Istilah Islam Nusantara sering disebut
oleh Gus Dur, termasuk dalam kaitannya Pribumisasi Islam (Islam Pribumi).
Selain Gus Dur, tokoh lain yang juga sering menggunakan istilah ini adalah Cak
Nur (Nurcholish Madjid). Di Muhammadiyah, gagasan serupa dimunculkan oleh Buya
Syafii Maarif dengan nama Islam Pancasila. Kalau Islam Nusantara merujuk pada
wilayah geografis dan juga doktirn lokal, maka Islam Pancasila, lebih khusus
sebagai pemaknaan atas kebangsaan.
Ini menarik, karena Prof. Din Syamsudin
pernah mengatakan, bedanya NU dan Muhammadiyah dahulu antara lain, NU lebih
merujuk pada kitab-kitab/qoul ulama. Sementara Muhammadiyah lebih pada
metodologi. Itulah kenapa Muhammadiyah berani menggunakan istilah ruju’ ila
qur’an wa sunnah. Tentu tidak sesederhana melihat Al Qur’an lalu menafsirkan.
Tapi Muhammadiyah, sebagai gerakan tadjid, ingin selalu berupaya menyusun
kerangka tafsir baru yang lebih ‘progresif’. Untuk itulah kenapa, Muhammadiyah
secara khusus tidak berkiblat pada mahzab tertentu dan tidak mengenal budaya
taqlid.
Sementara NU, selalu merujuk pada
Ulama tertentu dengan mahzab tertentu. NU –meski memiliki forum Ba’atsul
masail—namun menempatkan aspek metodologis sebagai tambahan. Makanya, Prof. Din
menyebut, Ibarat Perpustakaan, NU itu kitab-nya dan Muhammadiyah itu
metodologinya.
Kini, setelah NU mulai menggagas
tema-tema “baru”, termasuk diantaranya Islam Nusantara yang secara resmi
menjadi tema dalam beberapa kegiatannya. NU mulai ber-ijtihad untuk membuat
formulasi “Islam” dalam kerangka geografis, dimana tidak ada rujukan Ulama
dalam formulasi Islam Nusantara tersebut, termasuk Imam Mahzab empat.
NU mulai menciptakan metodologi.
Sementara, kalau melihat respon beberapa kader Muhammadiyah tentang Islam
Nusantara tersebut, bahkan ada yang secara emosional menyebut jika istilah itu
tidak ada dalam Al Qur’an. Anak-anak Muhammadiyah pun mulai banyak yang terikat
pada teks, sebagaimana dulu anak-anak NU.
Padahal KH. Ahmad Dahlan, dalam tafsir
Gerakannya, beyond the teks (lebih dari sekedar teks), bahkan meniru (bukan
berarti tasabuh) cara-cara/metologi Kristen dan Belanda, baik dalam berdakwah
atau mengelola pendidikan. Termasuk kenapa kemudian, Muhammadiyah mendirikan
Majelis Tarjih (Interpretatif), karena meneguhkan eksistensi Muhammadiyah
sebagai Gerakan Tadjid yang mengedepankan
rasio, metode serta menolak segala bentuk taqlid.
Namun, sekarang agaknya terbalik,
anak-anak NU perlahan-lahan menjadi “Muhammadiyah”, namun anak-anak
Muhammadiyah justru bergerak menjadi “NU”. Kecuali (dan itu pasti) dalam fiqh
ibadah. Kalau soal ibadah, memang tak pernah ada lagi perdebatan. (*)