lembaga milik alumni HMI.
Seharusnya, IMM memiliki Fokal-IMM yang bisa menjadi jejaring dintern. Untuk
itu serba sulit –andaikan pun berhasil memenangkan kursi OMIK—itu juga tidak
akan berdampak signifikan.
Mencoba
Realistis
Melihat kultur dan
konstelasi kampus, agaknya Pemira tidak menjadi solusi praktis bagi IMM.
Meskipun, posisi politik adalah posisi paling strategis untuk memajukan sebuah
lembaga. Karena bagaimana pun, OMIK adalah ‘lahan basah’ yang didalamnya banyak
sekali jaringan dan kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan personal maupun
komunal. Hanya saja, tidak bisa berjalan sendiri, harus banyak instrument agar
proses politik itu berjalan lancar. Seperti basis massa, struktur di dalamnya,
hingga jejaring alumni.
Akhirnya, Pemira
bukan lagi event prestisius untuk IMM, melainkan hanya sekedar wacana
responsif. Jika berniat mengajukan calon ketua, seharusnya sejak jauh-jauh
hari. Dimulai dari anggota biasa, pengurus harian, hingga kemudian mengajukan
diri sebagai calon. Karena sebagaimana mainstream politik IMM, yaitu Politik
nilai, akan sangat lucu ketika calon yang diusung IMM kalah secara kapabilitas,
karena kurangnya persiapan.
Merujuk pada
statement Alberto Melucci, seorang Antropolog, bahwa gerakan sosial mewujud
dalam inovasi kultural, teknik-teknik bertahan hidup, serta transformasi sosial
dan ekonomi. Dalam perspektif ini, agaknya IMM perlu berfikir realistis jika
hendak mengejar posisi struktural di Intra melalui Pemira. Ada aspek yang lebih
urgen yang bisa dibenahi, yaitu gerakan kultural yang terabaikan selama
bertahun-tahun. Lebih lanjut, Arturo Escobar juga mengatakan bahwa gerakan
sosial tidak hanya berupa persaingan politik, tapi juga memuat persaingan
kultural.
Gerakan Kultural
inilah, yang dalam Muhammadiyah kerap disebut dengan istilah Politik
Horisontal. Gerakan kultural harusnya mampu berkembang di komisariat melalui
program temporal, L.O (Lambaga Otonom) maupun Komunitas/Paguyuban. Hanya saja,
sudah sejak beberapa tahun belakangan, gerakan kultural di internal IMM UIN
Maliki terhenti karena terjebak pada formalisasi gerakan. Akhirnya, Komisariat
yang seharusnya mampu menjadi basis kultural, kini hanya menjadi basis
formal-struktural, dan orientasi lebih ke ‘bentuk’ daripada ‘isi’. Karena
sangat mustahil, politik tanpa basis kultural yang kuat.
IMM pun harus mulai
terbuka (inklusif) dalam gerakannya. Merangkul masyarakat baik secara formal
maupun informal. Struktural maupun kultural. Apalagi, dengan payung ideologi
besar bernama “Muhammadiyah”, semestinya Mahasiswa yang berasal dari keluarga
atau kultur Muhammadiyah, yang secara formal tidak mengikuti DAD, bisa menjadi
basis kultural dengan pendekatan yang lebih cair, seperti yang pernah dilakukan
IMM Universitas Brawijaya dengan Komunitas Sang Pencerahnya. Bahkan jika
diteliti, tak sedikit pula yang bergabung dengan IMM, yang sebelumnya tidak
berasal dari keluarga atau kultur Muhammadiyah.
Posisi struktural
memang penting, Jabatan politik pun juga tak kalah penting, tapi itu hanya
bersifat momentual. Sementara kita melupakan gerakan-gerakan kultural yang
justru menjadi pondasi secara institusional.
17
Februari 2015
A
Fahrizal Aziz
*Untuk disampaikan dalam diskusi bidang
Hikmah Komisariat Reformer, 18/02/15