Sepanjang
kepengurusan 2012-2013 tentu menjadi catatan tersendiri bagi PC IMM Malang.
Karena di masa itu pula, muncul satu gerakan massif bernama pendirian cabang
dua. Pro-kontra pun mencuat. Isu bahkan masuk hingga ke DPP dan di publish di
Website PP Muhammadiyah. Bahkan, ketua DPD IMM Jatim kala itu turun langsung
untuk menangani kemelut kultural ini. Ada sebagian yang menyayangkan konflik
ini, ada sebagian yang merasa optimis.
Saya sempat
berbincang dengan salah satu senior IMM UMM, dia mantan Presma dan juga Mantan
Ketua PC IMM Malang. Berasal dari luar Jawa. Dalam pandangannya, konflik
semacam itu bukan hal yang baru, terutama Cabang dua. Mas Ali Muthohirin pun
juga menjelaskan, konflik semacam itu pernah terjadi dahulu kala. Hanya yang
membedakan, kalau dulu porosnya dari UMM, kini berada di luar IMM. Lebih
lanjut, Mantan Presma tersebut justru tidak begitu tertarik mengomentari perlu
atau tidaknya Cabang dua didirikan. Akan tetapi, munculnya gerakan Cabang dua
yang diprakarsai kader-kader IMM non PTM itu menunjukkan adanya kesadaran
komunal yang membaik.
Selama ini, IMM non
PTM dikenal sebagai komisariat yang minim (bahkan nihil) partisipasi
politiknya. Di internal kampusnya pun, dominasi IMM juga tak begitu ada. Bahkan
di arena Musycab, terlihat sekali ‘gairah politik’ IMM UMM dan Non PTM. Sangat
timpang. Untuk itu, ketika muncul gerakan pendirian cabang dua, maka banyak
pertanyaan muncul. Karena bagaimanapun, gerakan cabang dua ini, jenisnya adalah
gerakan politik.
Ini berarti, IMM non
PTM sudah mulai ‘melek politik’, paham prosedural, bisa membangun isu/wacana,
mulai melakukan komunikasi massa, bahkan sempat muncul deklarasi komitment. Dan
itu mengindikasikan bahwa IMM non PTM memiliki beberapa kader yang siap ‘mendobrak’
rezim. Hal yang selama ini sangat jauh dari citra IMM non PTM. Imbasnya adalah,
IMM non PTM semakin kompetitif dengan IMM UMM. Salah satu yang paling kentara
adalah Musycab 2013 kemaren.
Konflik yang lebih
kecil sebenarnya banyak muncul di internal komisariat. Entah itu ketika membuat
sistem, program, hingga konflik kultural yang ada. Asalkan, konflik yang ada
masih dalam koridor wajar, masih masuk kepentingan organisasi, bukan konflik
personal semisal hubungan perasaan dan sejenisnya. Meskipun, jenis konflik
semacam itu sangat susah diatasi dan kadang justru paling menguras tenaga.
Saat isu pendirian
cabang dua pun, sempat ada perbedaan persepsi, tiga komisariat di UIN Malang
menolak dan delapan komisariat lain di UB, UM, UK, dan IBU mendukung. Plus
komisariat Fikes dan Kedokteran yang konon siap bersinergi. Padahal, saya
termasuk salah satu tim perumus cabang dua, yang juga kader UIN. Di internal
Tim perumus pun juga sempat terjadi perbedaan pendapat. Saya mendukung
sepenuhnya aksi pendirian cabang dua, sementara beberapa lain menolak dengan
berbagai pertimbangan.
Sekarang, masihkah
konflik dianggap mengerikan? Tergantung bagaimana kita melihatnya.
19
Februari 2015
A
Fahrizal Aziz