loading...

Rabu, 07 Oktober 2015

Kelirunya memahami konflik di Ikatan



Sepanjang kepengurusan 2012-2013 tentu menjadi catatan tersendiri bagi PC IMM Malang. Karena di masa itu pula, muncul satu gerakan massif bernama pendirian cabang dua. Pro-kontra pun mencuat. Isu bahkan masuk hingga ke DPP dan di publish di Website PP Muhammadiyah. Bahkan, ketua DPD IMM Jatim kala itu turun langsung untuk menangani kemelut kultural ini. Ada sebagian yang menyayangkan konflik ini, ada sebagian yang merasa optimis.

Saya sempat berbincang dengan salah satu senior IMM UMM, dia mantan Presma dan juga Mantan Ketua PC IMM Malang. Berasal dari luar Jawa. Dalam pandangannya, konflik semacam itu bukan hal yang baru, terutama Cabang dua. Mas Ali Muthohirin pun juga menjelaskan, konflik semacam itu pernah terjadi dahulu kala. Hanya yang membedakan, kalau dulu porosnya dari UMM, kini berada di luar IMM. Lebih lanjut, Mantan Presma tersebut justru tidak begitu tertarik mengomentari perlu atau tidaknya Cabang dua didirikan. Akan tetapi, munculnya gerakan Cabang dua yang diprakarsai kader-kader IMM non PTM itu menunjukkan adanya kesadaran komunal yang membaik.

Selama ini, IMM non PTM dikenal sebagai komisariat yang minim (bahkan nihil) partisipasi politiknya. Di internal kampusnya pun, dominasi IMM juga tak begitu ada. Bahkan di arena Musycab, terlihat sekali ‘gairah politik’ IMM UMM dan Non PTM. Sangat timpang. Untuk itu, ketika muncul gerakan pendirian cabang dua, maka banyak pertanyaan muncul. Karena bagaimanapun, gerakan cabang dua ini, jenisnya adalah gerakan politik.

Ini berarti, IMM non PTM sudah mulai ‘melek politik’, paham prosedural, bisa membangun isu/wacana, mulai melakukan komunikasi massa, bahkan sempat muncul deklarasi komitment. Dan itu mengindikasikan bahwa IMM non PTM memiliki beberapa kader yang siap ‘mendobrak’ rezim. Hal yang selama ini sangat jauh dari citra IMM non PTM. Imbasnya adalah, IMM non PTM semakin kompetitif dengan IMM UMM. Salah satu yang paling kentara adalah Musycab 2013 kemaren.

Konflik yang lebih kecil sebenarnya banyak muncul di internal komisariat. Entah itu ketika membuat sistem, program, hingga konflik kultural yang ada. Asalkan, konflik yang ada masih dalam koridor wajar, masih masuk kepentingan organisasi, bukan konflik personal semisal hubungan perasaan dan sejenisnya. Meskipun, jenis konflik semacam itu sangat susah diatasi dan kadang justru paling menguras tenaga.

Saat isu pendirian cabang dua pun, sempat ada perbedaan persepsi, tiga komisariat di UIN Malang menolak dan delapan komisariat lain di UB, UM, UK, dan IBU mendukung. Plus komisariat Fikes dan Kedokteran yang konon siap bersinergi. Padahal, saya termasuk salah satu tim perumus cabang dua, yang juga kader UIN. Di internal Tim perumus pun juga sempat terjadi perbedaan pendapat. Saya mendukung sepenuhnya aksi pendirian cabang dua, sementara beberapa lain menolak dengan berbagai pertimbangan.

Sekarang, masihkah konflik dianggap mengerikan? Tergantung bagaimana kita melihatnya.

19 Februari 2015
A Fahrizal Aziz