loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Pemira, dalam kacamata ikatan



Pemira atau pemilu raya, menjadi event tahunan yang menyorot perhatian publik, terutama kaum aktivis yang terhimpun dalam OMEK. Gairah untuk menduduki jabatan struktural di OMIK, membuat para OMEK melakukan ekspansi besar-besaran. Adagium yang beredar, semakin banyak jabatan OMIK (HMJ, BEM, dan SEMA) maka semakin menunjukkan eksistensi sebuah OMEK tersebut. Terkhusus di UIN Maliki, persaingan sengit sempat terjadi antara PMII dan HMI ketika masih menggunakan sistem Partai. Karena terjadi konflik serius, maka sistem tersebut dirubah pada tahun 2012. Setelah sistem berubah, maka arus bergeser. HMI menjadi sedikit sulit menembus persyaratan yang rumit, dan PMII semakin tak terbendung. Baru kemudian, gerakan independen –baik yang digawangi UKM atau Mahasiswa non ideologis—muncul sebagai antitesis yang kuat atas ekspansi PMII. Lalu bagaimana dengan IMM?

IMM termasuk OMEK yang kurang bergairah dalam wacana politik. Semenjak sistem kepartaian dirubah menjadi sistem independen, IMM nihil partisipasi. Tahun 2010, IMM mendelegasikan tiga calon ketua. Seperti Umar Alfaruq yang maju sebagai Calon Ketua BEM-F Humaniora. Nur Rohman sebagai calon ketua HMJ PBA, dan Wildan Setyo sebagai calon ketua HMJ TI. Dari semua calon, hanya Wildan yang berhasil memenangkan pemira dan menjadi ketua HMJ TI. Tahun 2011, IMM mendelegasikan dua kadernya. Subur Pramono sebagai calon ketua HMJ Fisika. Dan A Fahrizal Aziz sebagai calon ketua HMJ PGMI. Hanya saja, keduanya kalah suara.

Setelah itu, sepanjang tahun 2012-2014, tidak ada satu pun kader IMM yang maju sebagai calon. Ada beberapa faktor yang mendasari. Pertama, sistem berubah. Biasanya, ada dua poros besar dalam pemira. Poros PMII dengan PKDM (Partai Kebangkitan Demokrasi Mahasiswa) dan Poros HMI, IMM, KAMMI dan beberapa orda dengan PP (Partai Pencerahan). Setelah sistem dirubah, komunikasi politik model kepartaian tidak berjalan. Terkecuali PMII, yang memang memiliki akses yang sangat terbuka dengan birokrasi.

Kedua. Lemahnya penguasaan isu dikarenakan keterbatasan partisipasi kader di lembaga Intra (OMIK) maupun UKM. Jelang Pemira, biasanya ada agenda besar bernama Musyma (Musyawarah Mahasiswa) atau Kongres Mahasiswa. Disinilah isu-isu muncul, termasuk dalam penyusunan draft regulasi semisal persyaratan pemira dll. Peserta Musyma tentunya adalah perwakilan OMIK dan UKM.

Ketiga. Kurang persiapan. Selain karena sistem yang berubah, dan persyaratan semakin berat, serta minimnya pengalaman dalam mempersiapkan agenda semacam ini, membuat IMM pun tak begitu memiliki peran dalam percaturan politik. Kecuali, jika itu sebatas komunikasi kultural yang mengharapkan dukungan secara kuantitatif dari IMM. Andaikan pun menang, semisal Mas Wildan dulu, ternyata tidak terlalu berimbas secara signifikan kepada Ikatan.

Keempat, lemahnya jaringan dosen yang terstruktur. PMII memiliki IKAPMII, HMI memiliki KAHMI. Secara kultural, IMM masuk bagian dari KAHMI, namun IMM tidak bisa mengakses KAHMI secara formal karena itu adalah lembaga milik alumni HMI. Seharusnya, IMM memiliki Fokal-IMM yang bisa menjadi jejaring dintern. Untuk itu serba sulit –andaikan pun berhasil memenangkan kursi OMIK—itu juga tidak akan berdampak signifikan.

Mencoba Realistis
Melihat kultur dan konstelasi kampus, agaknya Pemira tidak menjadi solusi praktis bagi IMM. Meskipun, posisi politik adalah posisi paling strategis untuk memajukan sebuah lembaga. Karena bagaimana pun, OMIK adalah ‘lahan basah’ yang didalamnya banyak sekali jaringan dan kesempatan untuk mengeksplorasi kemampuan personal maupun komunal. Hanya saja, tidak bisa berjalan sendiri, harus banyak instrument agar proses politik itu berjalan lancar. Seperti basis massa, struktur di dalamnya, hingga jejaring alumni.

Akhirnya, Pemira bukan lagi event prestisius untuk IMM, melainkan hanya sekedar wacana responsif. Jika berniat mengajukan calon ketua, seharusnya sejak jauh-jauh hari. Dimulai dari anggota biasa, pengurus harian, hingga kemudian mengajukan diri sebagai calon. Karena sebagaimana mainstream politik IMM, yaitu Politik nilai, akan sangat lucu ketika calon yang diusung IMM kalah secara kapabilitas, karena kurangnya persiapan.

Merujuk pada statement Alberto Melucci, seorang Antropolog, bahwa gerakan sosial mewujud dalam inovasi kultural, teknik-teknik bertahan hidup, serta transformasi sosial dan ekonomi. Dalam perspektif ini, agaknya IMM perlu berfikir realistis jika hendak mengejar posisi struktural di Intra melalui Pemira. Ada aspek yang lebih urgen yang bisa dibenahi, yaitu gerakan kultural yang terabaikan selama bertahun-tahun. Lebih lanjut, Arturo Escobar juga mengatakan bahwa gerakan sosial tidak hanya berupa persaingan politik, tapi juga memuat persaingan kultural.

Gerakan Kultural inilah, yang dalam Muhammadiyah kerap disebut dengan istilah Politik Horisontal. Gerakan kultural harusnya mampu berkembang di komisariat melalui program temporal, L.O (Lambaga Otonom) maupun Komunitas/Paguyuban. Hanya saja, sudah sejak beberapa tahun belakangan, gerakan kultural di internal IMM UIN Maliki terhenti karena terjebak pada formalisasi gerakan. Akhirnya, Komisariat yang seharusnya mampu menjadi basis kultural, kini hanya menjadi basis formal-struktural, dan orientasi lebih ke ‘bentuk’ daripada ‘isi’. Karena sangat mustahil, politik tanpa basis kultural yang kuat.

IMM pun harus mulai terbuka (inklusif) dalam gerakannya. Merangkul masyarakat baik secara formal maupun informal. Struktural maupun kultural. Apalagi, dengan payung ideologi besar bernama “Muhammadiyah”, semestinya Mahasiswa yang berasal dari keluarga atau kultur Muhammadiyah, yang secara formal tidak mengikuti DAD, bisa menjadi basis kultural dengan pendekatan yang lebih cair, seperti yang pernah dilakukan IMM Universitas Brawijaya dengan Komunitas Sang Pencerahnya. Bahkan jika diteliti, tak sedikit pula yang bergabung dengan IMM, yang sebelumnya tidak berasal dari keluarga atau kultur Muhammadiyah.

Posisi struktural memang penting, Jabatan politik pun juga tak kalah penting, tapi itu hanya bersifat momentual. Sementara kita melupakan gerakan-gerakan kultural yang justru menjadi pondasi secara institusional.

17 Februari 2015
A Fahrizal Aziz

*Untuk disampaikan dalam diskusi bidang Hikmah Komisariat Reformer, 18/02/15