Saya berterima kasih kepada Mas Hasnan Bachtiar
dalam banyak hal. Mulai dari motivasi, diskusi soal gerakan keilmuan, hingga
kesempatan untuk mengikuti berbagai acara di PSIF, Pusam, dan JIMM. Sekaligus
sumbangsih intelektualnya yang turut mengembangkan pemahaman saya terhadap
ideologi, kemanusiaan, dan gerakan.
Pertama kali mengikuti diskusi yang dibawakan Mas
Hasnan sekitar tahun 2010, saat masih menginjak semester II, saya sering
mengerutkan kening. Pertama, karena banyak diksi yang terlampau asing ditelinga.
Kedua, karena tertinggal banyak wacana, apalagi buku bacaan. Jadi, saya ibarat
mahluk pedalaman yang bertemu dengan mahluk perkotaan yang telah mengalami
perkembagan dan kompleksitas hidup. Disana pulalah saya menyadari kesenjangan
wacana antar komisariat, terutama komisariat tempat saya berada dengan
komisariat lain yang bersinggungan langsung dengan sosok-sosok intelektual,
seperti Mas Hasnan.
Kala itu, saya berencana untuk mengejar
ketertinggalan. Ketika berkunjung ke perpustakaan, yang biasanya saya fokus ke
rak buku-buku perkuliahan yang sifatnya recomended, saya mulai beralih
menuju rak pemikiran tokoh dan sejarah. Disana, saya menemukan beberapa buku
karya Amien Rais, Abdul Munir Mulkhan, dan Buya Syafii Maarif. Belakangan, saya
menemukan buku-buku karangan Moeslim Abdurrahman juga, yang merupakan tokoh
referensial bagi Mas Hasnan pribadi. Belum lagi, buku-buku karangan Karl Marx,
Antonio Gramsci, hingga Ali Syariati yang sayangnya, hanya bisa saya akses
dalam bentuk terjemahan, karena terkendala bahasa.
Selain itu, meski tidak memahami sepenuhnya, saya
mulai bersinggungan dengan pemikiran Sosial Profetik dan Obyektifikasinya
Kuntowijoyo, Islam Pluralismenya Cak Nur, Teologi Transformatifnya Mansour
Faqih, hingga gerakan postmodernisme, poskolonialisme atau sejenisnya, yang benar-benar
menguji nalar akademis. Belum lagi dengan Orientalismenya Edwar Said, teori
kemiskinan Amartya Sen, hingga Dekonstruksi Jaques Derrida. Kesemuanya, bisa
dibilang, adalah ‘gejala interaksi’ saya dengan Mas Hasnan, baik yang
disampaikan di forum formal, diskusi kultural, atau yang tidak pernah
tersampaikan dan secara alamiah muncul dengan sendirinya.
Saya pun juga menyadari, bahwa diskusi-diskusi
soal teori konflik, fungsionalism-struktural, dan sejenisnya, sudah menjadi
konsumsi mingguan bagi beberapa komisariat. Sedangkan disatu sisi, ada
komisariat yang masih membahas soal ikhtilafiyah. Ada sebagian komisariat yang
sudah menemukan titik pertemuan antara Islam, Budaya dan Kemanusiaan. Ada
sebagian komisariat juga yang masih berpolemik soal tradisi, tasabuh, bid’ah
dan sejenisnya. Ada sebagian kader yang masih menganggap Islam sebagai Fiqh,
sebagian menganggapnya budaya, dan sebagian sudah berfikir bahwa Islam adalah
sebuah peradaban.
Mas Hasnan, sebagai mantan/ketika menjadi Kabid
Keilmuan PC IMM Malang, telah memainkan fungsi strategisnya sebagai lokomotif
intelektual. Keluasan wacana yang dimiliki, telah memunculkan satu iklim
positif dalam proses dialog, entah itu yang pro dengan pemikirannya, atau yang
kontra, atau bisa juga yang susah memahami penjelasannya, dan terpantik untuk
terus menggali sisi intelektualitas dalam dirinya, sebagaimana yang pernah saya
alami.
Ia juga dengan telaten membina kader dibawahnya,
terutama secara kultural, yang pada akhirnya menjadi gerbong-gerbong baru dalam
eskalasi berikutnya. Saya dan Prima Tahta Amrillah mungkin adalah sebagian dari
rangkaian panjang tersebut, yang dalam satu kesempatan memiliki ruang untuk
mengelola bidang keilmuan (sekarang : Riset dan Pengembangan Keilmuan), yang
notabene adalah posisi yang pernah diduduki Mas Hasnan.
Sebagai pengelola bidang keilmuan (RPK), keluasan
wawasan serta keterbukaan pemikiran menjadi hal yang sangat penting. Karena
secara institusional, bidang RPK –dan terutama pengelolanya—menjadi simbol
intelektualisme itu sendiri. Saya tidak bisa membayangkan, jika bidang RPK,
yang didalamnya harus bersinggungan dengan banyak pemikiran, dikelola oleh
orang yang fanatik, fasis, monokulture dan mono-persepsi. Karena semestinya,
IMM sebagai ortom Muhammadiyah yang bergerak di lingkungan kampus, menjadi
wadah reproduksi dan proliferasi pemikiran ilmiah, terbuka, dan progresif.
Kehadiran Mas Hasnan, seperti halnya yang sudah
dilakukan Pak Pradana Boy ZTF, akan menjadi spirit kuat untuk memperkokoh
jejaring intelektual. Apalagi muncul Rumah Inspirasi, yang didalamnya juga ada
Mas Adam Muhammad, Mantan Kabid Keilmuan PC IMM Malang periode setelah Mas
Hasnan, yang juga terhubung dengan JIMM. JIMM sendiri memiliki jejaring dengan
para eksponen seluruh Indonesia. Ketua terbaru PC IMM Malang pun, juga bagian
dari penggiat Rumah Inspirasi. Sementara itu, Bidang RPK periode yang lalu,
yang dipimpin oleh Prima Tahta Amrillah, juga membentuk KOPPI (Komunitas Penulis
dan Peneliti Ikatan), IMM UIN Malang pun juga memiliki Paguyuban Srengenge.
Tentu, gerakan keilmuan akan menjadi satu basis
yang cukup kuat di IMM Malang raya, mengingat betapa banyaknya jaringan dan
terutama tokoh-tokoh altruis yang dengan tulus dan ikhlas membina kader-kader
muda, seperti halnya yang dilakukan Mas Hasnan selama ini. Harapan untuk
menjadikan IMM Malang sebagai satu dari tiga basis Intelektual di Indonesia
setelah Jogja dan Ciputat, agaknya bukan lagi sekedar wacana.
Yang menarik dari Mas Hasnan pula, sebagaimana
sikap dan dedikasinya selama ini, ia lebih memilih menjadi ‘orang pinggiran’.
Jarang mau muncul di pentas hura-hura semacam politik struktural berbasis OKP,
Ormas, hingga Parpol. Jalan pragmatisnya, lebih ditujukan untuk reproduksi
karya ilmiah serta membina kader-kader akademis. Sesekali tersirat kata “Saya
Orang Miskin” yang menegaskan sikap-sikapnya sebagai orang pinggiran, yang
memilih jalan sunyi.
Karena sikap dan dedikasinya itulah, Mas Hasnan mendapatkan
Endorsment positif dari beberapa pihak, salah satunya seorang Profesor yang
baru saja Launching buku terbarunya, yang tertulis secara rapi di kolom
Pengantar Penulis. Mas Hasnan sendiri, mendapatkan kesempatan untuk menjadi
editor sekaligus pengantar atau lebih tepatnya, menulis pendahuluan dalam buku
tersebut.
Catatan yang saya tulis ini juga sekaligus
endorsement untuk Mas Hasnan Bachtiar, sekaligus ucapan terima kasih. Tentu
saya tidak berlebihan, karena yang memberikan endorsment tidak hanya saya,
tetapi juga seorang Profesor. Dan apalagi, saya yang masih sangat junior, jauh
dibawah Mas Hasnan. Saya yakin diluaran sana, ada banyak yang ingin memberikan
endorsement serupa, namun tidak sempat menuliskannya atau sekedar mengucapkan
secara verbal.
Dan tidak berlebihan pula, jika catatan ini
menjadi semacam pengingat jika intelectual movement adalah gerakan
berkesinambungan. Tidak sebatas kebijakan struktural yang bersifat momentual.
Sebagaimana yang Mas Hasnan pernah katakan, prosesnya tidak singkat. Catatan
ini sekaligus menjadi pengingat bagi saya dan segenap kader yang membacanya,
terutama yang lebih junior dari saya, untuk tidak lupa memanggilnya ...
Kakanda. (*)
15 Maret 2015
A Fahrizal Aziz
(*) Mantan aktivis IMM Malang