loading...

Jumat, 01 Mei 2015

2015, Tahun yang sangat terbuka bagi IMM Maliki




Akhir tahun 2014 ditutup dengan menyeruaknya kembali kasus plagiatisme rektor, musyawarah eksekutif mahasiswa yang minus pratisipasi, dan menurunnya penetrasi ideologis dalam kampus. Kepemimpinan yang represif, membuka ruang mono-culture. Disatu sisi, kepemimpinan Prof. Mudji yang agak otoriter dan kaku itu, menguntungkan kekuatan minoritas, dan mengancam dominasi mayoritas. Terutama dalam kelembagaan. One vision yang dibangun, membuat segala perbedaan seolah cair dengan sendirinya. Tak heran jika ada banyak upaya “menjegal” kepemimpinan sekarang, dengan berbagai upaya, termasuk mengangkat kembali isu plagiatisme yang sudah sangat usang itu.


Kedepan, penguasaan politik melalui pemira yang sistemik dan tidak adil itu, menjadi tak penting lagi. Karena eksponen/penggerak eksekutif adalah mahasiswa yang non-. partisan, non-ideologis, dll. Sifat primordial akan tergerus seiring waktu. Budaya yang ada, akan semakin mempersempit jurang perbedaan.

Pada saatnya nanti, entah PMII, HMI, KAMMI, dll menjadi tidak penting lagi, termasuk IMM didalamnya, jika kader-kadernya tertutup hanya pada ideologi dan primordialitas benderanya saja. Arus hegemoni ideologi akan hilang. Dan siapa yang akan terus bertahan?

PMII sudah tak lagi fokus pada penguasaan politik secara hegemonif, HMI pun juga sudah menjauh dari gerakan institusional, tinggal KAMMI yang saya tak tahu. IMM pun masih diam di tempat. Tetapi, PMII sudah mengecangkan sabuk pengaman organisasinya dengan mengeksplorasi kembali semangat aswaja, membangun kultur wacana melalui komunitas keilmuan yang mereka miliki, membangun gerakan budaya semacam kelompok teater. Hampir di semua rayon bahkan ada kelompok teater. HMI pun juga demikian, diskursus wacana terus dikembangkan. Saat kita masih berpijak pada ikhtilafiyah, mereka sudah sampai ke wacana post-modernisme dan dekonstruksi sosial.

Namun dalam eskalasi kampus, IMM masih menjadi lembaga yang patut dilirik. Selain karena dia tak pernah terjebak dalam politik praksis, sikap moderatnya membuat IMM masih dipandang sebagai sebuah organisasi yang berwibawa dan menjaga marwahnya dengan baik. Itulah kenapa saya selalu ngotot tiap kali ada upaya terorganisir yang hendak membawa IMM dalam lubang kepentingan politik tertentu. Misalkan soal kasus korupsi, pemira, atau setidaknya kasus plagiatisme ini.

Karena sekali kita terjerumus kesana – IMM tidak akan menarik lagi. Ibarat gadis, sudah tidak perawan lagi. Sudah terperkosa oleh kepentingan dan transaksionalitas. Maka hati-hatilah sekali dalam bergerak, sekali salah memutuskan, maka imbas kedepannya akan lebih berbahaya.

Maka, kurangi fokus ke dapur pribadi, mulailah melirik dunia luar. Mulailah memperkaya wacana. Kurangi kesibukan menata kuantitas kader, urus/rumat saja yang sudah ada. 7 kader tapi progresif, lebih baik daripada 70 kader tapi pasif/elok-elok bawang (kata orang jawa). Tak usah cemas. Kadang kita sibuk mengurus kader yang “tidak ada” dan melupakan yang “sudah ada”. Karena urusan internal tak akan pernah luput dari masalah. Masalah itu pasti selalu ada. Itu wajar sekali.

PMII dan HMI sudah sejak lama berkubang dalam politik transaksional, KAMMI masih menunggu kemana angin berhembus. IMM? Kita masih punya pacuan sendiri. Tapi jangan sampai lapuk dan berkarat. Saatnya IMM Maliki melebarkan sayap pengaruhnya. Di IMM, jangankan IMM Maliki, IMM Malang raya pun kita siap bersaing. Apalagi kalau hanya lingkup kampus?

2015 kesempatan itu semakin terbuka. Hanya mau atau tidak mau. Hanya minder atau tidak.