Ajakan untuk
menulis ini sebenarnya hanyalah sebuah refleksi atas fenomena copy-paste dan
share di era sosial media ini. Beberapa kali, saya diskusi di group atau inbox,
namun tak sedikit menemukan postingan yang itu copas dari website lain atau
hanya sekedar copas link. Padahal, yang namanya diskusi, seharusnya jawaban
muncul secara orisinil. Bukan menyitir pendapat tertentu atau hanya sekedar
kasih link. Pendapat orang atau link website bisa menjadi penguat atas
argumentasi kita, dan bukan menjadi jawaban atas diskusi itu sendiri.
Tulisan ini
ditujukan secara spesifik kepada kader IMM, selain karena saya terafiliasi
dalam organisasi ini, kader IMM pastinya adalah mahasiswa yang telah dengan
sadar memilih IMM sebagai saluran idealisme sebagai kaum terdidik. Dan apalagi,
saya sebagai Mantan Kabid Keilmuan (RPK), jadi ajakan untuk menulis itu sangat
relevan dan realistis. Karena aktivitas menulis, tidak bisa lepas dari dua
aktivitas lain yang juga menjadi konsumsi pokok Mahasiswa : Membaca dan
Menganalisis.
Pertama. Jika
ada sebuah isu, berita, atau fenomena di Masyarakat. Bacalah sumber-sumber yang
ada. Usahakan jangan satu arah, bacalah dari banyak perspektif. Setelah kiranya
cukup, maka buatlah analisis. Dalam hal ini, diskusi menjadi hal yang penting.
Entah diskusi dengan teman komisariat, dosen, atau pakar dalam bidang tersebut.
Setelah itu, cobalah buat tulisan. Kalau memang tidak ingin terlalu berat dan
formal, buatlah esai sederhana, dengan bahasa yang secair mungkin.
Selama ini,
saya lebih suka menulis dengan gaya Jurnalisme feature dan bukan karya
ilmiah populer. Alasannya sederhana, lebih mudah dan santai. Apalagi, kalau
menggunakan gaya penulisan Jurnalis, maka secara segmental, semua orang bisa
mengkonsumsi dengan baik. kalau karya ilmiah, kadang hanya kalangan tertentu
yang paham, apalagi kalau muncul istilah-istilah interdisipliner. Nah, barusan
saya gunakan istilah itu. hehe.
Belakangan,
saya banyak melihat para pengguna sosial media. Baik facebook, twitter, atau
path (karena saya tidak menggunakan WA dan BBM, jadi kurang tahu) yang hanya
sekedar share link tertentu dan dia sepakat dengan apa yang tertulis dalam
website itu. Dan jika ditanya alasan, atau diajak diskusi lebih jauh, justru
banyak yang malah menunjukkan link-link website lain yang serupa. Ada lagi yang
memberikan jawaban panjang, namun ternyata adalah copas dari perspektif orang
lain. Setelah ditanya beberapa istilah yang ia copaskan tersebut, ia tentu
tidak akan tahu karena bukan dia yang menulis.
Disitu kadang
saya merasa sedih. Kenapa? Seharusnya, sebagai Mahasiswa, yang hidup dalam
tradisi akademik dan berinteraksi dengan dunia wacana, sebisa mungkin menjauhi
hal-hal semacam itu. Mahasiswa, seharusnya memproduksi karya-karya baru. Entah
itu berupa esai, artikel ilmiah, Jurnal, hingga Buku. Atau kalau perlu
menyalurkan opininya ke berbagai media massa baik koran atau majalah. Bukan
sekedar share atau copas link dari website yang penulisnya pun seorang mahluk
tak bernama alias admin. Apalagi, jika kita amati, banyak media online yang
rubriknya berita, tapi muatannya subyektif sekali, mirip sebuah opini.
Jujur saja, di
media sosial saya juga sering share. Tapi share tulisan saya sendiri. Jadi
kalau ada pertanyaan, protes, atau sekedar keberatan, bisa langsung
mengklarifikasi saya sebagai pembuatnya dan saya pun juga bisa menjelaskan
tulisan itu (tanpa takut salah tafsir) karena saya sendiri yang membuat.
Hal itu akan
susah kalau anda menggunakan opini orang lain yang seolah-olah opini anda, lalu
anda tafsirkan opini itu sebagaimana tafsir subyektif anda. Ini menjadi semacam
“pembajakan persepsi”. Apalagi kalau sudah masuk plagiat. Percayalah, sejelek
apapun tulisan anda, selama itu orisinil, masih jauh lebih membahagiakan
daripada tulisan bagus tapi hasil copas, yang dalam hitungan waktu akan banyak
orang yang tahu.
Saya selalu
percaya diri dengan tulisan-tulisan saya, meskipun itu jelek kata orang. Saya
juga Percaya diri ketika membuat satu genre baru dalam tulisan. Memadukan
antara bahasa berita, esai, dan kadang bahasa ilmiah, yang kemudian oleh
sebagian teman disebut sebagai Fahri’s style. Fahri’s style pun
juga hanya saya posting di Blog pribadi, yang merupakan my freedom zone.
Karena kalau kita menulis di media mainstream, tentu kita harus mengikuti aturan
yang telah tertera.
Tapi
setidaknya, saya turut memproduksi tulisan sendiri yang menjadi argumentasi
atas isu atau fenomena tertentu. Bukan copas atau sekedar share link. Saya
turut meramaikan pergulatan opini. Bukan sekedar sebagai justifikator.
Harapan
terbesar saya, karena memang sudah banyak mahasiswa yang lebih suka copas atau
sekedar share link daripada menunjukkan pendapatnya secara utuh, maka kader IMM
sebagai Organisasi Mahasiswa, yang memiliki tri kompetensi dasar sebagai
idealisme atas gerakannya, harus menjadi pembeda (Furqon) dari mahasiswa yang
memang tidak terafiliasi dengan IMM.
Berita,
wacana, atau opini-opini yang ada di website bolehlah menjadi sekedar bacaan,
atau kalau hendak share tulisan itu, sekedar just for informate. Bukan
menjadikannya sebagai justifikasi atas pemikiran kita. kita harus tetap
mandiri, setidaknya dalam berpendapat, meskipun pendapatnya mungkin sama atau
hampir sama. Lagipula, pendapat bisa sama, tapi penyampaian tak akan sama.
Pasti ada sisi yang membedakan. Entah itu dari sudut pandang hingga diksi.
Khusus untuk
diskusi, kalau itu diskusinya di dunia maya, maka jangan sekedar share link,
apalagi hanya copas opini dari media lain. ketik saja opini kita sendiri. Kalau
memang tidak telaten, diskusi saja di dunia nyata dengan bahasa verbal, agar
fell-nya lebih terasa.
Jadilah
creator, bukan justifikator. Jadilah pelopor, bukan pengompor. Jadilah pioner
bukan follower atau viewer.
Mulailah dari
sekarang. Karena menulis bukan soal teori, tapi soal kebiasaan. Apalagi,
menulis juga tidak semudah membuat mie instan yang gampang di masak dan rasanya
enak. Segalanya butuh proses dan memang harus segara dimulai. Mulailah dari hal
yang paling sederhana dan mudah dijangkau.
Yuk Menulis!
Jayalah IMM Jaya.
Lamongan,
21 Maret 2015
A
Fahrizal Aziz