loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Islam NU-santara





Istilah Islam Nusantara sering disebut oleh Gus Dur, termasuk dalam kaitannya Pribumisasi Islam (Islam Pribumi). Selain Gus Dur, tokoh lain yang juga sering menggunakan istilah ini adalah Cak Nur (Nurcholish Madjid). Di Muhammadiyah, gagasan serupa dimunculkan oleh Buya Syafii Maarif dengan nama Islam Pancasila. Kalau Islam Nusantara merujuk pada wilayah geografis dan juga doktirn lokal, maka Islam Pancasila, lebih khusus sebagai pemaknaan atas kebangsaan.

Ini menarik, karena Prof. Din Syamsudin pernah mengatakan, bedanya NU dan Muhammadiyah dahulu antara lain, NU lebih merujuk pada kitab-kitab/qoul ulama. Sementara Muhammadiyah lebih pada metodologi. Itulah kenapa Muhammadiyah berani menggunakan istilah ruju’ ila qur’an wa sunnah. Tentu tidak sesederhana melihat Al Qur’an lalu menafsirkan. Tapi Muhammadiyah, sebagai gerakan tadjid, ingin selalu berupaya menyusun kerangka tafsir baru yang lebih ‘progresif’. Untuk itulah kenapa, Muhammadiyah secara khusus tidak berkiblat pada mahzab tertentu dan tidak mengenal budaya taqlid.

Sementara NU, selalu merujuk pada Ulama tertentu dengan mahzab tertentu. NU –meski memiliki forum Ba’atsul masail—namun menempatkan aspek metodologis sebagai tambahan. Makanya, Prof. Din menyebut, Ibarat Perpustakaan, NU itu kitab-nya dan Muhammadiyah itu metodologinya.

Kini, setelah NU mulai menggagas tema-tema “baru”, termasuk diantaranya Islam Nusantara yang secara resmi menjadi tema dalam beberapa kegiatannya. NU mulai ber-ijtihad untuk membuat formulasi “Islam” dalam kerangka geografis, dimana tidak ada rujukan Ulama dalam formulasi Islam Nusantara tersebut, termasuk Imam Mahzab empat.

NU mulai menciptakan metodologi. Sementara, kalau melihat respon beberapa kader Muhammadiyah tentang Islam Nusantara tersebut, bahkan ada yang secara emosional menyebut jika istilah itu tidak ada dalam Al Qur’an. Anak-anak Muhammadiyah pun mulai banyak yang terikat pada teks, sebagaimana dulu anak-anak NU.

Padahal KH. Ahmad Dahlan, dalam tafsir Gerakannya, beyond the teks (lebih dari sekedar teks), bahkan meniru (bukan berarti tasabuh) cara-cara/metologi Kristen dan Belanda, baik dalam berdakwah atau mengelola pendidikan. Termasuk kenapa kemudian, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih (Interpretatif), karena meneguhkan eksistensi Muhammadiyah sebagai Gerakan Tadjid yang  mengedepankan rasio, metode serta menolak segala bentuk taqlid.

Namun, sekarang agaknya terbalik, anak-anak NU perlahan-lahan menjadi “Muhammadiyah”, namun anak-anak Muhammadiyah justru bergerak menjadi “NU”. Kecuali (dan itu pasti) dalam fiqh ibadah. Kalau soal ibadah, memang tak pernah ada lagi perdebatan. (*)
Posted in /