Jika membaca
sejarah berdirinya Muhammadiyah, baik dari buku atau film, kita bisa mendapati
bahwa Muhammadiyah termasuk salah satu ormas Islam yang muncul dari
“Pemikiran”. Bukan budaya atau politik. Berbeda dengan NU yang merupakan
gerakan akulturatif, sekalipun berdirinya di Surabaya, tapi embriologinya
berasal dari Jombang yang notabene daerah pedalaman, yang mewarisi budaya
kontinental dari Hindu-Buddha. Mengolaborasikan sistem pedepokan yang kemudian
berubah menjadi pesantren, dan sang guru yang biasanya disebut Resi berubah
menjadi Kyai. Kyai pun sebenarnya bukan terminologi bahasa arab, Kyai dulunya
adalah sebutan untuk benda-benda atau perwujudan sesuatu yang disucikan dan
disakralkan.
Di Solo
misalkan, ada namanya Kyai Slamet yang mewujud seekor sapi. Tidak lain, itu
adalah tradisi hindu yang memang menganggap sapi sebagai hewan suci. Jadi,
dibanding Muhammadiyah, NU lebih mewakili Islam pedalaman dan Islam Budaya.
Muhammadiyah
juga berbeda dengan Tarbiyah, yang secara politik ditafsirkan menjadi PKS, yang
dalam ormas berwujud KAMMI dan sejenisnya. Tarbiyah pun adalah geneologi
Islam-Transnasional yang berkembang di Mesir. Suatu daratan konflik yang tak
kunjung usai hingga sekarang ini. yang dalam dunia internasional disebut
sebagai Ikhwanul Muslimin. Tujuannya jelas, menjadikan Islam sebagai basis
negara. Hanya saja, gerakan Tarbiyah dinilai lebih cair dibanding HTI.
HTI sendiri
adalah sebuah ormas yang tumbuh di daerah konflik, Palestina. Yang mendukung
Khilafah Islamiyah. Konon, Khilafah menjadi suatu sistem terbaik dalam sejarah
sejak era Khulafaur Rasyidin dan setelahnya, yang meski berbentuk kerajaan,
akan tetapi memiliki pemimpinnya disebut Khalifah dan menjadikan Islam sebagai
dasar negara. Mulai dari era Ummayah hingga Ottoman. Lahirnya gerakan sejenis
HTI dll pun juga tak lepas dari akar kesejarahan, ketika Mustafa Kemal Pasha
(Kemal Attaturk) merubah sistem monarki menjadi republik.
Artinya,
sebenarnya kekuasaan Islam tidak pernah runtuh sebagaimana yang kita pelajari
dalam sejarah. Setelah Abbasiyah musnah, muncul lagi kerajaan besar semisal
Mughal, Islam Persia di daratan Arab. Di Eropa muncul Bani Ummayah II, di
Indonesia (Nusantara) muncul Samudra Pasai, dan muncul pula kerajaan besar bernama
Ottoman atau yang juga kita kenal dengan Kekhalifahan Ustmaniyah yang terkenal
dengan perang salibnya itu.
Kekuasaan
Islam tidak musnah secara fisik, tapi bergeser secara sistem, dan tokoh paling
berpengaruh adalah Kemal Attaturk yang kemudian disebut-sebut sebagai pemimpin
yang sekuler dan liberal. Di Nusantara pun, negara Islam perlahan-lahan juga
memudar ketika kolonialisme muncul yang perlahan mampu menaklukkan nusantara
dan merubah sistem kerajaan (yang kala itu mayoritas adalah kerajaan Islam) menjadi
negara serikat hingga republik. Dua wilayah yang paling susah di taklukkan
Penjajah kala itu adalah Aceh dan Yogyakarta. Jadi dalam akar kesejarahan,
Yogyakarta termasuk salah satu wilayah yang sangat kuat, dan disinilah
Muhammadiyah lahir.
Hingga kini,
di Yogyakarta pun masih menggunakan sistem kerajaan/kesultanan. Sama dengan
daratan Aceh yang kemudian menerapkan Syariat Islam. Sultan Hamengkubuwono,
dalam sejarahnya, memang seorang pemimpin yang sangat memperhatikan tokoh-tokoh
intelektual. Makanya, perkembangan ilmu pengetahuan berkembang pesat disana.
Bahkan Yogyakarta disebut sebagai kota pelajar nomor satu di Indonesia yang
memiliki 147 Perguruan tinggi. dan perguruan tinggi papan atas juga tumbuh
disini, semisal UGM, UNY, UMY, UIN Jogja (UIN tertua di Indonesia). dll.
Nah, KH. Ahmad
Dahlan adalah satu dari Kyai Intelek yang tumbuh disana dan mengembangkan
pemikirannya tentang Islam. Meskipun warga setempat, yang mayoritas masih
sangat kejawen, menolaknya dengan keras, tapi justru Sang Sultan memberikan
dukungan politik yang kuat. Bahkan KH. Ahmad Dahlan naik haji untuk kedua
kalinya karena usulan Sultan HB. Pendirian Muhammadiyah pun juga didukung
sepenuhnya oleh sang Sultan, justru penolakan kerasnya dari Kyai Penghulu.
Selepas pulang
dari Mekkah, KH. Ahmad Dahlan benar-benar mengilhami spirit Dakwah Nabi
Muhammad. Apa saja itu. Pertama, Nabi adalah seorang pedagang. Sebagai pedang,
maka sering berkelana, keluar masuk kota untuk ekspansi dagangnya, disebut juga
sebagai saudagar. Sering berjumpa orang asing (liyan/ghuraba’), berdialog
dengan mereka dengan pemikiran terbuka. Karena sebagai pedagang, Maka Nabi
Muhammad pun berfikiran terbuka. Logika pedagang adalah, orang lain sebagai
teman dan bisnis.
Profesinya
sebagai pedagang/saudagar tersebut akhirnya mempengaruhi pola pikir Nabi dalam
berdakwah, ketika bertemu dengan penganut agama lain, Nabi pun berfikiran
terbuka, mengajak dialog, dan tidak pernah menghujat. Nabi baik dengan orang
Yahudi, Nasrani, bahkan penyembah berhala. Kecuali, ketika harus berperang,
karena urusannya hidup dan mati secara fisik.
Hal yang sama
pun dilakukan kepada KH. Ahmad Dahlan, tentu dengan pemikiran yang lebih
kontekstual. KH. Ahmad Dahlan bersikap baik dengan orang Belanda, bahkan rela
menjadi guru tanpa bayaran di Sekolahnya. Baik dengan siswanya yang bergama
katolik, bahkan KH. Ahmad Dahlan juga terbuka dengan Kejawen yang konon
terhimpun dalam Organisasi Budi Utomo. Kejawen sendiri, sebenarnya adalah agama
asli Jawa, sama dengan agama sunda wiwitan di Jawa Barat, agama Parmalim di
suku batak, agama kaharingan di Kalimantan, Tolottang di Sulawesi Selatan dan
lain sebagainya.
Namun,
sebagaimana Nabi Muhammad, mental dakwah KH. Ahmad Dahlan adalah mental
mempengaruhi, bukan dipengaruhi. Boleh dekat dengan Belanda, kristen, kejawen,
dll tapi justru mampu mewarnai. Tentunya, pengaruh yang dimunculkan KH. Ahmad
Dahlan adalah pengaruh secara pemikiran. Karena Muhammadiyah memang gerakan
yang muncul dari pemikiran. Dari gerakan pemikiran inilah kemudian muncul
sekolah dan PKO. Bahkan, KH. Ahmad Dahlan pernah mengajak dialog salah seorang
pendeta kristen dengan dalil rasional.
Sebagai
gerakan Islam ‘pemikiran’, tentu harus dibedakan dengan Islam Pedalaman maupun
Islam Politik. Islam Pedalaman cenderung tertutup, akulturatif, dan sinkritis.
Islam Politik cenderung keras, garang, dan profan. Sementara gerakan Islam yang
muncul dari pemikiran, cenderung ilmiah, terbuka, dan percaya diri.
Bagi Islam
pedalaman : agama, pemikiran dan ajaran lain dianggap sebagai the others yang
harus ditolak. Sementara bagi Islam politik, gerakan diluar ideologi dan
persepsinya dianggap sebagai enemy (musuh). Kalau ada orang menolak negara
Islam (sesuai ideologi mereka) akan dianggap sekuler, liberal, bahkan dalam
hal-hal yang lebih mengkhawatirkan adalah sebutan Fasiq, sesat, kafir.
Fakta
sejarahnya, di awal-awal berdirinya hingga beberapa era orde baru pertengahan,
NU sangat sinis terhadap Wahabi. Karena Wahabi berasal dari Arab, yang dianggap
the others. Baru sejak Gus Dur menjadi ketua PBNU, NU menjadi lebih moderat dan
modern. Wahabi yang dulunya ditolak secara emosional, justru beralih menjadi
penolakan ilmiah karena di internal NU mulai tumbuh kader-kader berpendidikan
dan intelek. Bahkan kalau kita lihat pergesekan NU dan Muhammadiyah, karena
Muhammadiyah diangga sebagai penerus ajaran Wahabi. Makanya di daratan Madura
pernah ada istilah 99% Islam, 1% Muhammadiyah. Betapa resistensi kepada “The
Others” begitu kuatnya.
Gerakan Islam
politik, yang cenderung disebut sebagai Islam Radikal, dengan sengaja membuat
istilah sekuler dan liberal untuk orang-orang yang berbeda dengan ideologinya.
Bahkan hingga ke level sesat dan kafir. Sebutan itu tak terlepas dari “Trauma
sejarah” yang dibuat oleh Kemal Attaturk. Apakah yang diperjuangkan adalah otentisitas
Islam? Bukan. Melainkan lebih ke politik kekuasaan, jabatan, dan xenophobia.
Kenapa dengan
mudah melabeli sekuler, liberal, sesat, dan kafir? Karena tidak ada ruang
dialog untuk hal-hal politik. Gerakan politik, entah memakai istilah khilafah, syariat
Islam, sekuler, dll tetaplah sesuatu yang profan (melanggar kesucian) sementara
Agama adalah sesuatu yang suci. Karena bagi faksi politik, the others is the enemy,
maka harus dilumpukan secara sosial agar kehilangan trust (kepercayaan) publik
dan kekuatan politiknya bisa melenggang tanpa aral melintang.
Padahal, kalau
kita mempelajari pancasila, negara republik, trias politika dan sejenisnya,
argumentasi bahwa ini sekuler juga masih sangat lemah. Pasalnya, setiap orang
berhak menjalankan ajaran agama, syariat agama, ada bank syariah juga, menikah
di pengadilan agama dan menyakini hukum agama. Jadi kehadiran Khilafah, atau
Islam Politik sejujurnya hanyalah gerakan politik biasa yang mencoba menguasai
negara-negara dalam satu payung kekuasaan.
Muhammadiyah,
sebagai gerakan pemikiran, selalu menganggap the other sebagai teman. Bukan
sang liyan, ghuraba’, atau bahkan enemy. Karena the others sebagai teman, maka
ketika ada hal-hal yang berbeda, ada proses dialog, keterbukaan, dan
penerimaan. Untuk itulah KH. Ahmad Dahlan tidak pernah membenci Belanda,
Kristen, hingga orang-orang sekitar yang memusuhi dan merobohkan langgarnya.
Apalagi melabeli sesat, kafir, liberal, dll. Justru KH. Ahmad Dahlan yang
disebut Kyai Kafir karena bagi mereka (Islam Pedalaman) disebut sebagai the
others yang harus ditolak. Tanpa mau dialog.
Sekarang ini,
kita melihat di internal Muhammadiyah, banyak yang suka berteriak liberal,
sesat, dan kafir. Ada istilah Trio liberalis, ada hujatan emosional tentang
Ahmadiyah dan Syiah Sesat. Ada gerakan anti pengucapan natal, valentine, tahun
baru, dsj yang juga emosional yang jauh dari semangat dialog. Sangat jauh
dengan tradisi KH. Ahmad Dahlan yang terbuka, berteman, berdialog, dan saling
memahami.
Justru
orang-orang semacam itu dianggap asing di Muhammadiyah. Gerakan pemikiran
seperti JIMM misalkan, dianggap sesuatu yang ganjil bahkan ada salah satu tokoh
menyebutnya Laisa Minna (bukan bagian
dari kita). Bahkan kita dididik untuk curiga, waspada, yang seolah-olah kita
mudah dipengaruhi. Padahal, mental dakwah KH. Ahmad Dahlan adalah mental
mempengaruhi. Bukan dipengaruhi.
Istilah Laisa
minna sendiri adalah wujud baru the others dan menganggap the others sebagai
enemy. Kalau begini, maka sejujurnya kita telah kehilangan identitas, lupa diri
sendiri, dan terkooptasi oleh Islam pedalaman yang tertutup dan Islam Politik
yang menebarkan kecurigaan. Ideologi kita sebagai embriologi gerakan Islam
pemikiran, terbajak oleh Islam pedalaman dan Islam Politik.
Alhamdulilah,
Muhammadiyah memiliki IMM yang berbasis di kampus, yang dekat dengan referensi
ilmiah, dialog keilmuan, dan berbagai analisis. Karena basisnya di Perguruan
tinggi, maka kader IMM punya peluang besar untuk mendalami Islam sebagai
gerakan pemikiran. Agar tak dengan mudah terkooptasi dengan gerakan Islam
politik yang begitu hegemonif, yang jika kita terpangaruh, kita hanya akan
menjadi supporter dan follower. Karena politik, adalah membangun propaganda.
Selamat
berdiskusi!
22
Februari 2015
A
Fahrizal Aziz