loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Muhammadiyah, Islam, dan Ideologi yang terbajak



Jika membaca sejarah berdirinya Muhammadiyah, baik dari buku atau film, kita bisa mendapati bahwa Muhammadiyah termasuk salah satu ormas Islam yang muncul dari “Pemikiran”. Bukan budaya atau politik. Berbeda dengan NU yang merupakan gerakan akulturatif, sekalipun berdirinya di Surabaya, tapi embriologinya berasal dari Jombang yang notabene daerah pedalaman, yang mewarisi budaya kontinental dari Hindu-Buddha. Mengolaborasikan sistem pedepokan yang kemudian berubah menjadi pesantren, dan sang guru yang biasanya disebut Resi berubah menjadi Kyai. Kyai pun sebenarnya bukan terminologi bahasa arab, Kyai dulunya adalah sebutan untuk benda-benda atau perwujudan sesuatu yang disucikan dan disakralkan.

Di Solo misalkan, ada namanya Kyai Slamet yang mewujud seekor sapi. Tidak lain, itu adalah tradisi hindu yang memang menganggap sapi sebagai hewan suci. Jadi, dibanding Muhammadiyah, NU lebih mewakili Islam pedalaman dan Islam Budaya.

Muhammadiyah juga berbeda dengan Tarbiyah, yang secara politik ditafsirkan menjadi PKS, yang dalam ormas berwujud KAMMI dan sejenisnya. Tarbiyah pun adalah geneologi Islam-Transnasional yang berkembang di Mesir. Suatu daratan konflik yang tak kunjung usai hingga sekarang ini. yang dalam dunia internasional disebut sebagai Ikhwanul Muslimin. Tujuannya jelas, menjadikan Islam sebagai basis negara. Hanya saja, gerakan Tarbiyah dinilai lebih cair dibanding HTI.

HTI sendiri adalah sebuah ormas yang tumbuh di daerah konflik, Palestina. Yang mendukung Khilafah Islamiyah. Konon, Khilafah menjadi suatu sistem terbaik dalam sejarah sejak era Khulafaur Rasyidin dan setelahnya, yang meski berbentuk kerajaan, akan tetapi memiliki pemimpinnya disebut Khalifah dan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mulai dari era Ummayah hingga Ottoman. Lahirnya gerakan sejenis HTI dll pun juga tak lepas dari akar kesejarahan, ketika Mustafa Kemal Pasha (Kemal Attaturk) merubah sistem monarki menjadi republik.

Artinya, sebenarnya kekuasaan Islam tidak pernah runtuh sebagaimana yang kita pelajari dalam sejarah. Setelah Abbasiyah musnah, muncul lagi kerajaan besar semisal Mughal, Islam Persia di daratan Arab. Di Eropa muncul Bani Ummayah II, di Indonesia (Nusantara) muncul Samudra Pasai, dan muncul pula kerajaan besar bernama Ottoman atau yang juga kita kenal dengan Kekhalifahan Ustmaniyah yang terkenal dengan perang salibnya itu.

Kekuasaan Islam tidak musnah secara fisik, tapi bergeser secara sistem, dan tokoh paling berpengaruh adalah Kemal Attaturk yang kemudian disebut-sebut sebagai pemimpin yang sekuler dan liberal. Di Nusantara pun, negara Islam perlahan-lahan juga memudar ketika kolonialisme muncul yang perlahan mampu menaklukkan nusantara dan merubah sistem kerajaan (yang kala itu mayoritas adalah kerajaan Islam) menjadi negara serikat hingga republik. Dua wilayah yang paling susah di taklukkan Penjajah kala itu adalah Aceh dan Yogyakarta. Jadi dalam akar kesejarahan, Yogyakarta termasuk salah satu wilayah yang sangat kuat, dan disinilah Muhammadiyah lahir.

Hingga kini, di Yogyakarta pun masih menggunakan sistem kerajaan/kesultanan. Sama dengan daratan Aceh yang kemudian menerapkan Syariat Islam. Sultan Hamengkubuwono, dalam sejarahnya, memang seorang pemimpin yang sangat memperhatikan tokoh-tokoh intelektual. Makanya, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat disana. Bahkan Yogyakarta disebut sebagai kota pelajar nomor satu di Indonesia yang memiliki 147 Perguruan tinggi. dan perguruan tinggi papan atas juga tumbuh disini, semisal UGM, UNY, UMY, UIN Jogja (UIN tertua di Indonesia). dll.

Nah, KH. Ahmad Dahlan adalah satu dari Kyai Intelek yang tumbuh disana dan mengembangkan pemikirannya tentang Islam. Meskipun warga setempat, yang mayoritas masih sangat kejawen, menolaknya dengan keras, tapi justru Sang Sultan memberikan dukungan politik yang kuat. Bahkan KH. Ahmad Dahlan naik haji untuk kedua kalinya karena usulan Sultan HB. Pendirian Muhammadiyah pun juga didukung sepenuhnya oleh sang Sultan, justru penolakan kerasnya dari Kyai Penghulu.

Selepas pulang dari Mekkah, KH. Ahmad Dahlan benar-benar mengilhami spirit Dakwah Nabi Muhammad. Apa saja itu. Pertama, Nabi adalah seorang pedagang. Sebagai pedang, maka sering berkelana, keluar masuk kota untuk ekspansi dagangnya, disebut juga sebagai saudagar. Sering berjumpa orang asing (liyan/ghuraba’), berdialog dengan mereka dengan pemikiran terbuka. Karena sebagai pedagang, Maka Nabi Muhammad pun berfikiran terbuka. Logika pedagang adalah, orang lain sebagai teman dan bisnis.

Profesinya sebagai pedagang/saudagar tersebut akhirnya mempengaruhi pola pikir Nabi dalam berdakwah, ketika bertemu dengan penganut agama lain, Nabi pun berfikiran terbuka, mengajak dialog, dan tidak pernah menghujat. Nabi baik dengan orang Yahudi, Nasrani, bahkan penyembah berhala. Kecuali, ketika harus berperang, karena urusannya hidup dan mati secara fisik.

Hal yang sama pun dilakukan kepada KH. Ahmad Dahlan, tentu dengan pemikiran yang lebih kontekstual. KH. Ahmad Dahlan bersikap baik dengan orang Belanda, bahkan rela menjadi guru tanpa bayaran di Sekolahnya. Baik dengan siswanya yang bergama katolik, bahkan KH. Ahmad Dahlan juga terbuka dengan Kejawen yang konon terhimpun dalam Organisasi Budi Utomo. Kejawen sendiri, sebenarnya adalah agama asli Jawa, sama dengan agama sunda wiwitan di Jawa Barat, agama Parmalim di suku batak, agama kaharingan di Kalimantan, Tolottang di Sulawesi Selatan dan lain sebagainya.

Namun, sebagaimana Nabi Muhammad, mental dakwah KH. Ahmad Dahlan adalah mental mempengaruhi, bukan dipengaruhi. Boleh dekat dengan Belanda, kristen, kejawen, dll tapi justru mampu mewarnai. Tentunya, pengaruh yang dimunculkan KH. Ahmad Dahlan adalah pengaruh secara pemikiran. Karena Muhammadiyah memang gerakan yang muncul dari pemikiran. Dari gerakan pemikiran inilah kemudian muncul sekolah dan PKO. Bahkan, KH. Ahmad Dahlan pernah mengajak dialog salah seorang pendeta kristen dengan dalil rasional.

Sebagai gerakan Islam ‘pemikiran’, tentu harus dibedakan dengan Islam Pedalaman maupun Islam Politik. Islam Pedalaman cenderung tertutup, akulturatif, dan sinkritis. Islam Politik cenderung keras, garang, dan profan. Sementara gerakan Islam yang muncul dari pemikiran, cenderung ilmiah, terbuka, dan percaya diri.

Bagi Islam pedalaman : agama, pemikiran dan ajaran lain dianggap sebagai the others yang harus ditolak. Sementara bagi Islam politik, gerakan diluar ideologi dan persepsinya dianggap sebagai enemy (musuh). Kalau ada orang menolak negara Islam (sesuai ideologi mereka) akan dianggap sekuler, liberal, bahkan dalam hal-hal yang lebih mengkhawatirkan adalah sebutan Fasiq, sesat, kafir.

Fakta sejarahnya, di awal-awal berdirinya hingga beberapa era orde baru pertengahan, NU sangat sinis terhadap Wahabi. Karena Wahabi berasal dari Arab, yang dianggap the others. Baru sejak Gus Dur menjadi ketua PBNU, NU menjadi lebih moderat dan modern. Wahabi yang dulunya ditolak secara emosional, justru beralih menjadi penolakan ilmiah karena di internal NU mulai tumbuh kader-kader berpendidikan dan intelek. Bahkan kalau kita lihat pergesekan NU dan Muhammadiyah, karena Muhammadiyah diangga sebagai penerus ajaran Wahabi. Makanya di daratan Madura pernah ada istilah 99% Islam, 1% Muhammadiyah. Betapa resistensi kepada “The Others” begitu kuatnya.

Gerakan Islam politik, yang cenderung disebut sebagai Islam Radikal, dengan sengaja membuat istilah sekuler dan liberal untuk orang-orang yang berbeda dengan ideologinya. Bahkan hingga ke level sesat dan kafir. Sebutan itu tak terlepas dari “Trauma sejarah” yang dibuat oleh Kemal Attaturk. Apakah yang diperjuangkan adalah otentisitas Islam? Bukan. Melainkan lebih ke politik kekuasaan, jabatan, dan xenophobia.

Kenapa dengan mudah melabeli sekuler, liberal, sesat, dan kafir? Karena tidak ada ruang dialog untuk hal-hal politik. Gerakan politik, entah memakai istilah khilafah, syariat Islam, sekuler, dll tetaplah sesuatu yang profan (melanggar kesucian) sementara Agama adalah sesuatu yang suci. Karena bagi faksi politik, the others is the enemy, maka harus dilumpukan secara sosial agar kehilangan trust (kepercayaan) publik dan kekuatan politiknya bisa melenggang tanpa aral melintang.

Padahal, kalau kita mempelajari pancasila, negara republik, trias politika dan sejenisnya, argumentasi bahwa ini sekuler juga masih sangat lemah. Pasalnya, setiap orang berhak menjalankan ajaran agama, syariat agama, ada bank syariah juga, menikah di pengadilan agama dan menyakini hukum agama. Jadi kehadiran Khilafah, atau Islam Politik sejujurnya hanyalah gerakan politik biasa yang mencoba menguasai negara-negara dalam satu payung kekuasaan.

Muhammadiyah, sebagai gerakan pemikiran, selalu menganggap the other sebagai teman. Bukan sang liyan, ghuraba’, atau bahkan enemy. Karena the others sebagai teman, maka ketika ada hal-hal yang berbeda, ada proses dialog, keterbukaan, dan penerimaan. Untuk itulah KH. Ahmad Dahlan tidak pernah membenci Belanda, Kristen, hingga orang-orang sekitar yang memusuhi dan merobohkan langgarnya. Apalagi melabeli sesat, kafir, liberal, dll. Justru KH. Ahmad Dahlan yang disebut Kyai Kafir karena bagi mereka (Islam Pedalaman) disebut sebagai the others yang harus ditolak. Tanpa mau dialog.

Sekarang ini, kita melihat di internal Muhammadiyah, banyak yang suka berteriak liberal, sesat, dan kafir. Ada istilah Trio liberalis, ada hujatan emosional tentang Ahmadiyah dan Syiah Sesat. Ada gerakan anti pengucapan natal, valentine, tahun baru, dsj yang juga emosional yang jauh dari semangat dialog. Sangat jauh dengan tradisi KH. Ahmad Dahlan yang terbuka, berteman, berdialog, dan saling memahami.

Justru orang-orang semacam itu dianggap asing di Muhammadiyah. Gerakan pemikiran seperti JIMM misalkan, dianggap sesuatu yang ganjil bahkan ada salah satu tokoh menyebutnya Laisa Minna  (bukan bagian dari kita). Bahkan kita dididik untuk curiga, waspada, yang seolah-olah kita mudah dipengaruhi. Padahal, mental dakwah KH. Ahmad Dahlan adalah mental mempengaruhi. Bukan dipengaruhi.

Istilah Laisa minna sendiri adalah wujud baru the others dan menganggap the others sebagai enemy. Kalau begini, maka sejujurnya kita telah kehilangan identitas, lupa diri sendiri, dan terkooptasi oleh Islam pedalaman yang tertutup dan Islam Politik yang menebarkan kecurigaan. Ideologi kita sebagai embriologi gerakan Islam pemikiran, terbajak oleh Islam pedalaman dan Islam Politik.

Alhamdulilah, Muhammadiyah memiliki IMM yang berbasis di kampus, yang dekat dengan referensi ilmiah, dialog keilmuan, dan berbagai analisis. Karena basisnya di Perguruan tinggi, maka kader IMM punya peluang besar untuk mendalami Islam sebagai gerakan pemikiran. Agar tak dengan mudah terkooptasi dengan gerakan Islam politik yang begitu hegemonif, yang jika kita terpangaruh, kita hanya akan menjadi supporter dan follower. Karena politik, adalah membangun propaganda.

Selamat berdiskusi!

22 Februari 2015
A Fahrizal Aziz