loading...

Jumat, 01 Mei 2015

Ketika Yusuf-pun menulis




Saya lihat, beberapa hari ini ketua PC IMM Malang mulai rajin memposting tulisan di facebook, meskipun tak terlalu sering. Aktifitas di blog pribadinya pun juga masih ‘seperti dulu’. Tetapi ada kebahagiaan tersendiri ketika saya membaca tulisan-tulisan teman di facebook, termasuk salah satunya Yusuf Hamdani, ketua PC IMM Malang. Ada sebuah aktifitas yang dinamakan merenung, atau dalam bahasa agamanya, Tahanus.


Memang, menulis adalah suatu hal sepele dan sederhana, tetapi kenyataannya tak semua orang bisa membuat sebuah tulisan reflektif semacam itu. kenapa? Saya pun juga tak tahu. Namun saya berkeyakinan, setiap orang memiliki satu kehendak, yaitu kehendak untuk berbagi dan bercerita. Salah satu caranya adalah dengan sebuah tulisan.

Ketika menulis, kita dituntut untuk merenung. Mempelajari apa yang terjadi dengan sekitar dan berupaya untuk mengerti dan memahami. Merenung memang tidak membuat kita menjadi kaya, tidak juga membuat kita bertemu jodoh dan lepas status jomblo. Namun merenung membuat kita sadar jika hidup ini berisi banyak hal menarik, yang harus kita telisik lebih dalam dan kemudian kita hayati betul-betul. Merenung adalah suatu aktifitas untuk mengisi simpul yang kosong dalam otak kita. dengan merenung, membuat kita mampu bernegosiasi dengan keadaan.

Lewat tulisan ini, saya tidak tengah “mendoktrin” siapapun untuk lekas menulis. Karena menulis dan membuat satu tulisan, adalah sebuah pilihan untuk berbagi. Selama ini, saya memilih berbagi melalui tulisan, karena hanya itu yang saya bisa lakukan. Jujur, saya pun ingin berbagi dengan cara yang lain juga. Misal dengan sebuah lukisan, gambar, atau lagu. Tetapi, saya tidak bisa menggambar atau melukis dengan baik, saya pun tak bisa bermain musik. Yang saya bisa hanya menulis. Kadang saya iri melihat mereka yang pandai menggambar, melukis dan bermain musik atau sampai menciptakan sebuah lagu.

Untuk itulah, betapa kagumnya saya dengan Dee Lestari. Salah seorang penulis yang bisa menciptakan lagu bahkan membuatkan soundtrack untuk novelnya sendiri. Atau Sujiwo Tedjo, yang meskipun kontroversial, tapi bagi saya, Presiden Djancuker itu adalah paket komplit : bisa menulis, melukis, menggambar, ndalang, hingga menciptakan lagu-lagu. Sementara saya, hanya bisa menulis. Itulah kenapa saya tak pernah capek untuk mengasah kemampuan menulis, karena itulah satu-satunya yang bisa saya lakukan.

Kembali ke tema awal. Pilihan Yusuf untuk memulai menulis adalah suatu jalan yang sangat baik. Saya jarang bisa memahami apa yang ia katakan, dan mungkin saja bisa sedikit terjawab dengan apa yang ia tulis. Tak ada yang instan dalam hidup ini, termasuk menulis. Misalkan, ketika saya harus membandingkan tulisan saya dengan penulis senior semisal Seno Gumira Ajidarma, tentu perbandingannya begitu jauh. namun ketika saya membandingkan tulisan saya sekarang dengan tulisan saya lima tahun lalu, terlihat betul perbedaannya.

Saya pun, juga akan terus belajar sampai suatu titik pemberhentian yang kita tak akan pernah tahu kapan. Dengan menulis kita berbagi, dengan menulis kita bercerita, dengan menulis kita sadar bahwa banyak hal yang harus kita catat dan akan kita bagikan suatu waktu. Itulah kenapa, menulis kadang bukan suatu ritual yang serius, tapi ia mengalir begitu saja, seperti kebiasaan kita menyeduh kopi di pagi hari.

Bagi saya, menulis adalah ibadah non-formal dengan Allah. Diluar ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.

Salam Khidmat, Fastabiqul Khoirot.

28 Agustus 2014
A Fahrizal Aziz