Saya jadi teringat dengan ajakan wawancara salah
seorang wartawan UAPM Inovasi yang berinisial “D”, yang kala itu tengah
menyorot tentang praktek ideologisasi Ma’had Sunan Ampel Al Aly (Al Jami’ah).
Wawancara itu berlangsung tahun 2013. Dia mewawancarai saya sebagai senior IMM
UIN Maliki. Yang lucunya, dia mewawancarai saya yang juga sebagai wartawan.
Bedanya, genre media yang dia usung adalah Jurnalisme kritis. Sementara saya
konsen ke Jurnalisme Inspiratif.
Wawancara yang seharusnya berjalan secara
segmental, justru lebih banyak dibumbui dengan diskusi dan sedikit debat.
Kenapa? Karena ada polarisasi wacana yang hendak diusung. IMM dalam hal ini seolah
hendak digunakan sebagai gerakan yang diharapkan mampu menjadi peluru kritik
atas pewajiban beberapa program yang sangat ideologis semisal diba’aan,
yasinan, barzanji, dsb yang notabene adalah tradisi NU. Sementara IMM, sebagai
Ortom Muhammadiyah, dirasa perlu untuk ‘melawan’ proses ideologisasi tersebut.
Sebagai pewawancara, harusnya si “D” menempatkan
narasumber sebagai the real informan. Bukan justru menjadikannya sebagai
penguat untuk menjustifikasi isu yang tengah diusung media tersebut. Dalam
perspektifnya, anak-anak Muhammadiyah yang kuliah di UIN Malang, merasa
tertindas dengan program Ma’had yang mewajibkan mengikuti kultur atau Ideologi
tertentu. Dan bahkan, dalam sesi wawancara, dia membuat satu rekomendasi sikap
bagimana seharusnya IMM.
Karena wawancara tersebut tidak berjalan baik dan
deadline Majalah semakin dekat, maka semua sesi wawancara yang berlangsung
hampir dua jam tersebut tidak dimuat sama sekali dan saya pun mewanti-wanti
agar tidak menuliskan IMM secara spesifik. Setelah Majalah itu terbit, pihak
kampus merasa geram dan memberikan catatan serius untuk satu liputan khusus
yang ditulis wartawan berinisial “D” itu. Walhasil. Majalah di stop. Suruh
ganti judul. Dan dicetak ulang. Sehingga, cetakan pertama yang berjumlah
sekitar 2.000 eksemplar itu mubazir. Anda bisa membayangkan berapa juta uang
yang terhambur?
Dengan digantinya judul atas tekanan pihak
birokrasi tersebut, justru menjatuhkan martabat independensi LPM Inovasi. Dan
apalagi, terlalu memaksakan isu –meskipun dengan embel-embel Jurnalisme
Kritis—juga bukan pilihan yang bijak. Saya menjelaskan bahwa IMM, sekalipun
ortom Muhammadiyah, harus dibedakan pula cara pandangnya. IMM adalah Ortom yang
bergerak di lingkungan kampus yang rata-rata terdidik. Secara kultural,
masyarakat kampus adalah masyarakat terbuka. Apalagi, bagi Muhammadiyah dan
juga IMM, acara seperti Yasinan, Diba’an, Berjanji, dsj bukan merupakan Ibadah.
Lalu apa masalahnya? Lantas tidak perlu lah sampai
menulis judul “Universitas Islam atau NU” yang pada akhirnya mendapatkan
resistensi dari pihak kampus. Media semestinya mengusung wacana yang bersifat
klarifikatif bukan justru memunculkan isu yang memperkeruh suasana. Kader-kader
IMM sesekali harus mengenal tradisi NU sebagai kajian sosial-budaya dalam
rangka understanding of Ideologi, tidak selalu sebagai ikhtilafiyah.
Apalagi Bid’ah. Karena masyarakat kampus adalah masyarakat terbuka. Sisi
Intelektualitas harus diutamakan daripada sisi fanatisme.
Pada beberapa waktu lalu ada seseorang yang juga
menghubungi saya, yang juga bukan kader IMM, memberikan semacam role-model
gerakan politik untuk IMM UIN Maliki. Dia berargument bahwa IMM tidak boleh
pasif atau bahkan apatis dalam isu-isu politik, termasuk Pemira atau penguatan
jejaring dilingkup birokrasi. Dia bahkan memaparkan pembacaan atas realitas
sosial-politik yang terjadi di kampus, plus pola gerakan OMEK yang menurut saya
patut diacungi jempol.
Bahkan, gerakan IMM tidak luput dari perhatiannya.
Dia bahkan sampai membaca figur-figur definitif seperti ketua Korkom, ketua
komisariat, dan beberapa kader. Dia seolah-olah tahu apa yang terjadi di dalam
IMM UIN Maliki, meskipun bukan kader. Dia membaca IMM dari sudut pandang dia
sebagai kader OMEK sebelah. Dan IMM, dalam persepektif gerakan juga dia samakan
dengan OMEK tempat dia berada. Untuk itulah, dia berani memberikan saran
tentang bagaimana seharusnya gerakan politik IMM di kampus UIN Malang.
Apa yang dia jelaskan, sebenarnya sama dengan apa
yang ada dalam benak wartawan berinisial “D” tersebut. Sama-sama bukan kader
IMM, tidak berproses dengan IMM secara institusional, namun melakukan
pembacaan, penilaian, hingga penyimpulan terhadap kondisi dan sikap-sikap IMM.
Saya, sebagai kader IMM, yang telah 5 tahun-an
menjadi kader, justru merasa bingung sendiri. Banyak orang yang merasa (dan
harus) tahu tentang IMM. Tapi, semestinya mereka membuka diri untuk mendengarkan
apa itu IMM dari perspektif kader IMM sendiri. Termasuk dalam sikap dan
gerakannya. Agar tidak impulsif. Tapi, siapa yang ahli terhadap IMM itu
sendiri? Entahlah.
18 Maret 2015
A Fahrizal Aziz