Akhir tahun 2014 ditutup dengan menyeruaknya kembali
kasus plagiatisme rektor, musyawarah eksekutif mahasiswa yang minus
pratisipasi, dan menurunnya penetrasi ideologis dalam kampus. Kepemimpinan yang
represif, membuka ruang mono-culture. Disatu sisi, kepemimpinan Prof. Mudji
yang agak otoriter dan kaku itu, menguntungkan kekuatan minoritas, dan
mengancam dominasi mayoritas. Terutama dalam kelembagaan. One vision yang
dibangun, membuat segala perbedaan seolah cair dengan sendirinya. Tak heran
jika ada banyak upaya “menjegal” kepemimpinan sekarang, dengan berbagai upaya,
termasuk mengangkat kembali isu plagiatisme yang sudah sangat usang itu.
Kedepan, penguasaan politik melalui pemira yang sistemik
dan tidak adil itu, menjadi tak penting lagi. Karena eksponen/penggerak
eksekutif adalah mahasiswa yang non-. partisan, non-ideologis, dll. Sifat
primordial akan tergerus seiring waktu. Budaya yang ada, akan semakin
mempersempit jurang perbedaan.
Pada saatnya nanti, entah PMII, HMI, KAMMI, dll menjadi
tidak penting lagi, termasuk IMM didalamnya, jika kader-kadernya tertutup hanya
pada ideologi dan primordialitas benderanya saja. Arus hegemoni ideologi akan
hilang. Dan siapa yang akan terus bertahan?
PMII sudah tak lagi fokus pada penguasaan politik secara
hegemonif, HMI pun juga sudah menjauh dari gerakan institusional, tinggal KAMMI
yang saya tak tahu. IMM pun masih diam di tempat. Tetapi, PMII sudah
mengecangkan sabuk pengaman organisasinya dengan mengeksplorasi kembali
semangat aswaja, membangun kultur wacana melalui komunitas keilmuan yang mereka
miliki, membangun gerakan budaya semacam kelompok teater. Hampir di semua rayon
bahkan ada kelompok teater. HMI pun juga demikian, diskursus wacana terus
dikembangkan. Saat kita masih berpijak pada ikhtilafiyah, mereka sudah sampai
ke wacana post-modernisme dan dekonstruksi sosial.
Namun dalam eskalasi kampus, IMM masih menjadi lembaga
yang patut dilirik. Selain karena dia tak pernah terjebak dalam politik
praksis, sikap moderatnya membuat IMM masih dipandang sebagai sebuah organisasi
yang berwibawa dan menjaga marwahnya dengan baik. Itulah kenapa saya selalu
ngotot tiap kali ada upaya terorganisir yang hendak membawa IMM dalam lubang
kepentingan politik tertentu. Misalkan soal kasus korupsi, pemira, atau
setidaknya kasus plagiatisme ini.
Karena sekali kita terjerumus kesana – IMM tidak akan
menarik lagi. Ibarat gadis, sudah tidak perawan lagi. Sudah terperkosa oleh
kepentingan dan transaksionalitas. Maka hati-hatilah sekali dalam bergerak,
sekali salah memutuskan, maka imbas kedepannya akan lebih berbahaya.
Maka, kurangi fokus ke dapur pribadi, mulailah melirik
dunia luar. Mulailah memperkaya wacana. Kurangi kesibukan menata kuantitas
kader, urus/rumat saja yang sudah ada. 7 kader tapi progresif, lebih baik
daripada 70 kader tapi pasif/elok-elok bawang (kata orang jawa). Tak usah
cemas. Kadang kita sibuk mengurus kader yang “tidak ada” dan melupakan yang
“sudah ada”. Karena urusan internal tak akan pernah luput dari masalah. Masalah
itu pasti selalu ada. Itu wajar sekali.
PMII dan HMI sudah sejak lama berkubang dalam politik
transaksional, KAMMI masih menunggu kemana angin berhembus. IMM? Kita masih
punya pacuan sendiri. Tapi jangan sampai lapuk dan berkarat. Saatnya IMM Maliki
melebarkan sayap pengaruhnya. Di IMM, jangankan IMM Maliki, IMM Malang raya pun
kita siap bersaing. Apalagi kalau hanya lingkup kampus?
2015 kesempatan itu semakin terbuka. Hanya mau atau tidak
mau. Hanya minder atau tidak.